Iru's Prompt Challenge

Aku meminta prompt dari FR-ku, dan dia memberikan prompt yang jenius.

You awoke in the dark, and there was nothing but a piece of paper inside your pocket. It reads 'Property of' (this part was smudged with blood) 'If found, please return to 42 Wallaby Road City X'.

What will you do?

Firstly, aku gak tau gimana caranya orang baca di kegelapan, but here goes nothin--


A.N : Ini bakal jadi satu-satunya cerita ber-ratting R-15 di kumcer gaje ini. Enggak ada yang aneh, cuma deskripsinya agak-agak... berketelanjangan. Yang dibawah umur, consider yourself warned.


Chapter 2 dari The Human Body Prompt

Ruangan ini begitu kecil, hanya ada jendela di langit-langit dan cahaya bulan yang bersinar dengan lemah. Tapi serius, apa aku terbangun di masa lalu? Tidak ada lampu ataupun penerangan yang memadai disini. Dimana aku? Bagaimana aku bisa berakhir di sini?

Aku bisa mencium aroma minyak tanah dan aroma mint. Semuanya bercampur dengan debu dan parfum pria yang benar-benar kukenal. Lantainya kayu, dan aku berani bertaruh bahwa lantai ini belum diganti setidaknya lima sampai enam tahun. Begitu kasar, begitu....

...Familiar?

Kepalaku masih terasa sakit. Tenggorokanku kering. Dadaku terasa begitu berat, suasana di ruangan ini begitu menyesakkan. Aku meraba kerongkonganku, lalu merasa ada sesuatu yang aneh. Tidak ada kain yang membatasi tulang dada dan tenggorokanku.

Dimana kausku? Aku takkan mungkin keluar rumah tanpa pakaian! Yah, aku masih mengenakan baju dalam, sih. Tapi apa wajar hanya mengenakan pakaian dalam dan celana jeans? Aneh sekali, aku bahkan tidak tahu aku punya celana jeans selonggar ini.

Tapi otomatis, aku merogoh saku celanaku, mencari pemantik api dan sekotak rokok. Tapi yang kutemukan hanya pemantik apiku saja, dan sebuah... kertas? Penasaran, kunyalakan pemantik apiku dan kubaca kertas-kertas di sakuku. Banyak yang teremas, jadi aku tidak dapat membacanya dengan benar.

Satu struk belanja dari sebuah pertokoan, kelihatannya dia membeli sebuah jas hujan, pisau, dan... minuman? Entah, struk belanja itu terpotong tepat di tengah.

Satu catatan dengan coretan yang berantakan di bawahnya. Sepertinya nomor telepon.

Satu lagi, yang paling menarik perhatianku adalah catatan dengan cairan merah lengket menutupi tulisannya. Aku kesulitan membacanya, sungguh. Hanya ini yang terbaca di sana;

Barang ini merupakan properti milik [bagian ini tertutupi darah] Jika kalian menemukannya, harap kembalikan ke Kota X  Wallaby Road 41

...

Properti? Apa aku baru mencuri dari seseorang? Tapi celana ini bukan milikku. Aku biasa membawa pulpen dan notes (untuk mencatat berita), serta satu pak rokok dan pemantik apinya. Aku tidak menemukan tiga barang, jadi tentu saja... yah, kuharap aku tidak mengenakan celana pria. Meskipun, tentu saja aku mengenakan jeans pria. Kantung celananya sangat besar, seperti celana yang biasa kugunakan tapi lebih longgar.

Atau ini celanaku, tapi aku tidak mengenakan sabuk? 

Pikiranku terpotong akibat suara yang datang secara tiba-tiba.

Pintu di depanku terbuka secara perlahan. Aku bisa melihat kakinya yang lebar. Celana olahraga hitam pria itu digulung berantakan sampai mata kaki. Di balik pakaiannya, ia mengenakan jas lab yang menutupi tubuh gempalnya. Wajahnya bulat dan jenaka, namun tatapan itu menyatakan lain.

"Ah, kau sudah bangun," Dia menunjukkan senyumannya.

"Dimana kausku?" tanyaku.

"Aku membelikanmu yang baru, kausmu yang tadi tidak mungkin digunakan lagi," dia membuka pintunya semakin lebar, cahaya lampu yang begitu terang menusuk mataku. "Kau bisa berdiri?"

Aku berdiri, kakiku begitu gemetar dan aku tidak dapat menggerakannya dengan bebas. Bahkan tidak dapat berdiri dengan benar, aku lebih payah daripada anak berumur satu tahun. "...Oh, maafkan aku, aku butuh bantuan sedikit."

Dia memberikan pundaknya untuk bersandar. Dia menuntunku berjalan sampai ruang makan. Dua gelas kosong dan secangkir soda ada di sisi lain. Sementara aku menyesuaikan diri terhadap ruangan yang terlihat higenis itu, dia menyiapkan makan malam untukku. Mungkin lebih tepatnya, menghangatkan sup krim instan dan memberiku beberapa lembar roti.

Ruangan ini begitu dingin. Aku menghembuskan nafasku ke telapak tangan, namun tidak memberikan efek yang berarti. Kugosok-gosok pundakku, dan itulah saat dimana aku sadar akan sesuatu.

Kulitku berlumuran darah kering.

"Ah, ya. Pakaianmu," dia teringat, pergi sejenak lalu kembali dengan kaus berwarna biru. "Maafkan aku, aku tidak tahu ukuran yang harus kubeli dan hanya ada pakaian pria di ruangan ini."

"Pendek," aku menggerutu. "Bisakah kau mematikan pendingin ruangannya?"

