13. Fated Pair (Commission for Spring)

Fandom: MDZS karya Mo Xiang Tong Xiu

Character:
Lan Wangji (Lan Zhan)
Wei Wuxian (Wei Ying)

*****

Embusan napas terdengar, laki-laki berusia dua puluh tiga tahun terdiam di atas meja kerja karena melamunkan kembali perkataan orang tuanya kemarin malam. Bahkan ia seperti bisa mendengar suara mereka yang terngiang di telinga, tentang fated pair, perjodohan, dan berujung tanggal pernikahan yang telah ditetapkan.

Kau akan menikahi Fated Pair-mu, itu adalah kata-kata ibunya. Sebagai seorang Alpha, Wei Wuxian yang sudah hidup di kepala dua akhirnya bertemu dengan sang Omega. Hal ini benar-benar tidak bisa dihindari, pasangan takdirnya adalah lelaki yang lebih muda empat tahun bernama Lan Wangji. Ia tahu, menolak pun akan percuma saja, jadi pada akhirnya yang bisa ia lakukan adalah menerima pernikahan ini dan mencoba menjalani bersama sebagai seorang pria dewasa. Namun, perasaan yang bergemelut di dada benar-benar sulit ditipu meski ia berkata telah menerima. 

“Kau akan terus seperti ini?” 

Suara seseorang membuatnya mengangkat kepala, melihat siapa yang berbicara—itu adalah lelaki bernama Jiang Cheng yang sudah ia anggap sebagai saudara. 

“Mau bagaimanapun kau berusaha menolaknya, itu percuma.” Jiang Cheng mengingatkan.

“Aku juga tahu. Aku hanya berusaha meyakinkan diri untuk menikah.” Wei Wuxian menyisir rambut depan dengan jari, kemudian ia menyandarkan diri di kursi. 

“Fated Pair-mu adalah yang terbaik untukmu,” ujar lelaki berkemeja ungu yang masih berdiri di hadapan Wei Wuxian. 

“Iya, terima kasih, A-Cheng.” 

Senyuman tipis dan hela napas menandakan perasaan Wei Wuxian telah membaik, berbicara dengan Jiang Cheng walau hanya sepatah kata pun sangat berguna untuknya yang tengah di ambang kebingungan. Namun, sekarang ia lebih yakin bahwa ia bisa menjalani pernikahan dengan lancar bersama Lan Wangji. 

***

Seperti mengedipkan mata, persiapan dengan cepat dilakukan oleh orang tuanya dan keluarga Lan yang menjadi pengantin Omega. Nyaris tiga bulan telah berlalu, dan sesuai tanggal, tiga hari lagi adalah upacara pernikahan dan penghormatan kepada leluhur untuk meminta restu. Namun, pertemuan antara mempelai benar-benar bisa dihitung jari dan agak dibatasi. Wei Wuxian bahkan tidak melihat pemuda itu beberapa hari ini, meski ia telah berada di kediaman Lan untuk mempersiapkan diri sebagai Alpha yang akan menikah. 

Nuansa merah memenuhi kediaman maupun halaman keluarga Lan, pelayan yang berhilir dan mudik ataupun anak-anak yang berlarian dengan semangat karena menyambut hari sukacita.   

Wei Wuxian berada di hadapan cermin, memandangi diri sendiri dengan pakaian merah di tubuhnya. Di dalam kamar ada pula ibu dan sang kakak yang menatap dengan penuh haru karena adik kesayangan akhirnya menikah juga. 

“Benar-benar sangat sempurna, A-Xian sudah menjadi pria dewasa.” Yanli berkomentar, senyuman tidak luntur dari bibirnya yang merah muda. 

Wanita itu mengusap wajah adiknya, wajah yang jelita menatap dengan sorot bahagia.

Tiga hari berlalu, pernikahan pun dilaksanakan. Mereka ada di altar untuk meminta restu dari orang tua, keluarga dan juga leluruh di tempat sembahyang, kemudian menjalani upacara suci pernikahan yang ditutup dengan meminum secawan arak masing-masing dengan saling menyulang ke bibir. 

Senyuman Wei Wuxian memang tidak pernah luntur ketika dibalut pakaian merah, membuat siapa saja yang melihat kebersamaan pengantin pasti membatin bahwa mereka adalah pasangan paling bahagia. Namun, tanpa kehadiran sanak-saudara, di dalam kamar yang telah dirias dan dihidangkan sajian di atas meja, pria yang lebih tua empat tahun dari Lan Wangji itu menghilangkan gurat sukacita. 

Lan Wangji sempat melihatnya, tetapi pria itu lantas memberikan penjelasan bahwa dia hanya tengah kelelahan saja. 

“Jangan khawatir, sebaiknya kita membersihkan diri terlebih dahulu agar lebih nyaman.” Senyuman kecil bertengger di bibir Wei Wuxian. 

“Baiklah.” Lan Wangji menganggukkan kepala. 

Pada bulan-bulan pertama pernikahan, pasangan pengantin baru itu terlihat sangat harmonis. Mereka memahami posisi masing-masing sebagai Alpha dan Omega, saling membantu dan melengkapi kekurangan masing-masing. Wei Wuxian tentu memantapkan diri menjadi suami yang baik, ia berusaha menerima Lan Wangji dan bertanggungjawab untuk membahagikan lelaki yang lebih muda empat tahun darinya itu. 

Mereka terkadang memasak bersama jika ia memiliki waktu libur di rumah, salah satu yang membuatnya tersenyum adalah saat melihat pemuda yang ia panggil Lan Zhan belajar membuat hidangan untuk mereka nikmati. Lelaki itu sangat payah dan kadang akan membuat menu menjadi tidak layak untuk dimakan, bahkan cenderung mengerikan. Namun, ia tidak pernah mengkritik dan lebih sering memberikan saran. Maka dari itu, di kala ia memiliki keluangan di pekerjaan, Wei Ying akan mengambil alih dan mengajarkan tekniknya. 

Menu makan siang sudah tersaji di meja, Lan Zhan tahu sang Alpha menyukai makanan yang pedas, terkadang bahkan tidak bisa ditolelir oleh perutnya. Namun, dengan mangkuk hidangan yang dipisah, semua masalah cita rasa yang berbeda dapat diatasi. Mereka menyantap bersama, sesekali diselingi canda oleh lelaki dewasa itu. Ekspresi Lan Zhan sejak tadi mengumbar senyuman tipis, agak memalukan meski di awal ia terlihat mengomel saat menyentuh peralatan masak yang sangat asing baginya. 

Lan Zhan mengehela napas, ia jadi mengingat saat-saat di mana lelaki itu terkadang menggodanya, dan berakhir dengan membuat ia kesal dan merajuk. Di suatu waktu, bahkan ia terlihat sangat cerewet, tetapi malah dihadiahi senyuman usil oleh sang Alpha yang telah menjadi suaminya. 

Waktu yang mereka nikmati bersama, sangat nyaris sempurna. 

Hari demi hari menjadi minggu, kemudian berganti bulan, dan semakin lama pernikahan tak lagi terlihat canggung. Mereka telah lima bulan membina rumah tangga bersama, baik Wei Wuxian dan Lan Wangji merasa waktu berlalu begitu cepat. Bagi pernikahan yang terjadi karena perjodohan, memang agak sulit untuk saling terbuka kepada pasangan, tetapi masing-masing dari mereka belajar dan berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Lan Zhan sendiri bersyukur menemukan Wei Ying sebagai fater pair-nya, pria itu dewasa dan sangat mengerti dirinya. 

Di suatu hari, pertemuan keluarga besar untuk makan malam bersama membuat hari-hari indah perlahan berubah. Saat itu, seorang wanita cantik datang dan bergabung dengan mereka. Lipstik merah dan gaun yang menawan, membuat siapa saja akan memujinya. Lan Zhan di awal tidak terlalu memperhatikan, sampai ia melihat Wei Ying dan sang dara saling memandang. Detak jantung perlahan berdegub kencang, ia sempat menatap antara satu dengan lainnya, tetapi ia lantas menggelengkan kepala. Mungkin mereka hanya kenalan lama, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. 

Setelah menyantap hidangan, mereka pun kembali ke kediaman. Di apartemen, Wei Ying melihat Lan Zhan yang tidak terlalu menghiraukan obrolan santainya dan lantas masuk ke kamar, ia lantas berpikir mungkin pemuda itu ingin membersihkan diri. Mendesahkan napas, Wei Ying beberapa saat merenggangkan tubuh, duduk di sofa dan menyandarkan punggung karena lelah menyetir selama beberapa jam. Memejamkan mata sejenak, ia memiliki ide, membuat teh dan makan kudapan ringan sehabis mandi mungkin lebih cepat mengusir penat. 

Ia memasak air, kemudian merebus daun teh di dalam teko, mengambil dua piring kecil kue kering, lalu meletakkan di nampan. Setelah air berubah warna, Wei Ying menuangkannya ke dalam cangkir tembikar dan membawa serta camilan ke atas meja makan. 

“Lan Zhan, kemarilah! Aku membuatkan teh untuk kita berdua.” Pria itu tersenyum tulus, wajahnya yang rupawan dan cenderung memikat akan membuat siapa saja tergoda untuk ikut menyunggingkan senyuman bersama. 

Lan Zhan yang masih menggosokkan rambut dengan handuk pun menghapiri, pria di hadapanya lantas memberikan teh dan camilan, kemudian mendekati untuk mengambil alih handuk. Wei Wuxian pun membantu pemuda itu untuk mengeringkannya, hal ini lantas membuat mood Lan Zhan yang awalnya cukup buruk karena teringat pristiwa beberapa jam lalu, menjadi terasa lebih baik. Apalagi diam-diam ia menikmati sentuhan sang pria yang memanjakan dirinya.

“Terima kasih, tapi apakah tidak masalah memakan kudapan manis saat larut seperti ini? Lebih baik menyantap buah saja.” 

Embusan napas terdengar, pria itu tersenyum miring kepada Lan Zhan. 

“Lan Zhan, aku rasa tidak masalah, lagi pula tehnya tidak memakai gula.” Wei Wuxian tertawa kecil, melihat kerutan berada di dahi sang Omega membuatnya senang untuk menggoda. Terkadang, Lan Zhan memang cerewet dan mengomentari banyak hal. 

“Sebaiknya setelah ini kita menggosok gigi, kau akan meminta ampun jika sudah sakit gigi.” 

“Iya! Iya! Ayo, diminum tehnya.” Wei Ying menyeruput sambil melebarkan senyum, sekali-kali ia mengusap kepala pemuda itu dan membuat Lan Zhan terlihat kesal, kemudian lantas menepis tangannya dengan tidak terlalu bertenaga. 

***

Ada satu hal yang mengganjal di dada Wei Wuxian belakangan setelah pertemuan keluarga, kehadiran wanita yang telah lama menghilang tidak ia duga-duga datang. Awalnya ia tak ingin mengacuhkan, tetapi saat itu tanpa sengaja mereka melakukan kontak mata. Walau hanya sebatas itu saja, nyatanya sekarang Wei Wuxian merasa gamang di dalam dada. 

Padahal sudah lama berpisah, ia pun telah menikah dengan Lan Zhan dan semua terlihat berjalan sesuai keinginan mereka. Harmoni pasangan itu bahkan ketara bagi beberapa keluarga yang melihat kebersamaan mereka. Namun, kenapa sekarang ia merasa resah dan dilema? Ia terus-terusan mengingat pertemuan singkat dengan sang dara. 

Apakah karena dirinya masih memeiliki rasa kepada wanita bernama Wen Qing?

Napas Wei Wuxian terhenti seketika, ia mengusap wajah dan mengembuskan napas panjang dengan detak jantung yang terus meningkat. Tidak! Kenapa ia tidak bisa menghapus perasaan ini? 

Suatu hari, tanpa sengaja ia melihat Wen Qing setelah pertemuannya dengan salah satu klien di kafe dekat kantor. Ia menatapnya sejenak, melihat wanita itu yang ingin keluar dari kafe, tanpa sadar Wei Wuxian mengejar dan menghentikan dengan menarik pelan lengan sang dara. 

Tentu saja Wen Qing terhenyak, apalagi menemukan siapa pria yang tengah menghentikan langkahnya. 

“Wei Wuxian?” tanya wanita itu dengan nada berbisik. 

“Wen Qing,” ucapnya, kemudian terdiam sejenak dan menelan saliva. “Ah, mau minum kopi sebentar?” tanya Wei Wuxian sembari tersenyum tipis, dari matanya terlihat penuh harap kepada Wen Qing untuk sejenak menghabiskan waktu bersama. 

Lengan yang digenggam pelan, perlahan dilepaskan. Wen Qing terdiam karena berpikir, kemudian dengan agak ragu mengganggukkan kepala. 

