[1s] HOSTAGE || WooSoo Family
Warning!
Mpreg, ManxMan, Gay Family, Hurt/Comfort, Angst
Setelah Baca Wajib Vote dan Komen
.
.
.
Myungsoo tidak menyangka, ketika dia sedang berbelanja di dekat swalayan dekat kantornya, bertemu dengan orang yang sudah 1 bulan ini menghilang entah ke mana. Seseorang yang telah merebut dirinya yang paling berharga dan membuatnya frustasi hingga saat ini.
"Woohyun..."
Pria itu menoleh dan terlihat kaget bahwa Myungsoo berada di dekatnya. Ia segera mundur dan mencoba kabur dari sana.
"Woohyun!"
Beberapa orang melihat kedua pria itu yang saling kejar. Myungsoo tak peduli. Kini yang harus ia lakukan adalah mengejar Woohyun dan menangkapnya. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Dia harus mendapatkan apa yang ia cari sebulan ini.
"Woohyun!"
Karena memang Woohyun sedang membawa keranjang belanjaan, ia tak bisa kabur dengan barang belanjaan yang belum ia bayar. Jadi, saat berada di dekat kasir, akhirnya Myungsoo bisa mencapainya saat pria itu sedang kebingungan untuk mencari jalan kabur.
"Jangan kabur. Kita perlu bicara."
Wajah Woohyun pias. Ia tidak ingin menoleh ke arah Myungsoo dan memandangnya. Pria itu hanya memandang ke sekitar dan belum menjawab.
"Di mana kau sembunyikan Bomin."
Bukannya menjawab, Woohyun malah mendengus dan tersenyum miring. Ia tidak jua bersuara, malah bergerak maju untuk antre di depan kasir.
"Woohyun!"
Cukup sudah. Myungsoo sudah sangat marah kali ini. Ia tak ingin terus menerus didiamkan seperti ini. Apalagi oleh Woohyun, yang adalah mantan suaminya.
Ah, bukan mantan sebenarnya. Karena mereka belum sah bercerai di mata hukum. Jadi, dari pada mereka berdua membuat keributan, akhirnya Myungsoo mengikuti Woohyun untuk antre di belakang Woohyun dan meninggalkan keranjang belanjaannya. Ia takut, jika ia membayar, maka Woohyun akan kabur lagi.
*****
3 tahun mereka menikah, dan selama 1 tahun, Myungsoo merasakan hidup bagaikan di neraka karena perangai Woohyun yang tiba-tiba berubah keras dan sangat otoriter. Ia sejak sebelum menikah, sudah mandiri dengan bekerja dan menghasilkan uang sendiri.
Ketika Woohyun tiba-tiba melarangnya berhenti bekerja, Myungsoo merasa kaget karena saat ia hamil Bomin pun, Woohyun masih mengijinkannya bekerja. 1 tahun belakangan ini memang Woohyun menjadi suami yang sangat tidak Myungsoo inginkan.
Ia berubah jadi pemarah, melarang dirinya ini dan itu, dan terlebih membuatnya sakit hati, Woohyun tak ragu-ragu untuk menyakitinya secara fisik. Dulu Woohyun bukanlah tipe pria seperti itu. Alasan Myungsoo mau menikah dengannya juga karena pria bermarga Nam itu sangat pengertian, baik dan menjaga dirinya.
Tentu saja, Myungsoo yang sudah tidak kuat lagi dengan tindakan Woohyun, memintanya untuk berpisah. Namun, bukannya menyetujui, Woohyun malah menolak dengan keras. Hingga pada akhirnya Woohyun membawa Bomin pergi darinya dan menghilang selama sebulan.
Alasan Woohyun membawa Bomin tentu saja untuk mengancam Myungsoo. Dia masih ingat bagaimana suaminya mengancam jika perceraian itu tetap berlanjut, maka Myungsoo tak akan bisa bertemu dengan Bomin.
"Kembalikan Bomin." Myungsoo memandang pria berumur 29 tahun itu dengan gamang. Ia seperti ingin menangis, namun tak ingin pria di hadapannya ini melihat kelemahannya.
