12 | so called a friend

Pada akhirnya, Zane betulan tidak ikut rombongan ke Penida. 

Selain karena tidak diharuskan pergi oleh kantornya, dalam hati dia memang tidak ingin pergi.

Alasannya ... proker BEM  yang dia bilang tempo hari. Dia tidak bohong mengenai hal itu, dan seisi rumah juga sudah melihat dengan mata kepala sendiri beberapa hari terakhir Zane tidak ke mana-mana selepas jam kerja. Sibuk sendiri dengan laptop menyala, menguasai gazebo untuk dirinya seorang, dengan berbagai agenda rapat daring dan lain-lain.

Selain itu ... ada seseorang yang Zane harapkan kedatangannya akhir minggu ini. Karenanya, ketika Gusti sekali lagi mengonfirmasi keikutsertaannya, Zane mantap menggeleng.

"Rachel mau mampir hari Sabtu. Minggunya ada acara di Seminyak," ujarnya tenang, seperti biasa, setelah memastikan tidak ada makanan tersisa di mulut. Sadar betul jawaban yang seharusnya ditujukan hanya untuk Gusti itu membuatnya praktis jadi pusat perhatian seisi meja makan, tapi Zane tidak terlalu peduli.

"Pantes nggak tertarik. Karena cewek, toh?" Muka Gusti langsung nggak enak dilihat. 

Iya sih, Gusti sadar diri kalau dari segi tampang dan isi dompet, Zane ini tipe yang haram untuk dibiarkan menjomblo. Tapi melihat teman yang hampir dua minggu ini kompak anteng-anteng saja bersamanya itu mendadak menyebut nama cewek, nggak bisa dipungkiri, Gusti merasa makin ngenes saja menjadi satu-satunya singelillah di rumah mereka ini.

Lain Gusti, lain pula dengan Ismail yang segera mengangguk-angguk maklum, paham bagaimana rasanya LDR, biarpun baru dua minggu. 

Cuy, untuk anak-anak dalam masa pertumbuhan seperti mereka-mereka ini—kecuali Gusti, tentu saja—punya pacar atau gebetan dan ketemu setiap hari adalah kebutuhan pokok! 

"Bagus, deh." Mail menggumam di sela-sela kesibukannya menyesap kopi. "Suruh nginep sini sekalian kalau mau. Sungkan juga gue sering ngajak Regina ke sini, sementara tetangga sebelah kamar lagi merenungi nasib."

Zane tidak menanggapi sahutan Ismail yang mengandung olok-olokan itu, tidak berniat memperpanjang urusan.

Lagian, kalau mau jujur, siapa juga yang nggak gerah punya kamar di tengah-tengah, hampir tiap malam mendengar suara-suara ghaib dari tetangga kiri-kanan? Walau meyakini dirinya beda spesies dengan Mail dan Bimo, ada kalanya Zane merasa kewalahan menahan diri untuk nggak membeli tiket pulang ke Jakarta demi menemui  Rachel.

"Boleh, tuh. Bawa nginep di sini aja, biar rame." Iis menimpali ide Mail dengan muka semringah. "Kasur gue muat kok buat bertiga."

Kontan cowok-cowok saling pandang dalam diam.

Kalau jauh-jauh ke Bali untuk diculik Iis sih, mending Zane bawa ceweknya check in di hotel saja.

"Iis, please ... " Gusti yang merasa paling bisa relate dengan Iis, mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk pundak temannya dengan prihatin. "Biarpun anak-anak sini kelakuannya kayak dakjal semua, gue harap lo nggak ikut terseret pergaulan bebas, ya."

Iis memberi kode 'oke' dengan tangannya.

Mail pasang tampang sok imut.

Sementara Bimo yang merasa terfitnah cuma bisa kembang kempis, melirik sekilas ke pacarnya yang pagi ini cuek bebek dan sibuk sendiri.


~


Di pagi yang dinanti-nantikan, Zane yang sebelum-sebelumnya fokus pada hal lain dan lupa sepenuhnya pada siapa yang akan ditemuinya hari ini, mendadak jadi kikuk sendiri.

Begitu yang lain meninggalkan rumah, dia ikut pergi juga, berpakaian rapi dan wangi, menjalankan kendaraan ke Ngurah Rai, lalu standby di salah satu kafe yang dipilih random sejam sebelum waktu perkiraan Rachel tiba.

Deg-degan.

