Anniversary #Songlit
Selamat membaca🤗
.
.
.
.
.
Maaf ya La, kamu makan sendirian dulu. Aku ada penyidikan siang ini.
"Lagi?!" pekik Laras dengan suara cemprengnya, membuat beberapa pasang mata di sekitarnya memberikan tatapan aneh. "Kalau ada penyidikan kenapa bikin janji? Di hari anniversary pula?"
Gadis bertubuh langsing itu menghempas ponselnya dengan kasar. Tak peduli orang-orang seisi restoran sedang menatapnya. Jika saja ia berada di rumah, mungkin ia sudah melempar benda pipih itu ke dinding kamarnya. Namun, hal itu tidak ia lakukan di restoran yang sedang ramai-ramainya menjelang waktu makan siang ini. Meskipun Laras adalah gadis yang tak pernah peduli 'apa kata orang', setidaknya ia masih memiliki tingkat kewarasan yang tinggi sehingga enggan melakukan hal konyol di tengah keramaian.
"Pacaran aja sama bosmu!" Laras menggerutu sendiri. Ia lantas mengacak rambutnya seperti orang frustrasi. Dalam hitungan detik saja, rambut hitam sepunggungnya yang tergerai indah kini bagaikan rambut singa. Laras tak sadar, perbuatannya itu justru lebih menarik perhatian dibanding ia melempar ponsel sambil memaki-maki.
Terhitung sudah tiga kali dalam beberapa pekan terakhir, kekasih Laras mengingkari janji yang mereka buat bersama. Bukan janji besar, hanya sekadar makan saja. Namun, bukankah menyebalkan jika tiga kali berturut-turut selalu batal? Setidaknya itulah yang Laras pikirkan. Sebelumnya ia mencoba sabar, tetapi kali ini ia sudah sangat muak.
Bermodalkan alasan yang sama, Rayan—pacar Laras—selalu saja menggagalkan rencana kencan mereka. Jika terus seperti ini, apa yang bisa Laras harapkan dari seorang pria yang digilai gadis seisi kantornya itu? Pria tampan yang ketika kuliah disenangi gadis-gadis di kampusnya, mahasiswa Fakultas Hukum yang selalu menegakkan keadilan, hingga menjadi presiden mahasiswa di tahun ketiganya sebagai mahasiswa. Kini, kekasih Laras itu menjadi seorang Jaksa di salah satu pengadilan negeri. Sekarang semua kehebatan itu lenyap dari mata seorang Adinda Larasati. Untuk apa pria sehebat itu jika memperlakukan pasangannya saja tak becus?
Ah, tiba-tiba Laras teringat masa kuliah, saat Rayan menembaknya di depan gedung Rektorat. Hal memalukan sekaligus membahagiakan bagi gadis dua puluh tiga tahun itu.
***
"Kenapa aku? Dari sekian banyak perempuan yang suka sama kamu ... kenapa kamu milih aku?" tanya Laras kala itu.
"Karena kamu adalah Laras," jawab Rayan singkat.
"Maksudnya?"
"Kamu adalah Laras, kamu selalu jadi dirimu sendiri. Kamu nggak pernah seperti perempuan lain yang seakan-akan memaksa menjadi sempurna hanya untuk dilirik. Kamu berbeda. Dan nilai plusnya, kamu cantik."
Laras tersenyum. "Kamu nggak malu? Aku ini bukan aktivis, nggak cerdas, cuma mahasiswi biasa yang suka bolos mata kuliah Statistika."
Rayan tertawa kecil, lantas mengacak gemas rambut hitam Laras. "Aku kan udah bilang, aku menyukai Laras apa adanya. Kamu cukup jadi diri kamu. Itu udah cukup."
***
Laras tersenyum setelah tadi mencak-mencak tak jelas. Namun, hanya beberapa detik saja. Sebab matanya kembali menatap ponsel berisi pesan singkat dari Rayan yang sungguh menyebalkan.
"Hidupnya hanya penuh dengan tersangka, saksi, pasal, hukuman, tuntutan, sidang, dan segala tetek bengeknya. Dia nggak tahu caranya pacaran!" Laras mengomel lagi.
"Emang cara pacaran gimana?"
Deg!!
Laras tersentak. Ia menengok untuk mencari dari mana asal suara sumbang itu. Netranya menangkap sesosok gadis berlesung pipi sedang tersenyum ke arahnya. Senyum menyebalkan yang membuat Laras serasa ingin menyumpal mulut gadis itu.