"Kembalikan bagaimana? Aku ayahnya. Bagaimana kau mengatakan itu, istriku sayang?"
Myungsoo benci seringaian itu. Untuk melampiaskan kemarahannya, ia meremas tissue cafe yang tadi ia genggam.
Ya, tadi saat keluar dari supermarket, Woohyun tak berkata apa-apa, ia seperti menyuruh Myungsoo untuk mengikutinya. Pada akhirnya, mereka memasuki sebuah cafe yang tidak jauh dari tempat mereka tadi.
"Woohyun, aku mohon padamu. Kembalikan Bomin sekarang juga. Apa kau gila? Dia masih 3 tahun! Dia masih butuh aku sebagai ibunya!"
"Well, nyatanya dia sepertinya sudah nyaman hanya dengan bersamaku saja." Jawab Woohyun dengan sangat santai. Ia mengeluarkan rokok dari kantung jeansnya. Beberapa detik berikutnya, ia sudah menyalakan rokoknya itu.
"Ini di cafe, jangan merokok!"
"Kita berada di area yang bebas merokok." Pria itu mengedikkan dagunya ke arah sebuah tanda yang artinya tempat untuk merokok.
Myungsoo mendengus kesal. Pria manis itu tak menyangka jika kebiasaan rokok sang suami kambuh lagi setelah sebulan menghilang. Entah ke mana ia membawa anaknya pergi, Myungsoo hampir gila mencari keberadaan mereka.
"Woohyun –"
"Hyung. Kau lupa kalau aku lebih tua 2 tahun darimu?"
Myungsoo mendecih. Ia tak tahan berlama-lama dengan Woohyun saat ini. Tapi mau bagaimana lagi? Demi mengetahui keberadaan anaknya, Myungsoo rela berlama-lama bersama pria ini.
"Aku sudah bertanya dengan baik-baik." Pria berlesung pipit itu mencoba menahan amarah dengan menarik napas, "di mana Bomin sekarang?"
"Dia ada. Di suatu tempat paling aman. Jauh dari ibunya yang tukang selingkuh."
Jika ini bukan di tempat umum, Myungsoo ingin berteriak di depan wajah Woohyun atas tuduhan yang membuat harga dirinya jatuh.
"Sudah kubilang, aku tidak berselingkuh dengan Seungho. Dia itu juniorku di kantor, Woohyun. Please mengertilah!"
"Oh...junior yang membiarkan dirimu dicium olehnya?"
Myungsoo tidak ingin mengingat ini. Ia mengaku, ia salah karena telah terlena dengan ciuman Seungho waktu itu. Ia tidak tahu jika ada yang menangkap momen tersebut hingga suaminya marah besar setahun yang lalu. Dan itulah alasan Woohyun berubah kasar dan melarangnya untuk bekerja.
"Itu kecelakaan. Aku menolaknya. Kita tidak ada hubungan apapun kecuali senior dan junior. Sudah aku bilang setahun yang lalu. Kenapa kau masih mengungkitnya?!"
"Lalu, kenapa kau menggugat cerai aku kalau bukan ingin bersamanya?" Ia mengembuskan asap rokoknya lagi dan tertawa kaku, "ya...ya...aku tahu. Gajiku memang kecil dari pada kau dan pria itu. Tapi setidaknya aku bisa memenuhi kebutuhan kita selama sebulan, kan?"
Myungsoo tidak ingin membahas ini lagi. Padahal sudah jelas jika ia menggugat Woohyun karena sikap kasarnya yang setahun ini ia terima. Ia bahkan hampir kena pecat bosnya karena kedapatan Woohyun –yang notabene suaminya –membuat onar di kantor dengan berkelahi dengan pria bernama Seungho.
Myungsoo sudah lelah. Ia ingin hidup damai. Tak apa jika ia mengurus Bomin sendirian, asal hidupnya tak ada beban seperti ini.
"Aku sudah tidak ingin membahas ini lagi."
