Twenty Second Harmony-Hear, Color That Shining Bright
Rabu sore di Studio pribadi milik Fuyumi, terasa sangat menyenangkan. Kami sedang berlatih untuk penampilan di Acara pernikahan Bibi Fuyumi. Fuyumi telah memilihkan lagu untuk di nyanyikan. Kali ini, aku dan Shiro harus berduet karena lagu ini dinyanyikan oleh dua orang.
Aku tak tahu, kenapa Fuyumi bersikeras dengan lagu itu. Tapi jika boleh jujur, lagu yang akan kami bawakan ini memang sangat romantis. Tentang kembang api yang bermekaran. Bukankah itu sangat indah untuk dinyanyikan di acara pernikahan?
Namun, nada untuk lagu ini sedikit sulit dinyanyikan. Membuatku berkali-kali ditegur baik oleh Shiro maupun Fuyumi.
"Yuki," Shiro menghentikan permainan bassnya, "Kau tahu kesalahanmu?"
Ah, mulai lagi.
Aku mengangguk ragu. "Uh ... artikulasiku di reft jelek, ya?"
"Bukan jelek, hanya buruk saja."
Uh ... perkataannya menusuk sekali.
"Yuki, lidahmu itu sering terselip atau apa?" Fuyumi bersedekap, menghela napas panjang. "Coba jangan merasa terbebani. Ikuti saja harmoninya."
Aku menggaruk rambut terkuncirku yang sudah sedikit berantakan. "Aku sudah ikuti harmoninya, kok!" kataku mencoba meyakinkan.
"Saat bernyanyi, cobalah untuk menikmati aliran lagu. Dengan begitu, kamu akan merasakan kebahagiaan dalam bermusik," Shiro mengulum senyum, "Ayo coba sekali lagi."
Aku mengangguk, menarik napas panjang. Setelah menghelanya, aku mencoba berkonsentrasi. Aku membuka suara begitu suara instrumen masuk. Shiro benar. Dengan menikmati lagu yang kubawakan, ada rasa berbeda meluap di dadaku. Apakah ini yang namanya kebahagiaan dalam bermusik?
Warna yang terpancar semakin beragam. Aku melihat sekeliling dengan senyum berseri. Hanya dengan bernyanyi, aku bisa melihat warna suaraku sendiri. Aku tak bisa melihatnya saat bicara seperti biasa. Sudah kuduga, musik memang ajaib!
Shiro mulai menyanyikan bagiannya. Suara Shiro itu ... teduh dan sangat menenangkan. Warna biru limau. Awalnya kupikir, biru limau memancarkan kesedihan. Namun aku salah. Warna biru limau yang keluar dari suara Shiro justru mengartikan sifat alaminya. Shiro, lelaki yang memiliki pembawaan yang tenang dengan suara teduhnya.
DEG!
Aku membuang muka begitu tatapan Shiro mengarah kepadaku. Kami bertemu pandang untuk sesaat. Shiro itu ... anak yang istimewa. Dia mandiri, dan memiliki hati yang baik. Hanya dengan bersamanya saja ... aku merasakan kebahagiaan.
Kami selesai membawakan lagu. Aku menyentuh wajahku yang terasa terbakar. Karena Shiro sering membantuku, apakah aku ... menyukainya?
Aku menggeleng. Sejak kapan aku memikirkan tentang anak laki-laki? Belum waktunya untukku. Saat ini aku harus mengutamakan belajar.
"Hey Yuki," panggilan dari Shiro membuatku menoleh. Dia mengulurkan sebotol teh hangat kepadaku. "Minumlah," ujarnya mencoba ramah.
Aku menerimanya, "Terima kasih."
"Aku tidak?" Fuyumi mengerucutkan bibirnya, merajuk. "Shiro pelit sekali ya!"
Shiro menatap malas, "Kau 'kan punya sendiri."
"Iya sih," Fuyumi menjulurkan sedikit lidahnya, melirikku, "Tapi 'kan barang gratis itu yang terbaik! Iya 'kan, Yuki?" Dia menyenggol-ngenggol tanganku, tersenyum nakal.
Alisku bertaut. Sebenarnya apa yang hendak Fuyumi katakan?
"Yah, rasanya pasti akan lebih menyenangkan kalau yang memberikannya adalah orang yang disukai," Fuyumi berjalan pelan ke arah sofa, bersiul-siul. Dia meraig tasnya, lalu menatapku dan Shiro bergantian, sebelum akhirnya merekahkan senyum lebar. "Iya, 'kan?"
Aku memiringkan kecil wajahku. Fuyumi sedang merajuk?
"Ayo pulang," Shiro memakai mantelnya. Dia membuang muka begitu aku menatapnya. Hm? Ada apa dengannya? Warna suaranya ... sedikit berbeda. Terselip warna merah muda di sana.
Meski heran, aku mengangguk saja. Aku memakai mantel dan syalku, lalu meraih tas yang ada di atas meja.
