Chapter 01 : Predator Era Baru

Langit cerah, pemandangan kota terlihat jelas. Hanya sedikit awan yang muncul dan sinar matahari memberi kehangatan di pagi hari. Sekilas seperti hari yang normal, tapi ada satu hal yang berbeda dari hari biasanya. Tidak ada lalu-lalang masyarakat, tidak ada kemacetan, hanya jejeran kendaraan yang dibiarkan di tengah jalan tanpa pengguna. Bagaikan kota mati tanpa penghuni, tapi bukan berarti tidak ada kehidupan sama sekali.

"Lebih cepat Tina!" tegas seorang pemuda memegang tangan gadis muda yang kini terhenti dan mengatur napas.

"Tunggu sebentar, Dika. Biarkan aku... bernapas...," ujar si gadis terengah-engah bagaikan kuda pacuan.

"Tina, tidak ada waktu! Sini, akan kugendong ka-"

Sebelum menyelesaikan kalimatnya, Dika terdiam karena sesuatu mengintip dari balik bayangan bangunan. Mengendap-endap mengawasi dan bukan hanya di satu tempat, di seberang jalan pun ada yang merangkak di balik mobil dan ada pula yang melompat di atap bangunan. Bagaikan macan di tengah rimba, mereka hanya mengamati dari tempat yang aman. Siluet nya terlihat dan mata mereka bersinar merah terang.

Dika menelan ludahnya dan memegang erat tangan Tina, "Kita terkepung, kita tidak punya pilihan. Apa kau bisa membuat beberapa bola karbon dari aspal?"

Tina sedikit gemetaran dan ingin menangis tapi kehangatan tangan Dika membuat jiwanya tenang dan langsung menjawab sigap, "Bisa."

Tina menggunakan kedua tangannya untuk menyentuh aspal kemudian mengangkat tangannya perlahan dari permukaan aspal. Bersamaan dengan diangkatnya kedua tangan, butiran-butiran hitam mirip biji besi ikut terangkat dari aspal. Tina memfokuskan konsentrasinya dan menarik semua unsur karbon dari aspal sekitar hingga membentuk bola hitam besar.

"Dika, sudah jadi," tutur Tina menyerahkan bola hitam besar itu pada pemuda yang sedari tadi waspada akan serangan tiba-tiba.

Dika langsung mengambil bola itu dan memegangnya erat-erat, "Kau memang yang terbaik, aku mencintaimu."

Kalimat yang tiba-tiba dilontarkan melewati penjagaan Tina hingga gadis ini hanya bisa tersipu dan kebingungan di saat yang sama, "K... kenapa tiba-tiba?"

Dika memusatkan kekuatan dan konsentrasinya pada bola hitam tadi dan mendadak bola hitam itu mengecil diikuti beberapa kepulan asap yang keluar dari permukaannya. Setelah beberapa lama, bola hitam itu kini menjadi belati berlian. Begitu mengilap dan masih ada asap yang mengepul karena proses pengompresan tadi.

"Tina, sedikit karbon lagi dan kita akan punya pedang berlian," kata Dika dengan nafas agak tidak teratur.

"Setidaknya, Tina harus sampai di tempat perlindungan, aku akan mengorbankan diri di sini dan memberi waktu bagi Tina," batin Dika tidak melihat ada kesempatan bagi mereka berdua untuk bertahan hidup.

Selagi keduanya sibuk mempersiapkan senjata, salah satu makhluk yang sedari tadi hanya mengamati kini begerak maju. Menampakkan fisiknya yang tidak biasa. Berbentuk seperti manusia kurus tinggi yang merangkang. Kaki dan tangan yang panjang dan mulutnya dipenuhi deretan gigi tajam. Kulitnya berwarna keabu-abuan dan tidak memiliki bulu atau rambut sama sekali. Tidak ada kelamin dan tidak memiliki mata. Makhluk itu meraung bagaikan hewan buas, menggerakkan telinga panjangnya untuk mendapat gambaran ekolokasi dan mengendus aroma sekitar untuk mengidentifikasi buruan.

