03. More Than Friend

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Berteman.. Tidak ada batasan, tidak ada aturan, dan tidak ada larangan dengan siapa pun kita berteman. Tapi sayangnya, semua itu tak berlaku bagi Lia yang kini menjadi pusat perhatian seluruh siswa sebab sering terlihat bersama Jaemin.

Kalau Lia berasal dari kalangan keluarga kaya raya maka tidak akan ada masalah. Tapi perbedaan latar belakang itu membuatnya dikecam banyak pihak.

Banyak orang mulai bergosip tentangnya, kenapa dia bisa terlihat akrab bersama Jaemin. Ucapan-ucapan menyakitkan mulai didengarnya saat masuk gerbang sekolah apalagi saat masuk kelas. Bahkan teman sekelasnya kecuali Ryujin, ikut bergosip.

“Aku bertaruh, dia hanya ingin harta Jaemin. Untuk alasan apa lagi dia medekati Jaemin kalau bukan karena uang? Konyol.”

“Jaemin juga, kenapa mau-mau saja didekati olehnya. Padahal masih banyak perempuan yang jauh lebih baik.”

Hey, bisa saja Jaemin mendekatinya karena taruhan atau karena dare dari seseorang? Sangat tidak mungkin Jaemin mau bergaul dengannya.”

Lia hanya bisa diam saat mendengar ucapan-ucapan seperti itu. Mau melawan juga tidak berguna karena dia pasti akan kalah. Jadi, terserah mereka mau bicara apa. Yang pasti, semua itu tidak benar. Lia tidak mendekati Jaemin karena harta. Bahkan Jaemin sendiri yang lebih dulu mendekatinya.

“Kau tidak apa-apa?” Ryujin menyentuh pelan bahu Lia karena melihat Lia sedang termenung. Takut nanti Lia akan kehilangan fokusnya.

Lia mengangguk kecil. “Aku tidak apa-apa, jangan khawatir.”

“Semoga saja mereka tidak berbuat di luar batas, ya. Aku takut mereka akan main tangan. Aku pernah bilang bahwa mereka tidak menyakiti secara fisik dan verbal, tapi sepertinya itu semua salah. Semua menjadi rumit saat apa yang mereka sukai diusik. Menyeramkan.” Ryujin bergidik ngeri. “Jangan ladeni Jaemin lagi. Nanti kau bisa berada dalam bahaya. Abaikan saja kalau dia datang.”

Lia tertawa kecil. “Iya, tidak akan. Aku juga tidak mau mencari masalah. Aku mau sekolah dengan tenang dan hidup tenang.”

Lia sudah memberi ultimatum pada dirinya sendiri supaya tidak mudah mengiakan ajakan Jaemin. Bahkan Lia sudah memantapkan niat untuk menolak.

Sayangnya, semua tak berjalan sesuai rencana karena saat ini, ketika bel istirahat baru saja berbunyi.. Jaemin langsung muncul di ambang pintu. Dengan senyum merekah dan langkah yang ringan, dia mendekat ke arah meja Lia.

“Jangan, jangan, jangan mau,” bisik Ryujin penuh penekanan. Lia mengangguk paham dan bersiap menolak tapi..

Jaemin langsung duduk di samping Lia.

“Kenapa kau duduk di sini? Kalau mau mengajakku ke luar, aku tidak mau. Aku akan makan bekalku di sini.” Lia langsung menolak sesuai ucapan Ryujin sebelum Jaemin mengajaknya.

“Aku ikut makan di sini kalau begitu karena kau tidak mau ke luar.” Jaemin hendak meraih kotak bekal Lia yang ada di atas meja tapi Lia langsung mengamankan kotak bekalnya. “Pelit, kau bilang mau berbagi denganku kemarin. Sekarang kenapa malah menyembunyikannya?”

Ryujin memicingkan matanya, dia mencium bau aneh dari sikap Jaemin. “Aku juga bawa bekal, kau mau?” Ryujin bahkan menyodorkannya di depan Jaemin tapi Jaemin menggeleng.

“Aku mau punyanya Lia. Enak. Punyamu nanti tidak enak.” Jaemin menolak yang langsung membuat Ryujin jengkel.

“Kenapa harus punya Lia? Kau bisa membeli sendiri di kantin bahkan kau bisa membelikan seisi sekolah ini makanan. Kenapa sekarang mau bekal yang dibawa Lia?” Ryujin masih menaruh curiga. Dia mencium bau-bau aneh. Apa mungkin Jaemin menyukai Lia?

“Ayo ke luar, kita ke tempat biasa. Kalau kau tidak mau kapan kita akan makan? Nanti bel masuk berbunyi.” Jaemin menarik tangan Lia, mengabaikan pertanyaan Ryujin.

Pasrah, Lia hanya bisa ikut berdiri. Jaemin terlalu meremat pergelangan tangannya. Ryujin hanya bisa mengangguk kecil dan melambaikan tangannya kemudian memberi semangat. Sebuah pesan tersirat yang berarti semangat kawan, masalah nanti, pikirkan nanti saja.

