Third Harmony-Hear, His Kindness

Aku melangkahkan kakiku memasuki gedung sekolah dengan mood yang begitu buruk. Terima kasih kepada lelaki yang tadi pagi yang sukses menghancurkan mood-ku hingga berkepinh-keping.

Aku menghela napas panjang. Apakah dia memiliki dendam pribadi kepadaku? Ataukah aku yang terlalu sok mengenalnya? Ah, seharusnya aku tidak menarik lengan seragamnya tadi pagi. Mungkin saja itu yang membuatnya marah.

"Pagi Yuki!" Sapa beberapa orang gadis tepat saat kakiku menapaki lantai kelas. "Bagaimana kabarmu? Kudengar kau kemarin sakit demam, ya?"

Kalau tahu begitu, kenapa kalian tidak menjengukku? Katanya kita teman! Ingin rasanya aku meneriakkan itu, namun apadaya yang bisa kulakukan hanyalah memaksakan seulas senyum terbaikku. "Iya," jawabku pada akhirnya.

"Hey, Yuki!" panggil seorang gadis yang refleks membuatku nyaris mengerutkan keningku saat melihat warna dari suaranya.

Hitam dan abu-abu.

Setelah meletakan tas di kursiku, aku menoleh tanpa menghilangkan senyum di bibirku. "Ya? Ada apa?"

Beberapa orang gadis kelasku datang bergerombolan menghampiri mejaku dengan buku latihan dan bolpoin di tangan mereka. "Sudah mengerjakan pekerjaan rumah matematika untuk hari ini? Kami lihat, ya! Apa boleh?"

Memangnya aku punya pilihan lain selain membiarkan mereka menyalin pekerjaanku? Tentu saja tidak. Pada dasarnya hidup tidak pernah memberikan pilihan kepada diriku.

Dengan engan, aku mengeluarkan buku latihan matematika dari dalam tas, kemudian meletakannya di atas meja. "Di sini saja, ya?"

Dengan senyum berseri, mereka mengangguk serempak. "Terima kasih!"

Aku duduk, memperhatikan mereka yang tengah sibuk menyalin pekerjaan rumahku dengan mudahnya. Padahal aku sudah susah payah mengerjakannya, namun dengan enaknya mereka menyalin pekerjaanku dan mendapatkan nilai yang sama denganku.

Menyedihkan.

Klek,

Aku menoleh saat melihat pintu kelas terbuka lebar dan menampakan seorang gadis berambut hitam panjang memasuki kelas. Poni rambutnya yang begitu panjang membuat sebagian wajahnya tidak terlihat dengan jelas, membuatku mengerutkan dalam keningku. Seingatku, aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya.

"Siapa dia?" Tanyaku entah kepada siapa.

"Oh," uap berwarna merah dan hitam mulai mewarnai sekitarku. "Kemarin saat kau tidak masuk, ada murid baru yang datang," jelas salah satu anak gadis yang sedang menyalin pekerjaan rumahku. Kalau tidak salah namanya Miku.

Gadis di samping Miku yang bernama Aira mengangguk cepat. "Dia sangat aneh, kau tahu?" bisiknya sambil sesekali melirik gadis berambut hitam panjang itu yang telah duduk di kursi paling pojok belakang. "Dia terlihat seperti ... hantu."

"Katanya ada gosip menyebar bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh!" Sambung gadis lainnya yang entah siapa namanya. "Dia juga sangat aneh! Kudengar dia psikopat yang senang menyakiti hewan."

"Ayahnya pembunuh manusia, anaknya pembunuh hewan," Miku tertawa sinis. "Aku penasaran, apakah ibunya pembuhun tumbuhan?"

Gadis-gadis di sekitarku tertawa, membuat uap berwarna merah dan hitam tampak semakin pekat, rasanya aku mual sekali berada di sini.

"T-Tapi tidak baik membicarakannya dari belakang ...," ujarku pelan. "Bisa saja gosip itu salah, kan?"

