First Harmony-Hear our Moment

Rintikan ribuan air sebening kristal jatuh menyelimuti kota Tokyo dengan begitu tenangnya. Suara telapak kaki larian penduduk untuk mencari tempat berteduh terdengar dimanapun berada. Suara gesekan rumput yang diterpa angin badai tampak begitu menenangkan.

Biru, abu-abu, dan hijau ...

Uap berwarna terlihat sepanjang mataku memandang.

Warna-warna ini seringkali muncul setiap suara terdengar di pendengaranku.

Aku tidak tahu darimana kemampuan ini ada, namun satu hal yang pasti.

Kemampuan ini disebut Synesthesia. Setidaknya, itulah yang kubaca di salah satu artikel di Internet.

Kemampuan yang dapat membuat seseorang melihat warna di setiap suara yang mereka dengar.

"Sayang, maafkan aku. Hujannya begitu deras, aku tak bisa pulang lebih awal hari ini."

Suara dari seorang pria kantoran terdengar di pendengaranku. Detik selanjutnya, uap berwarna hitam terlihat di mataku.

Aku selalu benci warna ini.

"Iya, tenang saja. Aku akan pulang setelah hujan reda. Aku janji." Pria tersebut―yang kebetulan sedang meneduh di bawah Halte yang sama denganku―memutuskan panggilan dari ponselnya. "Ah, menyusahkan sekali."

Seorang pria lainnya yang sedang duduk di salah satu kursi Halte menghirup batang rokok yang ada di tangannya. "Pasti repot ya punya istri?"

"Sangat!"

"Malam ini jadi ke bar lagi?"

"Tentu saja jadi!!"

Uap hitam semakin pekat, mulai mendominasi sekitar pandanganku. Aku hanya bisa mendesis kesal dan memaki kebohongan pria itu dalam hati. Aku benci saat-saat seperti ini.

Semoga hujan segera berhenti agar aku dapat pergi dari Halte yang dihuni manusia terkutuk ini.

Manusia selalu dipenuhi oleh kebohongan. Entah itu kebohongan kecil, maupun besar, aku tetap membenci keduanya. Karena kebohongan besar tercipta dari kebohongan kecil yang selalu terkatakan lewat mulut, membuat kebohongan-kebohongan lainnya terus bermunculan dan menjadi sebuah omong kosong.

Bahkan Ibu―wanita terkuat yang pernah kutemui pun―mengatakan sebuah kebohongan.

Itu mengapa, aku membenci warna hitam.

Warna hitam, warna dari sebuah kebohongan.

Ya, manusia memang penuh dengan kebohongan, tak terkecuali aku.

Aku adalah gadis dengan segudang kebohongan di balik senyumannya.

Uap berwarna biru terlihat semakin pekat, menandakan hujan semakin deras dan tidak ada satupun tanda-tanda bahwa ia akan berhenti dalam waktu dekat.

Ah, sial. Seharusnya aku mendengarkan perkataan Ibu untuk membawa payung ke sekolah hari ini.

Padahal tadi pagi cerah sekali, sekarang justru hujan deras.

Cuaca memang tak dapat diprediksi.

Aku melirik arloji yang melingkari pergelangan tanganku. Pukul 18:00.

Astaga, aku tidak menyangka sudah selarut ini. Aku juga lupa mengabari Ibu bahwa aku ada kelas tambahan untuk hari ini―alasan yang membuat aku masih berada di Halte depan sekolah. Dan lagi, ponselku mati dan aku lupa men-chargernya saat di kelas. Ah, lengkap sudah kesialanku hari ini.

Aku menatap ribuan tetes air hujan di hadapanku dengan ragu. Angin dingin menggelitik kulitku, sedikit membuat seragamku basah karena angin terus mendorong beberapa tetes air hujan ke arahku.

Sepertinya aku harus menerobos untuk hari ini.

Aku tahu ini tindakan bodoh, dan Ibu bisa saja marah karena aku nekat hujan-hujanan pada waktu menjelang malam.

Tapi, akan lebih parah jika seorang anak gadis yang baru saja masuk SMA berdiri sendirian di bawah Halte Bus pada malam hari, kan?

Aku menarik napas panjang, kemudian menghelanya pelan. Tasku yang kuselempang sudah berubah posisi dan berada di atas kepalaku, siap melindungiku dari ribuan rintik air yang setia mengguyur Kota Tokyo sedari tadi Sore.

Tanpa aba-aba, aku berlari kencang melewati jalan. Menerobos badai hujan pada malam hari.

