10. Overlapping

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Pak Jung menggeram kesal ketika beberapa saat yang lalu mendapat kabar bahwa Jaemin akan kembali besok pagi ke Seoul karena Lia ikut ke Jeju. Jadi, mereka liburan sehari setelah jadwal Jaemin selesai.

“Padahal aku sudah memberinya peringatan, kenapa malah semakin menjadi? Sialan, bisa-bisa dia benar-benar menjadi penghalang nantinya,” gerutunya sembari menyalakan rokok. “Lagi pula apa yang dilihat Tuan Jaemin darinya? Kaya, tidak. Latar belakang keluarga, miskin. Bahkan orang tuanya hanya bekerja sebagai kuli bangunan dulunya. Apa aku perlu merekomendasikan beberapa perempuan untuk Tuan Jaemin?”

“Coba saja. Laki-laki sekarang selalu tertarik untuk selingkuh walaupun pasangannya sudah lebih dari cukup. Pasti Tuan Jaemin akan mau,” sahut Pak Lee, temannya. Mereka sama-sama mengurus beberapa pekerjaan.

Suara ketukan pintu membuat perhatian mereka teralihkan. Renjun masuk setelah beberapa saat yang lalu dipanggil oleh Pak Jung untuk bicara.

Pak Lee beranjak dan memberi dua orang itu ruang untuk bicara.

“Ada apa, Pak?” tanya Renjun seraya beranjak duduk.

“Apa Tuan Jaemin menyuruhmu mencari tahu tentang mafia Jepang itu?” Pak Jung balik bertanya dan beranjak duduk di hadapan Renjun.

Renjun mengangguk pelan. “Iya, tapi saya belum menemukan apa-apa. Informasi tentang mereka masih minim. Seolah memang sedang disembunyikan. Saya sudah mencari tahu bahkan pernah terbang ke Jepang tapi hasilnya nihil.”

“Hati-hati, jangan terlalu memperlihatkan dirimu atau kau bisa berada dalam bahaya,” sahut Pak Jung seraya meneguk teh hangatnya. “Pikirkan juga keselamatanmu. Jangan sampai kau kehilangan nyawa karena ketahuan.”

“Baik, Pak. Terima kasih nasihatnya.”

“Bagaimana dengan perkembangan usahanya?”

“Sejauh ini tetap lancar. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini jadwalnya selalu tumpang tindih dengan jadwal mereka. Padahal sebelumnya tidak pernah begini. Biasanya kita akan mengambil minggu pertama dan kedua di satu bulan ini, lalu mereka minggu ketiga dan keempat. Tapi hampir dua bulan ini, kita selalu bentrokan dengan mereka,” jelas Renjun terkait situasi yang mereka alami saat ini. “Biasanya kalau ada masalah seperti ini, pihak mereka akan menemui kita dan berkoordinasi bagaimana baiknya. Tapi dua bulan sudah, tidak ada tanda-tanda mereka akan bergerak. Padahal saya juga menunggu kedatangannya supaya saya bisa sedikit bertanya tentang ketua mereka.”

Pak Jung mengangguk paham. “Baiklah, hati-hati kalau begitu. Koordinasikan saja bersama yang lain bagaimana baiknya selagi menunggu Tuan Jaemin kembali dari Jeju.”

“Baik, Pak.”

Renjun segera keluar dari ruangan Pak Jung dan segera menemui Haechan yang menunggunya di dalam mobil. Mereka datang berdua tapi Haechan tidak mau ikut masuk sebab dia tidak terlalu menyukai Pak Jung. Menurut Haechan, Pak Jung terlalu mencampuri urusan Jaemin. Ya, walaupun Haechan tahu tindakan Pak Jung itu didasari karena amanat dari mendiang ayah Jaemin.

“Bagaimana?” tanya Haechan saat Renjun sudah masuk. “Apa kau bisa menahan emosimu?”

Renjun terkekeh, entah kenapa setiap kali bicara dengan pria itu, emosi Renjun kadang naik turun. Ucapannya kadang membuat emosi.

“Dia hanya bertanya tentang perkembangan usaha dan informasi mengenai mafia Jepang itu,” sahut Renjun.

“Bicara tentang mafia Jepang itu, bukannya dari dulu mereka adalah saingan terbesar dari Tuan Na Jaehoon dalam mengembangkan usaha pengedaran barang-barang terlarang. Setahuku, tidak pernah ada masalah dengan mereka. Tapi kenapa saat Jaemin sudah mengambil alih, masalah datang bertubi-tubi apalagi kasus kematian orang tua Jaemin. Kalau memang karena iri, kenapa harus dengan cara membunuh ketuanya yaitu Tuan Jaehoon? Mereka pasti akan melakukannya dari hal kecil seperti mematikan usaha Tuan Jaehoon terlebih dulu. Mereka tidak mungkin mengambil keputusan secara gegabah.” Haechan terus berceloteh sepanjang perjalanan.

“Kau benar, mereka tidak mungkin sebodoh itu dalam bertindak. Apalagi secara terang-terangan menunjukkan diri bahwa mereka pelakunya.” Renjun ikut berpikir sejenak. “Coba nanti kita bicarakan masalah ini dengan Jaemin.”