Mereka duduk di dekat jendela, memesan dua kopi dan camilan, kemudian menanyakan kabar untuk berbasa-basi semata. Pramusaji datang dan memberikan pesanan mereka, sembari menyesap minuman kehitaman itu, muda-mudi yang sudah lama tidak bertemu kini mengobrol ringan walau terkesan canggung. Bagiamanapun sekarang dua orang yang pernah menjadi kekasih duduk bersama setelah hubungan mereka berakhir cukup lama, ditambah lagi salah satunya sudah menikah.

“Ah, kalau begitu aku harus pergi, Wei Wuxian.” Wen Qing tersenyum setelah mereka berbincang cukup lama, ia menyambar tas dan ingin membayar pesanannya. 

“Ok, tapi kau tidak perlu membayar. Aku yang mengajak, jadi aku pula yang membayar semua pesanan kita.” 

“Aku agak keberatan.” 

“Tapi kau tau bahwa aku sedikit memaksa,” ucap Wei Wuxian sembari tersenyum, hal itu lantas mengundang tawa kecil dari sang wanita. 

Pertemuan mereka berakhir, di lain waktu Wei Wuxian sengaja menunggu di sana atau mencari tahu tentang sang gadis dengan menyuruh seseorang untuk menyelidiki, sehingga mereka lantas benar-benar bertemu dan kembali duduk bersama. Di pertemuan ketiga, Wei Wuxian meminta nomor ponsel wanita itu sehingga mereka bisa saling mengabari, dan tanpa diduga Wen Qing pun memberikannya begitu saja. 

Ada yang sembunyi-sembunyi bertemu, dan ada pula yang mulai merasa sang pria berkelakuan tidak seperti biasa. Entah hanya perasaan Lan Wangji saja, ia melihat sang Alpha lebih sering bersama ponsel akhir-akhir ini dengan berdalih jadwal pekerjaan sangat padat. Namun, di beberapa waktu, ia melihat Wei Ying tersenyum-senyum sendiri di depan benda persegi itu. 

Alis Lan Zhan berkerut, bahkan beberapa bulan belakangan mereka jarang sekali sekadar makan bersama di restoran langganan, sementara pria itu terus saja pulang larut malam. Tentu tanpa ia tahu di belakanganya Wei Wuxian akhir-akhir ini lebih memilih bersama Wen Qing daripada dirinya. Kencan dengan wanita itu, bahkan memadu kasih bersama. Entah sudah pertemuan keberapa mereka, yang pasti hubungan terlarang itu terlihat semakin dalam saja. 

Beberapa jam lalu, Lan Zhan tanpa sengaja mendengar pembicaraan Wei Ying dari kamar mandi, walau samar-samar, ia tetap memiliki pendegaran yang tajam. Pria itu akan pergi ke salah satu kafe yang tidak terlalu ia tahu di mana, tetapi sepertinya berada di dekat kantor. Dalam benak ia berpikir, mungkin semua ini memang karena pekerjaan dan jadwal rapat yang padat, tetapi ada bait kalimat yang membuat Lan Zhan resah, sang Alpha mengucapkan kata ‘tentu aku akan suka gaun merahmu’.

Mungkin kalimat itu terlalu ambigu untuk membuat Lan Zhan menjadi curiga kepada Wei Ying, tetapi entah kenapa hatinya merasa begitu gusar. Apalagi ia melihat pria itu bersiap dan berpamitan kepadanya. 

Ia menggelengkan kepala untuk mengusir rasa waswas, tetapi melihat sosok dewasa itu menghilang dari balik pintu, hatinya tak siap. Maka dari itu, Lan Zhan memutuskan untuk mengikuti, ingin tahu apa yang dilakukan Wei Ying sehingga terlihat berbeda akhir-akhir ini. Ia bergegas menaiki taksi setelah melihat mobil pria itu melaju di jalanan. Mengikuti dari belakang, selama lima belas menit perjalanan mereka sampai di sebuah kafe yang baru pertama kali Lan Zhan datangi. Ia menunggu sebentar dari dalam taksi, melihat dari balik kaca jendela mobil, kemudian memperhatikan sang Alpha yang masuk dan bertemu dengan seorang wanita bergaun merah. 

Lan Zhan tidak terlalu bisa melihatnya dengan jelas, tetapi ia mendapati pria itu memeluk sebentar dan mereka duduk bersama. Menarik napas dan mengusap wajah gusar, ia memutuskan menuruni taksi dan masuk ke kafe, duduk agak jauh dari kedua orang itu, kemudian menatap dengan jelas siapa yang menjadi tamu dari Wei Wuxian. 

“Wanita itu… Wen Qing?” bibirnya berbisik, matanya melebar dan merasa syok seketika.

Kali ini perasaan menyakitkan di dadanya bukan tanpa alasan atau tuduhan semata lagi, dengan jelas ia melihat Wei Wuxian mengusap wajah dan leher sang dara, mengecup punggung tangan dan saling membalas senyuman dengan kontak mata menyimpan hasrat. Tidak tahan dengan semua itu, ia memilih pulang dan meninggalkan mereka. 

Ia sudah merasa ada yang janggal ketika pertama kali mereka bertemu dengan wanita itu, ketika menatap Wei Ying yang berkontak mata dengan Wen Qing, ia yakin nalurinya berkata ada sesuatu di antara mereka berdua. Namun, apa pun hubungan kedua orang itu dahulu, ia tidak percaya Wei Ying bisa melakukan hal ini di belakangnya. 

Napas Lan Zhan menderu, wajahnya memerah karena marah, kecewa dan menahan air mata yang ingin mengalir. Tangannya mengepal, kemudian mencengkeram dada. Menyakitkan, seperti ditusuk sebilah pedang. 

“Kenapa? Wei Ying,” bisiknya dengan bibir bergetar.

Kedua orang itu adalah mantan kekasih. Wei Wuxian yang adalah fated pair dari Lan Wangji, ternyata pernah menjalin hubungan asmara dengan Wen Qing. Dan sekarang mereka kembali menuangkan bensin, perlahan membakarnya lagi dengan api cinta mereka yang pernah membara di masa lalu. 

Lan Wangji terdiam di kaki sofa, rambutnya ia jambak pelan, wajahnya pucat dan ia menatap nanar foto-foto lama yang ada di salah satu media sosial sang wanita, yang sepertinya sudah tidak aktif lagi. 

Sesak. 

Perasaan hancur di dada teramat membuatnya sulit bernapas. 

Bukankah selama ini rumah tangga mereka baik-baik saja? Pria itu pun sering kali bersikap romantis dan manis kepadanya, memberikan ia cinta dan kasih, sehingga ia merasa sangat dimanjakan sebagai pasangan. Apa semua itu hanya sandiwara? Apa yang dilakukan Wei Ying kepadanya hanya karena kasihan saja melihat ia yang terlalu berusaha untuk mendapatkan hati pria itu?

Kenapa setelah ia terbuai demikian rupa akan kasih yang diberikan Wei Ying, sang Alpha menjatuhkannya begitu dalam ke kubangan luka. 

Lan Zhan mencengkeram tengah dada lagi, sakit, kecewa, merasa tidak berguna. Setetes air mata jatuh ke pipi, bertanya-tanya dalam benak seperti apa perasaan pria itu sekarang kepadanya. 

“Apa Wei Ying risih denganku? Atau malah sangat enggan?”

***

Hari-hari berlalu dengan cepat, Lan Zhan tetap melayani pria itu dan tidak seperti terjadi apa-apa. Sementara Wei Wuxian tidak banyak berubah, dia terkadang menggodanya, memanjakan dan ada kalanya terfokus dengan ponsel. Yang membuat Lan Wangji lantas menatap nanar dengan mata berkaca-kaca adalah karena melihat senyuman yang diberikan pria itu untuk orang lain dan bukan dirinya. 

“Kau menelepon siapa pagi-pagi begini, Wei Ying?” 

Kepala sang Alpha tertoleh, mata yang tajam memandanginya, kemudian senyuman tercipta di bibir. Wei Wuxian yang menyandarkan diri di sofa lantas menegakkan tubuh dan berdiri, ia melangkah dan mendekati Lan Wangji yang menyiapkan sarapan mereka. Membantu pemuda itu dengan menuangkan teh, dan meletakkan mangkuk nasi di meja. 

“Kau tidak menjawab pertanyaanku?” tanya Lan Wangji lagi. 

Bukannya menjawab, tangan Wei Wuxian malah mencomot daging di piring dan menyantapnya, kemudian mengomentari sembari menjilat jari-jari. 

“Masakanmu semakin enak saja, Lan Zhan.” 

Setelah menghabiskan sarapan, pria itu pergi ke kantor seperti biasa, memberikan kecupan kepadanya dengan kurva di bibir. 

“Oh, ya. Aku akan pulang larut karena ada pertemuan penting, jadi jangan tunggu aku, Lan Zhan.” 

“Kau mau bertemu dengan siapa?” 

Ekspresi pria itu berubah karena pertanyaan Lan Wangji, kemudian dia tersenyum manis sembari mengusap wajah sang pemuda.

“Tentu saja dengan klienku, kalau begitu aku pamit. Dah, Lan Zhan.” 

Perasaan pilu yang ditahan sejak tadi kembali menikam dada, Wei Ying pasti bertemu lagi dengan Wen Qing lagi. Kalau sudah seperti ini, apa sebaiknya ia membicarakan tentang hubungan terlarang pria itu secara empat mata? Mungkin Wei Ying khilaf dan akan mengakhiri hubungan itu dengan sang wanita demi pernikahan mereka. Mungki dia hanya tergoda. Mungkin Lan Wangji masih memiliki harapan. 

Tersenyum sedih, Lan Wangji mengusap matanya yang berhias air mata, segukan kecil terdengar, ia menutup mulut dan menarik napas dalam. Mencoba menahan luka yang kini bersarang di hatinya.

***

Gusar seharian, Lan Wangji akhirnya menghubungi pria itu untuk memberi tahu agar lebih cepat pulang. Namun, teleponnya sama sekali tak diangkat. Beberapa kali lagi mencoba, ia pun nyaris putus asa dan menekan kotak pesan untuk memberikan informasi tertulis kepada sang Alpha. 

Matahari mulai terbenam, ia yang tengah menunggu pun mendesahkan napas dan berpikir untuk membersihkan tubuh. Meja makan disiapkan untuk menyantap hidangan malam, dua porsi telah Lan Wangji buat, tetapi hingga makanan mendingin, pria itu tak juga kembali. Tanpa menyentuh hidangan yang tersaji, ia melangkah dan memutuskan untuk menghamburkan diri ke atas ranjang. Beban yang akhir-akhir ini menimpanya membuat Lan Wangji begitu lelah, hingga akhirnya ia terlelap.

Dalam temaram cahaya lampu tidur di kamar, ketika hari hampir pagi, Lan Wangji terbangun dan melihat Wei Wuxian ada di sampingnya. Ia terkejut bukan main sehingga lantas terduduk dan terpaku menatap sejenak. Mengedipkan mata, pria yang ada di sisi ranjang memanglah sang Alpha yang ia tunggu sejak kemarin malam. Bibirnya kelu, ingin berkata, tetapi tidak keluar apa pun selain napas yang tersendat. Mengusap wajahnya, Lan Wangji berdiri dan melangkah ke dapur. 

Ia membut sepoci teh dengan dua cangkir. Lima menit berlalu, alarm sang pria berbunyi dan tidak lama kemudian ia mendengar langkah kaki. Wei Ying datang dengan pakaian yang sudah rapi. 

“Wei Ying, duduklah.” Lan Wangji menuangkan teh dari teko, kemudian memberikannya kepada sang Alpha. 

“Terima kasih, Lan Zhan.” Dia tersenyum tipis, kemudian menyesap teh. 

Kedua telapak tangan Lan Wangji memegangi cangkir yang hangat, ia memandangi cairan kehijauan, kemudian mengebuskan napas. 

“Wei Ying, kemarin aku menghubungimu. Apa pesanku tak masuk?” 

“Oh, kemarin ponselku mati, jadwalku pun padat jadi aku tak sempat mengisi daya.” Dia mendesah beraut merasa bersalah. “Apa kau menungguku kemari? Maafkan aku.” 

Jemari lelaki itu menyentuh punggung tangan Lan Wangji, meremasnya perlahan dan seakan memberikan rasa simpatik kepadanya. Namun, Lan Wangji yang memandangi pun merasa napasnya terhenti, yang ia ingat kali ini bukanlah keromantisan mereka, tetapi saat di mana Wei Wuxian melakukan hal yang sama kepada Wen Qing dan bahkan memberikan kecupan di punggung tangan. Bola mata perlahan melebar, ia menggigit bibir untuk mengendalikan perasaan sakit dan marah yang menyeruak begitu saja.

Ia menarik tangannya, membuat alis lelaki itu berkerut memandangi apa yang dilakukan Lan Zhan. 

“Aku ingin bertanya,” ujar Lan Wangji pelan, seperti kehabisan tenaga.

“Ya? Ada apa, Lan Zhan?” 

