16. Need Each Other

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Tiga hari berlalu sejak hubungan Jaemin dan Lia menjadi renggang. Sejak hari itu, tidak ada interaksi sama sekali yang terjadi. Saling hubungi via telepon atau pesan saja tidak apalagi bertemu.

Jaemin tidak langsung berlari mencegat Lia hari itu tapi membiarkan Lia pergi begitu saja. Lia juga tidak berharap akan dikejar karena dia sangat jelas tahu dan merasakan kalau Jaemin semakin berubah. Tidak apa-apa, kalau misalnya Jaemin ingin hubungan mereka berakhir. Tapi yang jelas Lia tidak akan meninggalkan lebih dulu, karena dia sudah berjanji akan selalu ada di samping Jaemin. Tapi jika Jaemin ingin pergi, silahkan. Lia tidak akan menahan.

Jaemin juga semakin disibukkan dengan pekerjaannya, itu sebabnya dia belum menemui Lia untuk meminta maaf.

Perihal kecurigaannya pada Pak Jung semakin hari semakin berlanjut. Apalagi pria itu sudah tidak mendorongnya lagi untuk membalas dendam pada mafia Jepang yang katanya adalah pelaku utama. Setiap kali bertanya sampai mana perkembangannya, Pak Jung selalu menjawab belum menemukan bukti.

“Paman, dari mana Paman tahu kalau mafia Jepang itu pelaku pembunuhan orang tuaku?” celetuk Jaemin saat mereka kini sedang berada di ruang rapat setelah rapat selesai.

Jelas saja Pak Jung langsung menegang karena sangat tidak menduga bahwa Jaemin akan menanyakan hal itu.

“Dia satu-satunya musuh ayahmu dalam berbisnis barang ilegal. Jadi, siapa lagi pelakunya kalau bukan dia.”

“Jadi, ini hanya prasangka saja dan tidak ada bukti jelas kalau dia pelakunya?”

Dengan wajah datar dan suara yang tenang, Jaemin semakin memojokkan Pak Jung yang juga semakin bingung harus menjawab apa.

“Tapi.. Aku heran, kenapa ada perjanjian kerja kalau memang bermusuhan. Bukankah perjanjian kerja dibuat karena memang kedua belah pihak sudah saling mengenal dan tahu satu sama lain?”

“Itu..”

Pak Jung belum sempat menjawab tapi Jaemin tiba-tiba beranjak berdiri dan meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja.

“Maaf, Paman. Aku harus pergi. Kita lanjutkan bicaranya nanti saja.”

“Iya.”

Entah apa tujuan Jaemin dengan terus memojokkan Pak Jung. Tapi yang pasti, Jaemin hanya perlu memastikan satu hal lagi yaitu pelaku sebenarnya dari kematian orang tuanya. Setelah itu, barulah Jaemin akan mengambil keputusan.

Prasangkanya terhadap Pak Jung sangat kuat, tapi buktinya tidak ada. Jadi, Jaemin belum bisa menuduhnya begitu saja. Bukti lain tentang pengkhianatan pria itu seperti tiba-tiba mendatangkan tim audit memang ada. Tapi bukti jelas bahwa dia yang membunuh orang tua Jaemin, belum ada.

Dengan kecepatan tinggi, Jaemin melajukan mobilnya menuju apartemen Lia. Pekerjaan yang diurusnya sudah berkurang jadi sekarang waktunya memohon dan meminta maaf. Semoga masih ada stok maaf untuknya.

Jam menunjukkan pukul lima sore tapi Lia belum juga pulang. Jaemin sudah menunggu sejak tiga puluh menit yang lalu. Hingga akhirnya pada pukul enam sore setelah penantian panjang, Lia pulang.

Jaemin langsung berdiri dan menghampiri Lia tapi Lia acuh dan berlalu ke kamarnya. Rasa kesalnya tiga hari yang lalu masih terasa.

“Jaemin membentakmu, sepertinya dia sangat marah malam itu. Bahkan dia tidak mengejarmu.”

Ucapan Ryujin sejenak terlintas di kepalanya. Mereka berbincang sewaktu istirahat.

“Bagaimana jika dia ingin putus? Katakan saja dia bosan denganmu.”

“Silahkan, tidak apa-apa.”

Mengingat percakapan singkat itu, Lia yang hendak masuk ke kamarnya berbalik sejenak dan menatap Jaemin yang berdiri tepat di belakangnya. Langkah Jaemin semakin dekat tapi Lia juga melangkah mundur.

“Kalau mau putus, silahkan. Supaya tidak ada lagi yang menghalangi jalanmu.”

Bagai disambar petir, Jaemin sangat kaget mendengar ucapan Lia.

“Apa maksudmu?! Aku ke sini ingin meminta maaf bukannya ingin putus!”

“Sekarang kau sering membentak, ya. Nada suaramu tinggi kalau sedang emosi.”