Ini kali pertama Rachel berinisiatif menemuinya, setelah hampir empat tahun belakangan Zane adalah satu-satunya chaser di hubungan mereka.

Karena bisa dibilang hari ini Zane menaruh sedikit harapan, wajar jika dia merasa agak gugup.

Sejam lebih menunggu, perempuan yang dia nanti-nantikan muncul juga. Mengenakan crop tee putih dan skinny jeans biru pudar, mendorong sebuah koper kecil. Rambut panjangnya yang baru diwarna cokelat terang dicepol asal-asalan dengan jepit besar. Dan wajah cantiknya dipenuhi senyum lebar.

Kegugupan Zane sedikit surut saat kemudian Rachel memeluknya singkat sambil mengeluh kelaparan, minta segera dibawa ke tempat tinggalnya, menolak diajak mencari makan dulu di sekitar situ.

"Wow, kalian magang apa liburan?" 

Di luar dugaan Zane, tamunya kelihatan excited saat kemudian pintu depan villa Kayutulang 119B dibukakan olehnya dan dipersilakan masuk. Padahal villanya B aja, cenderung terlalu sederhana, meski memang bagian dalamnya yang hijau dan banyak angin bikin betah duduk berlama-lama.

"Kirain lo bakal menghina." Zane tersenyum puas, menutup kembali pintu, lalu meletakkan carry on Rachel ke atas sofa tamu terdekat sebelum kemudian melangkah ke dapur.

Biasanya, setiap Zane berencana mengajak Rachel escape ke Bali, jauh-jauh hari Zane sudah booking salah satu villanya supaya dikosongkan. Sebaliknya, kalau Rachel yang mengajak, hotel yang dipesan cewek itu juga nggak jauh-jauh dari bintang lima. Oleh karena itu, sadar betul gaya hidup seperti apa yang dimiliki cewek di hadapannya ini, sebenarnya tadi Zane tidak terlalu berharap Rachel akan setuju dibawa ikut menginap ke tempat tinggal sementaranya ini.

"Nggak, lah. Emang gue pernah ngeribetin yang nggak penting?" Rachel mendengus pelan sambil melihat-lihat sekeliling, masih kelihatan amazed dengan interiornya. "Kamar lo di mana?"

"Di atas. Gue aja nanti yang naikin tas lo." Zane cepat menyahut.

Tapi Rachel juga cepat menolak. "Nggak perlu. Mending lo bikinin gue minum."

Akhirnya Zane sepakat, berhubung tas Rachel memang nggak berat-berat amat. "Lantai dua. Kamar tengah."

Rachel segera menyambar tasnya, lalu berjalan menuju tangga yang ditunjuk. 

Cewek itu tidak berlama-lama di atas. Dan saat turun, Zane sedang memanaskan sesuatu di microwaveThanks to Sabrina yang telah menyiapkan banyak makanan jadi di kulkas, karena jangan harap Zane bisa memasak.

Dia memang sering camping dan menonton salah satu omnya memasak pakai nesting, tapi beranjak dewasa, sudah jelas Zane sukses besar melupakan semua basic survival skill yang sempat diajarkan padanya. Buat apa juga diingat-ingat? Zane nggak akan pernah berencana pergi mendaki gunung sendirian.

"Lemon tea?" Cowok itu menawarkan satu-satunya jenis minuman yang bisa dia buatkan.

"Pakai es." Rachel menawar.

Zane mengangguk. Dan tidak sampai semenit, lemon tea di gelas Rachel sudah ditambahkan beberapa butir es batu sebelum diserahkan Zane kepada tamunya, yang segera disesap perlahan oleh Rachel sambil memejamkan mata. Menikmati rasa manis dan asam di mulut, angin semilir yang menerpa helai-helai anak rambut di kepala, dan wewangian dari bebungaan segar yang dirangkai di vas di atas meja makan.

Zane pernah bilang ada dua cewek tinggal bersamanya di rumah itu, jadi Rachel nggak perlu heran melihat banyak printilan kecewek-cewekan di sepenjuru rumah.

"Mesam-mesem mulu dari tadi, seseneng itu gue dateng?" Dia lalu bertanya saat tidak lama kemudian dilihatnya sang tuan rumah masih memandangnya dengan ekspresi senang yang tidak bisa Rachel deskripsikan.

Zane cuma ketawa pelan.

Senang? Tentu.

Zane sudah menaruh hati pada kakak kelasnya di SMA ini sejak kelas dua belas.