Bibir pemuda itu terlihat terbuka, kemudian tertutup lagi. Seperti kata yang akan terucap adalah bola golf yang sulit dikeluarkan dari tenggorokan. Namun, akhirnya Lan Wangji mulai berbicara kepada Wei Wuxian. 

“Aku berpikir, sepertinya kau mulai berubah sekarang.” 

Pria yang mendengarkan masih mencerna, tidak menjawab dan membiarkan Lan Wangji menjelaskan maksud perkataan tersebut kepadanya. 

“Sejak pulang dari pertemuan keluarga, apa yang kau lakukan di luar sana, Wei Ying?” 

“Apa maksudmu, Lan Zhan?” tanya Wei Wuxian dengan alis berkerut.

Mata pemuda itu mengisyaratkan luka, tetapi Wei Wuxia tidak bisa menyadarinya. Masih berusaha mencerna maksud dari perkataan Lan Wangji, sang pria pun terlihat diam dan terus memandangi.

“Kenapa kau bertemu dengan Wen Qing di belakangku?”

Wei Wuxian yang terdiam bingung lantas merubah ekspresi secepat kilat, ia terbelalak, kaget bagai disambar petir.

“Kau berkencan dan memberikannya ciuman? Berkali-kali dan semua itu kaulakukan di belakangku, Wei Wuxian.” Suara Lan Wangji bergetar, dadanya terasa tesayat, air mata menggenang, tetapi ia menahan agar jangan sampai menetes di pipi. 

Keheningan melingkupi dua pasangan itu, Lan Zhan tidak pernah merasa sekecewa ini karena sang pria terus mengatupkan bibir. Tidak berniat sedikit pun untuk memberikan penjelasan atau berkilah bahwa semua itu mungkin hanya kekhilafannya semata. Namun, Wei Wuxian tetap diam, menatapnya dengan rahang mengeras, kemudian mengalihkan pandangan ketika kontak mata mereka bertemu. 

Embusan napas putus asa terdengar, diamnya sang pria membuat semua semakin jelas untuk Lan Zhan. Ia pun menggelengkan kepala, berdiri, melangkah pergi dan menjauh dari Wei Wuxian, tidak ingin menatap wajah pria itu atau berdekatan dengannya. Bahkan setelah ia pergi pun, Wei Wuxian tidak menghadang ataupun mempertahankannya. 

Apakah keberadaan dia memang tidaklah berarti apa-apa bagi sang pria. 

Mata Lan Wangji yang nanar, perlahan terbelalak, setetes air mata mengalir, bibirnya terbuka ketika mengucapkan bait kata setelah menjauh dari Wei Wuxian. 

“Apakah aku menjadi penghalang untuk cinta mereka?” 

Perjodohan ini dilakukan atas perintah orang tua, dan tidak seperti dirinya yang menerima, mungkin saja selama ini Wei Ying terpaksa hidup bersamanya. 

Apakah Lan Wangji benar-benar telah merusak hubungan dua orang yang saling mencinta?

***

Suara pintu terdengar jelas ketika terbuka di malam yang telah larut, membuat siapa saja tahu kalau keheningan telah menelan apartemen yang ditempati Wei Wuxian dan Lan Wangji hingga bunyi apa pun terdengar nyaring di telinga. 

Gelap gulita menyambutnya, hanya sekadar dari cahaya bulan yang menerangi lantai kediaman mereka. Setelah membuka sepatu, Wei Wuxian menekan tombol saklar dan membuat ruangan menjadi terang. Ia mengembuskan napas, agak heran karena sang Omega tak terlihat batang hidungnya juga. Bukankah, biasanya pemuda itu membuakan teh atau camilan, tetapi di atas meja terlihat bersih seperti tak ada yang menyentuhnya. 

Ia celangak-celinguk, kemudian memutuskan untuk melangkah ke kamar dan tidak menemukan siapa-siapa di sana. Alisnya berkerut, membuka pintu kamar mandi dan tak menunjukkan kehadiran sosok yang ia cari. 

Tangan Wei Wuxian mengambil ponsel, mencari kontak pesan, tetapi tidak menemukan informasi yang mengabari bahwa mungkin saja pemuda itu hari ini pergi atau menginap di rumah pamannya. Ia menekan nama Lan Zhan, menelepon dan menempelkan benda itu ke telinga. Deringan masuk beberapa kali, kemudian oprator menjelaskan bahwa nomor yang tengah ia hubungi sedang tak aktif dan berada di luar jangkauan. 

“Lan Zhan, ke mana kau?” 

Tidak mendapatkan hasil, Wei Wuxian mencengkeram rambut dan menjatuhkan tubuh ke atas ranjang. Bertanya-tanya ke mana perginya sang pemuda? Kenapa dia tidak memberikan kabar? Kenapa tidak menjawab teleponnya? Dan semua ini terjadi karena dirinya.

Tertidur karena gelisah dan lelah, Wei Wuxian tersentak di pukul tiga pagi. Ia berkedip dan mendapati ruangan masih terang seperti pertama kali ia masuk, menolehkan kepala ke arah tempat yang biasa dipakai Lan Zhan untuk mengistirahatkan diri bersamanya, ia tidak menemukan sang pemuda di sana. Menelan saliva, Wei Ying membangkitkan tubuh, tangannya bergerak menyentuh bantal dan merasakan bahwa suhu di sana dingin, bertanda pemuda itu tidak datang untuk tidur bersama seperti biasa. 

“Lan Zhan belum pulang juga?” 

Desahan terdengar, ia mengembuskan napas panjang, dan terjaga karena memikirkan dan khawatir kepada pemuda itu. 

“Sebaiknya besok aku tanya kepada Kak Zichen, mungkin benar-benar menginap di sana.” Ia berkata demikian untuk menghibur diri, padahal salahnya tidak menjelaskan dan meminta maaf pagi tadi. 

Saat itu Wei Wuxian benar-benar tak berkutik, begitu terkejut karena Lan Wangji tahu tentang hubungan terlarangannya dengan Wen Qing. Ia merasa kelu, mati kata dan terpaku. Bahkan niatnya untuk menjelaskan pun lebur sudah, keringat dingin menghujani tubuh, terbelalak karena menatap kepergian pemuda itu, tanggannya bergerak untuk mencegah, tetapi kakinya tak bisa melangkah untuk mengejarnya. 

Wei Wuxian benar-benar terperangah, tersadar dari keterpakuan setelah mendengar bantingan pintu. Namun, ia yakin belum terlambat. Ia mencoba mengejar, berlari mencari pemuda itu, turun ke lantai dasar dan berusaha mencegahnya menaiki taksi, tetapi ia kalah cepat. Lan Wangji pergi, tidak mengindahkan teriakannya yang melebur bersama deruman mobil yang berlalu-lalang di jalanan. Ia terengah-engah, kesal terhadap dirinya sendiri, berteriak dan mengusap wajah kasar karena frustrasi.

Hingga esok hari, ia tidak mendapati pemuda itu pulang ke apartemen mereka. Ia lantas mengepalkan tangan hingga buku jari merobek kulit telapak, melangkah dan membuka lemari pakaian mereka, di sana baju Lan Zhan masih tersusun rapi. 

“Dia tidak membawanya, itu berarti Lan Zhan memang tidak pergi terlalu jauh, bukan?” 

Menunggu berapa saat lagi, Wei Wuxian lalu menghubungi Lan Zichen, tetapi ia tidak mendapatkan kabar baik di sana. Pria yang lebih tua beberapa tahun darinya itu menjelaskan bahwa sang adik tidak mampir ke kediaman mereka. 

“Lan Zhan, ke mana kau pergi? Angkat teleponku, Lan Zhan.” Wei Wuxian panik, ia menggigit bibir dan berjalan mondar-mandir.

Tidak mendapatkan sesuatu yang berarti, benda persegi itu dibanting ke atas ranjang, Wei Wuxian lantas jatuh merosot ke lantai. Ia bernapas gusar dan memijat batang hidungnya. 

Ketidakhadiran pemuda itu terus-terusan membuat Wei Wuxian merasa ada yang kurang dihidupnya, ia bahkan sering kali terhenyak karena terbangun seorang diri di atas ranjang, atau malah terdiam karena tidak ada lagi seseoang yang mengantar ke depan pintu ketika pergi kerja atau menyambut ketika ia kembali. Sosok yang terlihat berusaha menyiapkan sarapan dan bekal untuknya walau masakan pemuda itu tidak begitu enak. Namun, ia tetap akan menyantap dengan senyuman. Keseharian mereka yang diisi dengan godaannya dan omelan sang pemuda, juga terkadang merajuk, membuat ulu hati Wei Wuxian berdenyut menyakitkan karena mengingat hal ini. 

Hari demi hari terasa semakin berat, tidak ada yang tidur di samping ranjang atau menanyakan kabarnya dengan raut cemberut karena terlambat kembali ke kediaman mereka, tetapi hal itu manis untuk dilihat. Tidak ada lagi yang akan mengomeli ketika ia sembarangan meletakkan handuk sehabis mandi atau saat tidak meminum vitaminnya. Membuat apartemen ini terasa dingin dan sepi. 

Deringan di ponsel tidak diacuhkannya, nama seorang wanita hanya ia lihat sebentar dan didiamkan begitu saja. Wei Wuxian mengusap wajah, duduk di ranjang dan memaki diri sendiri karena apa yang ia perbuat merusak segalanya. 

“Ini balasanku karena bermain api, Lan Zhan pasti benar-benar membenciku.” Ia berbisik, rambutnya dicengkeram dengan kedua tangan, rasa bersalah dan gelisah membuatnya benar-benar frustrasi sekarang. 

Wei Wuxian berpikir, ia harus menemukan pemuda itu bagaimanapun caranya. Maka dari itu, ia memutuskan mengambil cuti, menanyai siapa saja yang mungkin dikunjungi Lan Wangji dalam pelarian, walau hasilnya nihil. Di suatu hari, setelah begitu lelah, ia pun menyewa detektif untuk mencari. Ia mendapatkan informasi, pemuda itu terlihat pergi ke luar kota dengan menaiki kereta api. Namun, tempat yang disinggahi adalah desa terpencil, sulit menemukan CCTV sehingga mereka kehilangan jejak Lan Wangji. 

Walau begitu, tempat itu mungkin saja telah menjadikan petujuk untuk menemukan sang pemuda. Ia bahkan meminta bantuan beberapa teman dan keluarga, menyebarkan selembaran bahwa Lan Wangji diperkirakan hilang dan akan memberikan hadiah bagi siapa saja yang tahu keberadaannya. 

Bagai nasi yang sudah menjadi bubur, pencarian ini terus berlanjut walau belum menemukan akhir. Kisah dari pernikahan dua insan yang pernah ia rusak dengan tangannya sendiri, masih coba Wei Wuxian perbaiki. Meski memakan waktu yang lama, air mata dan rasa lelah, juga frustrasi karena tidak menemukan titik akhir, ia berjanji tidak akan menyerah. 

Wei Wuxian sekarang sadar bahwa yang diinginkan di hati terdalamnya adalah Lan Wangji seorang. 

***

Tidak memiliki cukup uang, Lan Wangji yang memilih kabur karena merasa menjadi penghalang hubungan Wei Wuxian dan Wen Qing pun memutuskan menaiki kereta api. Entah ke mana ia dibawa oleh alat transporasi ini, ia tidak ingin peduli. Yang terpenting ia dibawa sejauh mungkin, ia tidak ingin kembali atau berharap ditemukan oleh sang Alpha. Sudah berhari-hari ia terlunta-lunta karena tidak memiliki arah tujuan. Di dalam kereta, kepalanya terasa pusing, perutnya pun mual. Ia hanya bisa menahan diri agar tidak mengganggu penumpang yang lain. 

Memejamkan mata, seorang wanita berumur memberikannya minyak kayu putih sehingga Wangji yang masih kebingungan menerima dan mengucapkan terima kasih. 

“Wajahmu sangat pucat, Nak.” 

“Ah, mungkin aku hanya lelah, Bi.” 

“Kalau begitu tidurlah, kau mau ke stasiun mana?” 

“Ke statiun trakhir.” 

“Baiklah, nanti akan kubangunkan.” 

Terlelap berjam-jam, wanita itu membangunkan ketika hari telah siang. Dia diberikan makanan dan mereka menyantapnya bersama. Malam telah datang, mereka sampai di stasiun trakhir dan turun. Di sana adalah desa terpencil dan Lan Wangji memutuskan untuk kembali pergi agar jejaknya tidak mudah dilacak oleh sang pria. 

Perjalanan dari Beijing sangat melelahkan, tetapi setelah fajar datang ia telah berada di dalam bus dan menuju salah satu kota besar. Dari sana ia memesan tiket pesawat ke tempat yang mungkin tidak akan terpikirkan oleh Wei Wuxian. Ia terbang ke Mongolia dan menetap di sana, mungkin sampai sisa akhir hidupnya. 