Kami keluar dari bangunan yang menjadi markas kami ini. Setelah Fuyumi menguncinya, Shiro menyalakan mesin mobil. Kami masuk ke dalam dan mobil segera melaju.
Kebiasaan yang aneh, aku selalu diminta―atau lebih tepatnya dipaksa―Fuyumi untuk duduk di kursi penumpang di sebelah pengemudi, sedangkan dirinya sendiri duduk di kursi belakang. Katanya, karena dia pulang lebih dulu, agar lebih mudah untuk turun. Padahal menurutku mau duduk dimanapun sama saja.
Yang membuat canggung itu, saat Fuyumi sudah diantar dan tersisa hanya aku dan Shiro berdua di dalam mobil. Seperti saat ini, Fuyumi turun dari mobil, melambaikan tangan, dan berpesan, "Kalau sudah resmi, traktir aku ya!"
Dan apa yang dia maksud sebagai resmi?
Deruman mobil terdengar, Shiro kembali mengendarai mobil. Karena bosan, aku mencoba membuka percakapan, "Dulu kau dan Aoi dekat, ya?"
Detik setelah aku melontarkan pertanyaan itu, aku segera menyesalinya.
"Iya, dulu aku menyukainya," Shiro menjawab santai. Pandangannya fokus ke depan.
"O-Oh," aku memaksakan seulas senyum. "Aoi itu, gadis seperti apa?"
Hening, Shiro tampak berpikir. Dia melirikku lewat ekor matanya, lalu mengulaskan senyum. "Mungkin ... sepertimu?"
Aku tersentak pelan, menoleh cepat ke arahnya. Sepertiku?
"Tapi dalam versi yang lebih banyak bicara," warna suara Shiro mulai berubah sendu, "Dia gadis yang hangat dan selalu tersenyum. Selalu membuatku tertawa, meski di saat sulit. Itu yang membuatku selalu merindukannya."
Tenggorokanku terasa tercekat, seperti tersumpal oleh sesuatu. "A-Aku ... Aku bisa menggantikan posisinya!" seruku refleks. "I-Itu kalau kamu mau," tambahku cepat.
Shiro tertawa pelan, dan entah mengapa aku ikut tersenyum. "Kamu sudah menjadi penggantinya."
"Iya," senyumku melebar. "Semoga, kita bisa bersahabat selamanya. Aku, Fuyumi, dan kamu."
"Hanya sahabat?" Shiro melirikku sekilas.
"Umh, iya ..?" jawabku tidak yakin. "Memangnya apalagi?"
"Lain kali saja," Shiro mengulum senyum penuh arti.
Yang hanya bisa kulakukan, hanyalah menatapnya tak mengerti.
Kami tiba di Apatermen jam tujuh malam. Aku menunduk pamit begitu lift menuju lantai tempat tinggalku terbuka. "Sampai jumpa besok," pamitku.
Shiro mengangguk, "sampai jumpa besok," balasnya.
Aku berjalan menuju pintu nomor kamar Apartemenku. Kutatap pintu itu lamat-lamat, membiarkan pikiranku melayang kemana-mana untuk sesaat. Aku menghela napas panjang. Tanganku meraih kenop pintu, lalu membukanya.
Hal pertama yang menyambutku adalah harum khas yang begitu merindukan. Jantungku berpacu begitu cepat, sehingga sekujur tubuhku sedikit gemetar. Aku berjalan pelan, menelusuri setiap jengkal ruangan. Aku tiba di Dapur, dan mendapati meja makan yang hampir setiap hari kosong kini diisi penuh oleh makanan.
Di dekat kompor, sosok itu terlihat jelas di mataku, tengah mengaduk kuali berisi sup favoritku. Ibu tersenyum hangat begitu menyadari kehadiranku. "Selamat datang kembali, Yuki. Ibu sudah masak makanan kesukaanmu. Ayo kita makan malam bersama."
Ya Tuhan, apakah aku tengah bermimpi?
Air mata yang selama ini tak pernah kulepaskan, kini mengalir dengan mulus di pipi. Aku mengusapnya cepat, lalu mengembangkan seulas senyum. "Aku ... pulang!"
***
Pagi hari yang cerah untuk mengawali acara yang membahagiakan. Dua buah insan telah bersatu, saling mengikat jiwa dengan janji suci. Aku tersenyum melihat bibir Bibi Fuyumi yang melengkung lebar. Suatu saat nanti, aku pasti juga akan meraskaan yang namanya menikah, 'kan?
"Yuki, ayo," aku segera meletakkan gelas jusku ke sembarang meja begitu mendengar panggilan Fuyumi. Gadis itu menyerahkan sebuah gitar kepadaku. Aku menyelempangkan tali gitar, lalu mengulas senyum.
Hari ini, acara pernikahan Bibi Fuyumi.
Dan hari ini pula, aku, Fuyumi, dan Shiro akan tampil.
Fuyumi memberikan aba-aba.
Suara instumen masuk, aku membuka suaraku, membiarkan ribuan warna bercampur menjadi satu.
