Sixteenth Harmony-Hear, The Bad Fortune

"Tch," Aira mendelik dengki begitu melihat Yuki dan Fuyumi masih terlihat akrab di dalam kelas. Gadis itu tampak murka, karena rencananya untuk menghancurkan persahabatan mereka gagal. "Teme, kenapa si gadis psikopat itu masih bersama kuso Yuki?! Seharusnya mereka hancur, kau tahu? Hancur!!"

Miku menatap Aira beberapa saat, kemudian kembali menatap Yuki dan Fuyumi yang tengah berbincang ria. "Kenapa kau terlihat sangat membencinya?"

"Kenapa?" Aira mendesis sinis. "Kenapa ya? Entahlah, aku hanya merasa jika melihatnya bahagia begitu sangan memuakkan."

Miku menatap tidak mengerti.

"Gadis seperti itu tidak pantas untuk bahagia," Aira terkekeh, "Aku akan menghancurkan setiap kebahagiaannya. Dia ... memang pantas menderita."

"Apakah ... ini sudah keterlaluan?"

Aira mendelik, "Apa maksudmu?"

Miku memainkan jemarinya, "Kita sudah meneror Yuki, menyebarkan gosip buruk tentangnya, dan meminta satu sekolah mengucilkannya. Menurutku ... kita sudah keterlaluan. Tak bisakah kita mulai berteman dengannya saja?"

"Berteman? Dengannya? Jangan bercanda!" Aira menendang meja di dekatnya hingga tengkurap, membuat satu kelas mendadak hening untuk beberapa saat. Gadis berambut sebahu itu menatap Miku dengan tatapan berapi-api. "Ada apa dengamu? Kau juga ingin dokucilkan, HAH?!" bentaknya.

Miku tersentak, kemudian menggeleng cepat. "T-Tidak," cicitnya dengan suara pelan.

"Yasudah, ikuti saja perintahku," Aira tersenyum sinis. "Aku akan memghancurkanmu, Yuki. Lihat saja."

***

"Oh iya, aku lupa." Aku merogoh tas ranselku, kemudian mengeluarkan sebuah buku tipis yang rusak. Aku menyerahkannya kepada Fuyumi. "Ini, bukumu. Aku sudah mencoba memperbaikinya dengan tape perekat, tapi hasilnya tidak bisa rapih. Maaf ya?"

Fuyumi menerima buku itu, kemudian tertawa. "Ya ampun, padahal tidak pelu," Gadis bersurai hitam panjang itu menunjuk kepalanya sendiri dengan jari telunjuk. "Aku sudah menghapalnya di luar kepala, jadi itu bukan masalah, ehe."

Aku ikut tertawa, merasa lega. "Syukurlah kalau begitu."

"Oh, Yuki. Aku lupa," Fuyumi merubah topik pembicaraan. "Kau tahu? Kemarin Ibuku tak sengaja melihatmu bernyanyi."

Rasanya jantungku akan berhenti saat ini juga. Tubuhku membeku. Aku menatap Fuyumi dengan tatapan histeris. "H-HUH?! KOK BISA?!!"

Fuyumi mengangguk cepat, "Katanya, suaramu bagus sekali. Kamu memang sangat berbakat."

Entah mengapa, aku jadi merasa malu. "Uh ... terimakasih." Aku tahu Fuyumi berasal dari keluarga yang sangat terpandang. Dan dilihat oleh Ibu Fuyumi yang bernotabene sebagai salah satu seorang bangsawan itu agak ... begitulah.

"Dan kau tahu apa, Yuki?" Fuyumi melanjutkan penuh semangat setelah melihat aku menggeleng. "Ibuku ingin kita tampil di acara pernikahan sepupuku minggu depan!"

Aku tersedak oleh air liurku sendiri. Fuyumi menepuk-nepuk punggungku. Setelah merasa sedikit membaik, aku menatap Fuyumi dengan mata membulat sempurna. "Kau bercanda!"

Fuyumi menggeleng, "Aku serius!"