Kehidupan baru Lan Wangji dimulai di tempat yang asing ini, ia harus bisa beradaptasi dengan baik dan berhemat setelah pelarian mendadak dan tidak terencana ini. Namun, ketika ia telah sampai di Mongolia, di sana ia terdiam sejenak di bandara, memilih duduk dan menenangkan gejolak gelisah di dada. 

“Aku pasti bisa bertahan di sini,” bisik Lan Wangji. 

Ia menarik napas dalam, memejamkan mata sejenak, kemudian membangkitkan tubuh dan melangkah. Hal pertama yang akan dia lakukan adalah mencari tempat tinggal sebelum malam menjelang. 

Berkeliling kota sampai malam, ia tidak menemukan penginapan yang cocok, mungkin karena berada di tengah kota maka harga kamar permalam terlalu mahal baginya. Setidaknya ia harus mencari sewa yang bisa menampung hidup selama sebulan terlebih dahulu. Setelah itu baru ia pikirkan mengenai pekerjaan atau uang dari mana yang didapat untuk biaya di bulan selanjutnya.

Malam semakin larut, Lan Wangji mengerutkan alis dan menguap, ia memutuskan duduk di halte bus dan mencoba beristirahat sejenak. 

Meminum teh kotak yang sempat ia beli, walau terasa dingin ia tetap meneguknya hingga habis. Pukul dua pagi, ia tersentak karena udara yang menggigit. Ia merapatkan jaketnya dan memeluk diri sendiri, kemudian menatap sekitar yang telah benar-benar sepi. Matanya terbelalak ketika ia melihat beberapa orang mendekati, rasa waswas datang begitu saja. Tidak mau hal buruk terjadi, ia pergi dengan keringat yang menetes dari dahi. Jantungnya berdetak cepat, ia melangkah semakin cepat dan bersembunyi, kemudian melihat situasi dan mendesahkan napas karena orang-orang itu telah pergi. 

“Ck,” ia mendecak. Mengusap wajah dan menyandarkan diri di tembok. 

Pagi pun datang, ia memutuskan melanjutkan kegiatan setelah mengisi perut dengan roti panggang pinggir jalan. Setelah berkeliling dengan barang bawaan seadanya, ia pun menemukan sebuah flat yang cocok dengan harga murah. Walau ada di lantai empat, ia tidak masalah apalagi fasilitasnya cukup lengkap, meski hanya sebatas kamar dengan satu dapur mini dan kamar mandi. Tempat itu tentu jauh dari kata mewah, tetapi bersih dan terawat. 

Hari demi hari berlalu, di tempat asing ini selain berhemat, yang harus ia lakukan adalah mencari kerja. Ia sempat terlunta-luta karena nyaris kehabisan uang. Berhemat bahan pokok, meski kondisinya sempat sakit-sakitan. Entah karena kurang mengurus diri dengan asupan gizi, Lan Wangji meresa semakin sering pusing dan mual-mual. Ia terkadang terduduk lemas di samping bak mandi, wajahnya pucat pasi, keringan mengalir, dan ia pun hanya bisa bernapas putus-putus. Untuk kesekian kali ia memuntahkan isi perutnya, hal ini sangat menyiksa dan membuat tubuhnya lemas bukan main. 

“Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku?” tanya Lan Wangji, ia melangkah lunglai ke atas ranjang, menidurkan tubuh dan meletakkan lengan di dahi. 

Tiga minggu berlalu, ia tiba-tiba tidak sadarkan diri ketika membeli makan malam di sebuah gerobak dagang kaki lima. Ibu penjual dan suaminya lantas panik. Saat itu hari sudah mulai larut, Lan Wangji tengah mengantre di barisan ketiga dengan wajah pucat pasi. Mereka pun lantas kaget karena sang pemuda pingsan, beberapa membantu dan mendudukkannya di kursi, sang ibu membuatkan air hangat, sementara suaminya mencoba menyadarkan. 

“Bagaimana keadaanmu?” tanya lelaki paruh baya itu.

“Aku… aku sudah tak apa.” 

“Minumlah ini, istriku yang membuatnya.” 

Beberapa tegukan diminum, Lan Wangji merasa badannya lebih baik. Ia pun mengusap dahi dan mengembuskan napas, kemudian berucap terima kasih. 

Pasangan suami dan istri itu kembali melayani pembeli, kemudian memberikan Lan Wangji seporsi makanan dan membiarkan pemuda itu menyantap hidangan malam. Pembeli beranjak pergi setelah gerobak mulai ditutup, setelah selesai bersiap-siap, suami-istri itu kembali mendekati Lan Wangji dan menanyakan keadaannya lagi. 

Malam itu mereka berbincang, membagi kisah hidup dan bercerita, sehingga Lan Wangji pun membagi kisahnya pula. Mendengar hal itu, pasangan paruh baya memutuskan untuk membantu dan memberikan pekerjaan.

Bulan demi bulan berlalu, Lan Wangji terheran melihat perubahan pada perutnya, ia benar-benar tidak percaya, tetapi bagi seorang Omega hal ini sangat lumrah. Belum lagi kecurigaan yang semakin kuat karena belakangan tubuhnya terasa kurang baik, pusin dan mual berulang kali di tiap pagi. 

Ia menyentuh bagian perut, menarik baju dan memperhatikan selama beberapa saat. Bibirnya terbuka, sementara kelopak mata memejam karena perasaan campur aduk di dalam dada. 

“Kenapa aku baru menyadarinya?” tanya Lan Wangji, menggigit bibir dan merasa muram sekaligus bahagia karena kehamilannya.

Apa pun yang tengah terjadi kepada Lan Wangji, hidup harus terus berjalan. Maka dari itu, ia berusaha keras untuk berjuang. Di tahun pertama tinggal di tempat ini, ia benar-benar beradaptasi dengan bersusah payah. Bersyukur kehamilannya membawa berkah, sepasang suami dan istri paruh baya yang tidak punya anak menggangkatnya menjadi keluarga, mempersilakan Wangji untuk tinggal di kediaman mereka. Ia sangat berterimakasih. Berkata bahwa tidak akan merepotkan mereka di masa-masa kehamilan sampai persalinan. 

Sembilan bulan kehamilan, perjuangan darah dan air mata berbuah manis. Sang buah hati lahir ke dunia, sosok mungil itu menangis dan memberikan Wangji semangat baru untuk terus bertahan. 

“A-Yuan sangat tampan sepertimu, Wangji.” Sang wanita paruh baya mengomentari, ikut bahagia atas kelahiran sang bayi. 

“Terima kasih,” ujar Lan Wangji, ia tersenyum tipis dan membelai pipi gembul itu dengan perasaan haru. 

A-Yuan yang dahulu baru aja lahir ke dunia, kini sudah melangkah dan berceloteh riang, ia berusia tiga tahun, dan itu berarti sudah tahun keempat Lan Wangji berada di tempat ini. Hidupnya sudah benar-benar berubah, nama pria yang pernah bersama dengannya pun perlahan mulai ia lupakan. Fokus kepada si kecil dan kehidupan mereka adalah pilihan terbaik, lagi pula di sini tidak ada yang akan bisa menemukan keberadaan mereka. 

Kesehariannya adalah berjualan di restoran kecil yang telah berhasil mereka kembangkan. Ia membantu melayani pembeli dengan beberapa karyawan yang bekerja bersama. Kedua orang tua angkat pun ikut membantu dengan memasak di dapur, sesekali A-Yuan yang baru saja pulang dari taman kanak-kanak mampir dan duduk di salah satu bangku dekat jendel sembari membaca buku cerita atau mengerjakan PR. 

“A-Yuan, kau mau ke mana?” tanya Lan Wangji yang mendekati putranya. 

Ia melihat anak itu berlari, mendekati seorang pria dan memberikan dompet yang tertinggal. Membiarkan A-Yuan, ia hanya mengatakan kepada salah satu pelayan agar melihat-melihat anak kecil itu sejenak sementara ia melanjutkan pekerjaan. 

***

Seorang pria tengah menghubungi seseorang melalui ponselnya setelah sejenak melihat-lihat ke dalam tempat makan sederhana itu dan duduk sejenak di sana. Melaporkan kepada sang bos yang memerintahkan, memberi informasi tentang yang telah ia temukan setelah bertahun-tahun mencari. 

“Saya menemukannya,” ujarnya sambil terus menatap sang pria yang tengah ia perhatikan sejak tadi. Ia kembali melanjutkan ucapan, “Iya, saya yakin karena beberapa pelayan memanggilnya dengan nama yang sana, Tuan.”

Sang pria diam-diam memontret orang icaran, kemudian mengirimkan foto yang dimaksud, sehingga tidak sampai tiga detik ponselnya kembali berdering. 

“Baik, Tuan. Saya akan berikan alamat restoran sederhana ini.” 

Setelah selesai melaporkan, ia memutuskan untuk pergi dan menunggu malam, yang harus ia lakukan setelah ini adalah mencari tahu di mana lelaki itu tinggal. 

Dua hari kemudian, ketika baru saja kembali dari minimarket di malam hari, Lan Wangji terheran karena ada yang menunggu di depan pintu kediaman rumah orang tua angkatnya. Sosok itu adalah seorang lelaki yang memiliki tinggi sedikit melebihnya, dia menghadap ke belakang dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. 

Terdiam sejenak, sosok itu terlihat seperti tengah menunggu seseorang di depan rumah mereka. 

“Permisi, apa yang kaulakukan di sana?” 

“Lama tidak bertemu,” ujar sosok itu, suara tak asing lantas masuk ke pendengaran Lan Wangji. 

Bola mata terbelalak, bibir sang Omega terlihat kelu karena telintas sosok yang sudah lama tidak ingin ia ingat lagi. Namun, sosok misterius itu membalikkan tubuh, membuat Lan Wangji lantas terkaku karena menemukan sang Alpha yang berdiri tidak jauh di hadapannya dan tengah menatap Lan Wangji dengan dalam. 

“Lan Zhan.” 

“Wei Ying,” bisiknya. 

Gengaman tangan pada plastik belanjaan mengerat karena sosok di hadapannya sekarang adalah Wei Wuxian, setelah empat tahun yang damai, pria itu datang dan menemukannya. 

“Lan Zhan,” ucap sang pria, kakinya bergerak dan ia berusaha membunuh jarak di antara mereka. 

Wei Wuxian menghentikan langkahnya, ia melebarkan mata ketika menemukan Lan Zhan yang memundurkan tubuh dan berusaha menghindari. Sorot mata lelaki itu pun terlihat enggan karena kehadirannya, rasa kejut, dan waswas pun menjadi satu di sana. 

“Aku… aku mencarimu ke mana-mana, Lan Zhan,” jelasnya. 

Lan Wangji bisa melihat ekspresi yang begitu merindu dari sang pria, hal ini membuatnya sesak, tetapi ia berusaha untuk menyembunyikan raut setelah kekagetan dan rasa campur aduk yang sempat ia tampilkan di wajah. Mungkin Wei Ying tengah menyesali setelah sekian lama. 

Embusan napas terdengar, Lan Wangji mengusap anak rambutnya dan sejenak memejamkan mata. 

“Maaf, hari di luar sangat dingin, aku ingin masuk. Permisi.” Hanya itu yang ia ucapkan, dan memang seharusnya seperti ini karena mereka sudah tidak ada hubungan lagi. Namun, ia merasa tangannya dicengkeram lembut, membuat Lan Zhan lantas menolehkan kepala dan menemukan sang pelakuk. 

“Tunggu sebentar, aku ingin berbicara, Lan Zhan.” 

“Lepas,” ucap Lan Wangji dingin dan lelah.

Namun, cengkeraman di tangan semakin mengerat, membuat Lan Zhan mengerutkan alis dan berusaha melepaskan diri. 

“Aku mohon sebentar saja, aku benar-benar mencarimu selama bertahun-tahun. Kenapa kau tiba-tiba meninggalkanku? Kenapa kau pergi, Lan Zhan? Kenapa?” teriakan tercipta, uap napas keluar dan bersahutan dari dua pria yang masih berusaha mempertahankan dan ingin melepaskan. “Apakah aku tidak punya kesempatan lagi? Kesempatanku untuk memperbaiki semuanya.” Nanar mata Wei Ying memandang, dia berkaca-kaca, di dadanya begitu pilu terasa. Rasa bersalah, merasa bodoh, dan hina menjadi satu, dengan fakta bahwa Lan Zhan tidak menginginkan keberadaannya lagi. 

Setetes air mata mengalir, bibirnya mengucap bait kata maaf berulang kali. 

“Kenapa kau langsung pergi begitu saja tanpa memberiku kesempatan?” 

Cengkeraman tangan mengendur, Lan Wangji lantas menarik pergelangannya. Tentu saja ia marah kepada pria itu, dia yang lebih dahulu membuangnya dan sekarang dia pula yang memohon demikian rupa. 

