11 | not you too
"Ecieee ...."
Paginya, Sabrina langsung heboh dikarenakan pemandangan tidak lazim: Mail bangun lebih awal dibanding ayam berkokok, juga dibanding dengan dirinya sendiri.
Dan bukan cuma itu, ketika Sabrina keluar dari kamarnya sambil menguap karena mendengar suara berisik dari luar, kompor di dapur sudah menyala.
Regina yang memasak, tentu saja.
Dan selagi Regina mencincang daun bawang, si Ismail bin Mail dengan pedenya berdiri rapat di balik punggung sang cewek, memeluknya dengan ekspresi berbunga-bunga saat mereka kelihatan ngobrol asyik, bak adegan di film-film romantis.
"Ada yang berseri-seri, nih!" Sabrina nggak membuang kesempatan untuk mengejek seniornya, yang kemudian cuma senyam-senyum tapi tidak tampak ingin menjauh dari ceweknya di depan Sabrina. "Udah official?"
Memang sih, belum ada setahun mengenalnya, Sabrina sudah sempat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Ismail bin Mail ini sudah seringkali bergonta-ganti cewek.
Dan nggak kayak cowok-cowok lain yang Sabrina kenal di circle mereka, Ismail tuh PDKT-nya selalu ekspres. Baru kenal seminggu langsung jadian buka hal impossible, sehingga tak jarang Sabrina tutup mata pada drama percintaan Pak Menterinya itu.
Tapi, Regina jelas beda. Karena bukan hanya ke Mail, cewek yang lebih tua tiga tahun dari mayoritas penghuni rumah dan tujuh tahun dari Sabrina itu PDKT-nya ke mereka semua. Mana—terlepas dari tragedi di gazebo malam itu yang kadang-kadang membuat bulu kuduk Sabrina meremang sampai sekarang—Regina baik banget dan bisa ngemong mereka semua lagi. Jadi ... kenapa Sabrina mesti nggak ikut excited kalau akhirnya mereka pacaran?
"Ya gitu, deh." Mail mengelak untuk mengiyakan, tapi dia memang nggak perlu melakukannya. Udah jelas banget, boook! Kalau belum ada status, dia bakal sembunyi-sembunyi sayang-sayangannya, kayak kemarin!
"Mau dipotretin ala-ala prewed, nggak? Mumpung bagus, jam segini cahaya ilahinya masuk dapur, jadi nggak perlu pake filter."
Sebelum yang bersangkutan menyahut, Sabrina sudah mengeluarkan HP-nya duluan dan memberi aba-aba dua orang di depannya untuk melanjutkan apa yang sedang mereka kerjakan biar bisa diambil potret candid.
Dan terima kasih pada Gusti Prawirodiprodjo yang telaten memberi kuliah Sabrina tentang pengambilan angle, hingga Sabrina sekarang sudah pede semisal mau dimasukkan ke divisi pusdok di kepanitiaan apapun.
"Nama IG lo apa, Mbak?" Selesai memilih foto terbaik, Sabrina hendak mempostingnya di story dengan menandai dua orang objeknya itu, tapi Regina malah menggeleng.
"Kirim ke WA aja. Gue nggak main sosmed." Regina menjawab kalem, membuka tutup panci dan memasukkan daun bawang ke sup yang sudah matang. Bau segarnya langsung menguar ke sepenjuru dapur.
"Hah, serius? Why?" Sabrina masih mempermasalahkan permedsosan saat kemudian fokus Mail sudah pindah ke masakan pacarnya. Membantu Regina mengangkat panci itu biar kompornya bisa dipakai untuk melakukan hal lain.
Regina meletakkan teflon besar di atas kompor, menoleh ke Sabrina sekilas. "Karena nggak butuh?"
Sabrina kontan melongo. "Wow."
Memutuskan nggak punya medsos di zaman sekarang tuh wow banget menurutnya.
Regina lalu mesem lagi setelah memberi instruksi Mail untuk mengambilkan piring besar dari rak. "Gue lagi belajar jadi digital minimalist."
Dan Sabrina makin-makin dibuat melongo olehnya.
Pantes lah Regina dan Mail cepet nyambung.
Mail tuh, biarpun masih newbie, sedang proses menerapkan mindfulness juga. Itu tuh, gaya hidup yang simple-nya berarti 'living in the moment', biar nggak gampang overthinking. Dan salah satu cara untuk mindful pada apa yang sedang dikerjakan sekarang, ya jelas dengan mengurangi kecanduan menggunakan ponsel ke mana-mana. Mengurangi penggunaan produk digital yang nggak diperlukan juga.
Sabrina belum tertarik untuk memahami lebih jauh, tapi selama ini meditasi mindfulness yang diajarkan Mail cukup manjur untuk membuanya tenang setiap kali kewalahan menghadapi berbagai masalah di BEM atau di perkuliahan secara umum.
Nggak praktis menyelesaikan masalahnya juga, sih. Tapi setidaknya, Mail seringkali bisa membantu Sabrina melihat situasi sulit dari sisi yang lebih positif.