Sewaktu Rachel masih sekolah, Zane tidak pernah bertemu dengannya meski Rachel hanya dua angkatan di atasnya—yang berarti cewek itu naik kelas dua belas saat Zane jadi siswa baru. Ketemunya malah saat Zane hampir lulus, di acara campus expo. Rachel jadi mentor Zane dan banyak temannya yang lain yang juga mengincar masuk kampus yang sama.

Terkesima pada pandangan pertama? Iya. Cakep, pinter, dan supel adalah tipe yang paling umum disukai cowok-cowok di circle Zane waktu itu.

Tapi tentu saja perasaan Zane tidak terbalas detik itu juga. Hidup nggak seindah FTV cuy, biar dikata Zane nggak bego-bego amat, lumayan cakep dan terawat secara fisik, terpoles dengan barang-barang branded yang hampir selalu sukses membuat banyak orang menoleh dua kali padanya seperti magnet.

Zane juga nggak bisa langsung PDKT karena saat itu Rachel ada yang punya. Sampai akhirnya, setahun berselang, cewek itu menghubunginya lebih dulu ... karena tahu bahwa Zane adalah adik kandung The Jeffrey Abram—salah satu karyawan di tempat cewek itu magang, yang sukses membuat hatinya jungkir balik.

Long story short, karena Bang Jeff adalah sosok tak terkejar bagi Rachel, mereka berdua jadi dekat. Lalu friendzoned. Lalu FWB dan situationship?

Mengelak untuk menjawab pertanyaan retoris Rachel, Zane bergeser lebih dekat hingga bisa menyentuh lengan sang perempuan, sesuatu yang sudah ingin dilakukannya sejak tadi. "Welcome to Canggu," ujarnya berusaha terlihat santai.

Kalau ditanya apakah Zane masih sayang? Ya. Nggak berkurang sedikitpun sejak pertama kali merasakannya. Hanya saja, kadang dia suka gemas sendiri karena Rachel terus-terusan menolak ajakannya untuk menjalin hubungan.

"Makasih sambutan baiknya." Rachel menyesap lebih banyak minumannya dan mengulas senyum manis.

Kalau Rachel tersenyum, seluruh wajahnya ikut senyum, membuat suasana hati orang-orang di sekitarnya jadi cerah—salah satu dari banyak hal yang sangat disukai Zane dari Rachel.

Setelah meminta consent dan disetujui, Zane lalu maju untuk menciumnya. 

Mengulum dan menyesap singkat bibir yang terasa dingin dan manis berkat lemon tea buatannya itu. 

Rachel tak sempat membalas ketika akhirnya Zane melepaskan diri dengan cepat.

"Baru dua minggu nggak ketemu, udah kangen?" Cewek itu terkikik geli.

Zane ikut tertawa pelan, menyingkirkan gelas Rachel ke meja supaya tidak tumpah, dan ganti meraih kedua pinggang rampingnya. "Kalaupun gue bilang kangen, nggak akan ada yang berubah, kan?"

Rachel mengangkat bahu santai, mengalungkan lengan ke leher Zane, menyambut ciuman-ciuman Zane yang kemudian datang bertubi-tubi. Membalas rengkunan erat Zane seolah mereka tidak bertemu dalam kurun waktu sangat lama.

"Miss you so much it hurts." Zane mendudukkan Rachel ke area kosong di kitchen island di depan mereka, menjalarkan ciuman ke leher dan sebagian pundak yang sedikit terbuka saat dia menggeser leher kaosnya. Sepasang tangannya lalu menemukan batas potongan kaos longgar yang dikenakan Rachel di bagian punggung dan menyusup ke baliknya, perlahan melepas pengait bralette yang Rachel kenakan, menyusuri kulitnya ke arah depan dan menemukan serta meremas gundukan kecil buah dadanya. 

"Wait." Rachel tergelak kegelian. Menghentikan semua aktivitas Zane yang kemudian dengan gesit membuka kancing jeans Rachel dan menurunkan resletingnya. "Ini nggak pake mandi dulu? Lo tadi bukannya abis pipis di SPBU? Yakin ceboknya bersih?"


~


"Gilaa, gue lagi laper bukannya dikasih makan, malah dimakan. Nggak ada akhlak banget." Rachel tertawa pelan setelah melewati momen awkward selama beberapa menit.