Kemarin, Jaemin pernah mengikuti Lia ke halaman belakang sekolah dan langsung duduk tanpa dipersilahkan. Dia bahkan ikut memakan bekal yang dibawa Lia sampai habis. Katanya enak, itu sebabnya tadi Jaemin menemui Lia lagi.

“Kenapa telurnya satu?” tanya Jaemin saat membuka kotak bekal yang dibawa Lia dengan antusias. Sementara Lia hanya menatapnya dengan senyum tipis. “Untukku saja, ya?”

“Iya, makan saja.”

Jaemin lebih dulu meneguk air putihnya lalu meraih sumpit dan mulai memakan nasinya. Di sana ada telur mata sapi, kimchi, tiga buah sosis dengan potongan kecil, daun perilla dan buah anggur.

Jaemin terlihat lahap memakannya seraya Lia yang masih memperhatikannya. Heran, kenapa Jaemin seantusias ini memakan makanan yang dibawanya. Padahal Jaemin bisa dapat asupan makanan yang lebih dari ini di rumahnya. Bahkan makanan di kantin jauh lebih enak dari pada makanan yang dibawa Lia.

“Enak?” tanya Lia karena Jaemin begitu lahap.

“Besok, bawa dua kotak bekal, ya. Untukku dan untukmu. Aku belum kenyang karena harus berbagi denganmu. Aku tidak tega kalau mau menghabiskannya karena kau belum makan.” Jaemin menyodorkan sumpitnya di depan Lia tapi Lia menggeleng.

“Habiskan saja, aku bisa makan roti.” Lia mengeluarkan satu bungkus roti dari kantong plastiknya.

“Tapi roti tidak bisa membuatmu kenyang. Nanti kau lapar sampai jam terakhir,” ujar Jaemin lagi. “Atau.. Nanti istirahat kedua, aku akan membelikanmu makanan di kantin sebagai gantinya, ya.”

Lia tertawa, untuk pertama kalinya di depan Jaemin. Tertawa yang terdengar begitu lembut.

“Tidak usah, aku sudah terbiasa makan roti untuk makananku selain nasi. Kalau sedang berhemat yang harus berhemat, kadang aku hanya makan roti karena belum bisa membeli kebutuhan yang lain. Jadi, aku tidak apa-apa. Habiskan saja makanan itu dan jangan khawatirkan aku. Kau terlihat lahap, melihatmu makan dengan lahap saja membuatku ikut kenyang.” Lia mulai membuka bungkus rotinya.

Hati Jaemin rasanya ngilu mendengarnya. Dia semakin memantapkan niatnya untuk tidak boros lagi dan mulai berhemat. Tidak membeli yang tidak perlu.

“Aku malu.” Jaemin menunduk seraya memainkan sumpit yang ada di tangannya. “Kau sangat mengharagai waktu dan uang. Sedangkan aku malah membuang-buang waktu dan uang.”

“Itu karena uangnya milik orang tuamu, makanya kau tidak berpikir dua kali kalau mau menggunakannya untuk membeli sesuatu. Kalau uang hasil kerja sendiri, itu akan lebih berharga karena uangnya dicari dengan perjuangan sendiri. Saat mau belanja, pasti kita berpikir dua kali. Apakah yang akan dibeli itu benar-benar dibutuhkan atau tidak,” ujar Lia dengan pelan. Bukan bermaksud ingin menggurui tapi Lia hanya ingin berbagi sedikit pengalaman.

Punya otak yang cerdas, paras yang cantik, hati yang tulus dengan segala kesederhanaan yang dia miliki membuat Jaemin semakin ingin tahu tentang Lia lebih jauh lagi.

“Apa kau tidak merasa lelah karena harus bekerja sepulang sekolah sampai malam? Lalu, kapan kau istirahat?” tanya Jaemin.

“Aku lelah, sangat lelah malah. Tapi kalau tidak bekerja paruh waktu, nanti aku dan nenek tidak bisa makan. Uang hasil jualan nenek tidak seberapa jadi aku membantu selagi bisa. Untuk istirahat, aku biasanya istirahat sekitar jam sepuluh malam setelah mengerjakan tugas kalau ada,” jawab Lia selagi mengunyah rotinya.

Jaemin terdiam, dia mengembuskan napas pelan. Ada rasa iba yang muncul setelah mendengar penjelasan Lia. Apalagi dalam kalimat, kalau tidak bekerja paruh waktu, nanti aku dan nenek tidak bisa makan. Sungguh, Jaemin terenyuh.

“Apa kau tidak malu?”

“Tidak, untuk apa malu? Aku tidak mau menjadi palsu untuk terlihat wow di mata orang lain. Aku ya aku, inilah aku. Kalau tidak ada yang mau berteman denganku karena aku bukan anak orang kaya, tidak apa-apa. Lagi pula aku juga sibuk karena harus bekerja dan tidak akan bisa bermain terus. Aku harus mencari uang.”