Jadi ... shout out to Mail, yang biarpun otaknya lebih banyak bobroknya, hidupnya masih berfaedah dengan menularkan sedikit hal yang baik-baik ke juniornya.
~
Bukan cuma Sabrina, yang lain pun kelihatan ikut senang menyambut Regina. Apalagi ternyata masakan Regina lebih enak dibanding masakan Sabrina!
Sudah gitu, nggak sesumbar pula.
Nggak kayak Sabrina, yang tiap temannya baru makan sesuap, dia sudah kembali mengagung-agungkan diri sendiri, betapa baik dan terpujinya dia telah ikhlas hati memasak untuk yang lain. Bikin susah nelen aja!
"Weekend nanti, ganti ke mana kita?" Agus yang lagi menikmati long black—signature coffee-nya Mail—mendadak bertanya.
Keenakan jauh dari kampus agaknya membuat Agus dan yang lain lupa mengecek jadwal-jadwal rapat online BEM sebelum membuat keputusan.
Lalu, sebelum yang lain sempat mengutarakan ide masing-masing, Bimo sudah menyahut duluan. "Sabrina ada acara lepas burung Jalak Bali di Nusa Penida. Kalau weekend ini emang pada free, kenapa nggak ikut aja?"
Sabrina yang lagi mengunyah ayam goreng lekas mengangguk-angguk mengiyakan.
"Lepas burung? Lo ikut komunitas apaan, deh?" Mail yang tahunya Sabrina cuma ikut kelas diving, menaikkan alis.
Lagi-lagi Bimo yang menjawab karena Sabrina sekali suapan mengunyahnya 32 kali, nggak kelar-kelar . "Jadi volunteer WWF dia."
"Lah, di tempat Zane?" Agus yang tahu Sabrina banyak kegiatan, tapi nggak menyangka WWF adalah salah satunya, ikutan kaget. Bisa-bisanya Zane nggak pernah berinisiatif mengajak Sabrina berangkat bersama? Tapi karena nggak mau terlalu mengintervensi jalan pikiran temannya, dia cuma menoleh dan menanyakan hal lain. "Bray ... berarti lo ke Penida juga?"
Zane tidak langsung menyahut. Dengan kalem meneguk air putih di gelasnya biar nggak ada sisa makanan muncrat saat dia ngomong.
"Gue nggak masuk ke timnya. Tapi nggak tau juga kalau nanti diajak." Lalu sebagai satu-satunya kacang yang ingat kulitnya, Zane menambahkan, "Dan Kementerian gue lagi hectic juga, ada proker, sungkan kalau nggak standby."
Seolah tidak tersindir, akhirnya semua sepakat ke Nusa Penida menyusul Sabrina, dengan atau tanpa Zane.
~
Kelar sarapan, ritual selanjutnya adalah cuci piring masing-masing.
Kebetulan Mail kelar duluan, disusul Iis.
Sambil menggosok gelas dengan busa cuci, merasa diperhatikan, Mail kemudian mengalihkan sebentar pandangannya dari sink.
"Kenapa ngelihatin gue gitu banget?" tanyanya ke Iis yang berdiri tidak jauh darinya, sedang mengantre untuk mencuci juga.
"Aura lo jelek." Iis menyahut singkat dan datar.
"Anjiiir." Mail cuma pringas-pringis.
Lebih parah dari Sabrina, Iis emang suka pedes gitu kalau ngomong sama mereka semua, nggak perlu tersinggung.
Lagipula, Mail juga sadar diri kok, kalau dia memang kotor dan penuh dosa, nggak kayak Iis yang putih-suci-murni, hahaha.
"Kenapa Zane ampe turun dan tidur di ruang tamu semalem?" Sambil menggeser posisi Mail yang sudah selesai mencuci dan baru akan mengeringkan peralatannya dengan serbet, Iis menanyakan hal lain.
"Tauk." Gantian Mail yang menyahut singkat dan datar.
Jelas saja Mail nggak tahu. Bukan urusannya juga! Suka-suka Zane mau tidur di mana dan sama siapa!
"Mail!" Iis kesal gara-gara temannya nggak peka. "Elo kalau ena-ena jangan berisik dong, tetangga lo terganggu tuh, sampe nggak bisa tidur. Lagian sopan amat, di rumah ada Sabrina yang masih bocah juga!"
Mail berhenti tertawa.
Oke, dia memang mendengar Zane turun semalam. Tapi itu bahkan sebelum dia ngapa-ngapain. Juga Mail berani bertaruh, dia dan Regina nggak bersuara sama sekali. Ngapain juga dia nonton John Wick hampir tanpa suara kalau dia nggak peduli sama tetangga sebelahnya?
"Salahin gue aja terus ... salahiiiin ...." Mail berdecak, lalu pergi meninggalkan Iis begitu saja.