"Ano hi miwatashita nagisa o ima mo omoidasun da
[yang kita lihat hari itu
Kata-kata yang kita tulis di atas pasir,]
suna no ue ni kizanda kotoba kimi no ushiro sugata
[Aku masih bisa mengingat pantai pemandangan ketika kau sedang berbalik]"
Aku mulai menyanyikan lagu. Memejamkan mataku, aku menikmati setiap alunan nada yang ada.
"Yorikaesu nami ga ashimoto o yogiri nanika o sarau
[Ombak yang surut dan mengalir di kakiku, menghanyutkan segalanya]
yuunagi no naka higure dake ga toorisugite yuku
[Di sore hari yang tenang, senja pun berlalu begitu saja]"
Entah kenapa, lagu kali ini tampak berbeda.
"Patto hikatte saita hanabi o miteta
[Kita melihat kembang api yang meledak dalam sekejap]
kitto mada owaranai natsu ga
[Musim panas ini masih belum berakhir]
aimai na kokoro o tokashite tsunaida
[Melepaskan keraguan dan menghubungkan hati kita]
kono yoru ga tsudzuite hoshikatta
[Aku ingin malam ini terus berlanjut selamanya]"
Suaraku dan suara Shiro yang ajaibnya bisa menyatu, membuat jantungku berdebar.
"Ato nando kimi to onaji hanabi o mirareru ka na tte
[Aku ingin tahu berapa kali aku akan melihat kembang api yang sama denganmu]
warau kao ni nani ga dekiru darou ka
[Apa yang bisa kulakukan untuk wajahmu yang tersenyum itu?]
kizutsuku koto yorokobu koto kurikaesu nami to joudou
[Merasa terluka, merasa senang, ombak yang terus berulang dengan teratur]
shousou saishuu ressha no oto
[Kegelisahan dan suara kereta terakhir di sore hari]"
Suara Shiro ... begitu meneduhkan. Aku tersenyum tanpa sadar, menatap raut wajahnya yang tampak begitu mencintai musik.
"Nando demo kotoba ni shite kimi o yobu yo
[Lagi dan lagi, aku akan mengatakannya, dan memanggilmu]
namima o erabi, mou ichido
[Mencari jeda di antara ombak, aku akan mencobanya sekali lagi]
mou nido to kanashimazu ni sumu you ni
[Agar kau tidak akan pernah merasa bersedih lagi]"
Waktu bisa menyembuhkan luka, namun musik dapat membuat perasaan sedih meluap.
"Hatto iki o nomeba kiechaisou na hikari ga
[Cahaya yang seperti menghilang dalam sekejap]
kitto mada mune ni sundeita
[Akan selalu teringat di hati kita]
te o nobaseba fureta attakai mirai wa
[Masa depan hangat yang kita rasakan saat kita menggapaikan tangan kita]
hisoka ni futari o miteita
[Diam-diam memperhatikan kita]"
Aku ... sepertinya jatuh cinta ...
"Patto hanabi ga
[Kembang api dalam kilatan cahaya]
yoru ni saita
[Bermekaran saat malam]
yoru ni saite
[Bermekaran saat malam]
shizuka ni kieta
[Menghilang dengan senyap]
hanasanaide (hanarenaide)
[Jangan lepaskan (jangan pergi)]
mou sukoshi dake
[Sebentar lagi]
mou sukoshi dake
[Sebentar lagi]
kono mama de
[Biarkan kita tetap seperti ini]"
Aku jatuh cinta kepada musik.
"Ano hi miwatashita nagisa o ima mo omoidasun da
[Aku masih bisa mengingat pantai yang kita lihat hari itu]
suna no ue ni kizanda kotoba kimi no ushiro sugata
[Kata-kata yang kita tulis di atas pasir, pemandangan ketika kau sedang berbalik]"
Aku melihat sekitar, menatap orang-orang yang tersenyum menonton penampilan kami. Mereka tampak bahagia.
"Patto hikatte saita hanabi o miteta
[Kita melihat kembang api yang meledak dalam sekejap]
kitto mada owaranai natsu ga
[Musim panas ini masih belum berakhir]
aimai na kokoro o tokashite tsunaida
[Melepaskan keraguan dan menghubungkan hati kita]
kono yoru ga tsudzuite hoshikatta
[Aku ingin malam ini terus berlanjut selamanya]"
Musik mengantarkan perasaan yang tak tersampaikan. Aku telah jatuh cinta ... kepada aliran musik.
Suara tepuk tangan terdengar, memenuhi pendengaran. Untuk pertama kalinya, serempak warna yang terlihat semua sama.
Kuning.
Begitu berkilau dan memancarkan kebahagiaan.
Aku senang.
Sebentar lagi, Festival bunga salju akan dilaksanakan.
Dan kuharap, orang-orang yang menyaksikan kami, dapat ikut merasakan aliran musik yang kukumandangkan.
***END***
HAHA! Beneran ending yang sangat menggantung.
Makasih udah baca sampai sini! Next update, epilog.
See u :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top