“Karena kau mencintai orang lain, Wei Ying.” Ia berkata, kemudian mengambil belanjaannya yang sempat terjatuh ke lantai. Melangkah masuk dan membiarkan pria itu terdiam dengan wajah frustrasi karena ingatan-ingatan pahit yang terjadi bertahun-tahun silam. Ironisnya semua itu terjadi karena pilihan Wei Wuxian sendiri. 

Melihat Lan Wangji menjauh, Wei Wuxian jatuh berlutut di belakang lelaki itu untuk menyesali perbuatannya. Meski begitu, Lan Zhan tidak luluh, dia pergi dan melangkah masuk ke pintu gerbang halaman rumah yang terbuat dari kayu, kemudian menutupnya, meninggalkan seseorang dengan rasa bersalah begitu dalam. 

Walau ditolak mentah-mentah, ia tetap kukuh untuk terus berusaha menjumpai Lan Zhan lagi dan lagi, mencari cara agar pria itu mau berbicara empat mata dengannya dan menjelaskan bahwa hubungannya dengan Wen Qing sudah lama berakhir. Ia pun menyadari betapa Lan Zhan sangat berarti bagi dirinya sendiri. 

Wei Ying terus datang ke restoran kecil yang dikelola oleh Lan Zhan dan orang tua angkatnya, pemandangan itu tentu saja membuat sang Omega jengah dan berakhir menyembunyikan si buah hati agar sang Alpha tidak mengetahui keberadaan anaknya. 

Di lain waktu, Lan Zhan bersyukur karena tidak menemukan sang pria di restoran, tetapi ia malah dikagetkan ketika mengantar pesanan yang menerima pelayanannya adalah Wei Wuxian. 

Pantas saja ia disuruh masuk begitu saja, di dalam apartemen sang pria bahkan menunggunya dengan senyuman hangat yang entah kenapa membuatnya bertambah sebal. Lan Zhan pun hanya bisa mengembuskan napas, ia mendecak, tetapi harus tetap profesional mengantar pesanan. 

“Ini pesanan Anda, Tuan.” Meletakkannya di atas meja ruang tamu, secepat kilat ia ingin pergi dari tempat ini, tetapi pria itu menghentikan. 

“Ah, terima kasih. Bisa kau membawakan ke meja dapur? Aku baru saja selesai mandi.” Entah apa maksud Wei Ying menjelaskan hal demikian. 

Sekali lagi mencoba bersabar, Lan Zhan mengembuskan napas dan melakukan apa yang pembelinya minta. Kalau bukan demi restoran, tentu dia tidak akan berlama-lama berada di tempat ini bersama Wei Wuxian. 

“Terima kasih,” ujar Wei Ying dengan hanya memakai handuk, rambutnya yang basah mengingatkan saat-saat di mana dahulu Lan Zhan dengan wajah sinis akan mengeringkannya karena takut sang Alpha masuk angin. “Aku ambil uangnya dulu,” ucap itu sengaja agar Lan Zhan berlama-lama di apartemen. 

Beberapa lembar uang diberikan Wei Ying dan karena tangan Lan Zhan tidak juga mau terulur untuk menerima, ia pun memberikan dengan cara meletakkan uang di telapak pria itu dengan menarik tangannya. 

“Ini, kembaliannya ambil saja karena kau sudah datang jauh-jauh ke sini. Aku puas dengan pelayananmu tentu saja, Lan Zhan.” 

Tidak mau berlama-lama, apalagi terus-terusan disuguhi pemandangan demikian dengan senyuman Wei Ying yang tidak luntur juga. Lan Wangji lantas berujar terima kasih dan memberikan salam, kemudian beranjak pergi tanpa basa-basi lagi. 

Ia diam-diam mengembuskan napas, alisnya berkerut sementara bibirnya ia gigit karena kesal. Namun, ia juga bersyukur karena pria itu tidak menahannya lebih lama di tempat ini. Sempat terpikir mungkin saja Wei Ying bisa melakukan hal-hal yang tidak-tidak karena pertemuan mereka yang tak pernah dalam keadaan baik. Apalagi pria itu selalu tidak diacuhkannya selama berminggu-minggu ini. 

“Syukurlah dia tidak macam-macam.” 

Ketika sampai di restoran, ia mendengar orang tua angkatnya mengeluh lagi. Ia yang baru datang pun bertanya ada masalah apa sehingga mereka terlihat kelelahan. Ternyata karena belakangan ini restoran makin ramai saja, apalagi menjelang liburan panjang anak-anak sekolah. Kalau dipikir memang dua minggu belakangan sering kali mereka kehabisan menu-menu dengan sangat cepat sehingga banyak pelanggan yang mengeluh dan menyayangkannya. 

“Tapi kita tidak mungkin menambah bahan pokok untuk menambah porsi, kasihan para pekerja nantinya.” Sang ayah angkat bersuara. 

“Itu benar,” ujar Lan Wangji. 

“Kecuali—“

“Permisi! Tolong tambah lagi pesanan saya, ya?” 

Lan Zhan yang mendengar lantas bergegas pergi, ia tidak lagi ikut dalam percakapan kedua orang tua angkanya. 

Tiga hari kemudian, bola mata Lan Wangji melebar karena kembali menemukan seseorang yang ingin selalu ia hindari kehadirannya di dunia ini. Namun, sosok itu berdiri di hadapan Lan Zhan, bahkan memakai pakaian yang sama dengan dirinya. 

“Halo, Senior Lan!” serunya dengan ceria. 

“K-kau….” Bibir Lan Wangji bagai kelu karena kehabisan kata-kata, ia terperangah kaku karena melihat senyuma manis yang ditampilkan sang pria. 

Wajah dewasa yang berkarisma, juga senyuman yang akan membuat siapa saja menyukainya. Pria itu adalah Wei Wuxian, pegawai baru yang akan bekerja mulai hari ini di restoran mereka. 

Meninggalkan Wei Wuxian dengan wajah masam dan menahan geraman, Lan Wangji mengajak orang tuanya untuk berbicara empat mata. 

“Kenapa dia ada di sini?” tanya Wangji, kesal bukan main.

“Soalnya kita membutuhkan pegawai baru dan dia yang paling kompeten, Wei Wuxian sangat lihai memasak.” 

Lan Wangji mengusap wajahnya frustrasi. Menggumam bahwa tentu saja, tentu saja Wei Ying sangat ahli dalam hal memasak. Namun, mulai sekarang ia akan bertemu setiap hari dengan pria itu. Mungkin sekarang Wei Ying tidak memberitahu siapa pun bahwa dia dulu adalah pasangannya, tetapi pasti pria itu sedang mencari cara untuk menariknya untuk kembali berbicara empat mata.

Hari-hari yang sibuk membuat mereka tidak sempat untuk saling menyapa atau bertatapan lama, sesekali Lan Zhan memperhatikan kinerja sang pegawai baru dan tahu bahwa dia serius dalam pekerjaan ini. Di kepelanya masih berpikir, bagaimana bisa dia berada di tempat ini begitu lama? Apa pria itu tidak bekerja lagi di Cina? 

Pukul sembilan malam, restoran akhirnya tutup dan mereka bisa bernapas lega. Lan Zhan mematikan lampu ruangan dan menyisakan cahaya di teras depan, setelah itu ia mendudukkan diri sejenak di salah satu bangku, kemudian mendesah sembari menyandarkan tubuh di sana. Suara seseorang melangkah tidak ia indahkan, secawan teh terdengar diletakkan di atas meja, kemudian kursi yang ditarik menandakan ada sosok yang duduk di hadapannya. 

“Kau terlihat sangat lelah, Senior?” 

Kelopak mata yang tertutup kini melebar, mendecak keras dan sekarang Lan Zhan duduk tegak karena kehadiran Wei Wuxian di hadapannya. 

“Minumlah tehmu, kau benar-benar terlihat kusut.” Wei Ying berkata. 

Di belakang mereka pegawai yang lain mulai berpamitan, semetara orang tua angkatnya telah pulang sejak malam menjelang tadi karena usia yang sudah paruh baya. Tentu Lan Wangji tidak ingin mereka terlalu lelah bekerja. 

Suara sang pria kembali menyadarkan Lan Zhan dari lamunan, secawan teh digeser lebih dekat ke arah tubuhnya, dan setelah mengambil napas karena tidak punya alasan untuk menolak, ia pun meneguk cairan hangat itu. 

“Terima kasih,” ucap Lan Zhan. 

“Aku benar-benar senang bekerja di sini, paman dan bibi sangat baik dan ramah.” 

Omongan sang pria tidak terlalu didengarkan Lan Zhan, ia sibuk dengan pikirannya sendiri dan tiba-tiba teringat A-Yuan yang sekarang pasti menunggu di rumah bersama orang tua angkatnya. 

“Sepertinya kau benar-benar jengah karena kehadiranku, ya? Lan Zhan aku benar-benar meminta maaf karena perbuatanku dahulu. Aku… aku sangat menyesal. Segala cara kulakukan untuk mencarimu hingga akhirnya berhasil menemukanmu.” Wei Ying berkata sembari meremas kedua tangannya sendiri di atas meja, terlihat gelisah. “Penolakanmu ini, mungkin adalah karma untukku. Aku mungkin tak pantas untuk dimaafkan, Lan Zhan. Aku hanya ingin kau tahu kalau aku benar-benar menyesalinya.” 

Embusan napas terdengar, untuk kesekian kali Wei Ying meminta maafnya, tetapi dia tidak lagi berlutut atau malah memohon teramat sangat seperti yang lalu. Namun, Lan Zhan kembali bisa melihat keputusasaan di mata sang pria. 

“Yang aku cintai adalah kau, Lan Zhan. Saat itu aku benar-benar bodoh dan keliru.” 

Rasa simpatik Lan Zhan kepada sang pria lantas pudar karena pengakuan cinta Wei Wuxian kepada dirinya. Ia mengerutkan alis dan lantas kesal karena memikirkan pria ini datang jauh-jauh pasti karena dipaska orang tua lelaki itu. Tidak mungkin dia yang mencintai Wen Qing hingga menjalin hubungan terlarang bahkan setelah menikah beberapa bulan, datang setelah sekian lama karena tiba-tiba jatuh cinta kepada dirinya. 

Satu-satunya hal yang paling masuk akan memang karena dipaksa orang tua, dan itulah yang paling bisa Lan Zhan percaya. 

“Kau hanya datang karena dipaksa orang tuamu, bukan?” tanya Lan Wangji, ia berdiri dan menatap sinis pria yang terperangah karena ucapannya. Dengkusan terdengar, Lan Zhan kembali berbicara, “Jangan berpikir aku akan luluh dengan pengakuan cinta palsu itu, semuanya sudah hancur bertahun-tahun lalu, Wei Ying.” Pernyataan dingin itu membuat Wei Wuxian terdiam karena mati kata dan duduk terpaku karena rasa kejut yang menghujam dada, sementara Lan Zhan sudah meninggalkannya pergi begitu saja. 

Sekali lagi hanya kegagalan yang menghampiri Wei Wuxian, ia tidak berhasil juga untuk meluluhkan hati Lan Wangji dengan apa pun yang telah ia coba. Di apartemennya, ia berjalan mondar-mandir dengan perasaan gelisah dan nyaris putus asa. Tidak tahu lagi apa yang harus ia perbuat, apa harus ia menyerah sekarang? Tidak! Ia tidak ingin itu terjadi. 

Berhari-hari memikirkan cara, ia semakin frustrasi saja. Namun, tiba-tiba nama seseorang masuk ke kepalanya begitu saja. Benar juga, jika Lan Zhan tidak mau mendengarkan omongannya karena dianggap terlalu mencari alasan saja, maka ia harus memanggil Wen Qing untuk menjelaskan semuanya. 

***

Suasana restoran hari ini sangat berbeda, pria yang sempat bekerja selama satu minggu tiba-tiba saja mengundurkan diri sehingga mereka terpaksa mencari pegawai baru. Entah hal ini adalah sebuah anugerah karena Wei Ying menyerah kepadanya atau dia tengah menyusun rencana baru untuk meluluhkannya, Lan Zhan tidak terlalu peduli karena baginya sekarang ia bernapas sangat lega. 

Beberapa hari yang damai berlalu dengan indah, usaha mereka di restoran juga semakin lancar saja. Melayani pelanggan dengan tersenyum tipis, ia melihat seorang wanita berkacamata hitam masuk dan duduk di dekat jendela seorang diri. Mendatangi sang tamu, Lan Zhan pun mendekati, kemudian melayani wanita itu. Senyum ramahnya seketika luntur ketika ia melihat kacamata hitam diletakkan di atas meja, semua itu terjadi karna Wen Qing tersenyum kecil sembari menanyakan kabarnya sekarang. 

“Lama tidak bertemu, Lan Wangji.” 