Jaemin membuang napas kasar dan semakin mendekat, dia menarik tangan Lia supaya berhenti mundur. Lia berontak tentu saja tapi Jaemin juga semakin mengeratkan cengkramannya. Entah kenapa, mungkin juga karena masalah pekerjaan, Jaemin sering emosi dan bertindak kasar pada Lia. Padahal kemarin, saat ingin having sex saja, dia meminta izin. Kenapa sekarang malah berubah jadi orang yang kerasukan.

“Makanya, jangan bicara sembarangan kalau tidak mau dibentak.”

“Bukan cuma membentak, tapi kau jadi lebih kasar.” Lia melawan, tidak peduli jika Jaemin akan lebih kasar dari ini. “Lihat, pergelangan tanganku memerah lagi. Bekas tiga hari yang lalu juga masih sampai paginya, sampai Ryujin heran melihatnya. Sakit, Jae. Sakit.”

Bukannya melepas cengkramannya, Jaemin malah semakin menyudutkan Lia hingga punggung perempuan itu terbentur tembok.

“Dengar, aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi dariku. Dulu kau berjanji akan selalu ada di sampingku sebagai ganti karena aku membayarkanmu uang ganti ruginya. Jadi, jangan pernah berpikir untuk pergi dariku. Persetan dengan batas kesabaran yang kau punya karena aku belum kembali menjadi Jaeminmu yang dulu, aku tidak peduli. Intinya, jangan berani pergi dariku atau aku akan lebih kasar dari ini.”

“Bisakah kau lepaskan cengkramanmu? Tanganku benar-benar sakit,” lirih Lia pelan.

Perlahan, Jaemin melepaskan cengkramannya pada tangan Lia. Lia menunduk seraya air matanya yang mulai menetes. Tapi apa? Jaemin hanya diam melihatnya.

Masalah yang rumit dan datang secara bersamaan serta fakta yang mulai terungkap menjadikan Jaemin lebih kasar dari biasanya. Apalagi semuanya belum menemukan titik terang. Ditambah ketakutannya akan kepergian Lia, membuat Jaemin semakin kalut.

Sebenarnya, Jaemin takut Lia akan pergi atau misalnya tiba-tiba hilang dari pandangannya. Itu sebabnya Jaemin menggunakan cara kasar supaya Lia tidak berpikir untuk pergi darinya. Dan yang paling mempengaruhi tindakan kasar Jaemin adalah masalahnya yang sangat banyak.

Lia mengusap air matanya dan mengembuskan napas sejenak. Dengan segala kesabaran yang dia punya, Lia membalas tatapan Jaemin dan memeluknya. Menyandarkan kepalanya di dada bidang Jaemin.

“Aku tahu dan paham kenapa kau bersikap seperti ini. Masalah yang kau hadapi banyak, dan kau takut aku pergi darimu. Aku tidak besar kepala, hanya saja aku merasakannya. Kau bersikap kasar supaya aku tunduk padamu.” Lia membatin seraya mengeratkan pelukannya pada Jaemin.

Kedua tangan Jaemin masih menggantung, dia membiarkan Lia memeluknya. Padahal dia sangat ingin membalas pelukan Lia. Tapi gengsi masih menguasai dirinya.

“Iya, aku tidak akan pergi darimu. Aku pasti akan menepati janjiku padamu untuk selalu ada di sampingmu. Aku hanya ingin kau tetap ingat untuk kembali ke jalan benar, itu sebabnya aku mengancam akan pergi.” Lia memberi sedikit jarak lalu mendongak untuk menatap wajah Jaemin yang lebih tinggi darinya. “Kita saling membutuhkan. Walaupun aku sering mengancammu tapi aku juga tidak ingin kehilanganmu. Aku hanya punya dirimu untuk bersandar, untuk diandalkan, dan untuk segalanya. Jadi, bagaimana mungkin aku pergi di saat aku juga membutuhkanmu.”

Lia ingin mempertegas saat ini bahwa dia tidak akan pergi, bahwa dia akan selalu ada. Supaya Jaemin tidak merasa khawatir lagi.

Kedua tangan Jaemin terangkat dan mengusap sisa air mata Lia yang masih ada di pipi. Lalu perlahan, dia membalas pelukan perempuan itu, mendekapnya dengan erat.

“Maaf, maafkan aku,” bisiknya pelan. “Aku tahu, kau mungkin bosan dan muak mendengarku meminta maaf terus-terusan, tapi aku juga tidak tahu harus bagaimana selain meminta maaf. Maaf karena aku sudah bersikap kasar padamu, maaf karena aku membentak dengan nada suara tinggi, dan maaf karena aku membuatmu menangis.”

Lia melepaskan dirinya dari dekapan Jaemin kemudian mengangguk pelan. Hubungan yang dulunya tidak pernah diterpa masalah apa pun, sekarang malah menjadi hubungan yang rumit dan diterpa banyak masalah.

“Kau sudah makan?”

“Belum.”

“Kau mandi saja dulu, aku akan membuat makan malam.”

“Tunggu.”

Jaemin meraih tangan Lia, kali ini dengan sangat pelan kemudian mendudukkannya di tepi ranjang lalu mengambil kotak obat yang ada di dalam laci nakas samping ranjang.