"Gimana lo bisa ada di sini?" tanya Laras tanpa basa-basi.
"Naik mobil," jawab Rena sok polos.
"Bangs—"
"Eit, nggak boleh ngomong kasar." Rena menyela.
"Gue udah bilang, mulut gue susah diajak insaf." Laras menyeruput greentea yang sudah berada di atas mejanya satu jam yang lalu.
Rena tertawa renyah. Gadis itu kemudian memanggil pelayan dan memesan segelas jus alpukat. Ia lantas menatap wajah Laras yang sudah tak keruan. "Kenapa? Kusut banget muka lo. Ada masalah lagi sama Jaksa Arayan Tirta? Kali ini lo bikin kasus apa?" tanya Rena bertubi-tubi.
"Kenapa setiap gue ada masalah sama Rayan, lo selalu berpikir kalau itu salah gue? Kenapa—"
"Wait!" Lagi-lagi Rena menyela. "Please, sebelum lo jawab, rapiin rambut lo dulu. Gue malu duduk di sini."
"Pulang aja sana!" balas Laras tanpa pikir panjang.
"Dia pasti punya alasan, Laras." Rena langsung mengalihkan lagi ke topik utama. Laras mendengus. Sahabatnya ini benar-benar membuatnya semakin kesal. Lagi-lagi ia berpikir, jika mereka sedang berada di kamar, mungkin Laras akan langsung menjambak rambut ikal Rena hingga gadis itu berteriak lantang.
"Dia itu kerja untuk masa depan kalian. Lagian lo tahu kan, dia itu seorang Jaksa. Kerjanya harus teliti, nggak boleh sembarangan. Entar salah dakwa gimana?" Rena mulai memberikan komentarnya.
Laras menghela napas, kali ini lebih pelan. Air mukanya berubah sendu. Ia menatap Rena seakan berkata 'dengerin gue dulu'.
Hening beberapa saat. Sampai akhirnya seorang pelayan datang membawa jus alpukat pesanan Rena.
"Oke, mau cerita apa?" tanya Rena setelah meminum sedikit jusnya. Bersahabat dengan Laras selama lima belas tahun membuat Rena mengerti isi pikiran gadis itu hanya dengan melihat ekspresi wajahnya.
"Lo tahu kan, selama ini Rayan jadi idaman di kantornya. Dia cerdas, ramah, peduli sesama, murah senyum, dan pastinya dia ganteng. Lo tahu, Re, betapa gue merasa beruntung bisa jadi perempuan yang dia pilih." Laras memulai ceritanya. "Awal-awal jadi pacar Rayan, gue bahagia setengah mati. Itu kayak imajinasi yang jadi kenyataan. Gue udah bayangin hubungan gue akan berjalan lancar, tanpa masalah berarti, karena gue percaya Rayan bisa jadi pacar yang baik. Kayaknya ... gue halunya ketinggian, ya?"
"Banget," jawab Rena tanpa pikir panjang. "Imajinasi lo ketinggian," lanjut gadis berambut sebahu itu. Laras menatapnya tanpa ekspresi.
"Maksud gue gini, La, lo berharap hubungan lo berjalan lancar. Hei, mana ada hubungan yang terus-terusan lancar? Pasti ada aja hambatannya. Pernikahan, pacaran, persahabatan, apa pun itu. Namanya juga hidup, nggak mungkin nggak ada ujiannya. Apalagi hubungan lo hari ini udah lima tahun, wajar kalau banyak rintangannya." Rena berbicara dengan berapi-api, membuat Laras tertegun sejenak.
"Lanjut, Re," ucap Laras kemudian.
"La, lo harus ngertiin Rayan. Dan Rayan juga harus ngertiin lo. Ini bukan saatnya mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Kalian harus duduk bareng dan membahas ini. Bicarakan hubungan kalian. Kalian harus saling terbuka," lanjut Rena. Gadis itu benar-benar berada dalam mode serius.
Laras masih bergeming.
"Oke, gue cuma bisa bilang ini, La." Rena mengakhiri pidato singkatnya, lantas kembali menyeruput jus alpukatnya.
Laras diam sejenak, hingga kemudian bibir merah mudanya melengkung indah. Ia lumayan merasa tenang setelah mendengar petuah dari Rena. "Gue beruntung punya sahabat kayak lo, walaupun otak lo agak miring, tapi untuk urusan ngasih nasihat lo juara deh!"
