Seccond Harmony-Hear His Voice
Aku mengusap wajahku yang mulai berkeringat. Kompres hangat yang bertengger di kepalaku masih setia menemaniku hingga siang ini.
Dapat kulihat cuaca di luar begitu cerah, meski aku tak bisa menjamin bahwa sepanjang hari ini tetap cerah―mengingat kejadian kemarin malam yang sukses membuatku terkena demam dan tidak bersekolah untuk hari ini.
Padahal hari ini ada ulangan Matematika, dan kemarin aku sengaja mengambil kelas tambahan untuk menghadapi ulangan hari ini. Tapi ternyata itu sia-sia.
Tahu begitu aku tidak akan mengambil kelas tambahan dan bisa menghindari hujan kemarin.
"Yuki, ayo makan dulu."
Aku menoleh ke arah sumber suara saat mendapati namaku dipanggil. Uap berwarna putih terlihat sejauh mata memandang, membuatku nyaris menangis. Ibu mendekatiku sambil membawa nampan berisi sup dengan potongan sayur di dalamnya.
Dengan senang hati, aku beranjak duduk dan menerima makanan masakan Ibu, wanita yang paling kucintai di hidupku.
Tanganku meraih sendok yang sudah berada di dalam mangkuk sup. "Ibu sudah makan?" tanyaku memastikan.
Dengan senyum lembut, ibu mengangguk. "Sudah kok, kamu tenang saja."
Aku menatapnya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih. "Sudah berapa lama Ibu tidak tidur?"
"Ibu sudah cukup tidur." Lagi-lagi Ibu tersenyum lembut. "Sudah ya? Hari ini Ibu ada rapat di Kantor. Kamu bisa jaga diri baik-baik, kan?"
Aku menunduk, kemudian mengangguk pelan. "Iya, bu."
"Bagus," Ibu berlalu keluar dari kamarku. "Lekas sembuh," pesannya sebelum akhirnya menghilang di balik pintu kamar.
Aku menggenggam erat sendok di tanganku. Mengapa Ibu ... berbohong padaku?
Dia berbohong dengan senyum lembut di wajahnya.
Namun senyum tak cukup untuk bisa membohongiku.
Karena warna yang keluar dari suara Ibu adalah hitam.
Aku mencoba mengusir semua pikiran negatif itu. Sudahlah, aku seharusnya sudah terbiasa seperti ini. Mengapa aku masih memikirkan hal-hal kecil seperti ini? Padahal, Ibu pasti berbohong demi kebaikan diriku.
Aku menyendok sup buatan Ibu ke mulutku. Sup buatan Ibu memang yang paling lezat, namun entah mengapa rasanya sangat hambar di lidahku.
Seakan kehilangan nafsu makan, aku meletakan mangkuk sup itu di atas nakas tempat tidur. Tanganku meraih sebuah remote televisi yang berada tak jauh dari posisi lampu tidurku.
Jariku sudah sibuk mengutak-atik deretan tombol yang tersusun rapih. Mataku menatap televisi yang mulai menampilkan berbagai macam tayangan.
Tidak ada yang menarik.
Aku melempar asal remote televisi ke sembarang arah, membiarkan benda kecil itu membentur lantai kamarku yang terlapisi karpet berbulu tipis.
"Membosankan," keluhku malas. Padahal aku telah merasa jauh lebih sehat, tapi mengapa Ibu melarangku untuk pergi ke sekolah?
Setelah bergelung mengeluh kebosanan setengah mati selama berjam-jam, suara notifikasi dari ponselku sukses membuatku berhenti melakukan aktifitas tidak bergunaku ini.
Tanganku meraih ponsel yang sengaja kuletakan diatas nakas. Segera, aku mengecek pesan yang masuk di kontak ponselku.
Maaf Yuki,
sepertinya Ibu akan lembur lagi hari ini. Untuk makan siang, kamu bisa memanaskan makanan sisa tadi pagi yang sempat Ibu masak.
Makan malamnya kamu beli di Toko Hanazawa-san saja, ya?
Ibu janji akan pulang besok pagi.
-Ibu.
Aku menghela napas panjang. Tenanglah, Yuki. Ini bukanlah hal asing bagimu. Ibu sangat sibuk, sehingga dia jarang pulang ke Rumah.
Aku tahu kenyataan itu, tapi mengapa air mata ini terus mengalir?
Aku ... kesal.
Sial, seandainya saat itu aku tidak melakukannya, mungkin saat ini Ibu tak akan semenderita ini.
Dan aku tidak akan semenyedihkan ini.
Yang bisa kulakukan hanyalah memeluk kedua lututku dengan erat, sambil terus mengucap doa dalam hati.
Ayah, maafkan Yuki. Semoga saja ayah sudah tenang di sana.
***
Cahaya terang matahari pagi masuk melalui ventilasi jendela, membuatku mengerjap-ngerjapkan mata untuk beberapa kali.
Tanganku meraih jam wekker yang sedari tadi menjerit membangunkanku. Segera kumatikan alarm di jam itu dan melihat jarumnya.
Pukul 06.21.
Ah, kemarin aku terlalu banyak menangis sehingga tertidur pulas dan melewatkan makan siang dan makan malam.
Hari ini aku harus sekolah, jadi aku meraih handuk yang tergantung di gantungan belakang pintu kamarku, kemudian segera menuju kamar mandi.
