13. He's Not Okay

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Hari minggu biasanya Lia akan lari pagi di sekitaran taman yang ada di seberang jalan. Bersama banyaknya orang-orang yang melakukan hal yang sama. Lia sering mengajak Jaemin, sayangnya Jaemin lebih memilih untuk tetap meringkuk di balik selimutnya dari pada harus bangun pagi untuk olahraga.

Suasana selalu ramai karena itu merupakan tempat populer bagi semua kalangan. Jalan santai hingga lari. Ada yang berpasangan bersama kekasih, keluarga, teman, dan banyak lagi.

“Lia..” perhatian Lia teralihkan, dia sedang duduk istirahat di sebuah kursi kayu untuk sejenak mengambil napas.

Mata Lia berbinar-binar ketika menatap orang yang memanggilnya. Ternyata dia adalah Bibi Park, tetangga sewaktu masih tinggal di rumah lama bersama nenek dulu.

“Astaga, Bibi. Apa kabar?” Lia langsung menyambutnya dengan girang karena memang sudah lama tidak bertemu.

“Baik-baik saja. Kau sendiri bagaimana? Masih berpacaran dengan anak orang kaya itu?” tanya Bibi Park yang sukses membuat semburat merah di pipi Lia. Rasanya senang saat ada yang menyinggung soal Jaemin di depannya.

Lia mengangguk. “Aku baik, Bi. Aku juga masih pacaran dengannya.”

Bibi Park memanggilnya begitu sebab nenek juga sering memanggilnya begitu. Padahal Lia sudah memberitahu namanya. Na Jaemin. Tapi nenek dan Bibi Park seolah menggoda Lia dan enggan menyebut nama Jaemin.

“Nanti kalau menikah, jangan lupa undang Bibi, ya. Tapi kalau memang orang seperti Bibi tidak bisa masuk, tidak apa-apa. Nanti Bibi bisa melihat dari luar.”

“Bibi..” Lia berhamburan memeluk Bibi Park. Kadang, saking baiknya Bibi Park, wanita itu sering membuatkan beberapa lauk untuknya dan nenek kalau tidak sempat. “Bibi kenapa bisa ada di sini?”

“Ada urusan dan sekalian jalan-jalan pagi supaya sehat. Ternyata bertemu denganmu. Syukurlah kau baik-baik saja, Bibi tenang.” Bibi Park mengusap pelan kepala Lia. “Oh ya, apakah kau yang akan pergi ke acara peringatan kematian itu?”

Lia mengangguk. “Biasanya nenek yang selalu pergi karena aku sibuk sekolah dan bekerja dulu. Tapi sekarang nenek sudah pergi, jadi aku yang harus pergi. Nanti aku akan mengajak Jaemin untuk menemaniku.”

“Iya, ajak saja. Kau harus memperkenalkan dia pada orang tuamu. Dia, kan, calon suamimu jadi orang tuamu harus tahu.”

Lagi-lagi, Lia sukses tersenyum lebar karena ucapan Bibi Park yang menyinggung tentang Jaemin. Apalagi saat ada kalimat calon suami. Senyuman Lia semakin merekah.

Setelah berbincang cukup lama, Bibi Park pamit karena ada urusan penting lainnya dan Lia juga segera kembali ke apartemen. Hari ini rencana dia akan ke grocery shopping untuk membeli bahan masakan karena persediaan di kulkas sudah menipis.

Ketika sedang bersiap, ponselnya berdering. Ada balasan pesan dari Jaemin karena sebelumnya Lia mengirim pesan berisi ajakan.

“Pak Kim menunggumu di lobi. Pergi bersamanya, hari ini aku sedang malas keluar. Aku ingin tidur seharian penuh. Kalau pulang jangan lupa mampir ke sini, aku membutuhkanmu.”

Lia menggerutu. Jaemin sepertinya sedang ada masalah karena untuk pertama kalinya dia menolak ajakan Lia. Padahal walaupun hanya sekadar membeli es krim di mini market depan gedung apartemen, Jaemin harus ikut.

Sesuai isi pesan Jaemin, Pak Kim sudah menunggu di lobi. Lia sering bertemu Pak Kim di mansion kalau mampir, jadi tidak sulit bagi Pak Kim untuk mengenali Lia.

“Nona, sepertinya Tuan Jaemin sakit. Bibi Kim beberapa kali membawakannya makanan dan obat ke kamar. Mungkin itu sebabnya Tuan Jaemin menyuruh saya mengantar Nona.”

“Iya, Pak. Nanti mampir ke mansion sebentar ya kalau pulang. Aku akan melihat kondisinya.”

“Baik, Nona.”

Jaemin itu selalu memberitahu perihal kedatangan seseorang untuk membantunya. Jadi, Lia merasa berat hati kalau harus menolak dan menyuruh mereka kembali. Seperti Pak Kim sekarang ini.

