Fourth Harmony-Hear, Her Voice
"Kamu tinggal di kamar nomor berapa?" lelaki itu bertanya kepadaku dengan nada datar, namun kuasumsikan bahwa dia sedang bertanya kepadaku.
Aku menutup payung setelah tubuhku sempurna berada di dalam Lobby utama Hotel yang juga sekaligus adalah sebuah Apartermen yang kutinggali dari kecil. "Lantai 7 nomor 1809," jawabku setelah selesai mengeringkan payung. Oke, sebenarnya aku tak pernah menyangka bahwa lelaki datar ini akan bertanya nomor kamarku. Sebagai formalitas, aku balik bertanya. "Kalau kau?"
Lelaki itu menggulung payungnya dan memasukannya kedalam tas. "Lantai 9 nomor 2809."
"Wah kebetulan dari mana ini?" Aku menatapnya sedikit kagum. "Nomor kamar kita hampir sama."
Seakan tidak tertarik, dia hanya mengangguk samar.
Dentingan yang menandakan pintu Lift akan terbuka terdengar di indra pendengaranku. Dengan cepat, aku dan lelaki itu masuk ke dalam Lift.
Hanya kami berdua yang berada di dalam Lift, dihantui dengan keheningan mencekam.
"Hey," panggilku. "Mengapa kau berkata aku menyebalkan?" tanyaku. Baiklah, aku tak bisa menahan rasa penasaran ini. Aku bukanlah tipe gadis yang tidak akan mati karena penasaran. Jadi, yeah. Aku penasaran setengah mati!
Lelaki itu menoleh, menatapku tanpa ekspresi. "Mengapa?"
"Eh?"
"Mengapa senyumanmu dipaksakan?" Lelaki itu menatapku datar. Namun, dapat kulihat ada kekecewaan yang mendalam dari sorot matanya.
Aku terdiam. "Apa maksudmu?"
Sadar karena aku tak akan mendapat jawaban, aku kembali bertanya. "Kalau begitu, setidaknya beri tahu aku namamu."
"Kurohi Shiro," jawab lelaki yang ternyata bernama Kurohi Shiro itu.
Aku menunduk kecil. "Kalau begitu, namaku Asai Yuki. Salam kenal, Kurohi."
"Panggil saja Shiro," ujar pelan.
Aku terdiam, pasalnya aku tak pernah memanggil nama anak laki-laki dengan nama depannya secara langsung. Ini kali pertamanya aku dimintai langsung oleh orangnya untuk memanggilnya dengan nama depannya. Apalagi dia laki-laki!
Aku menggeleng, hendak menolak, jika saja dia tidak menatapku dengan tatapan mengintimidasi. Dengan cepat, aku mengangguk. "B-Baiklah ... Kuro―Ah, maksudku Shiro," kataku dengan gugup, "Kalau begitu, kau juga panggil aku dengan nama depanku!"
Dia mengangguk. "Baiklah, Yuki."
Tubuhku merinding pelan. Ini kali pertamanya anak laki-laki menyebut nama depanku. Dan lagi, warna biru limau yang keluar dari suaranya membuat hatiku bergejolak entah mengapa.
Dentingan Lift memecahkan suasana ini. Lift telah sampai di lantai 7, tempat kamarku berada. "Ka-Kalau begitu aku duluan. Permisi." Aku menunduk pelan, kemudian mulai melangkah keluar dari Lift.
"Yuki," panggilnya pelan.
Aku menghentikan langkahku, kemudian menoleh. "Ya?"
"Masih ada seorang teman yang tulus untukmu di dunia ini," ucap Shiro dengan nada datar, namun entah mengapa itu sungguh menggerakkan hatiku.
Belum genap otakku mencerna apa yang telah dikatakannya, pintu Lift kembali tertutup, membuat sosoknya hilang dari pandanganku.
Sekali lagi, aku mengerutkan dahiku bingung.
Apa maksudnya?
***
"Pagi!"
Aku menoleh, menatap segerombol siswi kelasku yang kini tengah ramai tepat di mejaku.
Kuulangi, segerombolan siswi kelasku kini sedang berada di mejaku!
Ini serius?!
Tuhan, tolong jangan beri aku kesialan saat masih pagi-pagi begini.
"Pagi," balasku sambil merekahkan seulas senyum. "Aku telah mengerjakan tugas fisika untuk hari ini. Mau lihat?"
Aira lah yang paling pertama menyahut dari sekian banyak gerombolan gadis-gadis yang mengelilingi mejaku. "Memang, hanya Yuki yang paling mengerti kami!"
Aku tersenyum pahit, setelah duduk dan meletakan tasku di kursi, aku mengeluarkan buku latihan fisikaku dan meletakannya di atas meja, lantas membiarkan mereka semua menyalin tugas yang telah kukerjakan dengan susah payah.
