E Pluribus Unum [E-Jazzy]

Temanku putus sekolah hari ini. Ayahnya masuk penjara. Ibunya mati dimutilasi. Adiknya butuh dinafkahi.

Kofi sebetulnya anak yang asyik. Dia pandai olahraga, nilai sekolahnya tidak hancur-hancur amat, dan pada mulanya dia disukai semua anak. Namun, sejak ayahnya masuk berita lokal, teman-teman sekelas mulai mengatakan hal-hal tentangnya—sesuatu yang menurutku tidak cocok disematkan pada Kofi: maling, pembegal, hobo, pengedar.

Ibu marah sekali saat aku memanggilnya hobo—aku tidak tahu artinya. Baru setelah Ibu memberitahuku, aku malu bukan main. Hobo artinya gelandangan: homeless, tramp.

Lalu, ayahnya masuk berita nasional. Kofi pun berhenti sekolah meski sebentar lagi kami akan naik kelas 4, adiknya batal masuk SD, dan ibunya diserang di jalan. Ibunya ditemukan di dalam bak sampah dekat tempatnya bekerja sebagai tukang cuci dengan badan terpotong-potong keesokan paginya.

"Ayahnya Kofi divonis penjara seumur hidup." Aku membaca beritanya di mobil dalam perjalanan pulang dari sekolah. Ayahku menyetir. "Apa itu second degree murder?"

"Artinya pembunuhan yang disengaja, bukan dalam keadaan khusus seperti usaha mempertahankan diri atau dalam kondisi mental tertentu, tapi tidak terencana."

"Apa itu 'e pluribus unum'?" tanyaku lagi, menggulir layar ponsel dan menangkap artikel lain.

"Semboyan lama negara kita," ayahku menjawab. "Artinya, 'dari banyak menjadi satu'. Ayah kira kau sudah belajar tentang itu? Bahwa kita dulunya dari banyak koloni yang disatukan?"

"Hmm ...." Aku menggulir layar lagi dan terus mendapati headline serta foto hitam-putih aneh-aneh—sekumpulan pria yang berbaris dengan leher dirantai, sekumpulan anak-anak diikati ke tiang, patung konfederasi. Lalu, ada foto Central Park. "Apa itu Seneca Village?"

"Entahlah. Bukankah itu filsuf Roman? Atau nama tokoh The Hunger Games?" Ayah terkekeh di akhir kalimatnya.

Kami pun mengobrol mengenai film-film yang belakangan ini diputar, tentang sekolahku, lalu tentang pekerjaannya. "Bagaimana dengan klien Ayah yang kemarin, yang bajunya ada bercak darah? Kenapa kasusnya tidak masuk berita?"

"Karena tidak ada bukti dia yang melakukannya," ujarnya. "Klien Ayah hanya sedang sial, berada di tempat yang salah."

Ayahku pengacara. Tiap kali aku bertanya, Ayah tidak pernah menyebutkan secara gamblang apakah klien-kliennya bersalah atau tidak. Ibu bilang, memang itulah tugas pengacara, bahkan saat tahu kliennya bersalah. Kurasa, karena itulah Ibu tidak mau aku mengikuti jejak Ayah jadi pengacara. Mungkin itu juga alasan mereka bercerai. Namun, entahlah, pacar baru Ibu yang sekarang ini juga pengacara.

"Jika benar dia ikut menyerang korban, itu akan dianggap pembelaan diri," lanjutnya. "Korbannya bersenjata api."

"Ikut menyerang korban?" ulangku.

"Ya. Pembunuhnya orang lain." Ayah tersenyum tipis melirik ponsel di tanganku. "Sudah, jangan membaca di dalam mobil."

Aku memasukkan ponsel ke dalam tas. "Bagaimana Ayah tahu dia tidak bersalah? Ayah bilang, badannya besar, 'kan? Dia bisa menusuk—"

"Jangan menilai seseorang dari penampilan, Andreas. Kita tak tahu apa yang sebenarnya mereka alami."

