Eleventh Harmony-Hear, they Past

Karena tidak ada lagi yang dapat kami lakukan, jadi kami memutuskan untuk pergi ke Studio musik. Fuyumi meminjamkan bajunya kepadaku yang sempat ia simpan di dalam lemari yang berada di Studio. Kami pergi menggunakan kereta, karena Shiro sedang tidak membawa mobil dan meninggalkannya di Apartermen. Kami sempat mampir ke Toko Takoyaki dan membeli beberapa untuk camilan di Studio. Dilihat dari manapun, Shiro lah yang terlihat paling senang kami membeli Takoyaki--jika mengingat makanan itu adalah makanan favoritnya.

Aku sudah menghapal not balok--yang ternyata tidak sesulit yang kukira. Kini, aku bisa membaca not balok seperti aku membaca buku novel. Yang perlu kupelajari sekarang hanyalah melatih vokal dan belajar bermain gitar. Shiro berjanji akan mengajarkanku bermain gitar mulai minggu depan, sekarang aku harus fokus melatih vokal, nada, dan artikulasiku.

"Artikulasimu kurang jelas," Shiro memukul kepalaku menggunakan buku yang digulung. "Coba lagi."

"Aduh, iya, iya." Aku mengusap kepalaku sembari bersungut-sungut menahan kesal. Pasalnya, sudah tiga kali aku menyanyikan bait yang sama, tapi tetap saja salah.

"Coba deh, Yuki," Fuyumi yang sedari tadi sibuk melatih tempo pukulan drumnya menghampiriku. "Di bagian ini, coba lidahmu jangan diselipkan. Dengan begitu, pasti suaramu akan terdengar lebih jelas."

"Baik, terima kasih." Aku mencoba saran Fuyumi, dan berhasil. Suaraku terdengar lebih jelas dibandingkan tadi. Shiro juga tidak memprotes lagi, itu berarti aku sudah beberapa langkah maju.

"Sudah jam makan siang!" Fuyumi segera duduk di sofa panjang, di hadapanku. "Ayo kita makan takoyaki! Aku sudah sangaaaat lapar!!"

"Baik," Shiro tidak tampak keberatan. Akupun mengangguk menurut.

Kami makan takoyaki sebagai makan siang dengan tenang, sebelum akhirnya ketenangan ini hancur ketika Fuyumi membuka topik pembicaraan. "Oh iya, Fuyumi. Aku belum cerita tentang Aoi padamu, ya?"

Aku yang tengah menusuk takoyaki dengan tusuk gigipun menoleh, "belum."

"Baiklah, aku akan cerita!" Fuyumi memperbaiki posisi duduknya agar nyaman untuk bercerita. "Jadi, Aoi itu sahabatku waktu aku masih SMP kelas dua. Dia siswi pindahan, dan aku cepat akrab dengannya karena dia itu menyenangkan dan memiliki hobi yang sama denganku.

"Waktu itu aku belum tahu jika Shiro adalah sepupuku. Ironis sekali kan. Aku dan Aoi sekelas dengan Shiro. Karena Shiro waktu itu duduk bersamaku, jadi kami cukup akrab. Apalagi dulu Shiro orangnya sangat suram, jadi aku mengenalkan Shiro kepada Aoi."

"Suram..." Shiro menatap datar sosok Fuyumi yang duduk di hadapanku. "Tidak ada kata yang lebih baik?"

"Tidak, itu saja sudah menjelaskan semuanya!" seru Fuyumi yang membuatku sontak tertawa. "Baiklah, lanjut ke cerita. Akhirnya kami membuat sebuah klub, klub musik. Kami bersenang-senang bersama, dan akhirnya berjanji untuk membuat sebuah lagu persahabatan. Ibuku yang mengetahui kegemaranku akan dunia musik akhirnya menghadiahiku Studio ini sebagai hadiah ulang tahunku yang ke empat belas. Waktu itu, tepat saat kami menginjak kelas tiga SMP.

Kupikir semuanya akan baik-baik saja, hingga muncul sebuah masalah. Aku menyadari bahwa Shiro menyukai Aoi, dan Aoi menyukai Shiro."

Entah mengapa perkataan itu membuat dadaku terasa sedikit sesak.