Ini sangat miris, padahal aku sudah tahu bahwa aku hanya dimanfaatkan, tapi mengapa aku masih bertahan?
Terkadang, permen akan tetap terasa manis, meskipun kau sedang merasakan kenyataan yang pahit.
"Kalian, tahu tidak? Aku mendengar berita hangat!!"
Seorang gadis membuka pembicaraan, membuatku menghela napas pelan.
"Dengar-dengar sih," gadis itu menunjuk seorang gadis berambut hitam panjang yang sedang duduk di meja pojok ruangan menggunakan ibu karinya. "Kemarin, dia tertangkap basah oleh anak-anak kelas sebelah sedang membedah anak kucing liar!"
Aku mengerutkan keningku dalam. "Membedah anak kucing? Untuk apa?"
Aira terkekeh sinis, "tentu saja kerena itu pekerjaan seorang pembunuh," ujarnya dengan nada sedikit keras, membuat dirinya menjadi pusat perhatian untuk beberapa saat.
"Aku tidak mengerti," Miku menopang dagunya dengan kedua tangan. "Mengapa dia membedah anak kucing? Padahal kucing kan lucu sekali!"
Aira memutar-mutarkan jari telunjuk di samping keningnya. "Dia sudah tidak waras."
"Kok bisa ya dia dibiarkan berkeliaran di sekolah ini?"
"Jangan-jangan, selanjutnya dia akan membedah kita?"
"Haha, menyeramkan sekali!"
Aku menutup mulutku, merasa mual melihat warna hitam yang mulai mendominasi udara sekitar. Aku sontak berdiri, membuat gadis-gadis yang sedang tertawa mencemooh tersumpal seketika.
Aira mengerutkan keningnya. "Ada apa, Yuki?"
"Eh," aku menggaruk kepalaku yang tidak terasa gatal. "Kurasa aku membutuhkan udara segar. Jika sudah selesai menyalin, tolong simpan di kolong mejaku, ya." Setelah melihat anggukan kèpala gadis-gadis di hadapanku, aku segera melangkahkan kakiku, menuju kemanapun itu asalkan bisa menjauh dari mereka.
Sial, mereka memuakkan sekali. Mengapa hidupku semenderita ini?
Teman? Haha, katanya teman adalah orang yang ada disaat kita senang, dan selalu hadir dikala kita bersedih. Tapi nyatanya teman selalu tersenyum di hadapan kita, dan menusuk kita dari belakang.
Dan aku hanya bisa memasang topeng yang berupa senyuman agar aku selalu terlihat baik-baik saja, meskipun hatiku sudah mati rasa.
Langkah kakiku terhenti di sebuah tempat yang tak pernah kusangka sebelumnya. Aku terlalu banyak berpikir sehingga tak menyadari kemana langkah kaki membawaku.
Indra penglihatanku menatap taman hijau yang dipenuhi oleh berbagai macam tumbuhan. Udara di sini segar sekali, sampai-sampai membuatku melupakan kenyataan bahwa murid di sekolahku sangat menjauhi tempat ini.
Kata mereka, tempat ini angker dan banyak penghuninya. Aku tak habis pikir bagaimana berita itu dapat tersebar secepat angin sejak seorang murid mulai mengada-adakan bualan itu.
Aku berlutut, menatap sekucup bunga yang tak kutahu termasuk jenis apa. Karena jujur, aku tak tertarik dengan hal bertanam atau sejenisnya.
Setelah beberapa saat berdiam diri dan menjernihkan pikiranku di sana, aku bertekad untuk kembali ke kelasku.
Aku sudah menyiapkan hati jikalau mereka lagi-lagi mengeluarkan warna hitam.
Baru selangkah aku ingin meninggalkan tempat itu, jika saja pendengaranku tidak menangkap bunyi yang janggal di sekitar.
Tubuhku membeku, keringat dingin mulai mengalir di wajah. Apa itu barusan?
Itu ... bukan hantu, kan?
Aku menggelengkan cepat kepalaku, tidak, aku pasti salah dengar. Mencoba untuk tidak memikirkan hal itu lebih lanjut, aku mencoba untuk pergi senormal mungkin dari tempat ini.
"Hei."
Panggilan suara serak seorang gadis membuatku sukses terjungkal ke depan karena terkejut. Aku nyaris saja menjerit saat mendapati seorang gadis berambut hitam panjang yang nyaris menutupi wajahnya yang pucat sedang berdiri di hadapanku dengan seekor burung yang terkapar di telapak tangannya.
Sebelum aku sempat menjerit, tangan dingin gadis itu sudah terlebih dahulu membekap mulutku, membuatku terkejut setengah mati.
"Sst, jangan berisik," bisiknya pelan, "nanti dia bangun."
Aku menelan ludahku saat gadis itu menurunkan tangannya. "S-Siapa?" tanyaku dengan nada bergetar.