Isinya ada berbagai macam obat-obatan. Mulai dari penurun demam, obat flu, batuk, nyeri, dan sebagainya. Bahkan segala jenis salep ada di sana. Jaemin sengaja menyetok segala jenis obat-obatan untuk Lia.

Tangannya dengan telaten membuka tutup salep lalu mengoleskannya pada pergelangan tangan Lia dengan pelan. Sesekali meniupnya supaya salepnya cepat kering.

“Jangan masak, nanti pergelangan tanganmu tambah sakit. Kita pesan saja caranya.”

“Aku tidak apa-apa.”

“Jangan membantah.” Jaemin menutup kembali salepnya lalu meletakkan kotak obat itu ke tempat semula. “Cepat mandi dan ganti bajumu. Aku akan memesan makanan.”

Jika sedang dalam mode kerasukan setan, Jaemin bisa sangat kasar. Tapi jika dalam mode malaikat, woah, tidak ada yang bisa menandingi betapa lembut perlakuannya pada Lia.

“Ayo sama-sama..” gumam Lia, hampir tidak kedengaran karena dia pun merasa malu untuk mengatakannya.

“Apa? Aku tidak dengar, coba katakan sekali lagi?”

Hm, tidak ada. Aku mau mandi dulu, iya, aku bilang begitu.”

Tentu saja Jaemin mendengarnya dengan jelas, senyum tipis terukir di bibirnya dan segera saja dia menarik tangan Lia untuk menuju kamar mandi.

Ketakutan akan kepergian Lia membuat Jaemin jadi agak kasar dalam menjalin hubungan akhir-akhir ini. Ditambah banyaknya masalah yang datang secara bersamaan.

Kecurigaannya terhadap banyak hal memang sudah terbukti, apalahi terhadap Sungchan. Tapi kecurigaannya terhadap Pak Jung hanya bisa dibuktikan dengan secarik kertas yang ada di dalam lipatan berkas perjanjian kerja ayahnya dan mafia Jepang itu. Ya, Jaemin akan membuktikannya sebentar lagi.

Berendam air hangat ditemani lilin wewangian memang menjadi healing yang paling sederhana untuk Lia. Apalagi jika bersama Jaemin, seperti sekarang ini, rasanya nyaman. Bahkan dia hampir terlelap.

“Besok, ya. Temani aku ke acara peringatan kematian orang tuaku. Acaranya besok.”

“Ya Tuhan, sayang. Kau serius acaranya besok?”

“Iya. Kenapa?”

“Aku ada acara. Ada kegiatan juga jadi..”

Lia menyandarkan kepalanya di dada Jaemin dan menyamankan dirinya. Dia mengangguk pelan saat mengerti apa yang akan dikatakan Jaemin.

Padahal rencananya Lia juga ingin mengenalkan Jaemin pada orang tuanya. Tapi sayangnya, Jaemin ternyata ada jadwal juga besoknya.

“Iya, tidak apa-apa. Aku bisa pergi sendiri.” Lia mengubah posisinya menjadi menyamping dan mendongak sedikit untuk menatap wajah Jaemin dari samping. Lalu tak lama, dia tertawa kecil yang langsung membuat Jaemin heran. “Anak SMA yang dulunya selalu mengikuti ke mana pun aku pergi, ternyata sekarang sudah besar, ya. Sudah bisa menguasai segala-galanya.”

“Kau berniat menyanjung atau meledek?”

“Keduanya.” Lia terkekeh lagi. “Apa kau ingat dulu, waktu kau sering menungguku pulang kerja part time? Padahal aku sudah menyuruhmu pulang tapi kau tidak mau. Kau itu manja, maunya dibawakan bekal terus. Kau juga sering bertanya tentang tugas, bukannya mau diajari tapi maunya dikerjakan. Bisa dibilang, kau dulu tidak mau jauh-jauh dariku.”

Sekelebat kenangan semasa SMA mereka kembali tercetak dengan jelas. Bagaimana dulunya Jaemin begitu polos mengikuti ke mana Lia pergi.

“Ah, satu lagi.. Kau juga sering minta untuk disuapi seperti anak-anak.”

“Sampai sekarang aku juga tidak mau jauh-jauh darimu dan sampai kapan pun aku tidak akan pernah mau.” Jaemin menunduk lalu mendaratkan satu kecupan kecilnya pada kening Lia. “Kau tahu apa perbedaan yang paling mencolok dari hubungan kita yang dulu dan sekarang?”

“Apa?”

“Dulu, hubungan kita sebatas saling kecup satu sama lain. Untuk menciummu saja aku kadang masih takut-takut. Sekarang, tidur bersama pun sudah. Sudah melihat tubuh telanjang masing-masing. Seperti sekarang ini..” bisik Jaemin pelan yang sukses membuat Lia merasa malu.

Lia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Jaemin dan melayangkan satu cubitan pada lengan Jaemin.

Jaemin meraih dagu Lia dan membuatnya mendongak lalu menghujani wajah Lia dengan banyaknya kecupan.

**

Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata jadi di bawa santai aja, jangan sampai dibawa ke real life. Thank you.

©dear2jae
2022.03.10 — Kamis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top