Anya
Tabula Rasa : Merujuk pada teori Empirisme John Locke yang berpendapat bahwa manusia lahir seperti kertas kosong. Jadi perilaku manusia 100% dipengaruhi oleh lingkungan.
Namanya Anya. Pertama kali mengenalnya di kelas Bahasa Inggris semester pertama. Dia duduk di belakangku, di sudut, selalu seperti itu setiap Rabu. Dia hampir tidak pernah bicara, tidak pernah tunjuk tangan. Tapi siang itu, dia tidak bisa menghindar. Pak Sapto menyuruhnya membaca soal berikut jawabannya. Sialnya, aku juga tidak bisa menghindar saat dia menusuk punggungku dengan pulpen ungu, dan menuntut jawaban untuk nomor satu.
Semudah itu. Secepat itu. Besoknya, tahu-tahu dia sudah jadi temanku.
Anya masuk ke kamar kosku dengan hati masygul. Tergambar jelas di wajahnya. Ah tidak, terlalu jelas malah. Aku yang sedang bersandar manja di punggung termpat tidur sambil membaca A Thousand Splendid Suns, tidak berkomentar apa-apa. Juga tidak saat dia merebahkan tubuhnya, melengkung, memunggungiku.
Aku bukan tidak peduli. Sungguh. Tapi sudah terlalu sering Anya berekspresi seperti itu. Dan aku bosan dengan drama tak berujung yang selalu dijadikannya alasan untuk menghalalkan tindakan kriminalnya padaku. Tinju, tendang, pukul, gigit, dan segala tindak kekerasan untuk melampiaskan emosi. Katanya! Bodohnya, aku diam saja.
Anya menarik napas panjang, seolah oksigen di ruangan ini terbatas dan dia akan kehabisan kalau tidak melakukannya. Aku cuma geleng-geleng kepala.
"Rangga?" tanyaku.
"Hem."
"Putus?"
"Maunya."
Ganti aku yang mendesah kali ini. Tak peduli alasan yang apa diusung Anya untuk membenarkan tindakannya. Oh, kalau aku lupa bilang, Anya itu selalu benar. Rasanya dia punya kekuasaan mutlak untuk satu hal itu.
Anya gonta ganti pacar? Itu hal biasa. Yang tidak biasa, dia seolah takut dengan pria baik-baik. Maksudku, Rangga itu dewasa; nggak aneh-aneh di usianya yang menjelang dua satu, mahasiswa teladan, pokoknya calon idaman deh kalau memang ada cewek yang mau serius. Tapi kebaikan Rangga seolah prematur karena bertemu dengan Anya. Malang bagi pria itu, karena sekali Anya tertarik, tidak ada pria yang dibiarkan lepas dari jeratannya. Tapi secepat dia menjatuhkan hati, secepat itu pula Anya akan mematahkan hati para pria itu.
Anya playgirl? Dia sih bersikukuh kalau dia tidak seperti itu.
"Gue kan masih muda. Wajarlah kalau gue cari yang cocok. Kalau nanti gue ketemu yang pas juga gue bakal anteng kok. Hati kan nggak bisa dipaksa. Kalau ternyata hubungan gue sama dia nggak baik dilanjutin, ya kenapa diterusin," jelasya suatu hari.
Ada yang salah? Tidak ada, kan? Lalu, aku bisa apa?
"Rangga salah apa?" tanyaku.
"Nggak salah apa-apa."
"Terus?"
"Dia ngajak gue ke rumahnya besok malem."
"Terus?"
"Mau ngenalin gue ke orang tuanya."
"Dan?"
"Dan lo bilang? Ini tuh kesannya dia mau serius."
"Bagus dong. Itu artinya dia emang beneran sayang sama lo. Dia gentle."
"Gue yang enggak."
"Basi!"
Anya tidak menjawab lagi. Aku juga tidak bertanya lagi. Rangga bukan yang pertama yang dia tinggalkan begitu saja dengan alasan yang sama. Sebelumnya ada nama Nasya, Denis, Deni, Faqih yang dia putuskan tanpa alasan yang jelas. Di luar mereka, masih ada sederet nama lagi yang bahkan tidak bisa kuingat dengan baik.
Anya bangkit dari rebahannya. Dia duduk di sampingku, menyender ke punggung tempat tidur, sama sepertiku. Bahunya menyentuhku. Meski mataku masih terpaku pada halaman buku, tapi bisa kurasakan kalau dia sedang menatapku.
"Kenapa?" tanyaku tanpa menoleh.
"Inget yang dibilang Pak Stefen nggak?"
"Yang mana?"