"Nggak usah muji kalau ujung-ujungnya lo jatuhin," respons Rena ketus. Laras akhirnya mengeluarkan tawa yang sejak tadi tak terlihat. "Lagian lo daripada ngeluh, kasih dia semangat kek. Atau siapa tahu aja dia butuh tempat berkeluh kesah."
"Mana ngerti gue urusan hukum, Renataaa. Meskipun dia cerita, gue cuma bisa dengar doang, nggak bisa komentar."
Rena memajukan wajahnya. Lantas berkata, "Terkadang ... seseorang menceritakan keluh kesahnya karena dia ingin berbagi, juga ingin didengarkan. Bukan untuk menerima komentar dari si pendengar."
Laras terdiam. Entah apa yang merasuki otak Rena sehingga bisa berbicara sebijak itu. Ingin rasanya Laras mengumpat, tetapi ia mencoba menahan diri sebab Rena sudah berbuat baik padanya hari ini.
***
Hampir pukul tujuh malam, Laras baru tiba di rumahnya. Ia memutuskan untuk main ke rumah Rena setelah makan siang di restoran. Jika tadi ia langsung pulang, mungkin rasa kesalnya akan semakin menjadi-jadi. Setidaknya di rumah Rena ia bisa melupakan sejenak masalah yang ada.
Aku udah di rumah. Tadi aku main ke rumah Rena setelah makan siang.
Laras mengirim pesan untuk Rayan sebelum ia turun dari mobil. Begitu kedua tungkainya menginjak teras rumah, dahinya mengernyit. Ia melihat sebuah amplop biru muda tergeletak di depan pintu. Laras mendekat dan meraih amplop yang ternyata memang untuknya. Sebab di amplop itu dengan jelas tertulis: Untuk Adinda Larasati.
Dirubung rasa penasaran, Laras segera membuka amplop itu.
Laras, ini aku, Rayan. Maaf kalau aku pengecut, hanya mengirim surat ini untukmu.
Laras, aku tahu sekarang kamu sedang kesal. Aku juga tidak mengerti, mengapa semesta begitu tega pada kita. Setiap aku berjanji padamu, selalu saja ada pekerjaan mendadak yang tidak bisa aku tinggalkan. Mulai sekarang, aku berjanji, aku tidak akan membuat janji yang tidak bisa kutepati.
Laras, sebenarnya aku mengajakmu makan bukan hanya sekedar untuk mengisi perut, ada hal penting yang mau aku sampaikan. Aku tidak mau terus-terusan menundanya. Jadi, sekarang aku memutuskan untuk mengatakannya secara tidak langsung.
Masuklah ke kamarmu. Aku sudah menyiapkan semuanya.
Kekasihmu,
Rayan.
Kernyitan menghiasi kening Laras setelah membaca surat dari pacarnya itu. Heran, bingung, sekaligus penasaran. Tanpa berpikir panjang, ia segera membuka pintu rumahnya dan berlari ke arah kamar.
Tiba di depan pintu kamar, lagi-lagi Laras menemukan selembar kertas tertempel di sana.
Aku sudah yakin dengan pilihanku.
Rasa penasaran Laras semakin menggebu-gebu. Dengan tangan yang sedikit gemetar saking gugupnya, gadis dengan jari lentik itu memegang gagang pintu. Degup jantungnya berlarian tak menentu.
Decitan pintu terdengar pelan diikuti langkah kaki Laras memasuki ruangan bernuansa biru itu. Ajaib! Kamarnya benar-benar berubah. Lampu dan balon warna-warni, bunga mawar kesukaan Laras, juga sebuah kue tar berbentuk hati kompak menyambutnya. Laras ternganga. Jarang sekali Rayan melakukan hal seperti ini untuknya. Matanya berkaca-kaca. Ia bawa sepasang matanya berkeliling untuk menatap keindahan sederhana itu. Hingga kemudian....
Deg!!
Tubuh Laras mendadak melemah. Amplop biru di tangannya terlepas begitu saja. Jantungnya memburu tak teratur. Ia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Apa benar yang ia lihat? Tulisan di salah satu sisi dinding kamarnya itu ... seperti mimpi.
Adinda Larasati, will you marry me?
Laras tercengang hingga tak mampu berkata-kata. "Ra-rayan...," lirihnya. Air matanya tumpah begitu saja. Tangis haru dan bahagia itu tak bisa lagi dibendungnya.
"I-ini beneran lamaran?" gumam Laras masih tak percaya.
"Kalau orangnya di sini, masih nggak percaya?"
Deg!!
