Meet and Trial
Ezar berjalan mendekat sambil mengendurkan dasi. Ia tersenyum lebar saat sampai di depan sekelompok orang yang sedang menunggu. Orangtuanya, Om Edwin, dan seorang wanita berperawakan mungil dalam balutan kemeja dan celana panjang berwarna hitam. Wanita yang disebut-sebut orangtuanya—akan menjadi calon jodohnya.
“Nah, ini dia anak kita,” Eva mengulurkan tangan dan menyelipkan pada lengan Ezar. Ia menatap Ezar dengan kebanggaan yang terlukis jelas pada wajahnya. “Edwin, Feya, ini lho, Ezar. Dia ini sibuk luar biasa. Susah sekali melihat wajahnya di rumah ini.”
Edwin menepuk-nepuk bahu Ezar yang lebih tinggi darinya. “Wah, wah, jadi ini rupanya calon pimpinan baru rumah sakit Adira Husada? Kau hebat, Zar. Bukan hanya cerdas, kau juga tampan. Itu paduan sempurna untuk mendatangkan pasien wanita, kan.”
“Om bisa saja.” Ezar menanggapi sambil tersenyum santun. Ia melirik ke samping Edwin, pada wanita yang sedari tadi terlihat gelisah. “Ini, Feya?”
“Feya Adoriana, putri kesayangan Om. Satu-satunya.” sahut Edwin sumringah. Ia menyentuh lengan Feya. “Fey, ini Ezar yang Ayah sudah ceritakan sebelumyn. Maafkan Feya, Zar. Alerginya tiba-tiba saja kambuh dalam perjalanan kemari, jadi dia harus memakai sarung tangan untuk menutup kulitnya yang memerah.”
“Kasihan sekali,” ujar Eva prihatin. “Kau harus berhati-hati menjaga putrimu, Win. Jangan sampai kulit mulusnya rusak dan lecet. Alergi bisa sangat berbahaya, lho.”
“Tentu saja,” Edwin menyahut sambil tertawa. “Sejak kecil Feya memang rentan dan alergi terhadap banyak hal.”
Feya menatap ayahnya, tidak ragu-ragu memberinya tatapan tidak suka. Matanya kemudian beralih pada laki-laki di samping ayahnya. Ia mencoba tersenyum dan malah menghasilkan tarikan canggung pada bibirnya. Ezar Riyandi Putra—seorang psikiater terkenal, adalah calon pemilik rumah sakit Adira Husada yang sampai sekarang masih di bawah kepemilikan dokter Donny Agriwan—ayahnya. Tidak bermaksud untuk hafal semua fakta itu, tetapi perkataan ayahnya yang terus diulang-ulang sepanjang jalan mau tidak mau melekat juga pada otaknya.
“Maaf, aku tidak bisa bersalaman denganmu,” ujar Ezar sambil membungkukkan tubuh sedikit. “Bukan bermaksud tidak sopan, tapi aku belum mencuci tangan sejak masuk ke ruangan ini. Ibuku yang cantik ini langsung saja menyeretku ke depan kalian. Dia pasti sudah tidak sabar memperkenalkan aku pada calon menantunya.”
Feya menunduk dengan perasaan serba salah, sementara semua orang menertawakan perkataan Ezar. Tidak lama setelah beberapa basa-basi, Ezar berpamitan untuk naik ke lantai dua—ke kamarnya, untuk membersihkan diri. Ketika melewati Feya, ia berhenti dan menyempatkan diri berbisik. “Kau bisa naik ke lantai dua. Ada perpustakaan kecil di sana dan kau bisa menghindari para tamu yang sebentar lagi akan datang. Kau pasti tidak mau alergimu menjadi semakin parah karena harus berada di antara mereka, kan?”
Feya merinding dan menatap punggung Ezar. Ia tidak tahu harus berterimakasih atau malah kesal karena merasa diejek. Donny menyenggol lengan Eva dan menunjuk dengan dagu, ke arah Feya. Eva tersenyum simpul dan mengangguk.
“Feya, Sayang. Wajahmu terlihat pucat,” ucap Eva lembut. Ia menunjuk ke lantai dua. “Ada perpustakaan di ujung koridor, kau bisa beristirahat dengan nyaman di sana. Sebentar lagi tamu-tamu undangan akan datang dan Tante tidak mau kau merasa canggung berada di antara kakek-kakek dan nenek-nenek seperti kami. Bagaimana?”