Ponselku bergetar. Meski sudah dilarang, aku tetap membukanya. Notifikasi berita baru. Kasus penemuan mayat ibunya Kofi baru saja jadi berita setelah seminggu lamanya berlalu.

"Kasihan Kofi," kataku seraya memperlihatkan artikel berita pada Ayah. Ada foto ibunya Kofi saat masih hidup di sana, memakai daster lusuh dan memasang tampang memberengut. "Ibunya diserang saat akan pulang habis kerja. Padahal, 'kan, suaminya yang merampok dan membunuh, bukan wanita malang ini."

Ayah melirik ponselku dari sudut matanya. "Yah, mau bagaimana lagi? Orang-orang seperti mereka memang layak dicurigai, Andreas. Lihat saja pakaian dan ekspresi wajahnya."

Aku mengernyit. "Tapi—"

"Sudah sampai." Ayah menepikan mobil dan menepuk puncak kepalaku. "Salam buat ibumu, ya. Ayah masih ada pekerjaan. Ayah akan telepon seusai makan malam, oke?"

***

Lima tahun setelah itu, untuk pertama kalinya aku bertemu Kofi lagi. Aku sedang mencari buku latihan soal untuk kelas 3 SMP saat melihatnya sedang menyusun buku-buku di rak toko. Sepertinya dia bekerja di sini. Aku pun menyapanya.

Dia makin kurus, tetapi berotot. Kulitnya memang sudah gelap dari dulu, tetapi sekarang dia tampak lebih kusut, seolah-olah dia tumbuh 10 tahun mendahuluiku. Ada bekas luka gores di bawah matanya dan sayatan di bawah dagu—lima tahun lalu, semua itu tidak ada.

Kami berbasa-basi sebentar. Dia jadi lebih pendiam dari yang kuingat. Lalu, saat aku bertanya tentang adiknya, wajahnya jadi lebih cerah.

"Abena sudah sekolah lagi," ujarnya. "Memang, sekolahnya terlambat tiga tahun, dia sempat dirundung, tapi adikku itu monster. Dia menendang kakaknya sebagai sarapan, tentu saja tidak ada yang berani macam-macam dua kali padanya di sekolah."

Aku tertawa terlalu kencang sampai beberapa pengunjung melirik kami. Awalnya, mereka menatapku, lalu mereka mengernyit ke Kofi. Kurasa, itu karena penampilannya; seragamnya usang dan warnanya pudar, belum lagi rambutnya yang ikal berantakan.

Setelah beberapa menit obrolan, aku pamit. Kofi kemudian berkata, "Ayahku dan Abena membuka usaha toko kue kecil-kecilan di rumah. Kalau ada waktu, mampirlah."

"Oh, eh ...." Aku tak tahu cara menyikapinya. Bukannya ayahnya masuk penjara?

"Ayahku sudah bebas." Kofi seolah membaca pikiranku. "Jangan khawatir. Ayahku tidak bersalah. Makanya dia bisa keluar sebelum masa tahanannya selesai."

"Oh, baguslah. Aku ikut senang." Aku tersenyum. Lalu, ketika Kofi berjinjit untuk menaruh buku di rak teratas dan ujung bajunya tersingkap, mataku tanpa sengaja menangkap sesuatu terselip di saku celananya: bungkusan plastik kecil bening, dengan sesuatu yang mirip bubuk putih di dalamnya.

Aku buru-buru berbalik. Itu tidak mungkin sesuatu yang kupikirkan.

Namun, panggilan teman-teman sekelas kami dulu untuk Kofi mulai berputar-putar di kepalaku: maling, pembegal, hobo, ... pengedar.

***

Aku kembali lagi sorenya seusai shift Kofi selesai. Aku mengendap mengikutinya.

Oke, ini memang salah. Aku tidak seharusnya ikut campur, tetapi—

Dia masuk ke gang gelap di lingkungan yang terkenal berbahaya. Matahari hampir tenggelam. Kofi berjalan dengan kasual saja. Namun, saat akan masuk ke satu bangunan lewat pintu belakang, dia celingukan hingga aku mesti bersembunyi di balik tumpukan kotak kayu bekas.