"Suaraku tidak sebagus itu, tahu!" kilahku, "Lagipula, kenapa aku? Aku baru menghapal kunci gitar lagu kemarin. Mustahil bagiku untuk tampil lagi!"

"Tuh kan, kamu selalu saja pesimis!" Fuyumi mencak-mencak dengan gelengan pelan. "Kamu 'kan pintar, pasti bisa kok! Lagipula masih seminggu lagi. Buktinya, dalam waktu kurang dari lima jam, kamu sudah fasih dengan kunci lagu kemarin."

"Itu karena darurat," cibirku.

Fuyumi tertawa, lalu menepuk bahuku. "Sudahlah, percaya diri saja," ujarnya sembari mengeluarkan ponsel dari saku almamaternya. Setelah yakin bahwa tidak ada guru di kelas, Fuyumi menyalakan ponselnya, kemudian menunjukan sesuatu padaku. "Aku sudah menemukan lagu yang cocok! Kamu akan berduet bersama Shiro!"

Aku menatap Fuyumi histeris, "D-DUET?!"

Fuyumi mengangguk, "Karena ini memang lagu yang harus dinyanyikan oleh dua orang. Perempuan dan laki-laki."

Serius?! Maksudku, aku harus duet bersama Shiro?! Ini terlalu tiba-tiba, dan Shiro juga belum tentu mau berduet denganku. Dia itu laki-laki populer, bahkan ada anak-anak di sekolahku yang mengenalnya. Jadi ... seorang aku berduet dengannya itu ...

"Kamu itu cantik," seakan membaca pikiranku, Fuyumi memulai ocehannya. "Kamu pintar, hebat, manis, kamu itu sempurna. Pantas saja banyak anak gadis yang iri denganmu," Entah hanya perasaanku saja atau Fuyumi sengaja mengatakan hal itu dengan suara yang keras. Menyebabkan hampir seluruh anak gadis kelasku menatapnya tajam.

Aku meletakan jari telunjukku di bibir, "Bisa tidak berisik? Kamu ingin seluruh dunia ini tahu, ya?"

"Hehehe," Fuyumi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Yasudah, asalkan kamu mau ya?"

Fuyumi ini tipe orang yang tidak mudah menyerah sebelum kemauannya diikuti. Maka yang bisa kulakukan hanya mendengus dan mengangguk mengiyakan.

"Horeeeeee!" Fuyumi berseru senang. "Kalau begitu, ayo temani aku ke Kafeteria! Kita beli hamburger untuk merayakan!"

Aku tertawa geli, lalu menggeleng kecil. "Sekarang masih jam pelajaran, Fuyu. Aku tidak mau ditangkap guru kesiswaan."

Fuyumi mengerucutkan bibirnya, "Yuki terlalu menurut."

"Kalau nanti saja di mini market dekat studio bagaimana?" tawarku, "Akan kutraktir."

"Fuyu sayang Yuki!!"

Aku terkekeh, melihat tingkah Fuyumi yang terlalu riang. Warna kuning mendominasi sekitar. Fuyumi bukanlah Fuyumi jika tidak selalu ceria. Mungkin anak ini hanya terbuka kepada beberapa orang saja, tetapi sekalinya dia percaya, maka dia akan memberitahu segalanya.

Dan aku bersyukur, telah menjadi salah satunya.

***

"A-Aira ..." Miku menarik pelan ujung lengan seragam teman sebangkunya itu. "M-Menurutku sudah cukup. I-Ini sudah keterlaluan."

"Apanya sih?" Aira mendesis sinis. Gadis itu tengah memegangi ember bekas air pel. Mereka berdua kini berada di lantai dua, dan Aira berniat untuk menumpahkan air pel tersebut tepat di kepala Yuki saat gadis itu lewat. "Hanya menyiram, kok. Dia tidak akan masuk ke rumah sakit hanya karena hal sepele begini."

"T-Tapi ..."

"Ah, sudahlah! Kau mau membantu atau tidak?"

Miku menegup air liurnya, menyorot ragu.