"Sayangnya, tidak. Bakteri yang kutanam di agar-agar itu berkembang biak dengan baik di suhu sepuluh derajat. Kau mau menggunakan jas laboratoriumku?" dia melepas kancing jas miliknya. "Jangan dipikirkan, aku merasa bersalah harus melihatmu--"

"Kausku berlumuran darah, bukan?"

"Ya, dan aku panik, jadi--"

"Jangan lakukan lagi, mesum," Aku mengenakan kaus biru itu, lalu ia menyelimutiku dengan jasnya, menutupi pundakku. "...Mungkin aku harus berterima kasih, tapi maaf, aku begitu kebingungan dan kepalaku pening. Aku tidak ingat apa yang terjadi."

"Tapi kau percaya padaku?"

"Tidak, tapi apa gunanya, aku tidak bisa lari. Jelaskan saja padaku kenapa kau melepas kaus dan celanaku--"

"Aku tidak melepas celanamu. Sabukmu rusak."

Aku terdiam cukup lama. Mungkin kotak rokokku memang terjatuh di suatu tempat. Aku mengangguk, mengerti, dan menyuruh pria itu melanjutkan ceritanya.

"Tidak banyak yang bisa kuceritakan, em..." dia menggaruk hidungnya, "Aku sedang merawat beberapa spesimen bakteri, lalu aku berjalan keluar... kau tergeletak di depan laboratorium kami, pakaian penuh darah... aku membawamu masuk. Kau menggigil, jadi kulepas pakaianmu.... Kupikir kau dalam bahaya. Jadi saat dua orang asing datang kemari menanyakanmu, aku..."

Dia berhenti berbicara.

Pundaknya terlihat turun.

Tangannya gemetar.

"...Mereka terus bertanya," dia terlihat begitu ketakutan. "Aku tidak tahu apa yang membuatku terus berbohong untuk menyembunyikanmu. Mulutku bergerak sendiri. Tatapan itu... astaga..."

Aku menelan ludah.

"Apa... apa aku melakukan hal yang benar?" tanyanya padaku.

Apa dia melakukan hal yang benar? Ha, pertanyaan bagus, sayangnya aku tidak tahu jawabannya. Apa orang-orang itu berusaha menolongku, atau mereka mengincarku? Apa aku sedang dimanfaatkan oleh orang ini, berpura-pura ia telah menolongku dan akan menggunakanku, atau dia benar-benar tulus?

Aku tidak percaya siapapun, kali ini aku harus berjalan seorang diri.

Tapi aku harus sangat, sangat berhati-hati.

"Apa kau pikir mereka sudah pergi jauh?"

"Ya. Mereka mengendarai mobil dan pergi dari sini. Kenapa?"

Aku mengeluarkan secarik kertas, "Kau tahu alamat ini?"

Dia membacanya cepat. Dia memegang kertasnya sesaat, mengecek darah yang melekat di sisi kertas dengan mencoba mencium baunya. Wajah itu benar-benar terlihat lelah dan ketakutan, ditambah lagi ia berusaha menutupinya dengan cara paling payah. Pria sukar berbohong, atau aku saja yang terlalu bisa membaca pria ini. Aku tidak keberatan kalau dia tidak menjawab, aku tidak menyalahkannya.

"Alamat ini adalah milik tetanggaku."

"Apa?!"

"Dia seorang Business man dari Indonesia, kalau tidak salah," dia berkata. "Kalau liburan, anak-anaknya sering dibawa kemari. Demas dan... A... aku lupa. Demas sering ke kebun belakangku kalau bola yang ia mainkan melambung terlalu jauh. Dia juga pernah memecahkan kaca rumahku."

Demas... entah kenapa nama itu begitu familiar untukku.

"Lalu, pria ini..."

"Aku sendiri secara pribadi lebih memilih untuk menjauhi pria itu. Dia begitu baik hati dan ramah, tapi kelakuannya aneh sekali. Dia sering menggalikan kuburan untuk kucing yang mati di kebun belakangnya. Kudengar dari wanita tua yang tinggal di depan rumahku, dia pembunuh."

"Tunggu. Kau membiarkannya?"

"Nah, itu dia. Tidak ada bukti. Lagipula, wanita yang mengatakannya memang selalu ngelantur. Anaknya mati dua bulan lalu dan dia masih berkata bahwa dia ada di sebelahnya. Soal kucingnya? Ya, dia juga masih berkata banyak soal itu, padahal bangkainya sudah membusuk di depan terasnya. Oh, mengerikan. Mirip cerita hantu."

"Aku mungkin harus menjauhi pria itu," aku menelan ludah.

"Pilihan tepat--"

"Terima kasih, tuan.... eh, siapa namamu?"

"Issac Frances. Tapi kau boleh memanggilku Megane. Kau sendiri?"

"...Natalie Grey,"

Astaga, kenapa kepalaku berpikir terlalu lama untuk menjawab pertanyaan sederhana itu? Jantungku berdetak tidak karuan sejak berbicara seputar alamat itu. Kepalaku pening, diperburuk karena pikiranku yang bertebaran ke segala arah.

Siapa Demas?

Kenapa aku begini saat aku mendengar namanya?

Darah siapa ini?

"Kalau kau mau pergi, kusarankan setelah matahari terbit. Akan kupanggilkan taksi. Sementara ini, istirahatlah. Kau masih terlihat pucat."

Aku terdiam cukup lama, "Terima kasih."


Chapter tiga bakal ada gak yaaaa?

Cariin prompt dong buat aku! ^^




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top