Sepanjang perjalanan suasana hening karena tidak ada topik yang bisa Lia bicarakan dengan Pak Kim. Hingga mereka sampai di grocery shopping.

Lia kaget karena Pak Kim tiba-tiba meraih troli belanjaannya lebih dulu. “Pak, biar aku saja. Bapak bisa tunggu aku.”

“Saya saja, Nona. Tuan Jaemin sudah memerintahkan saya untuk menemani Nona Lia ke mana pun dan membantu Nona Lia.” Pak Kim tersenyum kecil.

Lia mengangguk mengiakan, karena kalau menolak lagi dan Jaemin tahu maka mereka yang akan mendapat omelan.

Selagi Lia memilih bahan masakannya, Pak Kim setia mendorong trolinya. Lia banyak mengambil sayur-sayuran dan buah-buahan serta beberapa daging.

Saat hendak berbelok, Lia tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang hingga satu bungkus wortel yang ada di tangannya berceceran di lantai.

“Astaga, maaf.” Lia berjongkok untuk memungut wortelnya.

“Aku juga minta maaf. Tadi aku sempat tidak memperhatikan jalan karena fokus pada sesuatu,” ujar laki-laki itu. Dia juga ikut berjongkok dan membantu Lia memungut wortelnya. “Bisakah kau merekomendasikan jajanan Korea yang enak?”

Lia mengerutkan alis bingung.

“Begini, aku sudah lama tinggal di Jepang dan tidak pernah ke Korea. Itu sebabnya aku sekarang kurang tahu jajanan yang enak,” ujarnya memberi penjelasan.

“Oh, begitu. Ok, kau bisa mengikutiku. Nanti di depan sana banyak stand jajanan yang bisa kau coba.” Lia menunjuk ke arah kasir karena di sampingnya banyak stand makanan.

Pak Kim masih setia mengikuti ke mana Lia pergi karena memang itu tugasnya. Bahkan Lia ikut menyodorkan jajanan yang dia beli bersama laki-laki itu.

Selesai berkeliling dan membayar ke kasir, Lia akhirnya pulang bersama Pak Kim. Dia juga harus mampir ke mansion sebelum hari mulai sore.

Sepertinya ini pertama kalinya Lia kembali menginjakkan kaki. Terakhir kali dia ke sini sekitar satu bulan yang lalu. Benda-benda yang ada di ruang tamu berbeda dengan yang dilihatnya bulan lalu.

“Nona.. Selama satu bulan kemarin, kita mengganti benda dan hiasan hampir sepuluh kali. Nona tahu sendiri kalau Tuan Jaemin marah maka sasarannya pasti benda pecah belah,” sapa Bibi Kim pada Lia yang baru masuk.

“Maaf, Bi.” Lia tersenyum kecil karena dia tahu sebab marahnya Jaemin yaitu karena dirinya.

“Tidak apa-apa. Tuan Jaemin ada di kamarnya, ya. Nona langsung ke atas saja.”

“Iya, Bi.”

Lia segera menaiki anak tangga satu persatu untuk menuju lantai dua. Kamar Jaemin terletak di ujung. Tapi untuk sampai sana, Lia lumayan lelah karena besarnya ukuran mansion ini.

Sebelum masuk, Lia mengetuk dua kali tapi tidak ada sahutan. Lalu Lia memilih untuk langsung masuk, siapa tahu Jaemin sedang di kamar mandi.

“Kenapa wajahmu terlihat menyeramkan? Kau tidak senang aku datang?” tanya Lia saat mendapati Jaemin sedang duduk di pinggir ranjang dengan wajah datar.

“Siapa yang kau temui di grocery shopping tadi?” tanya Jaemin.

“Sia... Oh, katanya dia tinggal di Jepang dan tidak pernah ke Korea. Dia mau direkomendasikan jajanan Korea.”

“Kenapa mau? Kau bisa menolak permintaannya tapi kenapa malah mau?”

Pikiran Lia seketika tertuju pada Pak Kim. Hm.. Siapa lagi yang akan memberitahu Jaemin kalau bukan Pak Kim.

“Kasihan, kalau aku..”

“Aku tidak suka.” Jaemin menyela dan menarik tangan Lia hingga perempuan itu duduk di sampingnya. Jaemin segera memeluknya, dengan erat. “Aku tidak suka kau membantu orang lain. Aku tidak suka kau bicara dengan laki-laki lain. Aku tidak suka.”

“Iya, maaf.”

“Aku tidak mau memaafkanmu kecuali malam ini kau mau menginap di sini.”

Usianya sudah dewasa tapi tingkahnya masih saja seperti anak kecil. Selalu punya cara supaya Lia mau berdiam lebih lama di mansionnya. Ya, itulah Jaemin. Sebab, dia dituntut untuk menjadi dewasa lebih cepat karena urusan perusahaan dan pekerjaan yang ditinggalkan ayahnya.

