Thriller Writing Prompt
Sumber prompt : Pinterest
[https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/bd/cf/fa/bdcffa6b2d7c3c74af99f0c37730d3ed.png]
Prompt :
"Ada tujuh miliar orang di dunia ini, dan kamu menjadi lebay hanya karena kita membunuh satu orang."
"Tapi--"
"Tujuh. Miliar. Orang. Sekarang berhentilah mengeluh dan habiskan smoothie-mu."
Namaku Eastman. Hanya Eastman. Aku tidak ingat namaku yang sebenarnya, tapi Ayah (begitu dia ingin aku menyebut dirinya) memanggilku George. Itu nama yang buruk, aku tidak suka, tapi tetap saja dia memanggilku begitu.
Hari ini angin berhembus dengan kencang. Ayah sedang membersihkan senapan berburunya, sementara aku berusaha tidur di bagasi yang terbuka. Suhu mulai turun seiring berjalannya malam. Koran dan selimut tipis sama sekali tidak membantu.
"Ayah," aku memanggil pria itu dengan tenggorokan kering. Sudah lama aku tidak minum, dan rasanya perutku sudah terasa begitu hampa. "Boleh aku meminjam selimutmu?"
Pria itu hanya menjawab dengan gumaman. Artinya tidak. Jadi aku memutuskan untuk menutup bagasi sampai setengah terbuka, menghindari angin yang berhembus kencang.
Aku tidak tahu kenapa Ayah mendadak membawaku pergi dari rumah dengan berbagai macam senjata. Kepalaku sedang meniduri tas berisi pisau yang disarungkan. Kakiku dekat dengan sebuah kapak, ataukah palu? Aku hanya membawakannya makanan, minuman dan pakaian. Aku tidak ingat apa saja yang ia masukkan ke dalam bagasi.
Dingin sekali.
Tiba-tiba, Ayah membuka bagasi keras-keras. "Tidurlah di dalam."
"Bagaimana dengan Ayah?" tanyaku.
"Kau mau menyetir?" dia bertanya balik dengan ketus.
Aku menelan ludah, takut, "...Tidak."
"Maka dari itu, tidurlah di dalam. Perjalanan kita masih jauh."
Memberanikan diri, aku bertanya untuk ke sekian kalinya, "Ke mana?"
Ayah terdiam cukup lama, lalu berkata seperti biasa, "Itu bukan urusanmu, nak."
Tidurku terasa begitu singkat. Maksudku, tentu aku sempat tidur. Tapi begitu mobil kecil ini membentur jalanan desa yang berbatu, aku terlonjak dari kursi penumpang dan jatuh, nyaris terkena kaleng sarden. Perutku mendarat tepat di atas senapan ayah, dan setelahnya perutku terasa mual bukan main. Aku ingin berteriak dan berkata aku ingin keluar dari mobil setelah isi perutku naik ke tenggorokan. Tapi aku tidak bisa. Ayah sangatlah mengerikan dan aku tidak mau menyulut emosinya.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan suara datar.
Aku mengangguk, membuka jendela dengan susah payah dan mengeluarkan kepalaku. Udara malam masuk dan mendinginkan kedua pipiku. Suara air terjun membuatku terjaga. Hutan rindang menyambut uluran kepalaku dan menamparkan cabangnya saat aku menjulurkan kepala. Aku buru-buru menarik wajahku kembali. Entah berapa cabang pohon yang menyangkut di rambut kusutku.
"Apa yang akan kita lakukan disini?"
"Jangan banyak tanya," dia berkata, matanya tetap lurus ke depan.
Aku panik. Aku tidak suka suasana dan pemandangan yang kulihat. Suara hewan memekakan telinga, dan rasanya seperti diancam kematian. "Ini hutan! Tidak ada apa-apa di hutan, yang ada hanya masalah dan hewan buas!"
"Tidak. Kita akan beristirahat di desa terdekat. Disana ada Bibi Alex, kau diam dulu bersamanya."
Rasanya, jantungku berhenti sesaat. Ini bahkan lebih buruk daripada hutan dan isinya.
"Kau mau meninggalkanku?"
Ayah tidak menjawab. Aku semakin panik. Apa aku orang yang buruk? Kenapa dia ingin meninggalkanku, setelah dia memberiku banyak hal? Aku dulu tinggal di jalanan, sendirian, sampai akhirnya dia membawaku bersamanya ke sebuah rumah kecil. Aku diberi makanan, tempat tinggal, meskipun aku disuruh membersihkan dan merawat rumah itu sementara ia pergi dan sering kena marah...
...kenapa?
"Aku takkan meninggalkanmu," Pria itu akhirnya berkata. "Kamu ingat Bibi Alex? Dia tinggal di desa dekat hutan ini, tepat di depan. Aku butuh waktu sendiri, tiga sampai empat hari."
"Tolong jangan pergi."
"Aku takkan meninggalkanmu."
"Janji?"
"Ya. Janji."