Nah, 'kan, benar kecurigaanku!

Kukeluarkan ponselku. Kukirimi sepupuku yang seorang polisi pesan singkat berisi alamat gedung kosong yang Kofi masuki. Aku tahu lingkungan ini sudah diintai polisi sejak lama.

Sebuah tangan menangkap bahuku, hampir membuatku terpekik. Kofi sudah menghilang ke dalam gedung, sedangkan di belakangku berdiri seorang pria tinggi besar yang nyaris membuatku pingsan ketakutan.

Pria ini mengenakan kemeja kusam, overall jins, sepatu olahraga, dan celana kebesaran robek-robek. Alih-alih mencekikku, pria itu mengernyit dan bertanya, "Sedang apa di sini? Tempat ini berbahaya sekali."

"K-kau sendiri?" gagapku.

"Aku hendak menjemput anakku di sekitar sini saat melihatmu masuk kemari."

"Aku ... mengikuti teman," akuku. "Aku cemas karena, anu, seperti yang kau bilang, tempat ini berbahaya."

"Hubungi polisi saja," usulnya. "Hubungi ponsel temanmu, suruh dia menjauh dari tempat ini."

"Eh, itu ...."

"Kau mengikutinya diam-diam?"

"He-eh."

"Kalau begitu, kau tunggu di luar. Biar aku yang masuk. Tempat ini sering dijadikan tempat bocah nakal bertransaksi barang yang aneh-aneh. Bagaimana ciri-ciri temanmu?"

"Em, seperti kau, Pak. Maksudku rambut kalian mirip, dan ...."

Pria itu mengangkat kedua alisnya. "Kulit kami sama-sama gelap?"

"Eh, iya," kataku sungkan. "Dia tingginya sepertiku, pakai kemeja putih serta celana hitam."

"Baiklah."

Dia masuk ke dalam melalui pintu belakang. Meski sudah disuruh menunggu, aku tetap mengekorinya. Pria itu sendiri hanya mendengus saat melihatku.

Kami mendaki anak tangga sampai lantai tiga, lalu mundur sedikit saat terdengar suara samar-samar di kegelapan di atas.

"—terakhir kali." Ini suara Kofi. "Aku tidak mau jadi perantara lagi."

Pria besar di depanku menegang.

"Adikmu bakal terjamin nasibnya jika kau melanjutkan," ujar suara lain.

"Ayahku baru keluar dari penjara—kami bisa berdiri sendiri sekarang. Dan aku tidak mau membuat masalah baru."

"Heh, memang mantan napi bisa kerja apa?"

"Dia tidak pernah jadi napi!" Suara Kofi meninggi. "Dia tidak bersalah!"

Lalu, terdengar teriakan-teriakan, caci maki, kata-kata kotor, dan sumpah serapah. Tak lama kemudian, terdengar suara pukulan. Ada yang menjerit. Lalu bunyi hantaman lagi, berulang-ulang, membuat kakiku hampir lumpuh.

Aku mengikuti si pria asing mendaki lagi dan memasuki ruangan pertama di depan tangga.

Cahaya samar-samar membantuku melihat Kofi yang menggeletak tengkurap dengan kepala terarah ke pintu, satu tangannya meraih ke atas. Tampaknya dia baru saja merangkak, berusaha untuk keluar, meninggalkan jejak kemerahan di lantai di sepanjang jalurnya.

Di belakangnya, dua orang laki-laki seumuranku tampak babak belur, tetapi masih berdiri. Di samping mereka, satu orang lelaki lagi terkapar dengan wajah bonyok.

A, apa Kofi baru saja berkelahi dengan tiga orang dan nyaris menang?

Si pria besar menangkap salah satu lelaki—Daniel, aku mengenali fotonya dari ponsel sepupuku, bahwa anak itu habis kabur dari penjara anak. Daniel memekik saat si pria besar menghajarnya. Sementara yang satu lagi mencoba kabur lewat jendela.

Karena yang satu lagi pengecut, aku mendapat keberanian lebih. Jadi, aku mengejarnya dan menariknya sampai terjerembap.

