23. His Pride

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Di sisi lain kota, di pinggiran kota yang tak terjamah, di sebuah perumahan padat penduduk, dua orang laki-laki sedang menguap lebar sambil menunduk, beberapa saat yang lalu saling menyalahkan siapa kali ini yang akan keluar membeli mie instan cup.

Keadaan rumah yang mereka tinggali sangat memprihatinkan. Mirip seperti rusunawa dan bangunannya terlihat sangat kotor. Cat putih yang sudah memudar dan mulai tumbuh jamur-jamur kecil. Hingga lantai yang sepertinya tak pernah terurus sebab sampah dan kotoran lainnya berserakan.

Tapi tidak apa-apa, mereka hanya perlu bertahan di sana. Bersembunyi dari ancaman yang mungkin sedang mengintai. Berbekalkan satu televisi yang sudah hampir rusak, mereka memantau perkembangan berita lewat sana.

“Kadang aku merasa kesal padanya. Tapi di saat seperti ini, aku malah kasihan. Dia memang sering kasar pada kita, memaki bahkan sampai memukul kepala. Tapi lihatlah, dia rela mengorbankan dirinya sendiri di saat pihak kepolisian tahu tentang bisnis ilegalnya.”

“Kau yang sering membuat dirimu dimarahi, Chan. Kalau kau tidak membuatnya marah maka dia tidak akan marah padamu.”

“Sampai kapan kita akan bersembunyi di sini? Jaemin sudah ditahan dan akan segera sidang. Apa kita keluar saja dari sini? Sungguh, aku tidak tahan lagi kalau harus tinggal lebih lama di sini bersamamu. Apalagi aku sudah lost contact dengan Ryujin selama ini. Terakhir kali saat aku memberitahunya tentang kabar Jaemin.”

Renjun melayangkan tatapan tajamnya karena Haechan terus saja menggerutu tentang kapan mereka akan keluar dari sini. Tentang Haechan yang merindukan suara pacarnya dan tentang Haechan yang sudah muak makan mie instan.

“Kau pikir kau saja yang bosan di sini? Aku juga. Tapi ini demi kebaikan kita. Kalau kau keluar sekarang, untuk masalah Jaemin memang selesai. Tapi apa kau pernah berpikir bahwa mungkin saja Pak Jung sedang mencari keberadaan kita?” Renjun melempari kepala Haechan dengan pulpen yang ada di tangannya.

“Sudahlah, aku lapar. Mana uang?” Haechan mengalah dan beranjak, padahal sebelumnya mereka berdebat siapa yang akan keluar membeli kali ini. “Aku saja yang pergi.”

Renjun merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar uang pecahan 10 ribu won. “Beli seperlunya saja. Sepertinya hanya itu uang yang tersisa.”

“Ya,” jawab Haechan seadanya dengan malas. Dia meraih hoodie Renjun yang ada di atas sofa serta topi untuk penyamarannya.

Entah kenapa, saat berdiri di depan pintu, langkahnya terhenti sejenak karena merasakan hawa yang tidak biasa. Seolah ada orang yang berdiri, perasaan tidak enak seolah sedang ditatap. Ya, seperti itu.

Dengan pelan, Haechan meraih gagang pintu lalu membukanya perlahan. Belum terbuka sepenuhnya, pintu itu ditendang dari luar hingga tubuh Haechan terhuyung ke belakang dan berakhir tergeletak.

Shit!” Haechan mengumpat saat pinggangnya terasa nyeri.

Mendengar suara gaduh, Renjun segera meraih sebuah flashdisk yang tergeletak di atas meja dan menjejalkannya ke dalam kantong lalu melangkah menuju suara tersebut.

Begitu muncul, dia langsung membeku dan mengangkat kedua tangannya ketika ditodongkan sebuah pistol. Tatapannya tertuju pada Haechan yang sudah tergeletak. Lalu beralih pada sosok yang berdiri di ambang pintu.

Jung Sungchan.

“Harusnya kau ingat bagaimana perlakuan baik Jaemin padamu dan keluargamu.” Renjun tersenyum sinis.

“Kalau Kak Renjun yang ada di posisiku, maka Kakak juga akan melakukan hal yang sama. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Kak.” Sungchan menunduk sebagai rasa bersalahnya.

Mereka berdua diseret menuju mobil yang sudah terparkir di halaman belakang gedung itu. Memilih untuk tidak melawan, sebab mereka sudah hapal bagaimana cara kerja orang-orang. Melawan, maka mereka pasti akan mendapat pukulan. Jadi lebih baik diam dan ikut, lalu memikirkan bagaimana caranya kabur nanti.

Flashdisknya?” bisik Haechan ketika mereka ada di dalam mobil.

“Sudah.”

Renjun menjawab yakin tanpa tahu bahwa flashdisk itu jatuh dari saku celananya dan berakhir di tangan Sungchan.