Selesai mandi, aku memakai seragam sailor yang terlipat di dalam lemariku. Aku menguncir rambut hitamku yang panjang hingga anak rambut tidak lagi menggangguku.
Setelah mendaftar buku, aku segera mengambil tas dan beranjak keluar dari kamar. Ruangan apartemen yang sunyi tanpa adanya tanda-tanda kepulangan ibu membuatku menghela napas panjang.
Sepertinya Ibu belum kembali.
Aku membuka pintu masuk, kemudian menguncinya. Kakiku melangkah pelan menuju lift yang tampak sedikit ramai.
Pagi-pagi begini pasti banyak murid-murid atau orang yang akan berangkat kerja. Jadi tidak heran bagiku untuk melihat lift penuh meski masih pagi buta, mengingat mayoritas orang yang meninggali gedung Apartemen ini adalah seorang office man atau karyawan dengan anak-anak yang masih sekolah.
Dentingan tanda pintu lift telah membuka sedikit mengejutkanku. Dengan cepat, aku―bersama beberapa orang kantoran―segera memasuki Lift yang terlihat sedikit sesak.
Pintu lift kembali tertutup, dan dengan sendirinya lift segera membawa turun orang-orang yang berada di dalamnya.
Menjelang beberapa saat, pintu Lift terbuka, tepat di lantai kedua sebelum Lobby.
Beberapa orang beranjak keluar, kamudian beberapa orang masuk ke dalam Lift, membuat Lift tampak lebih sedikit sesak dari yang awal.
Aku terpojok di sudut Lift―karena saking padatnya orang di dalam Lift ini. Pria bertubuh besar dan bertato di beberapa tempat berdiri di hadapanku. Sepertinya pria tersebut sama sekali tidak menyadari keberadaanku jika dilihat bahwa tubuhnya yang besar itu mulai melangkah pelan mundur ke sudut Lift.
Entah apa yang terjadi, tubuh pria besar itu tampak terdorong dan hampir saja menimpa sosokku.
Nyaris.
Jika saja seorang lelaki dengan seragam sekolah di tubuhnya tidak menahan pergerakan pria bertubuh besar itu.
"Permisi," tegur lelaki tersebut dengan datar. "Di belakangmu ada orang, Tuan."
Orang bertubuh besar itu tampak sedikit terkejut, kemudian menoleh ke belakang dan menatapku dengan kening berkerut. "Oh, maaf. Aku tidak menyadarinya," katanya sambil melangkah sedikit ke depan, memberikanku ruang kosong untuk bernapas.
Tapi, aku justru menahan napasku, terkejut dengan apa yang kulihat barusan. Segera, aku menoleh menatap lelaki yang tadi menolongku. Mata hitam legamnya tampak begitu kosong, dan wajah datarnya yang nyaris tak berekspresi.
Tidak, aku tidak mungkin salah.
Karena warna tidak pernah berbohong.
Warna suaranya ... biru limau.
Dentingan menandakan pintu Lift telah terbuka membangunkanku dari ketidak sadaranku. Seluruh penghuni Lift sudah berjalan keluar tepat saat pintu Lift terbuka, tak terkecuali lelaki yang tadi sempat menolongku.
Tak mau membuang waktu, aku juga segera keluar dari Lift. Sambil memandang lelaki tersebut, aku menarik ujung lengannya. "M-Maaf,"
Lelaki tersebut berhenti melangkah, kemudian menoleh dengan wajah datar.
"T-Terima kasih," ucapku cepat. "Untuk yang kedua kalinya." Lanjutku.
Lelaki tersebut terdiam, memandangiku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Dia mengangguk pelan tanpa berkata sepatah kata pun.
Aku melepaskan tarikan tanganku dari ujung kengan seragamnya. Aku menampilkan seulas senyum terbaikku, senyum yang selalu kugunakan kepada semua teman-temanku di sekolah. Biasanya, orang-orang yang melihat senyumanku ini bisa ikut tersenyum.
Senyumku pembawa kebahagiaan, begitulah kata mereka.
Namun, alih-alih tersenyum, lelaki di hadapanku ini justru makin menatapku datar.
"Hentikan senyum palsumu itu."
Perkataan lelaki itu membuatku sontak terkejut. Aku membeku, terdiam menatapnya dengan penuh tanda tanya.
"Kau menyebalkan." Ujar lelaki itu pelan, kemudian berlalu meninggalkanku membeku sendirian di depan pintu Lift.
Aku benar-benar kelu lidah. A-Apa maksudnya?
Dan lagi, mengapa warna suaranya ... berubah?
Biru limau, putih, dan abu-abu.
Ketiga warna suara tersebut keluar dari mulut lelaki tadi.
Itu menandakan bahwa dia jujur, dia tulus mengatakannya, namun ada rasa ketidak sukaan dari caranya berbicara.
Aku ... tak pernah melihat warna ini sebelumnya.
Aku tidak mengerti.
***TBC***
A/N
Slow update banget dongg :v
Hiyahiyahiyaa....... hayoloh Yuki! Belom apa-apa udah dibenci sama doi wkwkwkkkkk
Yuki: Hentikan, dia bukan doi ku. Aku bahkan tidak mengetahui namanya
Vara: Iya deh iyaaa terserahhhhhhh :v
Tapi klo nanti suka, jangan ketawa yakkkk
Yuki: //siap menimpuk Vara dengan sendal. Coba ngomong lagi?
Vara: Hiyaaaaaaa ampun!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top