“Ya, Tante,” sahut Feya kaku. “Sepertinya obat alergi yang saya minum sebelum kemari tadi mulai bereaksi dan membuat saya agak mengantuk.”
“Nah, kalau begitu pergilah ke sana. Tante akan meminta Ezar menemanimu kalau dia sudah selesai. Kalian juga memerlukan waktu pribadi untuk saling mengenal satu sama lain.”
Feya mengambil kesempatan untuk berlalu dari depan orangtua Ezar dan ayahnya. Bagaimana pun, Feya sudah mengalah dengan bersedia ikut ke rumah orangtua Ezar ini. Sesuai kesepakatan awal, Feya hanya akan mencoba untuk mengenal Ezar dulu, sebelum mengambil keputusan mengenai perjodohan itu. Berbaur dalam acara reuni mereka, tidak termasuk dalam rencana Feya.
Feya berjalan naik ke lantai dua mencari perpustakaan. Eva menyenggol lengan suaminya sambil mengulum senyum. Ia mencondongkan tubuh dan berbisik. “Gadis itu sangat sempurna untuk Ezar, kan?”
“Tentu saja,” balas Donny. Ia melirik pada Edwin yang sedang mengambil minuman dari konter dapur di seberang tempat mereka berdiri. “Aku yakin, mereka akan cocok. Setelah mereka menikah, kita bisa beristirahat.”
%%%%%
Perpustakaan itu tidak terlalu luas, tetapi ditata sedemikian rupa sehingga terasa nyaman. Sebuah pendingin udara, sofa besar di atas karpet tebal dan ayunan rotan di salah satu sudut ruangan, tampaknya bisa membuat siapa pun betah berlama-lama di dalamnya. Feya menghampiri rak buku setinggi dinding di sisi barat dan mencari-cari buku yang menarik. Ia melepas sarung tangannya sambil menghembuskan nafas lega.
“Pasti menyusahkan, harus memakai sarung tangan itu kemana-mana saat kau keluar rumah. Atau jangan-jangan kau tidak pernah keluar rumah? Kulitmu sangat pucat dan terlihat tidak sehat.”
Feya menoleh, terkejut melihar Ezar sudah berdiri di ambang pintu perpustakaan. Ia cepat-cepat memakai lagi sarung tangannya, tapi Ezar mengangkat tangan sambil mendekat. “Tidak usah dipakai. Aku tidak akan mengajakmu bersalaman, kok, meski pun tanganku sendiri sudah bersih. Aku juga selalu membiasakan diri mencuci tangan sebelum bersentuhan dengan orang lain. Kebiasaan, bukan obsesif.”
“A-aku sedang alergi,” terbata-bata Feya menjawab. Ia membaui aroma musk dan lavender dari laki-laki di depannya. Lembut dan menenangkan.
Ezar tertawa kecil dan mempersilahkan Feya untuk duduk di sofa. Ia menyalakan pendingin ruangan pada suhu minimal, sekedar membuat sejuk saja. “Aku tahu. Duduklah dan buat dirimu nyaman. Kau suka membaca buku apa?”
“Aku mau keluar.”
“Kenapa? Kau lebih memilih bergabung dengan tamu-tamu di bawah dan menderita alergi lebih parah lagi, daripada denganku?” Ezar mengangkat alis kanannya dengan gaya lucu. “Setidaknya, diam di sini denganku akan lebih aman. Aku sudah bersih dan bebas kuman.”
“Ayahku mengatakan apa padamu?”
“Oh, aku belum pernah bertemu ayahmu sebelum di bawah tadi,” Ezar mengambil posisi duduk di seberang tempat Feya duduk. “Aku hanya perlu melihat sarung tanganmu untuk tahu. Juga sikap gelisahmu sejak tadi. Kau pasti tidak nyaman berada di luar rumahmu dan berdekatan dengan orang lain yang baru kau kenal, kan?”
“Bagaimana kau tahu?”
