17. The Truth
Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Hari ini Lia sudah izin untuk tidak bekerja karena harus menghadiri acara peringatan kematian orang tuanya. Padahal sudah memberitahu Jaemin dari jauh-jauh hari tapi sayangnya laki-laki itu malah ada jadwal juga. Jadi, Lia akan pergi sendiri.
Biasanya dulu, nenek yang selalu hadir karena Lia sibuk sekolah dan bekerja paruh waktu. Lia merasa tidak enak harus melewatkan acara penting itu tapi nenek selalu meyakinkan bahwa doa yang Lia panjatkan dari jauh akan tetap sampai walaupun tidak hadir. Sekarang, setelah nenek pergi, giliran Lia yang harus menghadirinya.
Lia mempoles dirinya di depan cermin dan memastikan dandannya sudah rapi. Lalu tak lupa memakai lipstick untuk mempercantik dirinya. Harusnya Jaemin ikut tapi Lia mengerti dengan banyaknya pekerjaan yang diurus oleh kekasihnya itu. Jadi, lain kali saja.
Begitu selesai dengan dandanannya, Lia segera menuju basement untuk mengambil mobilnya. Mobil yang dia beli dengan hasil kerjanya sendiri, yang dia kumpulkan bertahun-tahun lamanya. Padahal sudah ditawari akan dibelikan oleh Jaemin tapi Lia malah menolak.
Lia menatap satu balasan pesan dari Jaemin karena beberapa saat yang lalu dia memberi kabar bahwa dia akan berangkat.
Lia kembali meletakkan ponselnya dengan senyuman lebar setelah mendapat balasan pesan dari Jaemin. Harinya yang semula suntuk karena Jaemin tidak ikut dengannya, kini jadi lebih berwarna karena Jaemin memberinya satu foto selca.
Ketika akhirnya Lia sampai di lokasi, yaitu tepatnya di perbatasan antara Seoul dan Incheon, Lia segera turun. Semua orang mulai berdatangan ke lokasi acara.
Acara peringatan kematian ini diadakan satu tahun sekali bertepatan pada tanggal tragedi. Yaitu tragedi yang sempat mengguncang seantero kota.
Orang tua Lia adalah seorang buruh bangunan lepas. Waktu itu, mereka sedang bekerja pada sebuah proyek pembangunan gedung hotel berskala besar. Naas, ketika bangunan gedungnya hampir jadi, bangunan itu malah runtuh dan mengenai seluruh pekerja hingga tak ada yang selamat. Termasuk kedua orang tua Lia.
Menurut berita, bahan bangunan yang digunakan kurang kokoh. Ada juga yang mengatakan bahwa perancang gedungnya dan yang menyarankan bahan-bahannya tidak menyarankan yang bagus. Lalu yang terakhir, menurut gosip yang beredar kala itu, ada sebuah tindak korupsi yang terjadi sehingga pengelolaannya kurang.
Dan pihak yang paling disalahkan atas insiden itu adalah perusahaan Asia Pasific Group. Yaitu perusahaan jasa artsitektur milik Na Jaehoon. Karena perusahaan itu yang mengambil proyek gedung hotel tersebut.
“Ya Tuhan, katakan bahwa semua ini mimpi. Tolong.. Tolong bangunkan aku sekarang juga. Aku tidak sanggup..” lirih Lia dengan suara bergetar dan tubuh yang menegang serta air mata yang hendak menyeruak keluar saat dia menatap seseorang yang kini berdiri di balik mimbar besar di hadapannya dan orang-orang.
Suara ketukan mic terdengar beberapa saat sebelum orang yang berdiri di balik mimbar besar itu membuka sambutan.
“Selamat pagi hadirin sekalian. Perkenalkan, saya Na Jaemin. CEO baru Asia Pasific Group yang menggantikan ayah saya yang sudah meninggal dunia.”
Lia menunduk dan mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Tenggorokannya terasa kering, seolah ada sesuatu yang mengganjal sehingga napasnya tercekat.