"Jika kau tidak mau membantu, yasudah!" Aira berjalan malas menuju pembatas balkon sekolah. Seulas senyum sinis terukir di wajahnya begitu melihat Yuki dan Fuyumi berjalan melewati bawahnya. Kebetulan, Yuki berjalan di sisi kiri, yang mana tepat berada di bawahnya.

Saat hendak menyiram isi air dari dalam ember, Aira merasa ada yang menahan pergelangan tangannya. Ia menoleh, dan mendapati Miku lah yang menahannya. "Apa yang kamu lakukan?!"

"Sudah cukup," Miku memohon. "Aku tidak ingin Yuki menderita lebih dari ini. Aku tahu rasanya. Sudahlah, Aira. Biarkan saja."

"Apa sih?! Lepaskan!!"

"Tidak akan!"

Aira meronta. Ember di tangannya terjatuh dan air berlumuran ke lantai. Miku masih berusaha menahan Aira. Tenaga Miku terlalu kuat, sekeras apapun Aira mencoba meronta. Hingga tanpa sengaja, siku Aira menyenggol pot tanah liat, dan pot tersebut terjatuh, hendak menghantam kepala Yuki.

Miku yang melihat hal tersebut segera berseru histeris, "YUKI, AWAS!!"

Yuki menengadahkan kepalanya. Pot yang terjun bebas tepat di atas kepalanya kini hampir saja menghantam kepalanya. Sontak, Yuki memejamkan matanya.

PRANG!

Tubuh Yuki terhempas satu meter dari tempatnya berdiri, terkapar di atas tanah beraspal. Gadis itu menoleh. Matanya membulat sempurna begitu tempat yang seharusnya ia berdiri, kini diisi dengan Fuyumi.

Fuyumi meringis pelan. Gadis itu merasa pening luar biasa. Ia menyentuh kepalanya, lalu menatap telapak tangannya. Tubuhnya melemas seketika begitu menyadari bahwa kini tangannya berlumuran darah.

Yuki menjerit histeris. "FUYU!" Ia menghampiri sahabatnya yang kini jatuh terduduk. Air wajah khawatir terlihat sangat kontras. "F-Fuyu ... ka-kau baik-baik saja?"

Fuyumi mengangguk lemah, "T-Tapi aku pusing sekali ..."

"Kita harus segera ke UKS," Yuki menoleh, matanya menelusuri sekitar. Ada beberapa murid yang menyaksikan kejadian ini, namun tak ada satupun diantara mereka yang tergerak untuk membantu. Hal itu hampir saja membuat Yuki menangis. Hati mereka terbuat dari batu atau apa?

"Asai, Otosaka!"

Yuki menoleh begitu mendengar nama keluarganya terpanggil. Dari belakangnya muncul seorang teman sekelasnya. Yuki mengenalnya, karena dia salah satu dari sedikit orang yang tidak munafik. "Astaga, bagaimana bisa begini?"

"Aku tidak tahu," Yuki menggigit bibir bawahnya. "Tapi, bisakah kau membawa Fuyu ke UKS, Fukushi? Kumohon?"

"Tentu saja," Fukushi meraih tungkai dan leher Fuyumi, lalu mengangkatnya. "Tolong bawakan tas Otosaka. Dan tolong ... jangan panik."

Yuki mengangguk patah-patah. Gadis itu segera menenteng tas Fuyumi dengan tubuh gemetar.

Semoga, Fuyumi baik-baik saja.

***TBC***

A/N

Vara itu jahat banget, ya? Perasaan baru aja chapter kemaren baikan, terus si Yuki udah kena masalah lagi aja wkawkawkawka

Vara gamau ngaret lagi soalnya wkwk. Masa baru mulai bener-bener masuk konflik di chapter belasan? Hmm.

Habis ini, masuk ke konflik baru. Dan kemungkinan di chapter dua puluhan tamat, yey :D

Cerita ini udah terlalu berkarat. Apalagi syndromes wkawkawka

Tapi nanti di chapter berapaa gtu, ada konflik bonus :D

Konflik yang berisi bocoran konflik di seri WM selanjutnya XD

Wokeh, bubyeeee. Vara mau lanjut ngetik :3

Big Luv, Vara.
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top