Zane masih merengkuh erat tubuhnya yang setengah terbaring tanpa pakaian di permukaan kitchen island yang keras, saling beradu napas panas, detak jantung yang tidak beraturan, sementara sang cowok sendiri hanya melepas kaosnya, dengan jins diturunkan sedikit, masih menggantung di kedua lutut.

Nggak perlu ditanya, mereka masih muda dan energetic, sama-sama tertarik secara seksual pada satu sama lain, sudah pasti bukan hal sulit untuk mencapai klimaks masing-masing.

The sex was good. As always. Tapi karena mereka berdua not into that kind of lifestyle, ketika hasrat dan ketegangan mereda, nggak bisa dipungkiri bahwa akhirnya selalu awkward sendiri.

Rachel tahu dalam hati Zane menyayangkan mengapa mereka tidak pacaran saja. Sementara Rachel sendiri merasa sudah sering memperingatkan bahwa mereka tidak bisa melangkah ke mana-mana.

Sekali lagi, Zane tidak menyahuti ocehan Rachel, mengelus dan menyingkirkan anak-anak rambut basah yang menempel di dahi sang perempuan. Rambut panjangnya kini terurai berantakan membingkai wajahnya.

Rachel tampak kecil dan pasrah dalam pelukan Zane. Begitu mendamba ketika disentuh dan diciumnya. Tapi jauh di dalam, lumayan brengsek juga karena membuat Zane merasa dipermainkan.

Padahal apa susahnya pacaran, sih? Kalau toh nantinya nggak cocok, mereka bisa putus dan kembali berteman. Kalau digantung terus begini, Zane juga jadi nggak bisa ke mana-mana.

"Rach ...." Zane menggumam di telinganya. Mencium pelipisnya.

Rachel yang tadinya merengkuh ketat, kini mengendurkan lengannya. Satu menempel santai di punggung Zane, satu lagi di balik lehernya.

Zane akan mengatakannya. Sekali lagi. Seolah nggak ada kapok-kapoknya.

"Be my woman ...."

Satu gerakan menelan ludah terekam di mata Zane ketika dia memandang Rachel tepat di manik mata.

Zane tahu pasti apa jawaban Rachel.

Tapi dia masih merasa tidak ada salahnya mencoba.

Dan benar saja, beberapa saat kemudian Rachel menggeleng pelan. "Lo tahu sendiri, kita nggak saling cinta. Lo pernah blokir kontak gue selama berbulan-bulan cuma gara-gara gue bilang nggak ada perasaan ke elo, Zane. Gue nggak mau bikin lo lebih berharap. It's not mutual feelings, but mutual needs, and I already give what you want. Kita lebih cocok jadi temen."

"Friend don't fuck." Rahang Zane mengeras.

Oke, mereka sudah sering melakukannya, dan Zane mungkin sudah mengatakan hal barusan untuk kesekian kalinya juga.

Dia masih tahu persis di mana posisinya di hidup Rachel, tapi entah mengapa setiap kali diingatkan kembali mengenai status mereka, Zane masih saja sulit menerima.

"But you are the one who initiates it in the first place." Rachel mengembalikan bola panas padanya.

Zane tidak mengelak. 

Dia yang lebih dulu menginginkan Rachel, dia juga yang selalu berinisiatif mengenai apa saja yang mereka lakukan.

Dengan rahang mengatup, Zane menegakkan diri, menaikkan kembali celananya dan mengancingkannya.

"Gue ke sini karena ada workshop, nggak enak kalau nggak kabarin lo. That's it. Gue bukannya mau bikin lo mikir yang enggak-enggak." Rachel berusaha menjelaskan.

Zane menahan napas sesaat, memandang pedih perempuan di depannya, sebelum kemudian menarik beberapa lembar tissue dari kotak yang ada di dekat situ dan membantu Rachel membersihkan diri.

"Go take a shower." Zane memunguti pakaian Rachel yang berceceran di lantai dan memberikan pada pemiliknya. "Gue siapin side dish-nya."

Rachel turun dari kitchen island, mengangguk singkat, lalu berjalan cepat menuju lantai dua.


#TBC


Tadinya tuh Zane mau w bikin seputih kapas, kayak Mas Agus, tapi kayaknya impossible, ya? Tp teteup, dia gak sebuaya Mail, kok. 😌

Teros knp dia gak nyentuh ceweknya di WPD ... karena inget ceweknya masih bocil aja.


Terakhir, klo ada beberapa hal yang gak sinkron antara cerita ini dg yang lain, mungkin nanti yg lain yg bakal direvisi dan disesuaikan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top