“Pertama, terima kasih sudah menghadiri acara tahunan ini. Kedua, saya juga ingin meminta maaf terhadap pihak keluarga yang dirugikan atas insiden berpuluh tahun silam. Terkait kompensasi, sudah sepenuhnya diberikan pada pihak keluarga. Untuk itu, mari kita berdoa untuk mendiang korban. Semoga mereka tenang di alam sana.”
Lia masih belum mampu untuk mengangkat kepalanya dan menatap Jaemin yang ada di depan. Jadi ini alasan kenapa laki-laki itu tidak bisa ikut dengannya. Ternyata, tujuan mereka sama. Hanya saja, posisi mereka berbeda. Jaemin sebagai pihak penanggung jawab dan Lia sebagai pihak keluarga korban.
Sekarang Lia paham, kenapa nenek selalu menanyakan apakah tidak ada laki-laki lain selain Jaemin yang bisa Lia pacari.
“Jadi, nenek sudah tahu kalau Jaemin adalah anak pemilik perusahaan yang bertanggung jawab atas kematian ayah dan ibu,” gumam Lia sambil terenyum miris. “Itu sebabnya nenek terlihat sangat tidak setuju aku berpacaran dengannya. Karena nenek tidak mau aku kecewa saat tahu yang sebenarnya?”
Selama ini, Lia hanya tahu kedua orang tuanya meninggal karena insiden di tempat kerja. Lia tidak pernah tahu bahwa insidennya melibatkan perusahaan Asia Pasific Group.
Dari desas-desus yang Lia dengar, perusahaan Asia Pasific Group sempat mengabaikan protes dari pihak keluarga tentang kompensasi. Hingga akhirnya pihak keluarga korban melakukan aksi demo.
Lia tahu tentang insiden itu, tapi Lia tidak tahu bahwa orang tuanya adalah korban dari insiden itu. Karena nenek bilang, orang tuanya meninggal karena insiden lain.
Dan hari ini juga, Lia tahu fakta yang sangat mengejutkan. Orang tuanya meninggal karena kelalaian dari pihak konstruksi bangunan yaitu pihak Asia Pasific Group selaku penanggung jawab proyek pembangunan.
Ucapan nenek kembali mendatangi pikirannya seolah saat ini Lia seperti dipaksa mengingat kembali apa saja yang pernah nenek katakan padanya.
“Apa tidak ada laki-laki lain yang bisa kau jadikan pacar selain dia?”
“Orang tuamu meninggal di tempat kerja. Mereka sempat tidak mendapat keadilan dan akhirnya ditanggapi setelah adanya aksi demo.”
“Apa kau benar-benar mencintainya?”
“Lia, nenek harap kau bisa terus bahagia tanpa pernah sedih lagi. Nenek harap kau akan selalu bahagia dengan pilihanmu.”
Di tengah keramaian dan di tengah kebingisan ini, Lia justru merasa hening. Merasa dirinya tengah duduk seorang diri sambil terus memperhatikan Jaemin yang sedang memberi beberapa ucapan. Sayangnya, semua ucapan laki-laki itu tidak terdengar di telinganya karena pikiran Lia kembali sibuk untuk mengingat sederet kalimat nenek yang bisa dia simpulkan sekarang.
“Jika tidak ada aksi demo, mungkin para korban reruntuhan itu termasuk orang tuamu tidak akan pernah diberi kompensasi. CEO perusahaan itu acuh, bahkan nenek pernah melihatnya pura-pura sedih padahal itu hanya bohongan. Itu terjadi ketika nenek menghadiri acara kemarin, pria itu terlihat sedih saat memberi beberapa sambutan. Tapi saat hendak pergi, dia langsung mengusap kasar air mata palsunya.”
“Berita tentang kelalaian pihak penanggung jawab proyek cuma gempar beberapa saat saja. Setelahnya, semua itu hilang bagai ditelan bumi. Mungkin karena pengaruh besar CEOnya makanya para awak media diberi sejumlah uang supaya menghentikan pemberitaannya.”