“Kenapa tubuhmu terasa panas?” tanya Lia, berusaha mengalihkan pembicaraan. “Pak Kim bilang Bibi Kim membawakanmu makanan dan obat ke sini. Apa ada masalah yang kau pikirkan akhir-akhir ini?”

“Menginap, ya?” bisik Jaemin pelan. Masih belum menyerah untuk membujuk Lia. “Menginap maka aku akan sembuh.”

Lia terkekeh pelan. “Besok hari senin, aku harus cepat berangkat kerja. Jadwalku dari pagi sampai sore.”

Jaemin menggeleng dan semakin mendekap Lia. “Apa aku perlu membeli hotelnya supaya kau bisa bebas pergi kerja atau tidak? Hm.. Katakan saja. Nanti aku akan bicara dengan pemiliknya.”

“Tadinya aku sempat berpikir untuk menginap tapi kau malah bicara untuk membeli hotelnya. Ya sudah, tidak jadi.”

“IYA, OK. MAAF. Jangan pulang dan menginap saja di sini semalam. Besok pagi-pagi Pak Kim akan mengantarmu pulang.”

Jaemin benar-benar terlihat sedang tidak baik-baik saja saat ini. Mungkin karena masalah Sungchan, masalah audit yang tiba-tiba, lalu muncul sedikit kecurigaan pada Pak Jung tapi Jaemin belum mau percaya. Saat ini, Jaemin hanya sedang shock karena masalah yang datang silih berganti. Belum lagi masalah balas dendamnya yang terhambat karena belum menemukan titik terang. Ya Tuhan, Jaemin pusing.

“Bisakah kau membagi permasalahanmu saat ini padaku? Aku ingin membantu kalau bisa. Kau terlihat suntuk akhir-akhir ini, seperti ada masalah yang serius. Tapi kalau memang tidak mau, tidak apa-apa. Aku yakin kau bisa menyelesaikannya. Bagi saja masalahnya dengan Haechan atau Renjun, mereka pasti akan membantumu.” Lia mengusap pelan punggung Jaemin.

“Tidak ada apa-apa, aku hanya sedang lelah dan ingin beristirahat sejenak. Lagi pula kalau ada, aku tidak akan membaginya denganmu karena aku tidak mau membuatmu ikut pusing, sayang.” Jaemin melepas pelukannya dan menatap Lia. “Cukup kau tetap ada di sisiku dan mendukungku.”

“Tapi aku tidak bisa terus ada di sampingmu selamanya jika kau tidak bisa kembali padaku menjadi Jae..”

“IYA, SAYANG, IYA.” Jaemin menyela, lagi-lagi Lia selalu bisa mengingatkannya akan hal itu. Dia beranjak berdiri dan mendorong tubuh Lia. “Cepat ganti bajumu lalu turun ke bawah, kita makan malam bersama.”

“Aku mau menginap tapi janji ya, jangan macam-macam padaku.” Lia memicingkan matanya. “Jangan pura-pura tidak tahu, kau tahu maksudku.”

“Kalau misalnya aku tidak sadar dan macam-macam padamu?”

“Aku akan langsung pulang. Walaupun jam sudah menunjukkan pukul dua pagi.”

Jaemin membuang muka dan terkekeh pelan. Dia mengangguk, mengiakan. Padahal dia sudah menantikan hal ini yaitu saat Lia menginap di mansionnya dan mereka menghabiskan waktu bersama.

“Gagal,” gumam Jaemin pelan.

“Dia tidak baik-baik saja tapi pura-pura tidak ada yang terjadi,” gumam Lia pelan seraya berjalan menuju lemari pakaian.

*

Keesokannya, Lia benar-benar pulang begitu dia bangun pada jam enam pagi. Padahal Jaemin nyaman meringkuk di sampingnya. Terpaksa, Jaemin juga ikut bangun.

“Kau yakin tidak mau sarapan dulu?”

“Tidak usah, nanti saja.”

Jaemin mengangguk dan melambaikan tangannya. “Hati-hati, Pak. Jangan terlalu ngebut,” pesannya pada Pak Kim.

Setelah Lia pergi, Jaemin yang hendak melangkah kembali masuk berhenti saat merasakan ponselnya bergetar.

Tadinya dia mau mengumpat, mencaci siapa yang berani mengusik paginya. Tapi matanya seketika memicing saat membaca pesannya.

“Aku mendapat panggilan dari pihak kepolisian bersama Haechan. Dijadwalkan datang pagi ini. Entah apa masalahnya, yang pasti kita tahu saat kita sampai nantinya.”

Itulah isi pesan dari Renjun.

“Sialan!” pekik Jaemin dan segera bergegas ke kamarnya untuk bersiap-siap. “Ya Tuhan, apa lagi kali ini!”

**

Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata jadi di bawa santai aja, jangan sampai dibawa ke real life. Thank you.

©dear2jae
2022.02.27 — Minggu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top