Gadis-gadis yang sedari tadi tertawa pun tersumpal, menatapku penuh curiga. "Mengapa kamu membelanya?"

"Eh, a-aku ..."

"Yuki, apakah kau jangan-jangan adalah juga seorang psikopat yang suka menyakiti hewan?" Aira menatapku tajam. "Kau mengerikan!" sahutnya sambil berpura-pura merinding. Gadis itu pergi meninggalkan mejaku dan diikuti oleh gadis-gadis lainnya.

"Aira, tunggu kami!"

Aku menunduk dalam, memijat keningku yang rasanya mau meledak. Sialan, padahal aku berniat baik, tapi mereka justru menganggapku psikopat.

Inilah yang kubenci dari hidupku, memiliki banyak teman palsu di kehidupan yang memuakkan.

Aku tidak memiliki tujuan hidup, bahkan orang yang kucintai berbohong kepadaku.

Ini ... menyesakkan jiwa dan ragaku.

Aku menatap kosong buku latihan matematika milikku yang dibiarkan tergeletak di atas meja. Sakit sekali rasanya menjalankan kehidupan yang aneh ini. Bagaikan kaset rusak yang diputar berulang-ulang kali tanpa merasa bosan. Hidup memang begitu, terulang kembali tanpa memberikan kesembuhan kepada luka yang telah ditorehkannya.

Pernah terlintas di benakku untuk mengakhiri hidupku sendiri, namun aku yakin itu bukanlah pilihan terbaiknya.

Time heal everythings. Itulah yang kupercayai hingga sekarang.

Saat-saat yang kutunggu adalah dimana waktu berjalan dengan cepat dan memberikan kebahagiaan tersendiri kepadaku.

Aku masih menunggunya, menahan semua kepedihan ini sambil dikelilingi oleh para manusia yang dipenuhi dengan kebohongan.

***

Aku berdiri terdiam di Halte bus depan sekolah, menatap warna biru kolbalt yang semakin pekat karena hujan hari ini turun deras sekali.

Aku benci hujan.

Karena hujan selalu turun di saat yang begitu menyedihkan di hidupku.

Ah sial, tak seharusnya aku mengingat kejadian di masa lalu. Itu hanya membuatku sedih.

Karena terlalu asyik melamun, aku tak menyadari keberadaan lelaki yang berdiri di belakangku.

"Hei," tegurnya yang membuatku tersentak kaget dan hampir saja tergelincir jatuh.

Warna suara biru limau ini membuatku refleks menoleh, menatap lelaki yang tadi pagi baru saja menyebutku menyebalkan.

"H-Hai," balasku setengah niat. Bukan bermaksud sombong atau apa, tapi aku masih merasa sedikit kesal karena telah disebut menyebalkan oleh seorang lelaki yang bahkan tak kuketahui namanya.

Eh, tapi tunggu dulu. Beberapa hari yang lalu, aku sempat menabraknya hingga membuatnya terjatuh dan seragamnya basah, kan? Apakah mungkin ia marah kepadaku karena hal itu? Dan itu yang membuatnya menyimpan dendam pribadi kepadaku?

Aku menoleh, menatapnya dengan ragu. "Maaf ya?"

Dia menatapku tanpa ekspresi. Aku bahkan tidak dapat membaca ekspresi wajahnya yang sedatar tripleks itu. Tidak bisakah dia berekspresi sedikit agar aku bisa tahu dia sedang marah atau tidak?

"Kamu tidak pulang?"

Sepertinya aku harus menambahkan stok kesabaranku. "Apakah kamu memaafkanku?"

"Aku bawa payung."

Demi apapun di dunia ini, pembicaraan macam apa ini? Pembicaraan yang bertanya dengan yang menjawab sama sekali tidak menyambung. Maksudku, pembicaraan ini sama sekali tidak masuk akal dan membutuhkan kecerdasan yang tinggi untuk memahaminya.

"Ingin pulang bersama?"