“Lalu kau tahu, kita para keluarga korban hanya bisa menerima nasib dan bergosip sendiri. Walaupun sudah berusaha menyebarkan bahwa kinerja mereka buruk tapi itu hanya sampai pada beberapa orang saja.”
Sejak saat itu, pemikiran Lia tentang perusahaan penanggung jawab proyek yang dikerjakan orang tuanya menjadi buruk. Tanpa pernah tahu bahwa perusahaan itu adalah Asia Pasific Group, perusahaan milik kekasihnya saat ini.
Dulu waktu nenek memberitahu, Lia masih kecil. Masih belum paham tentang perusahaan-perusahaan. Tapi saat nenek ingin jujur, ternyata nenek tahu fakta bahwa Lia sedang menjalin hubungan dengan Jaemin, yaitu anak CEO Asia Pasific Group. Jadi, nenek memilih bungkam demi menjaga perasaan cucunya.
Dan satu lagi, ucapan nenek yang bisa Lia simpulkan saat ini.
“Lia, kelakuan seorang anak belum tentu akan menurun dari orang tuanya. Bisa jadi orang tuanya buruk, tapi anaknya baik. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa anaknya akan ikut buruk seperti orang tuanya.”
“Maksud nenek, apa?”
“Nenek hanya memberimu sebuah petuah.”
Jika bahunya tidak disentuh oleh seseorang, maka Lia bisa saja akan tetap duduk di tempatnya saat ini. Kesadaran Lia kembali saat merasakan sentuhan itu lalu dengan segera, Lia mengucapkan terima kasih.
Saat hendak berdiri dan menatap ke depan, saat itu juga pandangannya bertemu tatap dengan Jaemin. Ternyata, Jaemin juga sedang berdiri mematung di tempatnya. Tidak kalah terkejut karena kehadiran Lia di tengah kerumunan para keluarga korban.
Lantas dengan begitu saja, Lia langsung berbalik dan berjalan pergi, menjauh dari area. Bahkan untuk mengharapkan sebuah senyum tipis darinya, itu tidak mungkin.
Lia kecewa. Lia terlanjur kecewa karena mengingat semua keburukan yang pernah nenek ceritakan ternyata keburukan itu ditujukan untuk perusahaan kekasihnya.
“Tunggu!” sebuah genggaman tangan berhasil menghentikan langkah Lia. Tidak lain dan tidak bukan, itu adalah tangan Jaemin.
Laki-laki itu bergegas mengejar Lia dan mengabaikan sahutan asistennya untuk segera kembali ke kantor.
Begitu tubuh Lia berbalik, Jaemin langsung menghela napas kasar saat melihat perempuannya itu menangis.
“Aku antar pulang. Iya?”
“Tidak usah, aku bisa sendiri.”
Lia menolak. Kesal? Tentu saja. Marah? Sudah pasti. Perasaan Lia campur aduk, tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Ingin marah, tapi pada siapa. Ingin kesal, tapi ditujukan untuk siapa. Entahlah, Lia belum bisa berpikir dengan jernih.
“Ku mohon, mau, ya? Aku antar pulang lalu aku akan menjelaskan semuanya padamu. Iya, sayang?”
Lia menggeleng lagi. “Memangnya apa yang mau kau jelaskan? Aku tidak meminta penjelasan apapun.”
“Tuan, kita harus kembali ke kantor. Masih ada rapat yang harus dihadiri setelah ini,” sahut asistennya dari belakang. “Jangan berlama-lama di sini, bisa-bisa nanti mereka marah lagi dan menuntut hal lebih. Apalagi sekarang Asia Pasific Group sudah sangat sukses.”
Kalau bukan di tempat ramai, maka asisten itu bisa dipastikan akan mendapat satu tendangan pada tulang keringnya. Tapi Jaemin berusaha menahan emosinya karena masih ramai.
Sementara itu, Lia tersenyum miris. Dia menarik tangannya yang masih digenggam Jaemin lalu beralih menatap asisten Jaemin.