Lan Wangji memejamkan mata karena kekesalannya sekarang naik ke ubun-ubun, ia benar-benar ingin mengusir wanita ini dan segala hal yang berhubungan dengan Wei Wuxian sekarang. Namun, demi profesionalitas, ia tidak melakukannya dan hanya melayani wanita itu sekadar saja. 

“Apa yang ingin Anda pesan, Nona?” 

“Kau tanpa basa-basi seperti yang kutahu, Lan Wangji. Aku pesan sup vegetarian dan segelas jus sawi nanas tanpa gula.” 

Pria itu terlihat mencatat, kemudian ingin pergi secepat mungkin. 

“Aku ingin bebicara sebentar denganmu, Lan Wangji.” 

“Sayangnya aku tidak punya waktu, dan kalaupun ada, aku tidak bresedia.” Membalikkan badan, dia melangkah. 

“Ini tentang kesalahanku di masa lalu, dan Wei Wuxian yang sekarang sudah nyaris gila karenamu.” 

Mendegar hal itu, Lan Zhan terhenti. 

“Kumohon untuk memberiku kesempatan menjelaskannya, demi dirimu juga, Tuan Lan.” 

Berada di dapur, Lan Wangji memikirkan perkataan Wen Qing beberapa saat lalu. Wanita itu terlihat masih menikmati hidangan setelah salah satu pramusaji yang mereka punya mengantarkan pesanan. Ia bertanya-tanya apakah harus memberikan kesempatan untuk wanita itu berbicara? Wanita itu juga pernah menghancurkan hatinya bersama Wei Wuxian, tetapi jika sampai datang sendiri jauh-jauh seperti ini, sepertinya semua kekalutan yang mereka alami karena perasaan menyesal benar-benar tidak bisa ia abaikan lagi. 

Maka dari itu, Lan Wangji memberikan waktu untuk Wen Qing berbicara. Hanya sebentara saja setelah jam pulang restoran di salah satu kafe dekat sini. Hampir pukul sepuluh malam mereka bertemu, duduk di kursi masing-masing dan terdiam sejenak karena tidak ada satu pun yang mau berbasa-basi. Mereka hanya berbicara ketika pelayan datang dan mencatat dua kopi yang dipesan. 

“Yang pertama, aku benar-benar meminta maaf karena perbuatan hinaku dahulu kepadamu, Tuan Lan. Aku… aku….” Wanita itu menarik napas, tidak bisa berkata-kata karena kesalahannya. 

“Semua sudah menjadi bubur, Nona Wen. Dan kita harus tetap hidup, bukan?” ucap Lan Wangji dengan wajah lelah.

Embusan napas letih terdengar, Wen Qing menganggukkan kepalanya. 

“Aku bersyukur karena kau sudah hidup lebih baik sekarang, dan aku pun merasa lebih lega setelah meminta maaf secara langsung kepadamu, Tuan Lan.” Wajah Wen Qing yang biasanya terkesan arogan dan tajam, kini menatapnya nanar. “Aku benar-benar bodoh karena cinta, tapi dia… dia hanya tergoda karena aku. Saat itu aku melihatnya, dia tidak menyadariku dan aku malah berusaha lebih lama di kafe agar dia menyadari keberadaanku. Seperti yang kuduga, dia menyapaku.” 

Terdiam sejenak, Wen Qing sekali lagi memejamkan mata karena perbuatannya yang sempat mencoba menggoda milik orang lain. Tahu mungkin saja pria itu masih menyisakan perasaan kepadanya. 

“Tapi aku tahu yang ada di hatinya hanyalah kau, Tuan Lan. Ketika kau pergi, dia benar-benar marah dengan dirinya sendiri, tidak melihatku lagi. Dan sekarang hidupnya terlihat semakin  menyedihkan saja.” Wen Qing mengembuskan napas sekali lagi. “Yang ingin kuberitahu selain permintaan maafku kepadamu, tolong berikan dia kesempatan lagi, Tuan Lan. Dia sudah seperti orang gila bertahun-tahun mencari keberadaanmu, terlihat sangat mengkhawatirkan dan putus asa. Namun, ketika aku bertemu dengannya lagi karena meminta tolong untuk membujukmu, aku melihat cahaya dan harapan di matanya. Aku melihat dia begitu hidup setelah sekian lama hampir mati karena kehilangan dirimu, Tuan Lan.” 

***

Perkataan Wen Qing beberapa hari lalu membua Lan Wangji sedikit banyak menjadi luluh. Ia memikirkan matang-matang apa yang akan ia lakukan setelah ini. Di sini walau disambut sangat baik oleh orang tua angkatnya, terkadang ia tetap merindukan negeri kelahiran dan juga keluarga. 

“Di sini bukanlah negeriku,” bisik Wangji. 

Malam hari bersama putranya, ia memeluk A-Yuan di atas ranjang, menyanyikan lagu pengantar tidur sembari sesekali melamunkan apa yang dikatakan wanita bermarga Wen itu. Namun, setelah lama memikirkan, ia akhirnya memutuskan untuk kembali sejenak melihat keluarga di Cina. 

Membutuhkan penjelasan yang panjang untuk menyakinkan orang tua angkatnya bahwa ia akan kembali lagi ke tempat mereka. Namun, setelah mengatakan salah satu alasan karena ia merindukan keluarga di sana setelah bertahun-tahun pergi, akhirnya mereka melepaskan Lan Wangji. 

Kembali ke negeri tirai bambu, Wei Wuxian yang menunggu kepastian dalam keputusasaan dibuat tercengang dengan kesediaan Lan Wangji. Pria itu lantas menjemputnya ke rumah orang tua angkat, di sana ia memberikan hormat kepada suami dan istri paruh baya yang bersedia menganggap Wangji sebagai anak sendiri selama empat tahun lebih. 

“Wei Ying, sebelum pergi, ada yang ingin kuberitahu.” 

“Ada apa, Lan Zhan?” 

Pria itu terlihat memanggil seseorang dari rumah, nama yang asing tentu saja di pendengaran Wei Wuxian. Setelah beberapa saat, muncullah anak lelaki yang diantar oleh suami dan istri paruh baya itu. Hal ini tentu membuat matanya melebar karena menyaksikan, apalagi sang anak langsung berlari dan menghamburkan diri ke pelukan Lan Zhan. 

Masih terus menatap dengan saksama, atensi Wei Ying teralihkan karena Lan Zhan menyebutkan namanya. 

“Dia adalah A-Yuan, Wei Ying. Anak kita,” bisik Lan Zhan pada kalimat terakhir. 

Terpaku seketika, Wei Wuxian tanpa kata melangkahkan kakinya mendekati anak lelaki yang tersenyum memandanginya. Setelah berada di hadapan Lan Wangji, ia mengulurkan tangan dan menyentuh kepala si kecil, bibirnya tersenyum ramah, tiba-tiba saja air mata pun mengalir karena haru yang datang begitu saja di dalam dada. 

“Kau… kau pasti mengalami banyak kepahitan, Lan Zhan.” Ia menghapus air mata, kemudian tersenyum secerah mentari. “Terima kasih, Lan Zhan. A-Yuan, salam kenal.” Wei Ying lantas menarik anak lelaki itu ke dalam rengkuhan, memeluk erat dan memberikan ciuman di pucuk kepala beraroma sampo buah-buahan. Tanpa disangka, A-Yuan pun membalasnya, ikut nyaman di dalam pelukan Wei Wuxian. 

Memandangi dua orang yang tengah membagi kasih, Lan Zhan tiba-tiba merasa haru di dalam dada, belum pernah ia melihat pemandangan semenakjubkan ini, mempertemukan dua orang yang memiliki ikatan darah sebagai ayah dan anak. Di hati kecilnya, ada sejumput perih karena bertahun-tahun memisahkan mereka. 

Mereka kembali ke Cina dengan menaiki pesawat. Tiba di tempat kelarihannya itu, Lan Zhan lantas dibawa ke apartemen yang pernah ia tinggalkan empat tahun lalu. 

Wei Wuxian membukakan pintu, mempersilakan mereka masuk dan memberikan kamar terpisah demi kenyamaan Lan Wangji. Selama beberapa saat membersihkan diri dan istirahat sejenak, Wei Wuxian kemudian memanggil mereka untuk mengisi perut karena hidangan baru saja matang. 

A-Yuan sepertinya bisa beradaptasi dengan baik, anak itu terlihat lahap memakan hidangan yang ia masakkan, tetapi sepertinya tidak dengan Lan Wangji yang canggung karena kebersamaan mereka di apartemen ini. 

***

Meski telah kembali, hubungan orang tua dari A-Yuan tidak terlalu membaik, malah canggung dan terasa agak renggang. Tentu saja tidak mudah mengembalikan keutuhan hati yang sempat disakiti, yang telah hancur walau telah dipoles kembali, pasti masih menyisakan retakan dan gurat-gurat kesedihan. 

Tiap kali ingin mendekatkan diri, memperbaiki hubungan mereka kembali, Lan Wangji terlihat tidak terlalu nyaman dengan keberadaan Wei Wuxian. Ada kalanya dia membantu pria itu memasak meski sekarang Lan Zhan terlihat jauh lebih mahir dari apa yang ia ingat dahulu, tetapi dia menolak mentah-mentah karena beralasan Wei Ying baru saja pulang dari bekerja. 

“Tidak apa, Wei Ying. Kau pasti lelah, aku bisa melakukannya sendiri. Sebaiknya kau membersihkan diri saja.” 

Kalau Lan Zhan sudah berkata demikian, Wei Wuxian hanya bisa mengalah dan mengaggukkan kepala. Ia pun melakukan apa yang sang Omega ucapkan. Namun, kadang-kadang ia merasa bahwa hal ini adalah sesuatu yang pantas untuk dirinya, untung saja di apartemen mereka ada A-Yuan yang menjadi pencair suasana bagi mereka berdua. 

“Hahhhh!” ia mengembuskan napas dalam, tersenyum kecil karena mengingat bagaimana sulitnya menemukan Lan Zhan, seharusnya ia bersyukur dengan kebaraan sang pria di tempat ini dan kesediaan Lan Zhan untuk kembali ke apartemennya. 

Selama beberapa minggu, Lan Wangji sering kali terlihat memisahkan diri. Seperti ketika makan malam, pria itu berbicara bahwa masih kenyang atau telah makan terlebih dahulu karena Wei Ying terlambat pulang. Mungkin hal ini masih bisa ia maklumi, tetapi bahkan di saat sarapan, sang Omega pun terlihat enggan untuk menyantapnya bersama. Bisa Wei Ying hitung dengan jarinya berapa kali pria itu duduk di hadapannya untuk menikmati menu yang disajikan. 

Maka dari itu, pagi-pagi buta di keesokan harinya, Wei Ying mengambil alih urusan memasak. Ia membuatkan menu kesukaan Lan Zhan dan putra mereka, dengan senyuman lebar menghidangkan sarapan dengan hati yang tiba-tiba bersuasana gembira. 

“Lan Zhan, ke sinilah. Ayo, kita makan bersama.” Wei Ying berkata dengan senyuman di bibir. 

“Ah, Wei Ying, maafkan aku. Aku lupa mengatakan bahwa kami akan sarapan di luar bersama beberapa teman di taman kanak-kanak A-Yuan.” Ia menggandeng tangan putranya, tanpa berbasa-basi meninggalkan Wei Ying yang terdiam dengan apron dan serbet di tangan. 

Pria itu pergi begitu saja, Wei Ying bahkan tidak sempat berkata dan malah mendesahkan napas ketika melihatnya telah menghilang dari balik pintu. 

“Kenapa dia terus menghindariku? Bahkan ketika ingin liburan bersama pun Lan Zhan menolak dengan halus?” tanya Wei Ying dengan alis mengkerut, sekali lagi mengembuskan udara kasar dan mengusap wajah, kemudian ia membuka apron dan melemparkannya ke kursi. 

Duduk terdiam, ia mengambil sumpit dan menyantap sarapan yang telah dimasak sejak pagi-pagi seorang diri. Ia tidak menyalahkan Lan Wangji, bagaimanapun memperbaiki hati yang telah ia sakiti tidaklah mudah dilakukan. Namun, selain keengganan Lan Zhan untuk bersama dirinya, akhir-akhir ini ada yang membuat Wei Ying kesal bukan main. Pria itu sering kali pergi dengan teman-teman baru yang didapat dari taman kanak-kanak. Salah satunya seorang Alpha yang merupakan orang tua tunggal. 

Jika ia bertanya mau ke mana Lan Zhan pergi malam-malam begini, atau dari mana pria itu sehingga pulang larut malam seperti ini, dia akan menjawab bertemu dengan sang Alpha yang bahkan tidak ia tahu bagaimana rupanya. 

Sabtu malam ketika sepulang kerja pukul sembilan, Wei Ying dan Lan Zhan berpapasan di pintu depan. Mereka sama-sama terkejut dan berdiri terdiam beberapa saat, kemudian yang pertama kali berbicara adalah Wangji. 