Sudah dua hari aku tinggal di rumah Bibi Alex. Aku membantunya mencuci piring, menyapu, membereskan beberapa ruangan dan mengasuh Allen, anak laki-laki berambut pirang yang selalu menjambak rambutku saat dia senang. Aku pernah sekali membalas tendangannya dan dia menangis keras. Tidak kusangka. Aku tidak tahu dia selemah itu.
"Bisakah kamu membantuku memasak, George?" tanya Bibi.
"Tentu, dengan senang hati," aku berkata.
Lalu aku membantu Bibi Alex memotong bawang. Aku sengaja memotong hanya setengah dari yang ia perintahkan karena aku tidak suka bawang. Brokoli, kentang, wortel dan daging kelinci yang tidak dibersihkan dengan benar. Aku yakin Bibi akan memasak sup untuk makan siang.
Jendela dapur langsung mengarah ke jalanan. Sambil mengaduk sup dengan bosan, aku selalu mengecek orang-orang yang berlalu-lalang. Anak kecil, teman Allen, datang dan mengajaknya bermain di pekarangan rumah. Lalu seorang tukang susu yang terlambat datang mengirim Bibi Alex sebotol susu segar.
Aku cukup terkejut saat mobil Ayah melintas tepat di depan rumah Bibi, tanpa berhenti sejenakpun.
Tentu saja aku panik. Aku lekas mematikan kompor dan berlari keluar. Mengejar mobil itu.
Aku tahu benar bahwa tidak ada mobil yang melintas selama dua hari yang lalu, dan tepat tadi malam hujan gerimis menerpa desa. Meskipun aku kehilangan mobil ayah, aku dapat mengikuti jejak roda itu. Aku mengikuti jalan berbatu menuju tanah berkemah.
Pepohonan menjulang tinggi, mengitari tanah lapang yang datar. Ada bekas abu kayu di sana, sepertinya bekas seseorang. Mobil Ayah berhenti tepat di tengah lapangan berkemah itu, dan dia sedang berdiri di depan seorang pria lain. Dia terlihat sama mengerikannya dengan Ayah, hanya saja dia lebih gempal.
"Aku menunggumu," kata pria berbaju gelap itu. "Kudengar kau merawat seorang anak?"
"Dia tidak bersamaku sekarang," Ayah berkata. "Sekarang mari kita luruskan masalah ini."
"Jangan terburu-buru bergitu. Sudah lama kita tidak berjumpa dan kamu bersikap dingin seperti batu. Mari kita--"
"Aku ada urusan. Ambil segera barangmu di bagasi,"
Pria berbaju gelap itu mendengus, namun ia tidak memprotes banyak. Dia membuka bagasi mobil ayah dan mengambil beberapa barang. Sementara itu...
...Ayah menarik sebuah senjata api dari sakunya.
Pria itu melirik ke arahku.
Lalu dengan cepat pria berbaju gelap itu sadar. Dia berbalik dan menghantam senjata Ayah tepat sebelum pelatuk ditarik. Senjata Ayah terpental jauh.
Pria berbaju gelap itu menghantam pipi Ayah sekuat tenaga. Aku berteriak, ketakutan. Darah menetes dari pipi Ayah.
Tentu saja, kali ini Ayah juga melihatku.
Mulutnya bergerak, namun aku tidak dapat mendengar kalimatnya.
Sekali lagi, pria berpakaian hitam itu menghajar Ayah, kali ini sampai Ayah terjatuh. Aku semakin ketakutan.
Apa yang harus kulakukan?
Jika aku tidak melakukan apapun, Ayah akan...
...
......
Pistolnya.
Aku duduk sendiri di sebuah kafe, kursi paling pojok dan paling gelap. Hari itu malam dan tanganku tidak dapat berhenti gemetar. Aku tidak kedinginan. Ayah bahkan memberikanku selimutnya, dan aku mengenakan empat lapis kain tepat setelah kejadian tadi. Empat!
Aku tidak kedinginan, namun aku tidak protes.
"Bagaimana Bibi Alex?" Tanya Ayah.
"Dia baik," aku menjawab, beberapa kali mengulang konsonan dengan gagap. "Allen juga... dia manis."
"Aku senang kamu punya teman sekarang," nadanya yang datar tidak membuatku lebih baik.
Aku tidak berniat makan. Ataupun minum, meskipun makanan di atas meja sangatlah menggoda. Lidahku terasa sangat asam, seakan perutku akan mengeluarkan isinya sebentar lagi. Aku tidak tahu. Aku tidak mau tahu. Kepalaku sakit dan rasanya tubuhku ditimpa beban yang sangatlah berat.
"Kamu baik-baik saja, George?"
"...Aku membunuhnya,"
"Ada tujuh miliar orang di dunia ini, dan kamu menjadi lebay hanya karena kita membunuh satu orang."
"Tapi--"
"Tujuh. Miliar. Orang. Sekarang berhentilah mengeluh dan habiskan smoothie-mu."
Aku diam.
"Tapi kerjamu bagus tadi. Terima kasih."
Itulah pertama kalinya aku melihat Ayah tersenyum padaku.
...dan aku tidak mau itu jadi yang terakhir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top