Dika mengeratkan genggamannya pada belati berlian miliknya, "Crawler, jenis yang paling kubenci."

Beberapa ratus meter dari lokasi Dika, lebih tepatnya di sebuah menara pemancar jaringan. Tinggi menara itu sekitar seratus meter dan berada di area dataran tinggi. Berjongkok di atasnya sambil mengamati situasi Dika, seorang pemuda bertopi merah mengunyah permen karet.

"Wow, esper micro. Dan keduanya sama-sama penggendali elemen karbon, meski yang satunya karbon kompleks," kata pemuda berkaos merah bernama Ackbar.

Ackbar tidak melakukan apa pun selain mengamati dua pasangan itu sedang memperjuangkan hidup mereka.

"Itu bukan urusanku, tapi dari cara mereka bergerak, sepertinya mereka punya tujuan khusus," Ackbar berdiri dan memutuskan untuk pergi ke lokasi dan memastikannya sendiri, "Tapi hebat juga ternyata, aku baru tahu kalau crawler bisa memanjat menara," lanjut Ackbar melihat ke bawah dan mendapati beberapa makhluk yang memiliki ciri fisik yang sama dengan makhluk yang dihadapi Dika.

Crawler memanjat ke tempat Ackbar dengan mulut mereka yang terbuka dan mengendus ke arah pemuda tersebut.

"Yeap, lagipula tidak ada bedanya." Ackbar langsung melompat dan terjun bebas dari tempat ia berdiri.

Dua crawler yang sedang memanjat tiba-tiba meloncat ke arah Ackbar yang bebas di udara tapi pemuda ini hanya tersenyum lebar melihat reaksi kedua monster tersebut.

Sementara itu, di lokasi berbeda, Dika dan Tina tidak berada dalam kondisi bagus. Hampir 50 crawler melingkari keduanya, Dika mengalami banyak luka cakaran di seluruh tubuhnya dan Tina....

Terbaring di atas genangan darah dengan perutnya yang terkoyak dan menampakkan sistem pencernaannya.

"Tina! Bertahanlah!" seru Dika melindungi Tina mati-matian dan tetap berada di sampingnya.

"Apakah ini akhirnya?! Tidak, aku tidak mau ini berakhir di sini, aku –"

Di saat Dika sibuk dengan pikirannya, para crawler langsung meloncat menuju pasangan ini.

*BWUSH!

Pilar api tiba-tiba muncul membakar satu crawler yang mencoba menggigit Tina diikuti munculnya tembok api mengelilingi Dika dan Tina. Dika terheran dan langsung waspada.

"Siapa kau?!" teriak Dika.

"Begitu caramu berterima kasih?" tanya Ackbar yang tiba-tiba mendarat di luar lingkaran tembok api, "Gak usah sok menjadi pahlawan kalau kau lemah, duduk saja di sana dan meratapi takdir sementara –"

Satu Crawler tiba-tiba meloncat dari samping dan hendak mencakar pemuda bertopi tersebut.

*BUK!

Ackbar mendaratkan kepalan tangannya di wajah si crawler, "Sementara aku bersenang-senang."

Si crawler tadi tersungkur jauh hingga puluhan meter dan crawler lain malah meraung bagaikan gerombolan anjing.

Para crawler kini menganggap Ackbar sebagai bahaya dan menyerang pemuda tersebut. Beberapa crawler mulai maju dan meloncat dengan gesit mencoba melayangkan gigitan. Ackbar menghindar semua serangan dengan mudah dan beberapa kali melancarkan serangan balasan sementara Dika terkejut karena refleks itu bukanlah refleks manusia normal.

Puluhan percobaan serangan gagal, para crawler mundur dan tiba-tiba muncullah satu crawler besar seukuran mobil. Dika panik dan langsung berteriak, "Woe! Kau tidak tahu apa yang kau lawan! Itu berbahaya!"