*

Tatapan Jaemin tak pernah lepas dari Lia yang saat ini sedang bermain-main di bibir pantai. Setiap harinya, perasaannya untuk Lia selalu bertambah. Tidak pernah sekalipun merasa bosan walaupun sudah bersama selama sepuluh tahun.

Bagaimana Jaemin tidak semakin menyayanginya, Lia itu tidak pernah menuntut banyak hal. Tidak pernah bertanya bagaimana kelanjutan hubungan mereka, dalam artian ke jenjang yang lebih serius seperti pernikahan. Jaemin juga tahu, Lia belum mau menikah dengannya sebelum dia kembali menjadi Jaemin yang dulu.

“Ayo menikah,” ujar Jaemin waktu itu.

“Aku ingin kau kembali menjadi Jaeminku yang dulu, baru aku mau menikah denganmu,” jawab Lia.

Lia itu sabarnya luar biasa dalam menghadapi sifat dan sikap Jaemin. Seharusnya Jaemin akan takut melakukan hal-hal menyimpang kalau tidak ingin Lia meninggalkannya. Tapi Jaemin belum bisa tenang sebelum membalas perbuatan mereka yang membunuh orang tuanya.

Ketika Lia sedang asik bermain dengan air, Jaemin beranjak dari duduk tenangnya lalu menarik tangan Lia.

“Kita kembali ke villa, kau bisa bermain air di kolam renang yang ada di sana. Walaupun kau tidak pakai baju sekalipun, tidak akan ada yang melihatmu selain aku. Pakaianmu saat ini terlalu terbuka, aku tidak suka orang-orang melihat tubuhmu.” Jaemin menyeret Lia dengan paksa padahal Lia sedang asiknya bermain air di bibir pantai.

“Apanya yang terbuka, ini wajar dari pada aku memakai bikini.” Lia menggerutu sembari berusaha menyamakan langkahnya dengan Jaemin. “Padahal sedang asik, kenapa malah mengajakku kembali. Memangnya tadi siapa yang mengajakku keluar juga?”

Jaemin berdecak dan menyentil dahi Lia pelan. “Sudah sore, sebentar lagi makan malam. Udara semakin dingin, itu sebabnya aku mengajakmu kembali. Besok main lagi sebelum pulang kalau mau.”

“Tadi aku melihatmu bicara dengan seseorang. Siapa?”

“Pemilik salah satu hotel terbesar yang ada di sini. Dia tahu aku datang ke Jeju makanya tadi mampir sebentar selagi dia ada kegiatan di dekat sini. Dia mengajakku makan malam bersama tapi aku menolak karena aku tidak mau diganggu saat bersamamu.”

“Hebat ya, relasimu ternyata seluas ini. Kau mengenal banyak orang-orang penting dari berbagai kota.” Lia mengacungi Jaemin dua jempolnya.

Jaemin terkekeh. “Apa kau bangga padaku?”

“Selalu bangga. Tapi tidak dengan pekerjaan berbahaya yang kau lakukan saat ini.”

Langkah Jaemin terhenti ketika hendak naik ke lantai dua. Dia berbalik dan menatap Lia dalam diam. Sementara Lia mendongak lalu mengulas senyum tipis kemudian menyela tubuh Jaemin dan berjalan lebih dulu menuju lantai dua.

Maksud dan tujuan Lia selalu menyinggung tentang hal itu karena Lia ingin Jaemin tidak lupa. Lia ingin Jaemin terus ingat bahwa dirinya masih punya janji untuk kembali pada Lia menjadi Jaemin yang dulu. Menjadi Jaemin versi terbaik yang pernah Lia temui.

“Sayang..” sahut Jaemin ketika Lia berdiri di balkon kamar.

Hm?” balas Lia sambil menoleh.

“Aku menyayangimu, mencintaimu. Itu akan selalu. Sampai kapan pun.”

“Aku juga. Tapi kau tahu bukan, ada yang namanya batas kesabaran? Walaupun aku sangat menyayangimu dan mencintaimu tapi kalau aku sudah bosan karena kau tidak mau kembali ke jalan yang benar, maka aku bisa pergi kapan saja. Aku bisa terus menyayangimu walaupun kita tidak bersama lagi.”

Jaemin mengangguk lalu merengkuh tubuh Lia ke dalam pelukannya. Bagi Jaemin, itu merupakan jurus yang ampuh kalau Lia sedang dalam mode serius seperti ini. Lalu Jaemin akan menghujani pipi Lia dengan kecupannya supaya Lia tidak marah-marah lagi.

*

Haechan melempari papan nama Jaemin yang ada di atas meja dengan ampas kacang yang dia makan saat ini. Merasa kesal karena laki-laki itu kini sedang asik berlibur bersama Lia sedangkan dia malah sibuk mengurus pekerjaan yang ada. Apalagi beberapa saat yang lalu, Ryujin menghubunginya dan mengeluh bahwa jam kerjanya sedikit bertambah karena Lia libur.