Dia bahkan belum bilang memaafkan aku atau tidak. Tapi, aku tidak bisa memusingkan itu lebih lama. Hujan semakin deras dan aku ragu tidak punya pilihan lain selain menerima tawarannya untuk pulang bersama. Tidak mungkin aku basah-basahan karena hujan sepertinya akan awet hingga malam. Aku tidak ingin jatuh demam lagi seperti kemarin-kemarin!

Jadi, aku memutuskan untuk mengangguk. "Ba-Baiklah," kataku pelan.

Dapat kulihat lelaki itu mengeluarkan dua buah payung dari tasnya. Dalam hati aku bersyukur bahwa aku tidak perlu satu payung dengannya.

Dia menyerahkan payung itu padaku dan aku menerimanya, sebelum akhirnya membuka payung tersebut. "Ayo?"

Dia mengangguk dan berjalan lebih dulu. Aku hanya bisa mengumpat dalam hati dan mengekorinya. Ternyata dia lebih menyebalkan dari yang kukira. Kami berjalan bersebelahan dalam hening. Hanya terdengar jeritan hujan sepanjang perjalanan. Sesekali terdengar gemuruh petir yang muncul bersamaan dengan uap berwarna silver pekat, membuatku bergidik ngeri.

"Aku mau ke mini market dulu." Ujarnya dengan nada khas nya yang datar.

Aku hanya mengangguk menurut dan mengikutinya ke mini market. Lelaki itu menutup payungnya dan masuk ke dalam mini market, sedangkan aku memilih duduk di depan mini market untuk menunggu.

Aku menopang daguku dan menatap hujan yang masih setia mengguyur kota. Beberapa cipratan air hujan mengenai wajahku. Aku merasa sedih setiap kali hujan turun. Selalu saja begini.

Sesuatu yang hangat terasa di pipiku. Aku refleks menoleh dan mendepati Lelaki itu menempelkan teh kemasan hangat ke pipiku.

"Minum."

Warna biru limau bercampir dengan warna putih terlihat di pandanganku. Dia melakukannya dengan tulus, aku tahu dari warnanya berbicara. Warna tidak pernah berbohong.

Aku menerimanya dengan ragu. "Te-Terima kasih." Walaupun hendak menolak, tapi udara dingin membuatku menerimanya secara otomatis. Kami duduk bersebelahan dan meminum teh panas tersebut dalam diam. Tidak ada yang memulai topik percakapan. Ingin sekali aku mencairkan suasana, tapi bagaimana? Apalagi dia bilang terang-terangan bahwa aku menyebalkan. Aku merasa sangat canggung berada di dekatnya.

"Sudah selesai minumnya?" Dia menatapku dengan datar, yang bisa kusimpulkan bahwa dia sedang bertanya padaku.

Aku mengangguk pelan. "Su-Sudah."

Lelaki itu berdiri dan membuka payungnya, kemudian dia berbalik dan menatapku. "Ayo?"

Aku beranjak berdiri dan mengangguk menurut. "Iya."

Kami berjalan beriringan dalam diam, ditemani suara gemericik hujan yang tiada berhenti.

***TBC***

Lah-lah.... Vara baper pan '-'

Betewe kita belum tau nama hero nya yak hehehehee :v

Next chapter aja lah ngasih tau nya

Doi keliatan cuek, tapi perhatian yak. Buktinya dia beliin Yuki teh panas padahal dia bilang Yuki nyebelin (//'/□/'///)>~♡

Aaaa co cwit :(

Sayangnya, Vara masih setia sama anime :v
#Anime4Life
#KorbanAnime

Eh, gaada Kena, Anise, sama Rin kan? Vara takut dibuli hwehwe :v

Betewe ini story udah Vara buat sejak 2017, tapi karena waktu itu ngeblank mau lanjutin apa, ya vara unpublish :v

Eh pas baca ulang, ternyata ceritanya lumayan dong °-°

Jadi Vara remake dan publish dehhhhhhh

Iyeeeyyy! Oke then,

Bhayy, see you next time!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top