Mulanya, aku ragu. Lalu, aku melihat Kofi berusaha bangun dan memuntahkan darah ke lantai. Sebelah matanya memerah dan alisnya robek. Di sekitar kami, dinding dan meja-meja bekas dipenuhi bercak darah yang barangkali adalah milik Kofi.

Detik itu juga aku sadar, Kofi menyimpan narkoba di saku seperti membawa dompet dan bisa tertangkap kapan saja, tetapi dia tetap melakukannya. Kemarahan membuat perutku bergolak dan, tanpa bisa kutahan, aku memukuli temannya Daniel si pengedar sesungguhnya.

Kofi butuh uang buat adiknya—buk!

Kofi sendirian selama lima tahun ini—krak!

Orang-orang ini malah memanfaatkannya—brak!

Kuayunkan badan si bocah kriminal ke meja-meja lapuk. Aku mencoba menghantamkan wajahnya ke sana saat Kofi tiba-tiba meraih ujung celanaku.

"Andreas ... jangan." Kofi memohon. Jarinya menunjuk ke tembok. "Jangan ke meja. Di situ saja. Lebih sakit."

Aku menuruti sarannya sampai si bocah tengik semaput.

***

Si pria besar yang menolong kami ternyata ayahnya Kofi. Aku tak mengenalinya sama sekali—mungkin karena penampilannya lebih rapi dari foto yang ditampilkan di berita dulu.

Para bocah pengedar ketakutan di pojok ruangan, dipelototi ayahnya Kofi yang pandai memasang tampang beringas. Lalu, saat polisi berdatangan, kusadari Kofi dan ayahnya tampak ketakutan setengah mati.

Baru kemudian aku paham, saat para polisi menerobos masuk, saat mereka mencoba mengamankan tersangka—

Yang pertama kali para polisi tuju justru adalah Kofi dan ayahnya. Senjata api teracung, bahkan salah satu petugas membidik kaki ayahnya Kofi tanpa peringatan, yang untungnya meleset.

"Tunggu!" Aku berteriak saat salah satu polisi mencoba menarikku dan mengamankanku. "Bukan mereka! Tunggu, anak itu terluka! Apa yang kalian lakukan—"

Namun, aku tahu apa yang mereka lakukan. Beginilah sistemnya. Bahkan meski ada tiga orang tersangka yang wajahnya dikenali oleh para polisi ini, mereka melumpuhkan dua orang yang paling ingin mereka curigai. Aku juga sama—prasangkaku pada Kofi membuatku memanggil polisi tanpa pikir panjang.

Polisi tidak memperlakukanku begitu. Padahal, aku juga ikut memukuli salah satu pengedar itu. Kepalan tanganku juga dipenuhi darah. Bajuku acak-acakan.

Para polisi secara otomatis punya presumsi bahwa 1)Kofi serta ayahnya entah bagaimana terlibat dengan sindikat ini; dan 2)aku cuma saksi. Separuhnya benar—Kofi memang sempat terlibat. Namun, andai Kofi dan ayahnya berasal dari kaumku, para polisi ini mungkin akan memperlakukan mereka dengan berbeda.

Dengan ngeri, aku menyaksikan mereka memborgol Kofi yang jelas-jelas tidak sanggup berdiri. Mereka menekan ayahnya ke lantai dengan berlebihan, yang bisa saja membuatnya patah tulang.

Lalu, kudapati seseorang melompat ke luar jendela, kemudian menghilang. Tampaknya ada tangga darurat di luar sana. Mereka—para bocah pengedar itu—kabur di tengah-tengah kekacauan dan perlawanan Kofi serta ayahnya.

***

The land of the free. Sebuah negeri yang dibangun oleh imigran dan kau bisa merdeka apa pun rasmu, etnismu, agamamu, jenis kelaminmu .... E pluribus unum—dari banyak menjadi satu.