"Kalau pembawaan sifat manusia itu emang pada dasarnya baik dan buruk. Tapi lingkungan yang memicu sampai pada akhirnya perilaku manusia cenderung ke satu sisi."
"Hem ... inget."
Anya diam lagi. Cukup lama sampai aku kehilangan konsentrasiku pada Laila dan Maryam, tokoh dalam buku yang sedang kubaca. Kulirik wajahnya yang tertunduk. Tangannya sibuk memutar-mutar handphone yang dipegangnya. Tak ingin dicap sebagai sahabat nggak peka, kututup buku dan kuberi dia perhatian penuh.
"Lu kenapa, sih?"
"Gue baru sadar kalau gue nggak punya temen lain selain lu."
Alis lebatku terangkat sedikit. "Oh, ya? Ada Tari, Anita, dan siapa lagi tuh yang sekelompok sama lu di kelasnya Pak Aris."
"Iya, tapi nggak ada yang kayak lu."
"Nggak ada yang bego kayak gue maksud lu."
Biasanya, iya biasanya, kalau aku berkata seperti ini, dia akan langsung tertawa dan bersiap melancarkan pem-bully-an yang membuatnya tertawa terbahak-bahak. Aku? Ikhlas sajalah kalau itu bisa membuatnya senang. Lagipula itu memang benar kok. Aku tidak pernah melawan.
Setiap orang punya pertahanan diri. Anya juga, dan itu yang kupercaya. Tidak peduli berapa banyak orang yang memandangnya sinis, Anya tetap punya sisi manusiawi yang dia sembunyikan dengan rapi. Bukan sekali dua kali, Anya meneloponku jam tiga pagi hanya untuk menangis. Dia tidak perlu cerita. Aku tidak butuh penjelasan. Aku hanya mengerti.
Aku tersenyum dan menariknya lagi dengan cepat, saat menyadari bahwa Anya masih diam.
"Lu kenapa, sih? Iya gue temen lu. Dan itu bukan karena gue bego, tapi karena gue sayang sama lu. Gue peduli sama lu."
"Meskipun gue nyebelin. Gue sering mukulin lu, malakin lu, nyuruh lu ngerjain tugas, ini itu. Lu juga yang jadi bantalan kalau mantan-mantan gue yang marah nyari gue. Lu nggak benci sama gue?"
"Enggak. Kenapa? Gue beneran peduli loh sama lu."
"Sayang sama gue?"
"Mmm ... kind of."
"Gue boleh minta satu hal nggak sama lu?"
"Apa?"
"Kiss me!"
"Hah?"
"Kiss me!"
Aku menelan ludah. Apa-apaan, hah? Kutatap mata hitamnya yang tajam. Mencari-cari gelagat yang membuktikan bahwa dia sedang bercanda. Nihil.
"Kalau lu lagi ngelawak, ini nggak lucu. Maksud gue, ada loh joke yang jauh lebih oke dari ini."
"Gue nggak bercanda, kok."
Kutelan ludah. Lagi.
"Lu tahu kan, kita cuma butuh pemicu."
"Tahi! Gue normal."
"Tahu dari mana?"
"Gue cukup tahu diri gue sendiri."
"Yakin?"
"Yakin!"
"Lu nggak yakin."
"Gue yakin."
"Nggak!"
Ya, aku yakin. Tentu saja aku yakin. Dulu, lima tahun yang lalu, aku pernah jatuh cinta. Teman pria di bangku SMA. Seorang pria lucu yang selalu bisa membuatku tertawa dan menangis di waktu yang sama. Jadi, aku yakin kalau aku normal.
"Lu nggak pernah pacaran. Deket sama cowok juga nggak. Padahal lu tahu kalau beberapa dari temen lu di kelas suka sama lu."
"Gue mau serius kuliah."
Anya tertawa. Sialan!
"Kalau gitu, lu harusnya nggak takut dong nyium gue. Lu cukup yakin kan sama diri lu sendiri."
"Ini ada apa sih sebenernya?"
"Karena gue harus ngeyakinin diri gue sendiri."
"...."
"Gue tahu lu orang baik. Lu punya banyak temen, nggak kayak gue. Lu bisa aja nggak peduli sama gue, apalagi gue sering kasar kalau lagi bete. Lu juga mau ngangkat telepon jam berapab pun dan dengerin gue. Lu selalu ada kapan pun gue butuh, senyebelin apa pun gue. Harusnya gue seneng, harusnya gue baik-baik aja. Tapi, belakangan gue nggak baik. Gue ... nggak suka lu deket sama orang lain."
"Itu ... lu cuma bingung. Mungkin lu harus berhenti dulu gonta-ganti cowok...."
"Gue cemburu ... sama lu."