Sementara itu, Sungchan meraihnya ketika merasakan sesuatu di dekatnya karena mereka duduk bersebelahan. Tanpa banyak bicara, dia juga menjejalkannya ke dalam saku jaket.

“Bagaimana kau tahu kita ada di sana? Aku rasa hanya aku, Haechan, dan Jaemin yang tahu tempat persembunyian itu?”

“Aku pernah mendengar kalian membicarakannya, jadi aku langsung ingat. Saat ayah memerintahkan mereka untuk mencari kalian, aku langsung memberitahunya.”

Saat mobil itu akhirnya berhenti di kediaman Pak Jung, kedua orang itu langsung diseret menuju dalam. Sama sekali tidak ada perlawanan, mereka benar-benar diam saat diseret, diam saat di dorong hingga bersimpuh di hadapan Pak Jung.

Senyum sinis Pak Jung menyambut mereka. Sungguh, emosi Renjun dan Haechan sudah sampai ke ubun-ubun. Pria itu mendekat lalu tanpa aba-aba menghadiahi satu tamparan keras pada pipi Renjun dan Haechan hingga kedua laki-laki itu sedikit meringis.

“Di mana pun kalian bersembunyi, bahkan di tempat yang terjamah sekalipun, aku pasti bisa menemukan kalian.” Pak Jung beranjak duduk di kursinya. Sementar Renjun dan Haechan masih diam. “Sekarang katakan, apa kalian pernah bertemu dengan Jaemin setelah dia ditahan?”

“Tidak.”

“Jawab jujur!”

“Itu adalah jawaban jujur. Kita memang tidak pernah bertemu dengannya.”

Yang menjawab adalah Renjun, karena Haechan memilih untuk diam. Sangat malas kalau harus berbicara dengan pria itu.

Pak Jung menggeram karena melihat raut wajah datar dan santai dari kedua laki-laki itu. Harusnya mereka akan takut. Ya, harusnya. Tapi mereka malah terlihat santai seolah Pak Jung bukan orang yang pantas ditakuti.

“Ya sudah, lagi pula itu tidak penting. Jaemin akan segera mendapat hukumannya dan kalian juga akan segera musnah.” Pak Jung beranjak dan memerintahkan anak buahnya untuk mengikat mereka berdua. “Aku harus ke kantor untuk mempersiapkan rapat pemilihan CEO baru dan pemegang saham terbesar Asia Pasific Group. Kalian jaga dua orang ini baik-baik. Eksekusi saja sehari setelah rapat.”

Renjun dan Haechan saling tatap dalam diam. Tatapan mereka seolah berbicara.

Hal yang paling ditakuti oleh Jaemin yaitu kehilangan perusahaan itu. Apalagi jatuh ke tangan orang yang salah. Jaemin selalu berbicara tentang hal itu pada mereka. Tentang kebanggaannya akan perusahaan itu. Kini, pria tua itu sudah selangkah lebih maju dan mereka malah terjebak tanpa tahu mau berbuat apa.

“Bagaimana cara menghentikannya?” bisik Haechan pelan setelah Pak Jung pergi bersama Sungchan.

“Pikirkan dulu cara keluar dari sini. Sekarang kau yang harus berpikir karena jika tidak maka kau akan mati sia-sia dan tidak akan pernah bertemu dengan Ryujin lagi.” Renjun membalas sebab tadi, Haechan tidak mau membantunya bicara dengan Pak Jung.

“Sialan!”

“Aku, kalau mati tidak masalah. Tidak akan ada beban pikiran juga. Pacar juga tidak punya. Sedangkan kau, kau sudah menghilang tanpa kabar. Apa kau mau kembali padanya dalam keadaan tidak bernyawa?” Renjun terus memojokkan Haechan.

“Tutup mulutmu! Aku pasti akan memikirkan caranya.”

*

Lemah, letih, lesu, kondisi Lia saat ini sangat mempritahinkan. Terlihat baik-baik saja saat melayani tamu tapi setelah itu kembali muram. Mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja tapi nyatanya tidak baik.

Tiga hari berlalu sejak pertemuannya dengan Jaemin. Pertemuan yang dia anggap akan menjadi batu loncatan untuk kembali menjalin hubungan yang sempat retak, nyatanya menjadi akhir yang tidak diinginkan.

Sepulangnya dari kantor polisi tiga hari yang lalu, Lia bertanya pada Jeno tentang hukuman yang akan didapatkan oleh pengedar barang ilegal. Awalnya Jeno tidak mau jujur karena takut Lia akan sakit hati. Tapi berbohong juga tidak baik. Jadi, Jeno memilih jujur.

“Hukuman paling ringan adalah penjara 4 tahun dan denda, maksimalnya pidana mati. Ya, tergantung seberapa berat kasus yang menimpanya.”

“Dan itu tidak menutup kemungkinan bahwa pidana mati akan diberikan padanya?”

“Iya.”