Sang crawler besar melompat dengan rahang menganga.

*BUK!

Sebuah pukulan uppercut cepat di rahang bawah berhasil mengangkat sang crawler besar dari permukaan tanah diikuti sebuah pukulan lurus ke arah dada. Hentakannya begitu keras hingga crawler itu terlempar 10 meter ke depan.

Sang crawler besar bangun dengan sedikit erangan kesakitan lalu meraung keras. Crawler besar itu melompat sekali lagi dan Ackbar melancarkan dua pukulan jab cepat ke wajah lalu mencengkeram kepala dan membantingnya ke aspal.

Crawler itu tidak bergerak, pemuda bertopi ini lalu menendang perut si crawler hingga si crawler terlempar 10 meter ke depan. Si crawler terbangun tidak lama setelah itu sambil menundukkan kepala lalu berbalik dan merangkak menjauh diikuti crawler lain yang mundur perlahan karena waspada terhadap Ackbar.

"B... b... bagaimana bisa?" tanya Dika tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Insting mereka mengatakan mustahil untuk mengalahkanku, makanya mereka mundur, semudah itu," jawab Ackbar santai lalu mengibaskan tangannya dan lingkaran api yang melindungi Dika langsung meredup dan padam.

"Bukan itu, kau esper macro, kan? Tipe penguatan otot tubuh, tapi bagaimana kau membuat tembok api tadi? Apa kau esper quantum tipe pyrokinesis atau esper macro tipe penguatan otot?"

"Itu tidak penting, yang penting itu adalah dia." Ackbar menunjuk ke arah Tina yang wajahnya perlahan memucat.

"Tina!" Dika langsung menggenggam tangan Tina yang perlahan mendingin.

"Di... dika..."

Dika langsung memegang kerah kaos Ackbar, "Kau harus menolongku! Sembuhkan dia!"

"Wow, tenang dulu koboi, aku bukan dokter, memangnya apa yang bisa kulakukan?"

Pertanyaan singkat itu langsung menampar Dika ke dunia nyata. Ia hanya bisa terduduk di samping Tina dengan tatapan kosong sementara air mata perlahan mengalir turun.

Tina menggenggam tangan Dika lalu tersenyum, "D... Dika... aku juga mencintaimu."

Hati Dika mendadak sesak, banjir air mata keluar dan pemuda ini langsung memeluk kekasihnya yang sekarat.

Tina mengelus kepala Dika perlahan, "Tidak apa, a... a...ku sudah sangat... bahagai... kok."

"Jangan bicara lagi! Lukamu akan semakin parah!"

Ackbar menepuk pundak Dika, "Aku tidak bisa menyembuhkannya, tapi aku bisa mempermudah kematiannya."

"A... a... APA MAKSUDMU! KAU INGIN MEMBUNUHNYA?! KAU HANYA ORANG ASING! JANGAN MEMUTUSKAN SEOLAH KAU TAHU YANG TERBAIK!"

Tina memegang wajah Dika dengan lemah lembut, "Maaf aku menjadi beban."

Dika langsung memeluk Tina dengan erat, "Tidak! Kau bukan beban! Kau bukan beban sama sekali...."

Sementara sepasang kekasih itu menghabiskan waktu terakhir mereka, Ackbar sibuk mengunjungi bangunan sekitar, "Ck, semuanya bangunan yang tidak ada hubungannya dengan makanan. Toko mobil, toko sepatu, toko alat olahraga, apartemen, bank, tempat pengadaian, asuransi, NGENTOT MANA SWALAYAN?! MANA RESTORAN?!"

Dika masih dalam keadaan memeluk Tina, tapi tidak ada lagi air mata yang mengalir, semuanya telah keluar dan hanya tersisa rasa sedih dan kesal, "Maaf, seandainya aku lebih kuat."

"Tadi kau menyatakan perasaanmu padaku, benar, kan?" tanya Tia agak lesu.

"Ya, selama ini aku menyukaimu, mencintaimu, tapi..."