Dengan semua pandangan tentang kebebasan itu, aku tidak paham kenapa komunitas kulit hitam York Hill diusir pada 1842 untuk pembuatan Central Park Reservoir, di mana bebek-bebek sekarang berenang bebas. Dan setelahnya, Seneca Village—komunitas kulit hitam lain tempat mereka akhirnya mengungsi—ikut digusur untuk pembangunan Central Park, tempat biasanya aku berjalan-jalan melihat tupai dengan Ibu.

Aku tidak paham kenapa Oscarville, desa yang subur dan dominan komunitas kulit hitam, ditumpas habis pada 1912 karena dua di antaranya dituduh melakukan tindak kejahatan. Keduanya dieksekusi dalam satu hari, seisi desa dihabisi oleh sekumpulan orang kulit putih yang marah, dan seluruh peradaban mereka ditenggelamkan, lalu dijadikan destinasi wisata—aku ke sana tahun lalu bersama ayahku, ke Danau Lanier, tanpa mengetahui bahwa kami naik perahu dan bercanda di atas perumahan, gereja, dan sekolah yang dulunya berpenghuni sampai 1912. Dan yang kami ketahui dari tahun itu cuma kematian Jack Dawson, diperankan Leonardo DiCaprio, beserta kapal besarnya yang karam.

Aku tidak paham kenapa pada granit Gunung Rushmore di atas tanah sakral bagi Lakota Sioux, diukir wajah keempat presiden—salah satunya menghukum gantung puluhan pemberontak Dakota Sioux, yang satu lagi memiliki pandangan ekstrem tentang suku Indian, dan dua lainnya memiliki ratusan budak Afrika.

Aku tidak paham kenapa ada kuburan pribumi di bawah lokasi konstruksi dan bangunan sekolah asrama. Kenapa para penggali menemukan jasad-jasad yang memiliki rantai di leher dan lengan mereka. Kenapa—

Kenapa Daniel serta dua temannya lolos sementara Kofi yang babak belur dan ayahnya yang tak bersalah diinterogasi?

Kenapa aku baru tahu bahwa, untuk meloloskan klien ayahku dari tuduhan lima tahun silam, ayahnya Kofi yang masuk penjara?

Ayahnya Kofi pernah hampir jadi perampok karena kesulitan ekonomi. Dia pergi ke toserba suatu malam bersama dua temannya, tetapi salah satunya membawa senjata api, yang satu lagi senjata tajam, dan keduanya terlibat pertengkaran. Ayahnya Kofi yang tidak bersenjata membatalkan niat dan kabur lebih dulu. Keesokan paginya, polisi sudah menyambangi rumahnya. Dia dituduh menusuk teman perampoknya yang bersenjata api, sementara temannya yang membawa senjata tajam membuat kesaksian palsu bahwa dia menyaksikan ayahnya Kofi melakukan penusukan.

"Mereka bertiga pakai baju dan balaclava kembaran seperti boy group." Abena menceritakan padaku siang itu, saat aku menemaninya menjenguk ayah dan kakaknya yang masih ditahan. "Postur badan Ayah dan si penusuk sama. Kejadiannya tertangkap kamera pengintai, tetapi wajah pelakunya tidak bisa dikenali di balik topeng. Karena ayahku kabur, mereka lebih mencurigai ayah. Meski pada baju pelaku aslinya ditemukan jejak darah, mereka lebih percaya kesaksiannya bahwa dia mencoba membela diri dari ayahku. Kurasa, karena dia orang kulit putih dan anak politisi."

"Anak politisi?" tanyaku. "Kenapa dia merampok?"

"Kata kakakku, si penusuk itu pecandu. Dia butuh uang untuk beli obat-obatan terlarang." Abena berdecak. "Kakakku mendengarnya dari Daniel. Bahkan sampai sekarang, pembunuh itu masih keliaran dan masih jadi pelanggannya Daniel. Kalau Daniel tidak bohong, ayahnya si pembunuh itu menyogok hakim, lalu membungkam media massa."

Aku mengernyit. Masih ada yang ganjil. Senjata pembunuhnya ....

"Ayo, pergi." Abena melompat turun dan menarik tanganku. "Mungkin kita sudah boleh melihat mereka."