"Dulu, anehnya aku juga sempat menyukai Shiro. Aku yang menyadari hal itu akhirnya mencoba merelakan Shiro, meskipun tidak mudah. Hal tersebut membuat persahabatan kami bertiga sedikit renggang. Hingga suatu saat aku mengatakan perasaanku yang sebenarnya kepada Shiro di depan Aoi, dan hingga sekarang aku menyesalinya. Dan kau tahu apa? Aoi langsung berlari pulang, dan Shiro mengejarnya. Saat itu aku merasa tidak peduli dan memutuskan langsung pulang ke rumah. Kami tidak berkomunikasi selama beberapa hari, meskipun kami sekelas dan seringkali bertemu. Hingga aku dipaksa ikut ke rumah nenekku saat pesta Natal, dan aku mengetahui fakta bahwa Shiro adalah sepupuku. Aku merasa bodoh. Aku merasa sudah merusak hubungan persahabatan kami. Jadi, kuputuskan malam itu juga berlari pulang dan menuju ke rumah Aoi. Ibuku yang panik meminta Shiro untuk mengejarku.

"Tibalah aku di depan rumah Aoi. Namun, rumah Aoi begitu sunyi. Tidak satupun lampu menyala, membuatku ragu bahwa Aoi ada di rumah. Aku memanggil namanya, namun tidak ada yang menjawab, hingga salah seorang tetangga mengatakan bahwa Aoi sedang tidak berada di rumah sejak kemarin. Dengan putus asa, aku kembali ke rumah nenek bersama Shiro. Dua hari berlalu dan sejak itu Aoi tidak masuk sekolah. Kupikir dia marah padaku, dan hal itu membuatku makin merasa bersalah padanya. Hingga, wali kelasku mengumumkan bahwa Aoi sudah berhenti sekolah."

"Ber... henti?" Aku menatap Fuyumi--ah, tidak. Aku menatap warna suara Fuyumi yang mulai berubah menjadi biru. "Lalu, bagaimana?"

"Tentu saja aku mencari-carinya." Fuyumi bersender ke senderan sofa yang empuk. "Semua pesanku tidak dibalas. Ponselnya tidak aktif. Aku sempat kebingungan mencarinya. Hingga, aku tak sengaja bertemu dengannya di festival bunga salju."

Festival bunga salju... batinku.

"Saat itu dia terlihat kurus sekali. Sangat pucat, bahkan melebihi salju. Dia berjalan seorang diri tanpa alas kaki maupun mantel. Dia hanya menggunakan setelan pakaian khas rumah sakit. Dia menatap sebuah band yang sedang bernyanyi dan memeriahkan festival. Aku panik sekali sehingga langsung melepas syal dan memakaikannya kepada Aoi. Shiro juga, tampak panik. Dia bahkan melepaskan sepatu, sarung tangan, serta mantelnya dan memberikannya kepada Aoi. Kata Aoi, dia senang sekali dapat bertemu denganku dan Shiro lagi. Dia tersenyun dan menangis, membuatku sontak memeluknya. Aku meminta maaf, dan menjelaskan semuanya kepada Aoi. Aoi juga tampak lega dan mengutarakan perasaannya kepada Shiro. Shiro juga menerima ungkapan perasaan Aoi, namun Aoi justru menolak. Aku terkejut, tetapi saat kutanya mengapa, dia hanya tersenyum dan mengatakan 'aku ingin sekali lagu yang kita buat selesai dan tampil di sini.' Begitu katanya.

Aku tak sempat bertanya lebih lanjut karena Aoi langsung roboh begitu mengatakannya. Ia pingsan, dan Shiro segera menggendongnya. Kami membawa Aoi ke rumah sakit, dan ternyata dia memang sedang dirawat di sana. Kami terkejut karena ternyata Aoi terkena penyakit yang cukup mematikan. Aoi sedang koma, dan itu cukup membuatku terpukul dan menangis seharian penuh. Sebelum pergi, Aoi bilang dia khawatir jika dia pergi, maka aku dan Shiro akan terus bersedih. Aku mencoba meyakinkan Aoi bila aku akan baik-baik saja. Dan aku juga berjanji akan menyelesaikan lagu tentang persahabatan kami. Aoi tampak senang, dan akhirnya... ia menangis dan memejamkan matanya."

"Lalu... bagaimana?"

"Ya tidak apa-apa. Manusia akan terus pergi. Jadi tidak ada yang bisa kita lakukan selain merelakan, bukan?" Fuyumi tersenyum manis kepadaku.

Aku terdiam, merenungkan setiap perkataan yang diceritakan oleh Fuyumi. Rumit, jika aku boleh jujur. Namun, ini cukup memilukan hati. Fuyumi adalah orang paling tegar yang pernah kujumpai. Meskipun masa lalu pernah melukainya, namun ia tidak sedih berkepanjangan. Berbeda denganku yang... pengecut ini.