Tina memeluk kepala Dika, "Kenapa kau nggak peka sekali, terlalu lama."

"Maafkan aku."

"Akhirnya kita resmi pacaran."

Dika mengangkat kepalanya dan memandang Tina, "Eh?"

Tina langsung mencium bibir Dika dan pemuda ini hanya mematung terkejut, "Setidaknya aku bisa mati dengan tenang sebagai pacarmu," Tina memasang senyuman kecil dan itu memastikan tekad Dika.

"Woe orang asing," kata Dika memanggil Ackbar.

Ackbar menghentikan pencariannya akan makanan dan berbalik menatap Dika dengan satu alis mata terangkat "Woe pasangan sekarat, namaku Ackbar."

"Maaf Ackbar, namaku Dika."

"Yo, salam kenal."

"Salam kenal juga." Perkenalan normal itu mengalihkan tujuan Dika selama beberapa saat dan ia langsung kembali ke dunia nyata, "eh bukan itu, maksudku bisa aku minta tolong?"

"Apa itu?"

Dika sedikit lesu dan menghela napas panjang, "Bisakah kau membunuh kami berdua dengan cepat?"

"Boleh saja, tapi dengan satu syarat."

"Apa itu?"

"Kau punya makanan?"

Dika tertawa kecil, "Maaf kawan, aku tidak punya makanan, tapi aku tahu tempat untuk mendapatkannya," kata Dika menyerahkan secarih kertas yang merupakan peta ke sebuah lokasi.

Ackbar mengambil kertas itu dan mengantonginya, "Cukup adil, baiklah, aku akan mencoba membakar kalian di suhu 1.5000 C, itu harusnya cukup panas."

"Terima kasih." Dika berbaring di samping Tina dan mereka berdua saling berpelukan, menatap wajah masing-masing dengan senyuman yang tulus dan penuh syukur.

Ackbar mundur beberapa Langkah menjauh kemudian mengangkat tangan kanannya. Tubuh Ackbar tiba-tiba diselimuti oleh kobaran api dan di telapak tangan kanannya, muncul bola api berwarna biru terang. Ackbar berusaha menahan beban suhu yang ia rasakan sampai ia harus berlutut, semakin panas dan semakin panas, udara sekitar terlihat bergelombang karena panasnya. Aspal perlahan meleleh dan Ackbar mulai bernapas berat.

Setelah memfokuskan energinya dan mencapai 1500 derajat celcius, Ackbar langsung melempar bola api biru itu pada Dika dan Tina, keduanya langsung terbakar dalam sekejap, tak menyisahkan organ biologis apa pun selain tulang yang hangus.

Ackbar tertunduk dengan napas memburu, "Goblok, kenapa... aku... harus dengarkan... mereka?"

Seluruh area sekitar meleleh, aspal menjadi lengket, udara menjadi kering, material lain masih terbakar. Namun tubuh Ackbar tidak mengalami perubahan apa-apa, tidak ada bekas terbakar, tidak ada bekas gosong dan anehnya, begitu pula keadaan baju yang dikenakannya.

Ackbar menggelengkan kepala ke kiri dan ke kanan dan sendi lehernya berbunyi, "Untunglah tadi hanya crawler."

"Woi! Penyihir!"

Seruan itu memaksa Ackbar menghela napas panjang kemudian berbalik menghadap ke arah asal suara, "Harusnya kalian mundur saat tahu siapa aku," kata Ackbar melihat tiga orang yang tiba-tiba berubah menjadi hybrid hewan.

Salah satunya menjadi manusia harimau, yang lain menjadi manusia serigala, dan yang terakhir berubah menjadi manusia ular.

"Sudah terlambat, bos pasti akan suka jika punya budak seorang penyihir," tutur si manusia ular diikuti kedua orang manusia hybrid mamalia menerjang ke arah Ackbar.

Ackbar menggelengkan kepalanya dan bergumam agak keras, "Tiga esper macro? Setidaknya bawa esper quantum untuk melawanku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top