(c) Exist
"Dia perempuan yang aku kenal sebagai kakak tingkat di kampus dulu. Dia pengalama pertamaku dalam segala hal. Khususnya pengalaman mengenai cinta." Janu memulai ceritanya.
Dalam dekapan sang suami, Karleesha mengangguk dan mendengarkan dengan baik semua yang akan disampaikan oleh Janu sendiri. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengetahui apa yang membuat Janu bisa menggila dan akhirnya tidur bersama Karleesha.
"Terus kenapa kalian pisah?" Tanya Karleesha.
"Karena dia pindah ke luar negeri. Dia ngejar mimpinya sendiri dan aku nggak bisa untuk melarangnya. Karena memang ... siapa aku dalam hidupnya?"
"Kok, gitu? Kalian saling cinta, kan?"
"Nggak tahu. Yang aku tahu pasti adalah aku yang cinta sama dia. Kalo dia sendiri aku pikir-pikir lagi ... kayaknya dia nggak punya cinta seperti yang aku punya."
Bisa Karleesha tebak bahwa cinta yang mantan suaminya jalani dengan sang mantan memang tidak seimbang. Mungkin karena itu adalah pengalaman pertama Janu, maka semua yang pria itu berikan sangatlah totalitas.
"Katanya memang cinta pertama nggak pernah bisa saling dimiliki. Aku nggak tahu apakah semua orang begitu atau nggak, tapi aku juga udah menjalaninya dengan mantanku dulu, Nu. Aku bisa ngerti bahwa cinta pertama pasti sangat menyakitkan buat kamu."
"Nggak lebih menyakitkan dari pengalaman kamu, Arl. Tapi kamu beneran hebat nggak terkungkung sama masa lalu. Dan sekarang malah harus menghadapi suami kayak aku yang masih kacau sama perasaanku sendiri. Padahal jelas banget cuma aku yang cinta sendirian."
Karleesha menggenggam tangan Janu. Dia kecup permukaan tangan sang pria dan tidak memberikan penekanan apa pun untuk sang suami.
"Aku boleh tahu namanya?" tanya Karleesha.
Janu menghela napas sebelum menjawab, "Armila."
"Oh. Cantik, ya?" Karleesha kembali bertanya.
Janu meatap sang istri dengan kesal. Tentu saja Janu tahu bahwa semakin istrinya bertanya jauh, semakin membuka kemungkinan rasa cemburu yang bisa membuat Karleesha uring-urigan sendiri.
"Aku udah bilang nggak mau menyakiti hati kamu, Arl."
"Ih, apaan, sih? Aku, kan, cuma tanya cantik atau nggak?"
"Ya, kamu emang cuma nanya. Kedengarannya sederhana, tapi itu nggak menjamin bahwa kamu nggak akan marah sama aku."
Karleesa berdecak dengan apa yang suaminya sampaikan. "Lebay, deh! Aku ini udah menyiapkan segalanya, Nu. Kalo aku cemburu aku nggak bakal jadiin kamu pelampiasan. Aku cuma perlu menenangkan diri aja kalo memang aku termakan cemburu."
Janu akhirnya mau tidak mau memberikan jawaban, "Cantik. Tapi nggak lebih cantik dari kamu. Kamu darah campuran soalnya, kalo Armila manis khas cewek Indo yang kulitnya nggak seputih kamu. Hidungnya juga nggak setinggi kamu. Sejujurnya aku bersyukur karena bisa nikahin kamu."
"Kenapa gitu?"
"Ya, aku bisa dapetin anak-anak yang cakep-cakep. Kamu itu kayak pasangan yang dikirim Tuhan untuk bikin aku sadar bahwa harusnya aku nggak menyia-nyiakan hatiku untuk perempuan yang nggak bisa melihat perjuanganku. Bahkan aku dikasih kamu yang memperbaiki kualitas keturunanku."
Karleesha tahu Janu tidak sedang menggombal saja untuk membuat wanita itu tidak marah. Yang disampaikan Janu dengan wajah biasa saja tanpa penuh penekanan adalah kalimat jujur. Ekspresi pria itu juga mejelaskan bahwa dia menyayangkan sikapnya dulu yang berjuang untuk perempuan yang tidak bisa melihat usahanya itu.
Dengan gemas, Karleesha mengecup berulang kali bibir suaminya dan membuat posisi wanita itu menjadi di atas pangkuan Janu. Kecupan itu berlanjut menjadi lumatan karena Janu yang menahannya hingga mereka terlibat dalam kegiatan yang begitu mereka suka. Bibir mereka terlepas setelah keduanya kekurangan oksigen.
Dengan kening yang saling bertaut, Karleesha dan Janu menatap begitu dalam satu sama lain.
"Aku nggak bohong kalo aku bersyukur bisa jadis suami kamu, Arl."
"Aku tahu. Kamu nggak bohong, Nu. Makanya aku gemes dan langsung cium kamu."
"Jagan menyerah untuk membimbing aku untuk bisa mencintai kamu sepenuhnya, ya, Arl. Aku tahu perasaanku ini belum utuh untuk kamu, tapi aku serius mau menjadi pasangan yang mencintai kamu."
Karleesha mengangguk dan memeluk Janu dengan erat. Dia tahu bahwa yang perlu dilakukannya adalah membuat Janu terus merasa nyaman dan aman. Meski dirinya tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya, yang jelas Karleesha akan berusaha untuk menjaga pernikahannya dari jenis perempuan murahan apa pun itu.
"Arl," panggil Janu.
"Hm?"
"Kamu masih ada tenaga nggak?"
Karleesha yang tadinya fokus untuk memikirkan masalah mengenai segalanya mengenai pernikahan mereka jadi kembali sadar. Sadar bahwa dia sudah menduduki sebuah batang yang bisa berdiri tegang karena memiliki sensor sendiri ketika mendapatkan rangsangan. Dan sialnya, rangsangan itu berasal dari Karleesha sendiri. Dia agak tidak fokus bahwa mereka baru saja bercinta dan dia malah memancing Janu dengan duduk di pangkuan pria itu.
"Kalo aku bilang capek gimana?" balas Karleesha.
"Hm, yaudah. Aku ke kamar mandi---"
"Eh, nggak nggak! Sini aja, sama aku. Nanti punyamu malah lecet karena nggak bisa keluar-keluar kalo pake tangan sendiri."
"Kok, kamu tahu?"
"Ya, karena kamu kalo main sendiri itu lama banget, mana habis itu jadi ditekuk mukanya. Aku simpulkan kalo kamu nggak puas kalo nggak sama aku."
Janu membanting tubuh istrinya ke ranjang dan berada di atas. "Kamu memang beneran pasangan yang tepat buat aku, Arl. Sampe hal yang begitu kamu paham aku banget." Janu tersenyum senang dibuatnya.
"Dasar bapak-bapak nafsuan!"
[Yipiii. Siapa yang udah baca Special Chapter 5-nya? Silakan dibaca dulu sebelum baca bagian (c) ini, ya. Happy reading semuanya!]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top