Kalimat itu kembali terngiang di kepalanya. Lia sudah tak mampu berkata-kata lagi. Sudah tak tahu mau bereaksi seperti apa. Terlalu kaget akan hal yang menimpa Jaemin.

Sejak pertemuan terakhir mereka tiga hari yang lalu, Lia lebih banyak murung. Lebih banyak termenung dan menatapi semua benda yang mengingatkannya pada Jaemin, yang masih ada di apartemennya. Memikirkan dirinya tanpa Jaemin? Oh tidak, Lia tidak akan sanggup.

Mulai dari baju milik Jaemin yang masih ada di lemarinya, parfum serta perlengkapan Jaemin yang ada di meja riasnya, sikat gigi mereka yang bersebelahan di kamar mandi, lalu foto mereka berdua yang masih memakai seragam sekolah serta setelah dewasa yang berjejer di atas nakas samping ranjang.

“Ya Tuhan, aku tidak sanggup. Rasanya menyesakkan,” lirih Lia sambil memegangi dadanya yang mendadak nyeri. Dia duduk di lantai samping ranjang.

Memori sepuluh tahun mereka mendadak datang secara bersamaan. Menghantam kepala Lia tanpa aba-aba. Memori yang tidak sedikit dan semuanya berkesan.

Mengingat janji-janji yang pernah mereka ucapkan satu sama lain saat masih remaja hingga dewasa. Berjanji untuk tetap bersama, selamanya.

“Ya Tuhan, lindungi Jaemin. Mudahkan segala urusannya, ringankan bebannya, kuatkan dirinya. Semoga hukuman yang dijatuhkan padanya tidak berat. Aku yakin dia tidak serius marah waktu itu. Jadi tolong, jangan buat dia kesusahan. Aku akan selalu berdoa yang terbaik untuknya.” Lia memohon dengan linangan air mata.

Lia sedih, Lia sangat menyayangkan apa yang terjadi. Tapi mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi. Tidak akan bisa diulang kembali walaupun menangis darah. Jadi, saat ini, Lia memilih untuk mendoakan Jaemin. Mendoakan supaya semuanya berjalan lancar dan hukumannya ringan.

Lia bangkit, dia tidak mau berlarut-larut. Walaupun masih dilingkupi rasa sedih, dia harus bangkit. Dia harus tetap hidup dan melanjutkan hidup. Dan tentunya terus berdoa untuk satu-satunya lelaki di hidupnya.

Fighting, Lia.” Lia berteriak di depan cermin lalu setelah itu menuju dapur untuk membuat makanan. Saat sadar bahwa perutnya dari tadi berbunyi.

Selagi membuat makanan, Lia menyetel televisi dan sejenak terpaku pada sebuah hot news yang sedang ditayangkan.

Hot news yang berisi tentang nasib perusahaan Asia Pasific Group setelah CEOnya ditangkap atas kasus narkoba. Berita itu sempat membuat Lia tertegun sebab dari yang diberitakan, calon CEO yang digadang-gadang akan menggantikan Jaemin adalah Jung Pilho.

“Pak Jung..” gumam Lia pelan. “Jangan. Ya Tuhan, jangan.”

Lia masih diingat dengan jelas percakapannya dengan Jaemin beberapa tahun yang lalu saat orang tua laki-laki itu meninggal dunia.

“Jangan berlarut-larut ya, sayang. Hidup masih panjang, orang tuamu tidak akan suka kalau kau terus bersedih.”

“Iya, sayang. Aku juga harus mengurus perusahaan yang ditinggalkan oleh ayah. Ayah pernah bilang padaku bahwa dia sangat bangga karena bisa membangun sebuah perusahaan dari kerja kerasnya sendiri, dari nol hingga bernilai miliaran. Jadi, aku juga tidak bisa membiarkan orang lain yang mengurusnya. Harus aku. Aku pun tidak akan membiarkan perusahaan itu jatuh dan akan terus berusaha supaya tetap berjalan lancar.”

“Ya Tuhan, bagaimana ini?” gumam Lia dengan suara yang bergetar. “Ya Tuhan.”

Lia melupakan sejenak apa yang ingin dia lakukan yaitu membuat makanan. Lalu mondar-mandir di ruang tengah sambil menggigit kecil jarinya. Memikirkan apa yang bisa dia lakukan untuk membantu Jaemin. Tapi tidak ada satupun hal yang terlintas di kepalanya.

Lalu sesaat, Lia sadar lagi bahwa Jaemin pasti tidak akan mau dia ikut campur sebab Jaemin tidak suka. Ucapan Jaemin hari itu kembali mematahkan semangat Lia.

Terdengar sangat menyakitkan sampai membuat Lia menangis sesegukan. Sangat tidak menyangka kalimat seperti itu keluar dari mulut seorang Na Jaemin. Tapi, apalah daya, mungkin Jaemin sudah memendamnya dari lama.

**

Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata jadi di bawa santai aja, jangan sampai dibawa ke real life. Thank you.

©dear2jae
2022.03.17 — Kamis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top