Namun, alih-alih ayah dan kakaknya, kami justru melihat punggung ayahku lebih dulu di lorong yang sepi. Aku bahkan tidak tahu ayahku datang.

Di hadapannya, ayahnya Kofi berdiri bersandar ke tembok, tampak letih, tetapi sudah berganti pakaian—baju kaus biru dengan lambang bendera negara kami di dada kirinya, dibawakan oleh Abena pagi tadi dan dititipkannya ke salah satu petugas.

Mereka belum melihat kami. Ayahku sedang mengatakan sesuatu saat kami mendekat: "E pluribus unum, Idir. Dari banyak menjadi satu—itulah kata-kata favorit anakku. Pada akhirnya, sekian banyak orang harus punya satu suara. Hanya dengan cara itu kestabilan negara kita berjalan sampai sekarang."

"Jika sidik jari di senjata penusuk itu diperiksa lebih awal," kata Idir, ayahnya Kofi, "aku takkan menghabiskan satu malam pun di penjara. Istriku takkan dimutilasi orang rasis. Abena pasti sudah kelas 5 sekarang. Anakku harusnya sekelas dengan anakmu. Tapi, kau, Sir, menyogok penyidik."

"Karena membungkam jaksa saja tidak cukup," kata ayahku dengan suara lembut seolah-olah dia sedang memberi pengertian pada anak seumuranku. "Dan klienku yang lugu mengira menyuap hakim serta media massa saja akan bisa meloloskannya. Tapi, jika sampai ada yang memeriksa barang bukti, akan ada rumor yang beredar. Teman politisiku akan terekspos, kerja keras yang dibangunnya bertahun-tahun ini akan sia-sia. Akan ada kehebohan dan rasa tidak percaya dari publik jika anaknya tersandung kasus. Toh, kau sudah keluar, Idir. Anggap saja pengorbanan kecilmu telah menyelamatkan sesuatu yang lebih besar. Lagi pula, namaku sebagai pengacara dipertaruhkan."

Ayahku berbalik.

Lalu, membeku melihatku.

Abena berjalan menepi, mengelilingi kami dengan jarak aman seperti takut akan ada bom meledak di antara kami berdua, lalu berlari ke arah ayahnya. Dari ujung lorong di belakang mereka, Kofi sedang berjalan ke arah kami, diantar seorang petugas. Luka-lukanya tampak sudah diobati.

Ayahku berlutut di depanku. "Nak—"

"Sekarang aku paham," kataku mendahuluinya. "Albert," kusebut nama pacar baru ibuku, "tidak pernah menyuap siapa-siapa."

"Andreas—"

"Dan aku paham kenapa yang memenuhi penjara selalu kaum mereka. Itu karena mereka dihukum dua kali lipat atas perbuatan mereka, sementara kita melindungi diri kita sendiri. Itu karena kita mempercayai kebohongan tentang mereka. Kita bahkan terus membuat propaganda baru untuk menyisihkan mereka—karena kita butuh kambing hitam. Karena kita tidak sanggup mengakui perlakuan kaum kita dulu pada kaum mereka. Aku sempat percaya bahwa temanku sendiri—"

"Andreas," kata Ayah dengan lebih mendesak. Tangannya mencengkram bahuku. Tatapan matanya lembut, tetapi itu tidak berarti apa-apa jika dia tidak memandang Kofi dan keluarganya dengan cara yang sama. "Semua hal buruk yang menimpa mereka adalah salah mereka. Bukan salah kita. Bukan salahmu."

"Aku tidak menyalahkan kita atau diriku," kataku. "Aku menyalahkan-mu."

Ayahku terdiam. Tampaknya dia tengah menahan amarahnya. Mungkin dia tidak mau kehilangan martabat di kantor polisi. Dia merapikan jasnya, berdiri, dan berbalik menatap Idir. Kofi dan Abena sendiri menganga menatapku.

Ayahku mencoba mengatakan sesuatu, tetapi Idir mendahuluinya sambil tersenyum dan mata berkaca-kaca.

"E pluribus unum, Sir." Idir mencubit lambang bendera pada dada bajunya, lalu menciumnya. "E pluribus unum."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top