“Asal kau tahu, ada satu orang pasienku yang selalu memakai APD setiap kali dia datang untuk terapi. Dia juga menuntut agar aku dan seluruh stafku memakai desinfektan di hadapannya. Waktu terapinya hanya satu jam tapi persiapan yang harus kulakukan sebelum memulai terapi dengannya bisa lebih dari setengah jam. Nah, sarung tanganmu itu tidak ada apa-apanya, kan?”
Feya menepuk dahi pelan. “Ah, aku lupa. Kau seorang psikiater .”
“Yup. Psikiater yang akan membantu menyembuhkanmu sebelum mengajakmu ke pelaminan. Begitu rencana orangtua kita. Atau setidaknya, itu yang aku inginkan, kalau kau tidak keberatan.”
“Kau tidak ingin mengetahui bagaimana kepribadianku, apakah aku setuju pada perjodohan ini atau tidak—terlebih dulu? Langsung pada sesi terapi?”
“Aku ingin, tapi tampaknya itu akan membuat suasana menjadi canggung. Usia kita pun, rasanya sudah terlalu matang untuk memulai perkenalan dengan cara basa-basi. Sepertinya kita juga akan punya banyak waktu selain saat ini, untuk menjalani proses itu seperti yang kau sebutkan tadi. Percayalah padaku, seiring waktu, semua itu akan terjawab dengan sendirinya. Aku pandai membuat orang mengakui perasaan tanpa harus mendesaknya.”
“Bagaimana kalau aku menolak?”
“Bagaimana kalau aku menolak penolakanmu?”
Feya menatap laki-laki di depannya dengan sorot mata menyiratkan ketidakpercayaan. Perasaannya campur aduk, antara senang karena ia tidak perlu berpura-pura normal dan bingung harus bersikap seperti apa menanggapi ketenangan yang diperlihatkan Ezar. Mata berwarna hitam di balik kacamata berbingkai hitam itu membalas tatapannya sambil tersenyum.
“Sepakat untuk mencoba saling mengenal dulu pelan-pelan?”
“Sepertinya begitu,” gumam Feya.
%%%%%
Feya membuka aplikasi whatsapp dan mulai mengetik.
[Ezar, kau masih di rumah sakit?]
Centang biru muncul selang tiga menit kemudian, di susul balasan dari Ezar. Feya memperhatikan sebelumnya Ezar mengetik lama sebelum kata-katanya muncul di layar.
[Menuju pulang]
Kening Feya berkerut, bertanya-tanya mengapa begitu lama Ezar mengetik kalau jawaban yang muncul hanya sesingkat itu. Sepertinya Ezar beberapa kali mengetik dan menghapus sebelum mengirimkan jawabannya.
[Ada beberapa hal yang perlu aku tanyakan padamu. Kalau kau tidak keberatan. Kapan aku bisa membuat janji temu denganmu?]
Feya menunggu selama setengah jam. Pertanyaan yang dilontarkannya sudah bertanda centang biru, tetapi tidak kunjung ada balasan. Ia melemparkan telepon genggamnya ke atas bantal. Mungkin Ezar sedang menyetir, pikir Feya menghibur diri. Feya mengambil sebuah plastik berisi masker non medis dari dalam laci nakas dan mengambil selembar. Ia memakainya dan menyalakan penyedot debu, lalu mulai membersihkan kamar.
Edwin mendengar suara mesin penyedot debu dari lantai dua dan menggeleng-gelengkan kepala. Ia sudah berhenti memprotes kebiasaan Feya membersihkan kamar tiga sampai lima hari sekali dan sudah menyerah juga membujuk Feya untuk menemui psikolog atau psikiater.
Ezar adalah harapan terakhir Edwin untuk Feya. Ia berharap Feya akan belajar membuka diri sedikit demi sedikit kepada Ezar. Perjodohan itu adalah keinginan orangtua Ezar—Donny dan Eva—sahabatnyasejak masa SMA. Mereka sudah mulai khawatir melihat anak laki-laki tunggal mereka masih betah melajang. Ezar sedang digadang-gadang untuk menggantikan Donny sebagai pemimpin rumah sakit dan tampaknya akan lebih elok bila ada seorang istri yang mendampinginya. Mereka tidak sabar untuk segera melihat putra semata wayangnya duduk di pelaminan.