Lagi-lagi jantung Laras dipermainkan sedemikian rupa. Tak henti-hentinya dibuat terkejut. Gadis itu menengok dan mendapati Rayan di depan pintu kamarnya.
"Rayan? Kamu...."
"Setelah aku pikir-pikir, nggak seru kalau nggak diucapkan secara langsung," ujarnya diikuti senyum hangat. Pria jangkung itu berjalan mendekati Laras dan langsung memeluk gadis itu.
Laras bergeming. Ia masih tak mampu berkata apa-apa, atau berbuat apa-apa.
"Dasar! Panikan, paranoid, overthinking. Kata Rena, kamu mikir aku udah nggak cinta sama kamu?" goda Rayan. Pria dua puluh lima tahun itu melepaskan dekapannya, lantas mencubit gemas pipi Laras.
Laras tertawa kecil. "Ya, habisnya kamu sih!"
"Iya, iya, maaf."
"Jadi ... penyidikan itu bohong?"
"Yang pertama benar, yang kedua, dan yang ketiga tadi boongan. Mau ngerjain kamu aja," jawab Rayan gamblang.
"Ngeselin!"
"Tapi sayang, kan?"
"Bodo!"
"Gimana?"
"Gimana apa?"
"Will you marry me?" Rayan mengucapkan kalimat itu dengan lembut sembari menatap manik mata cokelat milik Laras.
Laras pun membalas tatapan itu, tak kalah hangat, penuh cinta. Hingga akhirnya Laras menjawab setelah sebelumnya tersenyum lebar. "Yes, I will."
***
"Yes, I will!"
Teriakan Laras membuat Rena menutup telinganya rapat-rapat.
"Yuhuu ... akhirnya selesai!"
"Apaan sih lo teriak-teriak mulu? Entar tetangga gue protes nih!" keluh Rena yang sudah naik pitam. "Dari tadi senyum-senyum, ngomong sendiri, teriak-teriak. Kenapa sih lo harus nulis di rumah gue?" lanjut gadis berlesung pipi itu.
"Cerpen gue akhirnya selesai!" seru Laras masih dengan suara lantangnya.
"Bodo amat, gue nggak peduli!"
"Re, lo harus baca ini. Lo juga gue masukin jadi salah satu tokoh di cerpen super keren ini." Laras antusias sekali.
Rena menyeringai. "Hah? Super keren? Super halu, iya. Lo bikin cerpen yang tokoh utamanya lo sama Kak Rayan, kan?" tebak Rena, yang langsung dijawab anggukan oleh Laras.
"Halu tingkat dewa, imajinasi level akut, parah lo," cemooh Rena.
"Re, di kehidupan nyata, gue ngobrol sama Kak Rayan aja susah, sedih tauu!" Laras memanyunkan bibirnya. "Makanya gue nulis, Re. Lo tahu, dunia imajinasi itu lebih indah daripada dunia nyata. Dan ini cerita gue sendiri, gue bebas menentukan akhir ceritanya. Tapi gue bikin realistis, jadi sebelum dilamar, gue marahan dulu sama Kak Rayan, terus—"
"Stop!" sela Rena cepat. "Gue nggak mau dengar cerita lo. Please, La, gue mau fokus nyusun makalah gue, deadline-nya besok! Pulang lo sana!"
"Ih, marah-marah. Nggak seru lo ah!" Laras menutup laptopnya dengan sedikit kasar.
"Iya, gue emang nggak seru. Sekarang, mending lo pulang deh. Mau mengkhayal Kak Rayan nembak lo kek, ngelamar lo kek, terserah! Gue nggak mau nilai gue di semester lima ini anjlok gara-gara sahabat gue yang namanya Laras ini bucin sama Rayan Aditya, si presiden mahasiswa." Setelah mengatakan segala sumpah serapahnya, Rena dengan sigap mengambil earphone dan menyumpal telinganya dengan lagu-lagu yang volumenya melebihi batas wajar. Baginya, lebih baik mendengar suara musik daripada suara cempreng Laras.
Alih-alih meninggalkan kamar Rena, Laras malah selonjoran di atas kasur sambil memeluk guling. Gadis itu kemudian hanyut dalam mimpi-mimpinya. Seperti biasa, ia senyum-senyum sendiri layaknya orang tak waras. Membuat Rena geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu.
Mimpi apa dia punya sahabat yang imajinasinya kebangetan?
💞💞💞
Gimana?
Makasih yang udah baca😁
Salam sayang,
Nissa🍒
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top