"Dulu... aku membenci ayahku," suaraku mulai keluar dengan sendirinya. Fuyumi dan Shiro mulai memusatkan perhatiannya kepadaku. "Ayahku... jarang pulang ke rumah. Sekalinya pulang, pasti akan memicu perdebatan dengan Ibu. Hal itu, membuatku curiga sehingga aku memutuskan untuk belajar satu dua hal tentang hacker. Aku meretas panggilan yang pernah masuk dari ponsel ayahku, dan aku menemukan ayahku sering membuat panggilan dengan seorang wanita. Aku terlalu marah sehingga aku mengatakannya kepada ibuku, kemudian ibuku menampar ayahku dan memutuskan untuk bercerai. Ayahku terpukul, dia tidak menerima keputusan ibu. Hingga suatu malam dia mengirimiku sebuah pesan berisi permintaan maafnya. Saat itu aku mengabaikan pesan itu. Saat itu aku tidak mementingkannya. Saat itu... aku tak tahu bahwa itu pesan terakhir yang dikirimkan ayah padaku."

"Yuki..."

"Aku bodoh." Aku menundukkan kepalaku, memeluk kedua lututku dengan erat. "Esoknya, ayah ditemukan tewas di ruang kerjanya. Dia dinyatakan bunuh diri. Ternyata selama ini aku salah. Wanita yang sering bersamanya adalah rekan kerja, tak lebih tak kurang. Ibu merasa terpukul, dan aku... merasa menjadi orang tergila di dunia." Air mata mulai mengalir setiap kenangan itu muncul kembali di benakku. Begitu meretakkan hatiku.

"Aku... turut berduka," Fuyumi beranjak berdiri, berjalan mendekat, dan memelukku. "Pasti sulit untukmu, mengingat orang-orang di sekitarmu hanya memanfaatkanmu saja."

"Semua orang akan pergi, cepat atau lambat." Shiro menepuk kepalaku, kemudian mengelusnya lembut. "Tugas kita hanya merelakan dan berdoa."

"Tapi tetap saja... aku merasa bersalah." Aku memejamkan erat mataku, membiarkan air mata terus mengalir. "Ibuku... jadi banting tulang karena aku. Ibu jadi sering berbohong, karena aku."

"Kau tahu, Yuki," Fuyumi melepas pelukkannya, kemudian mengelus punggungku. "Musik itu punya tugas khusus. Tugasnya adalah menyampaikan kata-kata yang belum tersampaikan kepada seseorang, sesuatu, bahkan kepada yang sudah tiada."

Aku membuka mataku, demi menatap wajah Fuyumi yang tengah tersenyum lembut. "Apa maksudmu?"

"Musik itu indah, memiliki banyak warna dan rasa," Fuyumi menatap langit-langit ruangan yang dilapisi karpet kedap suara. "Diciptakan dari satu kata, yang memiliki beribu makna. Dipadukan dari ratusan melodi menjadi satu alunan yang indah. Musik, menyampaikan kata-kata hati yang belum dapat diungkapkan. Kamu mungkin tidak bisa mengungkapkannya pada ibumu, tapi mungkin bisa lewat musik."

"Tapi... aku bahkan masih belum bisa bermain instrumen." Aku menggigit bibir bagian bawahku.

"Tidak apa-apa," Shiro mengulas sebuah senyum tipis. "Itu perkara mudah. Aku bisa mengajarimu, selama kamu bisa belajar dengan cepat."

"Yosh," Fuyumi beranjak berdiri dan merenggangkan tangannya. "Sekarang ini, kita punya misi yang sama kan? Menyampaikan sesuatu dengan musik. Sementara aku menyelesaikan laguku, Yuki akan belajar main gitar bersama Shiro. Tidak ada waktu bersedih! Karena menjadi kelam itu tidak menyenangkan."

"Kau benar," aku mengusap cepat wajahku, kemudian tersenyum lebar. "Mungkin aku bisa membantumu membuat lagu? Aku bisa sedikit bermain melodyca. Mungkin bisa membantu?"

"Aku juga bisa membantu sedikit," Shiro menimpali.

Fuyumi tertawa pelan, "baiklah, tapi sebelum itu ada satu hal yang harus kita selesaikan terlebih dahulu."

"Apa?"

"Kita makan dulu, takoyakinya jadi dingin karena kita terlalu banyak mengobrol, tahu!"

***TBC***

A/N

Sumpah, Vara mager ngetik chapter plesbek :(

Okeh, kalo udah tamat nih story pengen Vara revisi yaw!

Update semwa manteman hehe

Bhayyyy

Big Luv, Vara
🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top