"Cemburu itu nggak cuma sama pacar. Temen juga bisa. Jadi nggak ada yang harus lu takutin. Lu itu possesif."
Aku berusaha meyakinkan Anya yang menatapku dengan mata memerah. Pikiranku masih bekerja, berusaha menenangkan hatinya yang mungkin sedang bingung. Anya hanya tidak tahu apa yang dia inginkan. Iya, pasti karena itu.
Kutarik napas. Kali ini, aku butuh pasokan udara lebih banyak untuk menjelaskan panjang lebar pada Anya. Membuatnya ingat, bagaimana dia merasa bahwa dia memiliki semua hal. Termasuk aku. Aku sendiri ingat, bagaimana Anya akan dengan sadis menatap siapa pun yang berani duduk di sebelahku. Dia tahu aku selalu memilih tempat paling pinggir, agar mudah bagiku bersandar ke dinding. Dan hanya ada satu orang yang boleh duduk di sampingku; dia. Awalnya teman-teman lain sering merasa risih, karena Anya yang cerewet akan memaksa mereka mencari tempat lain. Tapi lama kelamaan, mereka menyingkir sebelum diusir.
Hingga pada satu titik, mendadak aku jadi tidak yakin.
"Sekali lagi, dari mana lu tahu kalau lu nggak punya perasaan apa pun sama gue?" tuntut Anya lagi.
"Anya gue...."
"Just one kiss! Dan kita akan segera tahu, kalau kita nggak seperti yang kita takutkan."
Aku menegang. Dadaku berkecamuk. Aku pasti terlalu banyak mengoceh tadi, sampai tidak menyadari bahwa Anya sudah duduk di depanku kini.
Diraihnya buku yang kupegang dan diletakkannya sembarangan. Matanya tidak membiarkan mataku kabur. Tangannya mulai bergerak pelan, menyentuh pipiku.
Sial!
Anya mendekat. Mataku yang mencoba lari, justru mendapatkan bibirnya yang merah. Mataku lari lagi, mendapatkan cekungan matanya yang dalam. Gelap seperti rawa dengan pasir isap yang menarikku masuk. Membuatku tenggelam.
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Aku tidak ingat. Sungguh tidak ingat. Yang kurasakan hanya kelembutan dari bibirnya yang lembab. Juga ribuan perasaan bergejolak yang menyentak-nyentak di dalam dada.
Iya, hanya itu.
***
Kutatap Anya yang mempesona dalam balutan kebaya putih. Wajahnya sumringah, pipinya merona cerah, matanya ... aku tidak tahu apa yang tepat untuk bagian wajahnya yang satu itu. Yang pasti, siapapun yang menatapnya saat ini, pasti akan merelakan dirinya untuk hanyut disitu.
"Lo cantik banget. Gugup nggak?" tanyaku antusias.
"Banget," jawabnya lucu. Aku tertawa.
Enam bulan lalu, Anya membuat keputusan besar. Dia menerima lamaran Septian, pria yang dipacarinya sejak lulus kuliah. Pertama kali tahu kalau Anya berkencan dengan Septian, aku menduga hubungan mereka akan berakhir dalam tiga bulan. tapi ternyata tidak. Dia bilang, sikap cuek Septian membuatnya penasaran. Aku ingat saat itu kami tertawa. Sangat keras. Sampai keluar air mata.
"Nya, suruh buruan keluar sama Budhe. Udah mau mulai."
"Iya!" teriak Anya pada Resti, sepupunya yang datang dari Jogja untuk menghadiri pesta pernikahannya.
"Doain gue, ya."
Aku mengangguk pelan dan melempar senyum lebar. Kedua jempolkku terangkat membuatnya tertawa.
"Makasih ya ... lo sahabat gue yang paling baik. Pokoknya gue akan tetep gangguin lo. Nggak peduli lo udah nikah sama Andri. Lo tetep punya gue!" candanya sambil memelukku erat.
"Gila ... gue gugup banget." imbuhnya lagi setelah pelukan kami terlepas.
"Yaudah sana keluar. Ntar Septi keburu sadar kalau dia udah salah pilih cewek galak yang suka ngatur kayak lo."
"Sialan!"
Anya tertawa keras sebelum keluar dari kamar. Kupandangi punggungnya yang menjauh, hingga akhirnya menghilang di balik pintu. Di dalam sini aku mematung, merasakan hatiku yang tiba-tiba terasa ngilu.
Anya
Kusentuh bibirku pelan. Bahkan setelah bertahun-tahun berlalu, perasaan itu masih tetap sama. Tidak akan berubah.
Tabula rasa sialan. Dalam hati aku memaki.
-o0o-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top