“Kita tidak akan meminta apa-apa lagi. Beritahu bosmu bahwa dia tidak perlu khawatir akan hal itu.” Lia menatap si asisten tapi ucapan itu jelas ditujukan untuk Jaemin. “Harusnya kau tidak berkata begitu. Bayangkan saja, jasad para korban hanya ditemukan beberapa di antara reruntuhan itu. Aku sendiri bahkan tidak tahu apakah apakah jasad orang tuaku ditemukan atau tidak, aku juga tidak tahu apakah orang tuaku dimakamkan dengan layak atau tidak. Kau tahu, kita hanya ingin keadilan. Kita hanya ingin tanggung jawab dan permintaan maaf dari pihak perusahaan. Sayangnya, kata maaf tidak pernah ada waktu itu. Jika pihak perusahaan melakukan tanggung jawab dengan segera lalu meminta maaf dan melakukan kompenasasi, maka pihak keluarga yang ditinggalkan tidak akan sampai menuntut.”
Asisten itu bungkam, dia baru sadar kalau Jaemin ternyata sedang bicara dengan Lia. Siapa yang tidak tahu Lia, semua orang di perusahaan sudah hapal.
Saat mengucapkan kalimat panjang itu, Lia berurai air mata. Hatinya terasa sakit saat mendengar ucapan asisten Jaemin. Lalu begitu saja, Lia berbalik dan melangkah tapi Jaemin dengan sigap menahan tangannya lagi.
“Sayang.. Ku mohon..”
“Apa lagi? Pergi saja, kembali ke kantormu sebelum kami menuntut lebih..”
“Jangan dengarkan apa katanya, dia hanya asal bicara.”
“Lepaskan aku, lepaskan tanganku. Aku tidak mau berdebat di sini. Aku mau pulang.”
Kali ini, kesabaran Jaemin yang diuji. Tapi dia sadar, dia sedang berada di posisi yang salah. Jadi, dia pun tidak berani bicara apa-apa.
“Aku antar pulang, ya? Lalu setelahnya, kalau kau mau memukulku, memarahiku, silahkan. Iya? Aku antar, ya?”
“Orang kaya memang begitu, ya? Bisa melakukan apa saja seenaknya. Hebat. Kau beruntung, ya, lahir di keluarga yang kaya raya. Bisa melakukan apa saja dengan uang, menghamburkan uang. Orang miskin sepertiku bisa apa? Menuntut keadilan saja diabaikan. Malah jadi pihak yang salah karena terlalu banyak menuntut padahal itu hak kita.”
Jaemin memejamkan matanya sejenak dan berusaha meredam emosinya saat Lia kembali mengungkit perihal latar belakang keluarga.
“Jangan memancing emosiku di sini, Lia.”
“Kalau emosi, kau mau apa? Mau melakukan kekerasan lagi padaku, iya? Lalu nanti meminta maaf, mengancam, dan segala hal yang bisa kau lakukan. Iya?”
Kesal, Jaemin benar-benar merasa kesal mendengar ucapan Lia. Emosinya meluap-luap.
“Tidak, aku tidak akan meminta maaf lagi. Terserah kau mau berpikir apa. Kau pikir aku akan memohon lagi padamu? Tidak, Lia.”
Percayalah, ucapan itu keluar akibat emosi yang menguasai.
Lia tersenyum tipis. “Bagus kalau begitu. Terima kasih sudah mengatakannya. Sepertinya, kita memang tidak bisa bersama. Kita tidak ditakdirkan untuk bersama.”
Lalu, Lia pergi begitu saja. Meninggalkan Jaemin yang masih mematung di tempatnya. Sepanjang perjalanannya menuju mobil, air matanya terus menetes.
Jaemin geming, dia menatap kepergian Lia dengan wajah datar.
**
Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata jadi di bawa santai aja, jangan sampai dibawa ke real life. Thank you.
©dear2jae
2022.03.11 — Jumat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top