Eva lebih mengkhawatirkan kondisi mental putranya yang setiap hari harus berhadapan dengan pasien dengan bermacam-macam jenis gangguan jiwa. Ia tidak mau Ezar betah berlama-lama sendiri dan terlena dalam pekerjaannya. Eva yakin sekali, seorang istri pasti bisa membuat Ezar mengurangi fokus pada pekerjaan, apalagi kalau mereka cepat mempunyai anak.
Edwin tergugah dari lamunan, mendengar pintu diketuk pelan. Ia menyeret sandal dan membuka pintu. Ezar berdiri di depan pintu, membawa sebuah botol besar berwarna putih. Pakaiannya lembab.
“Om, selamat sore.” sapa Ezar sambil tersenyum.
“Lho, Nak Ezar?” sahut Edwin sedikit terkejut. Ia melihat barang bawaan Ezar dan mengangkat alis. “Feya tahu kau akan datang?”
Ezar menggeleng.”Tidak. Saya hanya kebetulan saja dalam perjalanan pulang ke rumah dan ingin mampir sebentar ke sini. Eh, ini untuk Feya.”
Edwin menerima barang yang disodorkan Ezar kepadanya dan membaca label pada botolnya. “Pencuci tangan?”
“Aroma lemon, Om. Saya lihat kemarin Feya kebingungan sekali ketika cairan pencuci tangannya habis.”
Edwin tertawa dan mempersilahkan Ezar masuk ke dalam rumah. “Kau luar biasa,” puji Edwin sambil menepuk bahu Ezar. “Laki-laki lain akan membawa bunga atau coklat untuk wanita yang akan menjadi istrinya.”
“Itu hanya untuk wanita biasa, Om. Bagi saya, Feya itu luar biasa. Saya sedang mencoba membuat dia merasa nyaman, agar dia bisa menerima dan mempercayai saya sepenuhnya sebelum melangkah lebih jauh.”
Edwin mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Sepertinya keputusan menerima tawaran Donny dan Eva untuk menjodohkan Ezar dan Feya adalah hal terbaik yang pernah dilakukan Edwin dalam beberapa tahun terakhir ini. Tidak akan ada lagi alasan untuk Feya menolak calon suami yang bisa mengerti bahkan membantu untuk sembuh.
%%%%%
Seorang reporter, mengenakan jas hujan berwarna biru muda dengan memegangi payung di tangan kiri dan mikrofon di tangan kanan, membawakan berita dengan suara lantang. Ia berusaha meningkahi suara gemuruh hujan di latar belakangnya.
“ ... ditemukan di belakang bukit oleh seorang pencari kayu bakar. Saksi penemu mengatakan bahwa ia sedang mengumpulkan ranting-ranting di sekitar bukit itu dan tidak sengaja menemukan sebuah tas ransel berwarna hitam. Saksi mencium bau busuk dari dalam tas dan tidak berani membukanya. Ia langsung melaporkan penemuannya kepada kepolisian setempat.
Saat ini, seperti yang pemirsa sekalian saksikan, polisi dan tim forensik sedang menangani penemuan mayat di dalam tas. Tidak ada identitas korban yang dapat ditemukan di dalam tas atau di sekitar TKP. Polisi meyakini bahwa dilihat dari kondisi jasad yang sudah mengalami mutilasi dan pembusukan, jasad berkelamin laki-laki itu adalah korban pembunuhan. Tim forensik mencurigai adanya racun pada jasad korban.
Demikian pemirsa, laporan dari tempat kejadian perkara hari ini. Kami akan terus melaporkan perkembangan kasus ini. Sekian dan terimakasih. Saya, Emily Tambayong. Sakura Citra Televisi.”
Edwin mematikan televisi sambil bergidik. Manusia jaman sekarang, semakin hari semakin sadis. Ia berjalan berjingkat menuju jendela dan membuka tirainya sedikit, cukup untuk mengintip ke halaman samping.
Ezar dan Feya duduk di kursi taman di samping kolam ikan. Mereka duduk berjauhan sambil memperhatikan sesuatu di dalam kolam. Edwin menutup tirai. Senyumnya lebar sampai ke pipi. Ia mengelus foto Sitha dan berbisik. “Bu, sebentar lagi kita akan melihat Feya bersanding di pelaminan. Kelak, aku bisa menemuimu dengan perasaan lega.”
%%%%
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top