“Chan, besok ada barang yang datang, ya?” tanya Renjun sembari membolak-balik beberapa berkas.

“Iya, bukan obat-obatan tapi senjata api. Jenis Steyr SSG 69 dari Austria. Konsumen Thailand memintanya secara khusus,” sahut Haechan.

“Itu artinya akan langsung dikirim kembali ke Thailand. Jadi, kita hanya perlu memastikan jumlah serta kondisinya. Ok.” Renjun bergumam pelan sambil menandai beberapa poin dalam berkasnya. “Lalu, sisa obat-obatan yang ada di gudang akan di pasarkan mulai besok, kan? Besok tanggal satu, minggu pertama giliran kita.”

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian mereka. Ternyata yang datang adalah Sungchan.

“Ada apa?” tanya Renjun.

“Pihak mafia Jepang itu akan mengambil giliran pada minggu ketiga dan keempat untuk memasarkan barang mereka. Tadi aku bertemu dengan perwakilannya di bandara.” Sungchan memberi kabar.

Seketika Renjun berdiri. “Di mana dia sekarang?”

“Sudah kembali ke Jepang.”

“Sialan!” pekik Renjun sambil memijit kepalanya. “Kenapa kau tidak memberitahuku kalau mau bertemu dengannya? Kenapa juga kau tidak memberi kabar kalau ada janji dengan mereka?”

Haechan menatap dua orang itu secara bergantian. Sungchan dengan raut wajah bersalah sementara Renjun dengan raut wajah kesal.

“Maaf, aku lupa. Aku benar-benar lupa karena dia buru-buru. Dia tidak bilang apa-apa, hanya menyampaikan kalau mereka akan mengambil giliran pada minggu ketiga dan keempat. Dia juga bilang, jangan sampai tumpang tindih lagi,” jelas Sungchan sambil menunduk.

Renjun kembali duduk dan menunduk kemudian mengembuskan napas kasar berkali-kali. Renjun kehilangan kesempatan untuk bertanya mengenai ketua mafianya.

“Sungchan, kau keluar saja kalau sudah selesai,” sahut Haechan.

“Iya.”

Setelah Sungchan keluar, Haechan beranjak duduk di hadapan Renjun dan meletakkan sebotol air mineral.

“Nanti saja, masih ada kesempatan. Tenangkan dirimu, jangan sampai terlalu memarahinya. Biar bagaimana pun juga, dia adalah anak Pak Jung. Kau tahu sendiri Jaemin sangat menghargai Pak Jung karena dedikasinya begitu besar pada keluarga Jaemin,” ujar Haechan.

“Iya.”

*

Sapporo, Jepang.

Tuan Lee, begitu panggilan akrabnya dari anak buahnya. Pria paruh baya itu kini sedang duduk di balik kursi kebesarannya. Sesekali mengelap jam tangan kuno yang berharga miliaran itu dengan hati-hati. Tuan Lee punya darah korea dari pihak ayah, itu sebabnya marganya Lee.

Interior ruangan yang dipenuhi barang-barang antik, mulai dari hiasan dinding, meja kerja, sofa, hingga beberapa vas bunga yang ada di sudut meja.

“Tuan, Xiao Dejun sudah kembali dari Seoul. Dia sudah menginformasikan pada pihak Tuan Na tentang pemasaran kali ini,” salah satu anak buahnya melapor.

Tuan Lee megangguk pelan. “Bagaimana perkembangannya sejauh ini?”

“Lancar, Tuan. Tapi.. Sejak Tuan Na meninggal dunia dan diambil alih oleh anaknya yang seumuran dengan anak Tuan, entah kenapa pemasarannya sering tumpang tindih. Padahal saya ingat dengan jelas perjanjian yang anda buat dengan Tuan Na.”

Hm.. Apakah Dejun melakukan pekerjaannya dengan benar? Siapa tahu Dejun salah menginformasikan pada pihak mereka. Tanyakan pada Dejun dengan jelas.”

“Baik, Tuan.”

Tuan Lee menarik laci mejanya lalu mengeluarkan satu buah berkas dan menatapnya lamat. Sebuah berkas perjanjian dengan Tuan Jaehoon beberapa tahun yang lalu.

“Apakah aku harus ke Korea untuk memberikan penghormatan terakhirku untuk Tuan Na? Saat dia meninggal, aku tidak sempat datang untuk menyapa.” Tuan Lee bertanya pada anak buahnya.

“Kejadiannya sudah beberapa tahun yang lalu, Tuan. Saya rasa, anda tidak perlu ke Korea untuk menyapa. Lagi pula, bisnis kita juga berjalan lancar seperti seharusnya. Hanya saja, saya masih perlu bertanya lebih jauh pada Dejun tentang jadwal yang tumpang tindih.”

“Baiklah, terima kasih sarannya. Kau boleh pergi.”

“Baik, Tuan. Saya permisi.”

Tuan Lee kembali menjejalkan berkas itu ke dalam laci mejanya lalu menguncinya rapat.

**

Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata jadi di bawa santai aja, jangan sampai dibawa ke real life. Thank you.

©dear2jae
2022.02.16 — Rabu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top