"Burung ini," dia memamerkan burung kecil yang terkapar di telapak tangannya. "Dia sedang terluka, jadi aku ingin merawatnya."
Warna putih terlihat dari suaranya, membuatku refleks menahan napasku untuk beberapa saat.
Ada dua perasaan ketika aku menatap gadis di hadapanku saat ini. Pertama, aku menghela napas lega karena tahu bahwa gadis di hadapanku ini bukanlah hantu. Kedua, aku mengangkat sebelah alisku, bingung. "Kenapa kau ingin merawatnya?"
"Sudah kubilang, dia terluka," jawabnya pelan. "Sayapnya patah, mungkin ini ulah mereka."
Aku memiringkan kecil kepalaku. "Mereka?"
Gadis itu mengangguk, "iya, mereka. Teman-temanmu."
"Teman-temanku?" Aku menunjuk diriku sendiri dengan bingung.
"Benar, yang selalu menyalin tugasmu setiap pagi." Gadis itu mengelus burung di tangannya dengan lembut. "Mereka selalu menyakiti hewan, membuatku kerepotan merawat hewan-hewan yang terluka karena mereka," ujarnya pelan dengan geram. Dia terlihat marah.
Aku terdiam, detik berikutnya aku baru menyadari bahwa gadis di hadapanku ini adalah orang yang selalu di bicarakan oleh anak-anak di kelas. "Tapi, mereka justru menganggapmu gila?" Kataku yang lebih mirip sebuah pertanyaan.
Gadis itu mengangkat kedua bahunya. "Aku tak peduli apapun yang mereka katakan. Aku hanya melakukan apa yang kuanggap benar."
Entah mengapa, kata-kata itu seperti sebuah belati yang menusuk tepat di jantungku. Rasanya menyakitkan dan menyesakkan sekali, meskipun tak ada setetespun darah yang menetes.
"Mereka... bukan temanku," gumamku pelan.
Gadis yang sedari tadi sibuk dengan burung di tangannya pun menoleh dan menatapku dengan wajah yang tak bisa kuartikan. "Mengapa?"
Aku memeluk erat kakiku, kemudian membenamkan wajahku diantara ruang yang kuciptakan. "Mereka hanya memanfaatkanku," kataku dengan suara bergetar. "Aku tak lebih dari sekedar keuntungan bagi mereka. Aku tak pernah menjadi diriku sendiri di dekat mereka," lanjutku sambil memeluk erat kakiku. Topeng yang telah kupertahankan beberapa tahun ini, kini hancur berkeping-keping di depan seorang gadis yang baru saja kukenal beberapa menit yang lalu.
Meskipun tak melihatnya, aku tahu bahwa gadis di hadapanku itu sedang menatapku lekat. "Teman hanyalah makhluk yang menyelamatkan kita dari neraka yang bernama kesepian," ujar gadis itu pelan. "Namun, bagi teman, kita ini hanyalah sebuah alat yang dapat mereka pergunakan sesuka hati, kemudian membuang kita setelah tidak berguna lagi."
Aku mengangguk samar, "benar."
Gadis di hadapanku ini menghela napas pendek. "Teman itu palsu, tak pernah ada di dunia. Jika kau menginginkan seseorang untuk merasakan keluh dan kesahmu, maka itu bukanlah seorang teman, tapi sahabat."
Kepalaku refleks terangkat, menatap gadis di hadapanku dengan tatapan tak percaya. Tadi dia menyebut apa? Sahabat?
"Sahabatlah satu-satunya orang yang akan menyelamatkan kita dari penyiksaan dunia. Dia akan selalu ada di saat kau terpuruk, dan akan menjadi orang pertama yang bertepuk tangan ketika kau sukses." Gadis itu menatapku dalam, dia serius.
Aku tertawa sinis, "memangnya ada manusia seperti itu? Jikapun ada, memangnya dia ingin berteman dengan orang sepertiku?"
"Ada," ujarnya cepat. "Apa kau ingin bukti?"
Aku mengangguk.
"Baiklah," gadis itu mengulurkan tangannya kepadaku, membuatku menatapnya dengan penuh tanda tanya.
"Eh?"
"Perkenalkan, namaku Otosaka Fuyumi," gadis itu memperkenalkan dirinya kepadaku, "dan aku bersedia menjadi sahabatmu."
Aku menatapnya tidak percaya. Apalagi saat melihat warna putih yang keluar dari suaranya.
Dia, Otosaka Fuyumi,
Gadis yang memiliki hati sesuci musim dingin.
***TBC***
A/N
HIYAHIYAHIYAAA, kayaknya story ini ga bakal panjang-panjang amat dehhh wkwkwkkk
Btw tadinya mau vara tbc in pas kata si Yuki ketemu sama si cewek tapi.... yasudahlah, tbc nya pas perkenalan aja :v
Wkwkwkwkkkk see u next time!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top