“Ah, aku ingin pergi, Wei Ying,” ucapan sang Omega membuat Wei Wuxian mengerutkan alis. Tubuh pria yang sedikit lebih tinggi dari Lan Wangji itu menghalangi pintu karena tidak berniat bergeser sedikit pun. “Wei Ying?” meski Lan Wangji kembali menyerukan namanya dengan raut bertanya atas tindakan yang aneh ini pria itu tidak juga menyingkir dari pintu. 

“Pergi ke mana? Bertemu dengan siapa?” 

Hela napa terdengar, Lan Zhan terlihat bersedekap. 

“Aku ingin pergi ke bar, tentu saja bersama temanku.” 

“Apa? jangan-jangan kau mau pergi bersama si Alpha itu lagi?” tanya Wei Ying dengan raut menahan kesal karena ia memikirkan lagi-lagi Lan Zhan bisa menyempatkan diri untuk pergi dengan pria asing itu, tetapi sulit untuk bersama dirinya. Rasanya ini sangat tidak adil, padahal ia ingin sekali memperbaiki hubungan mereka, tetapi selalu saja dihadiahi penolakan Lan Wangji. “Ck, ini sudah malam, A-Yuan mungkin saja terbangun nanti dan menangis karena tidak menemukanmu, Lan Zhan.” Akhirnya dengan nyaris putus asa, ia menggunakan cara ini. Berharap pria itu tidak pergi dan memilih bersama Alpha yang lain. 

“Tapi aku sudah punya janji, Wei Ying. A-Yuan juga dijaga oleh bibi pengasuh. Lagi pula, kau ini kenapa, sih? Aku hanya ingin pergi untuk menenangkan diri.” 

Pernyataan itu membuat dada Wei Wuxian terasa seperi dihujam, pikiran negatif masuk ke kepala, membatin apakah mungkin Lan Wangji selama ini tertekan bersama dirinya? Ia menggigit bibir. Kenapa ia memperlakukan Lan Zhan seolah pria itu masih menjadi miliknya? Kenapa ia merasa sesak bukan main dan cemburu seperti ini melihatnya pergi bersama Alpha di luar sana. 

“Kau datang?” 

Suara Lan Zhan di tengah keheningan mereka membuat Wei Ying menolehkan kepala, ke arah pria itu menatap sosok lain yang berdiri tidak jauh di belakang punggungnya. Sosok yang pertama kali ia lihat, Alpha yang akhir-akhir ini dekat dan sering kali bersama Lan Wangji. 

Mata Wei Wuxian terbelalak, melihat mereka saling melempar senyuman, kemudian Lan Zhan yang perlahan keluar dari pintu dan pergi bersama pria itu. 

Mengeraskan rahang, ia tidak ingin putus asa dan mengalah begitu saja. Maka dari itu, Wei Wuxian memilih menghentikan Lan Wangji dengan mencengkeram lembut pergelangan tangan pria yang lebih muda empat tahun darinya itu. 

“Aku ikut denganmu, Lan Zhan.” 

“Hah? Wei Ying, bukannya kau baru saja pulang kerja? Lebih baik kau mengistirahakan diri.” Raut wajah Lan Zhan sebenarnya mencerminkan bahwa ia khawatir, tetapi Wei Ying tidak menangkap hal itu karena kekesalan yang masih terpendam di dada. 

Menggeleng dan mengeratkan cengkeraman di pergelangan Lan Zhan, Wei Ying bersikeras bahwa ia akan ikut ke mana lelaki itu pergi nantinya. Kekeraskepalaan sang Alpha membuat Lan Wangji mengembuskan napas pasrah, ia pun mengiyakan asal pria itu tidak mengganggu mereka. 

Wei Ying akhirnya setuju, ia pun pergi mengikuti menggunakan mobilnya sendiri dengan raut semakin muram. Memikirkan Lan Zhan bersama Alpha yang lain membuat hatinya semakin tak siap saja, apalagi ia nantinya hanya bisa memperhatikan dari jauh agar tidak mengacaukan pertemuan antar teman itu. Kedua orang itu memang masih belum memiliki hubungan, tetapi ia yakin lambat laun kalau dibiarkan mereka pasti menjalin kasih. 

“Tidak akan kubiarkan,” bisiknya, mencengkeram stir kemudi mobil. “Lan Zhan adalah fated pair-ku.”

Ia sampai di salah satu bar yang cukup terkenal. Di sana ia mengikuti dua orang yang saling mengobrol bersama, kemudian duduk di dekat bartender yang tengah melayani pelanggan dengan minuman yang tengah dibuat. Mata Wei Ying awas memperhatikan, Lan Zhan di bawa ke salah satu meja, musik terdengar begitu mendukung Alpha dan Omega yang tengah memesan minuman kepada pramusaji. 

Kedekatan dua orang itu membuat air mata Wei Ying tergenang, ia merasa seperti tengah mendapatkan karma karena yang ia lakukan sekarang ini pernah dialami oleh Lan Zhan beberapa tahun yang lalu. Kristal bening menetes begitu saja, ia mengusapnya dengan cepat dan menundukkan kepala. 

“Saat itu Lan Zhan pun amat terluka, mungkin rasa sakitnya melebihi apa yang kurasakan sekarang.” Ia berbisik. Ia merasa sesak, cemburu, dan marah kepada dirinya sendiri. 

Ia menghancurkan apa yang telah dibina selama berbulan-bulan hanya karena tergoda dengan wanita yang pernah menjadi kekasihnya. Menghancurkan hati yang tulus mencintainya dan selalu berusaha menjadi sosok yang baik demi rumah tangga mereka. 

Raut Wei Ying yang menyedihkan tidak bisa lagi ditutupi, mungkin karena pengaruh alkohol yang sedikit ia sesap tadi. Namun, tiba-tiba saja Lan Zhan menoleh menatapnya, seperti ingin tahu bagaimana kondiri dirinya sekarang. Melihat apakah ia tetap berada di tempat ini untuk melihat dua orang yang tengah melakukan masa pendekatan atau malah pergi karena merasa buang-buang waktu. 

Dari cahaya lampu yang tidak terlalu terang, Lan Zhan melebarkan bola mata karena melihat pria itu meneteskan air mata memandangi dirinya yang duduk dengan pria lain, mengobrol dan terkadang bercanda. 

“Aku mencintaimu, Lan Zhan.” Walau tanpa suara, bait kata itu terbaca jelas dari bibir Wei Wuxian yang berucap. 

“Wei Ying,” bisik sang Omega, ia merasa debaran menghujam jantung karena perkataan cinta yang diucapkan. 

Hati Lan Wangji terusik karena pria itu terus menunggu di sana bahkan sampai mereka memutuskan untuk kembali pulang. 

Mereka tiba di rumah dengan keadaan terpisah, malam itu dua orang yang terus saling memikirkan satu sama lain terlihat terus termenung hingga kesadaran mereka diambil alih oleh rasa kantuk. Mereka terlelap, tetapi bibir masih membisikkan nama satu sama lain. 

Esok pagi, Lan Zhan yang telah memakaikan seragam untuk anaknya pun keluar dari kamar dan terhenyak karena melihat Wei Ying membuatkan sarapan untuk mereka semua dengan raut biasa saja. A-Yuan terlihat senang dan mengajaknya untuk cepat duduk di kursi masing-masing, bahkan anak lelaki itu sempat memeluk Wei Ying dan menghadiahi gendongan singkat, kemudian mendudukkannya ke atas bangku yang diperuntukkan untuk balita. 

Dengan canggung Lan Zhan mendekat setelah ia dipanggil sang pria yang kembali memberikan senyuman tulus untuknya. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan raut wajah Wei Ying kemarin malam. 

“Ah, iya.” Menatap sup iga dengan akar teratai, Lan Zhan mengambil sendok dan menyuapkan ke mulut. 

Suasana hatinya membaik karena rasa yang menggoyang lidah, Wei Ying benar-benar selalu kompeten dalam hal memasak. A-Yuan pun terlihat riang memakan hidangannya, sesekali anak mereka terlihat bermanja dan disuapi oleh Wei Wuxian.

“Enak?” tanya pria itu kepada si kecil, yang lantas dijawab dengan anggukan riang. 

Entah kenapa, bagi Lan Zhan pemandangan ini selalu membuatnya haru secara tiba-tiba. Apalagi melihat Wei Ying yang selalu berusaha untuk mendapatkan hatinya. Apakah ia terlalu kejam dengan semua yang ia lakukan kepada sang pria? 

“Lan Zhan, apa kau tidak suka?” tanya Wei Ying, dia mengerutkan alis karena melihat Lan Wangji melamun. 

“Tidak, ini semua sangat enak. Kau sangat ahli memasak seperti biasa.” Ia tersenyum kecil, tetapi tulus dari hati. 

***

Setelah sarapan dan membersihkan meja, pukul delapan tiga puluh adalah saatnya untuk A-yuan pergi ke taman kanak-kanak, kali ini Wei Ying sengaja pergi ke kantor lebih lama agar berkesempatan mengantar putra mereka. Duduk di depan, ia mengemudi, sementara dua orang lainnya duduk di belakang. 

Walau rasanya sangat canggung, Wei Ying tidak masalah dengan keengganan Lan Zhan untuk duduk didekatnya. Ia malahan bersyukur karena sang Omega tidak menolak ajakan untuk mengantar A-Yuan bersama. 

“Kita sampai, A-Yuan,” kata Wei Wuxian sembari tersenyum ceria. 

“Yeee! Sudah sampai,” anak itu pun ikut semringah. 

Setelah sabuk pengaman dilepaskan, mereka bertiga turun bersama-sama. Menggandeng tangan sang putra, akhirnya masuk ke koridor dan di sana bertemu dengan beberapa orang tua yang ikut mengantar. 

Seorang anak perempuan mendekati sembari berlari, sepertinya dia adalah teman A-Yuan, kemudian pria yang menjadi teman Lan Zhan kemarin malam melangkah di belakang anak kecil itu. Tersenyum kepada sang Omega, dan dibalas oleh Lan Wangji dengan senyuman sama lebar. 

“Ah, kita bertemu lagi, Tuan.” Sapa sang Alpha kepada Wei Wuxian. 

Tentu saja saat diajak berbicara, raut Wei Ying berubah dingin seketika, sebab ia begitu enggan untuk berlama-lama berada di situasi seperti ini. Lagi pula, laki-laki asing itu terlihat sekali ingin mencari perhatian Lan Zhan. 

“Ya, salam kenal, Tuan. Aku Wei Wuxian, fated pair-nya Lan Wangji.” Ia mengulurkan tangan, seperti yang diduga, air muka pria asing itu langsung berubah begitu mengetahui fakta bahwa mereka berdua adalah sepasang Alpha dan Omega yang memiliki takdir untuk bersatu. 

Pria itu menerima uluran tangan Wei Wuxian, kemudian dia terlihat canggung seketika. Mungkin setelah tahu, tidak ada lagi alasan untuk mendekati sang Omega. Memutuskan untuk berpamit diri, si lelaki asing pun tersenyum kepada Lan Zhan dan melambaikan tangan. 

“Aku harus bekerja, kalau begitu sampai jumpa, Wangji.” 

“Iya, hati-hati.” 

Setelah kepergiannya, suasana menjadi dingin karena Lan Zhan merasa kesal dengan apa yang dilakukan Wei Wuxian. Pria itu mencampuri urusannya, bahkan membeberkan bahwa mereka adalah fated pair kepada temannya dan karena hal itu situasi menjadi sangat tidak mengenakkan terjadi. 

“Apa-apan kau tadi?” tanya Lan Zhan, ia melangkah cepat menghindari keramaian setelah melihat A-Yuan masuk ke dalam kelasnya. “Kau benar-benar keterlaluan,” sambung Wangji sembari menggelengkan kepala. 

“Apa yang kulakukan? Aku hanya memperkenalkan diri kepadanya.” 

“Tapi kau seharusnya tidak perlu memperjelas, kan?” 

“Yang kukatakan adalah sebuah kebenaran. Kenapa kau mempermasalahkannya, Lan Zhan.” 

Dengkusan napas terdengar, Lan Zhan mempercepat langkah, tetapi Wei Wuxian mengejarnya di belakang. 

“Semua itu tidak diperlukan, kau hanya berlebihan, Wei Ying.” 

Mereka ada di parkiran, Lan Zhan terhenti karena Wei Ying mencengkeram lembut lengan atasnya. Membuat sang omega spontan berbalik arah sehingga mereka berhadapan satu sama lain sekarang.

“Aku tahu dia mengincarmu,” bisik Wei Ying. Desahan napas terdengar, ia melanjutkan ucapannya. “Aku tahu kau marah kepadaku, kecewa, benci. Namun, aku hanya ingin kau tahu bahwa bagaimanapun perasaanmu kepadaku sekarang, aku akan tetap mencintaimu.” 

Mereka saling menatap. 