Uap biru tua terlihat di pandanganku, menandakan bahwa hujan akan bertambah deras lebih dari ini. Atau kemungkinan terburuknya, mungkin saja akan terjadi badai dalam waktu dekat.

Aku menggigit bibir bawahku dan memperlambat langkah kakiku. Sial, jarak dari sini ke Apartemenku masih lumayan jauh. Jadwal Bus terakhir telah terlewatkan olehku. Itu mengapa aku jadi harus bersusah payah menerobos badai ringan ini.

Air hujan mulai membasahi tubuhku, membuat pandanganku sedikit kabur karena cairan bening ini.

Entah aku yang terlalu ceroboh, atau aku memang tidak melihatnya. Tanpa sengaja tubuhku membentur sesuatu yang sangat keras, dan hal itu sukses membuatku terpeleset dan terjatuh menghantam aspal basah, membuat seragamku tambah basah. Padahal besok aku masih harus memakai seragam yang sama.

Aku terduduk, mengelus hidungku yang menghantam sesuatu yang keras itu. Tanganku menyeka air yang sedari tadi menghalangi pandanganku. Napasku nyaris terhenti saat melihat sosok seorang lelaki dengan payung di tangannya terduduk di hadapanku. Dia terlihat terkejut dan sedang meringis kesakitan.

Segera dapat kusimpulkan, yang kutabrak tadi adalah dirinya.

Meskipun aku tak suka berbicara kepada orang asing, tapi aku masih tahu etika dan sopan santun. Dan jujur, aku merasa bersalah.

Maksudku, seragam yang digunakan lelaki itu jadi basah karena aku. Segera dengan cepat, aku beranjak berdiri dan menunduk sembilan puluh derajat padanya.

Dia―yang baru saja berdiri―tampak menyadari keberadaanku yang sedang menunduk memohon maaf padanya.

"Maaf," ucapku pelan.

Alih-alih membalas perkataanku, lelaki di hadapanku ini justru menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan kening berkerut dalam.

Seakan mengerti apa yang dia pikirkan, aku segera menjelaskan sesingkat mungkin. "Maaf, aku tidak bawa payung. Dan lagi, maaf jika membuat seragammu menjadi basah."

Lelaki itu menggeleng pelan. "Dimana tempat tinggalmu?"

Jantungku nyaris saja terhenti dan lepas dari tempatnya. Berkali-kali aku mengusap wajahku dan mengucek mataku berulang-ulang kali.

Apakah tadi aku tidak salah lihat?

Warna suaranya ...

Biru limau.

Baru pertama kali aku melihat warna sebuah suara yang begitu indah. Biasanya, warna suara setiap orang memang berbeda. Tapi, kebanyakan sama.

Dan kali ini, aku bertemu dengan seorang pria yang memiliki warna suara berbeda dari yang lainnya.

Warna suara yang begitu memukau.

"Maaf?" Teguran dari lelaki di hadapanku itu membuatku tersentak pelan. "Jika boleh tahu, dimana tempat tinggalmu?"

Aku jadi sedikit salah tingkah karena terlalu tenggelam dalam pikiranku. "M-Maaf? Untuk apa kamu tahu?"

"Aku akan mengantarmu," ujar lelaki tersebut sambil mendekatkan payung di tangannya ke arahku. "Daripada kamu kehujanan seperti ini."

Aku menahan napasku. Nada suaranya yang datar nyaris tanpa aksen, namun warnanya memancarkan kebaikan.

Ada warna putih dan biru limau dari suaranya.

Menandakan bahwa dia tulus mengatakan hal itu padaku tanpa adanya maksud lain.

Aku menggenggam erat rok sekolahku yang sudah basah kuyup.

Sepertinya aku tidak memiliki pilihan lain.

Dan itulah saat pertama kali aku bertemu dengannya.

Dibawah derasnya hujan di kota Tokyo.

***TBC***

A/N

Hwuehehehhehehehehee....

Kok Vara Enjoy banget yah nulis story ini?

Sukak aja gitu :>

Betewe, nama heroine sama hero nya belum ketauan ya? Wkwk.

Di chapter selanjutnya bakal dikasih tau kok :D

Vara suka banget donggg :"

Ahhh, syeneng dehh punya story yang kisahnya ga terlalu berat :>

Kena: School of Magic kelarin.

Anise: Syndroms kelarin.

Rin: Secret and Lie kelarin.

G-GOMENASAIIIII!!!!!

seketika A/N di tutup karena Vara gamau kena teror karakternya sendiri :v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top