Jaemin meletakkan sumpitnya dan menatap Lia dengan tatapan teduh. “Apa kau mau jadi pacarku?”

Seketika Lia tersedak, rotinya tiba-tiba tidak bisa ditelan dengan lancar. Jantungnya berdetak dua kali lipat dari biasanya. Gugup menyerangnya karena pertanyaan spontan dari Jaemin.

“Jangan bercanda, Na Jaemin.” Lia batuk-batuk seraya meraih botol air dari Jaemin. “Aku malah ingin bilang padamu untuk tidak mencariku lagi ke kelas, tidak mengajakku pulang bersama dan tidak terlalu dekat denganku lagi.”

“Kenapa?”

“Anak-anak yang lain mulai membicarakan kita karena sering terlihat bersama.” Lia menunduk dalam. Sebenarnya dia tidak mau mengadu, yang dalam artian memberitahu Jaemin. Tapi sepertinya itu harus karena Lia tidak selamanya kuat dan bisa menahan kritikan mereka. “Mereka bilang aku mendekatimu karena aku mau hartamu. Mereka bilang kau bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dariku. Mereka juga bilang kau mendekatiku mungkin karena taruhan atau dare dari seseorang. Apa salah satunya ada yang benar?”

Helaan napas Jaemin terdengar kasar, dia mengusap wajahnya frustasi dan menatap sekeliling, agak sepi. Lalu begitu saja, Jaemin meraih tangan Lia dan menggenggamnya.

Tentu saja Lia menolak, bagaimana kalau ada yang melihat? Maka besok, dia bisa jadi bulan-bulanan anak-anak yang lain. Tapi Jaemin tidak membiarkan tangan itu lepas dari genggamannya.

“Dengar, tidak ada yang benar di antara ucapan-ucapan itu. Semuanya salah, mereka sok tahu tentangku. Di sini aku yang ingin menjadi lebih dekat denganmu, bukan mereka. Jadi, mereka tidak punya hak apa-apa untuk melarangku.” Jaemin mengunci pandangannya pada Lia. “Apa aku perlu menegur mereka supaya tidak membuatmu risih dengan ucapan mereka?”

Lia menggeleng dengan cepat. “Jangan, kau tidak perlu menegur mereka. Biarkan saja, nanti juga lelah sendiri. Jangan semakin membuatku berada dalam masalah.”

“Kalau ada yang mengganggumu, beritahu aku. Hm? Jangan dipendam sendiri. Biar bagaimana pun juga, aku yang mendekatimu duluan, bukan kau. Jadi, setidaknya aku harus bertanggung jawab.”

Tatapan teduh Jaemin masih terlihat dengan jelas. Bahkan Lia sempat membatin.. Ya Tuhan, Na Jaemin sangat tampan dari jarak sedekat ini.

“Beri aku alasan yang logis, kenapa kau mau berteman denganku? Setidaknya aku bisa menjadikannya alasan juga untuk tetap bertahan walaupun anak-anak menjelekkanku?” pinta Lia karena sampai saat ini, Lia belum paham kenapa Jaemin sangat ingin berteman dengannya.

“Aku pernah mendengarmu bergumam di lorong kelas waktu itu. Saat itu, aku berencana mengajak teman sekelasku berlibur ke villa milik keluargaku. Aku bahkan bergumam ingin membeli sepatu baru padahal sepatuku hanya terkena noda sedikit. Setiap hari aku bingung harus membelanjakan uangku. Tapi waktu itu, aku mendengarmu. Kau bilang, tabunganku memang masih ada. Tapi sepertinya tidak akan cukup untuk beberapa bulan ke depan. Hm, sepertinya aku harus menerima tawaran kerja paruh waktu dari Pak Lee dan akan mulai berhemat ke depannya.” Jaemin menjeda kalimatnya lalu mengambil napas sejenak. “Itulah alasan kenapa aku ingin lebih dekat denganmu. Aku merasa tertampar oleh ucapanmu dan sekarang aku ingin belajar menjadi orang yang mengahargai waktu dan uang.”

Senyum kecil sukses terukur dari bibir Lia. Awalnya, Lia kira Jaemin tidak akan bisa bersikap sopan dan lembut terhadap orang karena mungkin Jaemin akan berbuat semaunya seperti kebanyakan orang kaya lainnya.

“Iya, mulai sekarang aku akan tetap berteman denganmu. Walaupun mereka membicarakanku tapi selagi aku tahu semua itu tidak benar, tidak apa-apa.”

“Tapi.. Bagaimana kalau sekarang aku ingin punya status lebih dari seorang teman untukmu?”

Seketika, napas Lia tercekat.

**

Ini hanya imajinasi dan bukan kisah nyata jadi di bawa santai aja, jangan sampai dibawa ke real life. Thank you.

©dear2jae
2022.02.04 — Jumat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top