“Aku benar-benar meminta maaf atas perbuatanku, Lan Zhan.” Tangannya yang mencengkeram lengan atas Wangji perlahan dilepas. “Kumohon percayalah bahwa aku benar-benar menyesalinya,” bisik Wei Wuxian. 

“Wei Ying, kau sudah berulang kali meminta maaf, tidak perlu mengatakannya lagi.” 

Bola mata sang Alpha melebar, bisakah ia berharap bahwa pria di hadapannya ini telah memaafkannya sehingga mereka bisa membuka lembaran baru sebagai orang tua A-Yuan lagi. Ia tidak terlalu berharap bahwa Lan Zhan mau mencintainya lagi, ia bisa bertahan dan pelan-pelan mengukir hari-hari indah lagi sehingga perlahan pria itu menjadi nyaman, mungkin di suatu waktu bisa membalas cintanya pula. 

Suasana menjadi lebih sepi, Lan Zhan mengajak pria itu untuk masuk ke mobil. Wei Ying kembali dikejutkan karena mereka duduk bersebelahan. Entah kenapa, perasaannya sedikit membaik karena Wangji tidak menunjukkan keengganan lagi terhadapnya. 

Deruman mobil terdengar ketika melaju, hening kembali tercipta, tetapi sepertinya masing-masing dari dua orang itu tidak ingin membuka suara. 

Setelah sampai di apartemen, Wei Ying tidak langsung pergi ke kantor. Ia malah ikut duduk di sofa di samping Lan Zhan yang tengah menyandarkan diri dan menenangkan diri sejenak dari hiruk pikuk jalanan. 

Pembicaraan mereka yang tadi belum selesai, pun Wei Ying coba buka kembali, tetapi ia melihat mata pria itu terpejam. Membatin, mungkin saja dia masih mengantuk karena semalam mereka pulang larut. Bibir yang terbuka pun terkatup rapat, mendengar napas Lan Zhan yang mengembus beraturan, ia sadar bahwa sang Omega benar-benar telah terlelap sekarang. 

Hampir sepuluh menit ia terdiam sembari memperhatikan Lan Zhan, tangannya kemudian bergerak dan menyelip di belakang bahu dan lipatan lutut pria yang masih berlabuh di alam mimpi itu. Dengan perlahan, Wei Ying mengangkatnya, kemudian ia melangkah dan membawa sosok tersebut ke dalam kamar untuk dibaringkan. 

Wei Ying menyelimuti, kemudian memutuskan untuk duduk di pinggir ranjang dan terus memperhatikan wajah sang Omega. 

“Aku tahu, pasti begitu sulit untukmu menyingkirkan kenangan pahit itu,” bisik Wei Ying. “Namun, aku benar-benar bersungguh-sungguh jatuh hati kepadamu, Lan Zhan.” Ia mendekatkan tubuh, kepalanya berada di atas wajah pria yang terlelap itu, kemudian memberikan kecupan lembut di dahi. “Terima kasih karena telah membuatku jatuh cinta. Terima kasih karena telah hadir di hidupku dan dengan tulus menjadikanku pasanganmu. Terima kasih karena masih sudi untuk tinggal bersamaku di tempat ini, Lan Zhan.” 

Air mata Wei Wuxian mengalir, menetes dan jatuh ke atas kelopak mata Lan Wangji. Sang Alpha tidak menyadari, meski wajah mereka masih saling berhadapan dengan kelopak matanya pun ikut terpejam, Lan Zhan terbangun sejak tadi. 

Wei Ying tidak tahu, mata Lan Zhan sudah terbuka sejak setetes air mata jatuh. Mata sang pria terus menatap wajah sang Alpha yang menyembunyikan kepiluan, mencintainya sekarang mungkin sama menyakitkan seperti apa yang dirasakannya dahulu terhadap sosok ini. 

Tangan terulur, Lan Zhan menyentuh wajah Wei Ying dengan kedua telapaknya. Hal ini lantas membuat sang pria membuka mata dan terbelalak. 

“Kenapa kau mau untuk terus mencintaiku, meski aku tidak mengacuhkanmu, Wei Ying?” Lan Zhan berbisik, bagaikan berujar dari hati ke hati. “Kenapa kau tetap bertahan dan berjuang untuk mencintaiku?” tanyanya sekali lagi. 

Gelengan kepala terlihat, Wei Ying menggigit bibirnya. 

“Aku bertahan karena aku mencintaimu, hanya itu, Lan Zhan.” 

Ibu jari Wangji bergerak, membelai pipi sang pria sehingga perasaan gusar di dalam dada pun berkurang. Wei Ying lantas menjadi lebih lega, melihat orang yang dicintanya tidak menuding pengakuannya. 

Senyuman lembut terbentuk di bibir Lan Wangji. 

“Kalau begitu tetaplah mencintaiku, Wei Ying,” ujarnya, kemudian menarik wajah Wei Wuxian mendekat sehingga mereka hanya terpisah hidung masing-masing. 

Menjatuhkan kepala ke ceruk leher pria itu, Wei Ying merasa sangat bahagia karena ia berhasil menyakinkan Lan Zhan dengan perasaannya. Ia memeluknya erat, rengkuhan itu pun dibalas oleh sang Omega. Mendapati hal ini, bibir Wei Wuxian membentuk kurva. Ia pun menyamankan diri dan memejamkan mata, sejenak menikmati perasaan membuncah di dalam dada. 

“Terima kasih, Lan Zhan,” bisik Wei Wuxian. 

***

Akhir pekan di pagi hari pasangan Alpha dan Omega itu terlihat tengah mengendarai mobil sembari menyanyikan lagu kanak-kanak yang sangat disuka A-Yuan. Mereka tidak lepas dari senyuman dan canda tawa. Semenjak hari di mana mereka mengutarakan perasaan dari hati ke hati, hubungan keluarga yang sempat hancur itu, perlahan diperbaiki. Dan sekarang, mereka benar-benar memulai lembaran baru dan menutup kesedihan yang sempat terjadi di masa lalu. 

Wei Ying tertawa ketika melihat Lan Zhan cemberut karena anak mereka berkata bahwa dia lebih menyukai senyuman sang Alpha daripada sang Omega. Melihat raut yang masam membuatnya ingin sekali menggoda sosok yang benar-benar ia cintai ini. Maka dari itu, ketika mereka telah sampai di pantai, ia menggunakan jarinya dan menarik pipi Lan Zhan agar bibirnya ikut melebar. 

“Ahaha lucu, terliat lucu,” komentar A-Yuan terkikik geli. 

“Weh hin, henhikan.” (Wei Ying, hentikan)

Mendengar hal itu, Wei Wuxian dan A-Yuan kembali tertawa sampai memegangi perut karena tidak tahan dengan wajah Lan Zhan yang terlihat sangat aneh. 

Mendecak, Lan Zhan akhirnya bisa melepaskan tangan Wei Ying, kemudian untuk menutupi rasa malu karena terus digoda, ia pun mengatakan bahwa mereka sebaiknya ke pantai untuk menikmati sinar matahari dan angin laut yang menyegarkan. Cuaca juga sangat cerah hari ini, dengan membawa perbekalan dan sebuah tikar dan perlengkapan berenang di laut, Lan Zhan melihat Wei Ying dan A-Yuan berlari bersama dan tidak sabar untuk segera menyentuh bibir pantai. 

Sepertinya karena kurang cepat, pria itu lantas menaikkan anaknya ke atas punggung, sehingga A-Yuan menjerit girang karena menjadi jauh lebih tinggi sekarang. 

“Asik! Asik!” 

Tanpa sadar, kurva di bibir semakin melebar. Lan Zhan mengembuskan napas dan tersenyum lembut karena menyaksikan dua orang yang paling berharga di dalam hidupnya tengah berbahagia bersama dirinya. 

“Lan Zhan! Ayo, ke sini! Cepatlah!” seru Wei Ying melambaikan tangan. 

“Iya, Wei Ying.” 

Setelah menggelar tikar dan menyusun perbekalan, Lan Zhan mengganti pakaian si kecil yang sudah tidak sabar untuk bermain air. 

“A-Yuan, sebaiknya isi perutmu dulu baru ke pantai, ok.” 

Anak lelaki itu menganggukkan kepala, cepat-cepat mengunyah makanan dan menelannya hingga hampir tersedak. Bersyukur Wei Ying cepat tanggap dan memberikan jus kepadanya. 

“Hei, pelan-pelan makannya, A-Yuan.” 

“Iya.” Kepala si kecil mengagguk. 

Setelah menyantap hidangan, mereka bertiga lantas bermain air di bibir pantai. Sesekali Wei Ying mengajak anaknya untuk ke tempat yang lebih dalam, membuat A-Yuan terkaget karena tidak bisa menyentuh pasir di dasar laut. 

“Jangan jauh-jauh, Wei Ying.” 

“Iya,” ucapnya mematuhi perkataan Lan Zhan. Ia pun melangkah kembali ke bibir pantai. 

Melihat Lan Wangji yang sama sekali tidak basah bagian atasnya, Wei Wuxian lantas membisikkan sesuatu kepada anak mereka. Senyuman penuh muslihat terlihat jelas di wajah pria itu, tetapi Lan Zhan mengabaikan dan mendesah karena lebih penting menikmati suasana yang indah ini. 

Atensinya teralih, ia melihat A-Yuan mendekati dan tersenyum lebar. 

“Ada apa, Sayang?” tanya Lan Zhan, menjongkokkan tubuh, meski begitu air tetap berada di mata kaki karena ia terus berdiri tidak jauh dari bibir pantai. 

Siraman air membasahi wajah Lan Zhan, ia terkaget karena biang kerok dari perbuatan itu adalah A-Yuan yang tengah tertawa girang dan terlihat senang karena berhasil mengerjainya. Namun, tidak cukup sampai di situ, Wei Ying datang dan melakukan hal yang sama, bahkan lebih parah lagi pria itu memaksanya dengan mengangkat kemudian masuk ke laut yang lebih dalam. 

“Yeee! Sudah basah! Sudah basah!” seru A-Yuan mengangkat kedua tangan. 

Mendengkus kesel karena dipermainkan dua orang kesayangannya, Lan Zhan pun tidak mau kalah. Ia berdiri dan merapikan pakaian yang sempat tersingkap, kemudian membalas perbuatan itu kepada Wei Ying dan A-Yuan. 

“AAAAA!” teriakan A-Yuan membahana, si kecil lari ke pelukan Wei Ying. 

Walau berada di gendongan Wei Ying, pria itu ikut berlari karena sekarang Lan Zhan pun mengejarnya. 

“Jangan kabur kalian!” 

Pembalasan tiba, Wei Ying terjatuh dan bertahan dengan lutut untuk melindungi putranya. Melihat A-Yuan baik-bak saja, siraman air kembali dilayangkan Lan Zhan kepada mereka berdua.

“Ampun, Yang Mulia!” teriak Wei Ying memelas. 

“Ampun, Yang Mulia!” A-Yuan bahkan mengikuti pria itu. 

Lan Zhan sekarang berkacak pinggang di depan dua orang yang tengah memelas memandanginya. Ia tersenyum lebar, kemudian melangkah dan merengkuh mereka semua. Menggelitiki pinggan Wei Ying dan juga A-Yuan yang sekarang tertawa membahana. 

Berhenti karena lelah, mereka bertiga memutuskan untuk membaringkan tubuh di pinggir pantai. A-Yuna terlihat berdiri tidak lama setelahnya, si kecil melangkah dan mengambil sesuatu di kotak bekal, sebuah lolipop dikeluarkan bocah itu, kemudian ia nikmati dengan menjilat, sembari mendudukkan diri di tikar. 

“Lan Zhan, terima kasih atas akhir pekan yang indah ini.” Wei Ying menatap langit yang cerah, ia mengembangkan senyuman dan masih berbaring di samping sang pria. 

Gelengan kepala terlihat, Lan Zhan yang sudah duduk dan menatap Wei Wuxian lantas berbicara, “Rasanya, aku tidak pernah menyesal kembali ke sisimu, Wei Ying.” Ia pun tersenyum kecil, kemudian memandangi A-Yuan yang masih asik bersama lolipop. “Melihat A-Yuan tumbuh dengan kebahagian seperti sekarang, bagiku adalah hal paling berharga. Apalagi yang membuatnya ceria adalah kau, Wei Ying. Terima kasih telah menjadi fated pair-ku dan terus kukuh mencintaiku.” 

Tangan Wei Ying bergerak, menyentuh wajah Lan Zhan dan membawa pria itu mendekat sehingga sekarang berada di rengkuhannya. Ketika sedang asik membagi kasih, bocah kecil yang datang dan mengambur ke atas tubuh Lan Zhan membuat mereka tersenyum lebar dan membawa A-Yuan lantas untuk ikut menikmati cahaya mentari bersama, sembari bercerita tentang awan yang bergerak dan juga air laut yang asin ketika tertelan. 

Sekarang hanya ada kebahagian dan cinta.

*

*

*

*

*

TAMAT                                                                                 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top