6
Sophia menatap ayahnya yang membuka dan membaca kertas bertuliskan hasil biopsinya. Ia melihat ayahnya membaca, wajahnya tampak kaget dan mengerutkan dahi.
"Ada apa, Ayah?"tanya Sophia merasa tak sabar ingin mengetahui hasilnya. "Apa hasilnya? Kenapa denganku?!"
Donald mendongak dari kertas di tangannya. Wajahnya tampak datar. Ia merasa tak tega untuk mengatakannya. "Sophia...."
"Katakan, Ayah. Aku harus tahu dengan kondisiku."
"Leukemia...."gumam Donald perlahan. "Kau terkena leukemia."
Sophia mendengar dan terdiam. Napasnya tertahan. Perkataan ayahnya seakan bergema dalam kepalanya. Ia tahu ada yang salah tapi tak pernah menyangka bahwa ia akan menderita penyakit kanker darah. Penyakit yang berbahaya. Sophia menelan ludah.
"Kau harus segera di obati. Semakin cepat semakin baik agar cepat sembuh."ujar sang ayah
"Ya...."gumam Sophia dengan suara serak.
"Oh putriku..."ujar Donald berdiri dan berjalan mendekati putrinya lalu memeluknya. Mengusap kepala Sophia dengan hati pedih.
"Ayah, aku takut....bagaimana jika aku...."gumam Sophia dengan suara bergetar.
"Tidak, nak. Semua akan baik saja. Kau akan sembuh. Ayah akan segera mengobatimu agar kau sembuh dan kau sehat lagi."
"Ayah..."isak Sophia dengan badan gemetar.
"Tenanglah, nak. Ayah ada di sampingmu. Ayah akan selalu mendampingimu."hibur Donald pada Sophia. Ia sungguh merasa pedih melihat keadaan Sophia. Putrinya menderita kanker. Ternyata selama ini gadis kecilnya sering tak menghabiskan makanannya karena penyakitnya. Hingga menjadi kurus dan pucat.
———
Sophia duduk di atas tempat tidurnya. Diam seraya menatap lantai kamarnya dengan sorot mata hampa. Matanya terasa bengkak karena menangis.
Ketika pulang ke rumah dan selesai makan malam bersama, Sophia memutuskan untuk memberitahu ibu dan Deborah. Kali itu ia kembali tidak menghabiskan makanannya. Kenyataan bahwa ia menderita leukemia membuatnya shock. Beberapa kali ia harus menggigit bibir, menahan air mata agar tak keluar saat makan. Memaksa tersenyum dan berbincang dengan Ibu dan Deborah. Hanya ayahnya yang tahu bagaimana ia menahan perasaannya.
Dan ketika makan malam selesai, Sophia pun mengatakan mengenai penyakitnya. Bahwa apa yang selalu terjadi padanya selama ini, sakit kepala yang ia alami, mimisan yang terjadi, serta nafsu makan yang hilang, terjadi karena ia menderita leukemia. Beruntung sang ayah menyuruhnya melakukan pemeriksaan sehingga dapat diketahui lebih awal dan segera di obati.
Ibu dan Deborah sangat kaget. Mereka tampak shock. Ke dua wanita itu pun segera bangkit dan memeluk Sophia. Menangis dan menghiburnya. Sementara Donald hanya memperhatikan dengan mata berkaca-kaca.
Dan di sinilah Sophia sekarang, duduk termenung diam di kamarnya. Hari ini ia merasa lelah. Setelah kuliah yang padat dan kabar mengenai keadaannya cukup membuatnya shock. Sophia tersentak kaget mendengar suara HP-nya berbunyi. Ia menoleh dan melihat nama yang tertera di layarnya.
Henry....
Sophia terisak. Ia belum memberitahu Henry. Hari ini mereka tak bertemu lagi. Sophia pun belum membalas pesan dari Henry. Jangankan membalas, menyentuh HP saja tidak. Sophia merasa tak sanggup menjawab telepon dari Henry. Ia pasti akan menangis dan Henry pasti akan cemas lalu menanyakan apa yang terjadi.
HP-nya kembali diam tapi beberapa menit kemudian Henry kembali meneleponnya. Sophia tak siap memberitahu Henry bahwa ia terkena leukemia. Ia menatap cincin rumput yang ditaruh di atas meja. Air mata menetes jatuh. Lamaran Henry, batinnya, apakah ia akan tetap menikah denganku setelah tahu keadaanku yang sekarat?
Sophia menggelengkan kepala. Ia tak mungkin meneruskan pertunangan mereka. Bagaimana jika penyakitnya makin parah dan ia meninggal? Tidak, batinnya. Henry lebih baik bersama wanita lain yang tidak berpenyakit sepertinya. Ia rela melepaskan Henry. Henry masih muda dan bisa mencari wanita lain, daripada menghabiskan waktu dengannya, seorang penderita kanker darah.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top