Padahal, sejak sebelum ada Regina, si Sabrina juga udah pangku-pangkuan di balkon sama Bimo! Mail mah udah gumoh nontonin mereka cipokan, grepe-grepean!
Zane dan Iis aja yang lebay! Sabrina udah gede kali. Dan lebih dari itu semua, kalau dia kenapa-kenapa, salahin noh si Bimo! Ngadi-ngadi bawa anak orang main jauh-jauh, lama pula!
~
Kelar berdebat dengan Mail, kontan Iis jadi bete.
Iya memang Mail nggak sepenuhnya salah, tapi sebagai yang lebih tua, apa salahnya menjaga sikap, sih?
Dan betenya Iis itu terbawa sampai saat sejam kemudian dia tiba di depan preschool tempat dirinya magang, diantar Linggar menggunakan mobil Zane.
Karena setelah ini Linggar harus langsung pergi lagi menuju tempatnya seharusnya berada, sambil cemberut Iis menyempatkan diri untuk memeluk cowok di sebelahnya itu sebelum berpisah.
Linggar mengelus-elus belakang kepalanya. "Sabrina emang udah gede sih, Is." Cowok itu berkata pelan saja, ingin mengungkapkan pendapatnya tapi juga tidak ingin menyinggung yang sudah kesal.
Tentu Linggar nggak menganggap kekhawatiran Iis salah. Tapi menyudutkan Mail juga bukan tindakan yang tepat.
Melihat intensitas interaksinya, bisa jadi Mail justru lebih mengenal Sabrina ketimbang Iis.
Selain itu, kalau yang tadi dikeluhkan Iis itu dianggap masalah, Linggar tidak merasa cara Iis menghadapinya cukup efektif.
Masalah bersama mah harusnya dibahas bersama, transparan. Lagian masa iya, mereka mengontrak rumah bersama-sama tapi nggak punya rules?
"Not you too." Iis mencebik.
Linggar mesem saja, daripada urusan jadi panjang dan dia nggak jadi pergi-pergi. "Oke, oke. Kita akhiri cukup sampai di sini. Udah masuk sana, nanti kamu telat."
Iis mengangguk dan bersiap-siap turun.
Sebelum membuka pintu, dia menoleh. "Nggar ...."
"Hmm?" Alis Linggar terangkat sebelah. Senyumnya merekah untuk cewek mungil di hadapannya itu.
Gemas.
Baik dan perhatiannya Iis tuh memang kadang suka nggak tahu tempat. Jadi mubadzir. Contohnya kayak merhatiin Sabrina ini.
"Soal ajakan kamu waktu itu ..." Iis menggantung kalimatnya setelah menyebut-nyebut ajakan Linggar entah yang mana, membuat fokus pikiran Linggar praktis terpusat padanya sepenuhnya. Sabar menunggu. "I think it's worth to try."
Linggar kontan membeku. Bahkan refleksnya untuk menelan ludah juga jadi tertahan.
Tentu Linggar paham apa maksud Iis.
Dia menembak Iis beberapa bulan lalu, saat masih di Jakarta. Dan Iis belum memberi jawaban ... sampai beberapa saat barusan.
"Thank God." Begitu akhirnya bisa menguasai diri, Linggar langsung ganti memeluk Iis.
Gilaaa ... setelah PDKT bertahun-tahun, akhirnya jadian juga! Emang ya ... nggak ada hasil yang mengkhianati usaha.
"Udah ah, jangan lama-lama. Aku abis ghibahin Mail, nggak tau diri kalau ternyata doyan skinship juga."
Linggar manggut-manggut, mengacak pelan puncak jilbab Iis dengan sayang. "See you next month?"
"Lho, kamu sebelum ke Surabaya nggak mampir ke sini dulu?"
"Nggak enak sama temen kantor kalau misah lagi."
Iis mengerti. "Aku aja yang ke Surabaya kalau gitu. Itung-itung pengalaman. Belum pernah ke sana juga."
"Alright." Linggar mesem. "Mana aja yang menurut kamu baik."
#TBC
1D - Little Things~
Lagu kebangsaan anak-anak Jln Kayutulang NO. 119B yang dipaksakan oleh dede Sabrina Tanjung.
Karena tiap hari denger hampir semua lagu 1D, terpaksa kuping mereka semua terbiasa dan jadi suka, meski nggak ada yang mau ngaku.
Funfact:
Buat yg baca Tax Included, Little Things ini lagu nina bobonya Julana, diiringi petikan gitar mengenaskan bapak suami tercinta.
Terus di universe eike, yg suaranya bagus, nggak buta nada, dan bisa hampir bisa main semua alat musik sejauh ini adalah Om Roger, Bang Jeff, Mamanya Zane, Revanda [jazz, classic]; Ehsan [pop]; Mail, dan semua circlenya Aryton [hardcore].
Next part targetku update hari Jumat biar seminggu bisa update 2x, tp semisal ngga nutut nulisnya, jgn mutung ya. Nanti kita ketemu dosa2nya Bang Zane di part 12.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top