"Kenapa? Apa si pacarmu itu sudah naik jabatan di kantor? Jadi, kau tidak membahas mengenai uang lagi karena dia sudah memberimu uang bulanan?"
"Cukup Woohyun. Aku bertahan dan mau duduk di sini hanya karena ingin tahu keberadaan anakku."
"Tenang. Dia aman. Aku memenuhi semua kebutuhannya termasuk susu dan juga kebutuhan lainnya."
"Ijinkan aku untuk melihatnya. Aku mohon." Pria 27 tahun itu tak merasa jika kedua pipinya sudah basah karena air matanya. Dia sudah sangat rindu dengan anak semata wayangnya yang ia lahirkan. Dirinya tak menyangka jika ia terpisah dengan anaknya, karena suaminya sendiri.
"Cabut gugatan cerai yang sudah kau ajukan di pengadilan. Kembalilah padaku, resign dari kantormu dan kau akan melihat Bomin."
Itu tidak mungkin. Harapannya memang ingin berpisah dengan Woohyun, memulai hidup baru dengan sang anak dengan damai. Bagaimana bisa ia kembali bersatu jika Woohyun belum mengubah perangainya?
Myungsoo tak menjawab, ia hanya menunduk sambil menghapus sisa air matanya yang malah kembali keluar.
"Kenapa diam?! Tidak mau?!" Bentak Woohyun dengan suara rendah dan menekan. Membuat pria manis itu mendongak dan menatapnya takut.
"Aku tidak ingin bersamamu lagi."
Myungsoo kaget saat Woohyun mulai memegang lengannya dengan cukup kuat. Ia sedikit merintih kesakitan karena tangan berotot sang suami telah memegang lengannya dengan sangat kasar. Terlebih lagi ada rokok yang masih ia pegang. Myungsoo takut, jika nanti rokok tersebut mengenai kulitnya.
"Dengar, Kim Myungsoo. Kau tidak akan bertemu dengan Bomin jika keinginanku tidak kau kabulkan. Mengerti?!"
"Le-lepaskan. Sakit!"
Akhirnya Woohyun mau melepaskan lengannya yang kini memerah akibat remasan tadi.
"Dan ingat, jangan sekali-kali kau lapor orang tuamu akan hal ini. Atau kau tahu akibatnya." Setelah ancaman tersebut, Woohyun mematikan rokoknya dan berdiri. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan pergi.
*****
Dirinya memang hanya pencipta lagu yang belum sukses. Bisa dikatakan, karya-karyanya belum ada yang membeli dan ia hanya bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan yang lain. Akan tetapi, Woohyun yakin, suatu saat karyanya akan booming oleh seorang penyanyi dan dirinya akan dikontrak oleh label musik di Korea.
Namun, sejak ia lulus kuliah, memang harapannya tak pernah terwujud. Woohyun sudah banyak menciptakan banyak lagu, menawarkan ke agensi-agensi musik, namun tak ada yang mau menerima.
Setelah ia menikah dengan kekasihnya, ia semakin bersemangat. Ia ingin memberikan kehidupan yang layak untuk orang yang ia cintai dengan menjadi pencipta lagi. Tapi pada kenyataannya, dirinya hanya membuat Myungsoo kekurangan dan menuntutnya untuk bekerja dan membantu perekonomian rumah tangganya ini.
Woohyun sebenarnya tidak enak, melihat Myungsoo yang hamil dan masih bekerja sementara dirinya di rumah. Menunggu Myungsoo pulang dan memasakannya sesuatu. Bukannya dirinya yang membelikan kebutuhan rumah tangga, malah Myungsoo yang memenuhi semuanya.
Ia malu, ia juga takut jika Myungsoo menganggap dirinya suami tak berguna. Hingga yang ditakutinya datang. Di siang hari ketika ia sedang membuat lagu, tiba-tiba ada sebuah pesan dari nomor asing yang mengirimkan sebuah foto.
Foto yang mengawali bencana, di mana Myungsoo telah berciuman dengan seorang pria yang tak ia kenal. Kesal, sedih dan takut bercampur jadi satu. Hingga ia melampiaskannya dengan berbuat kasar pada Myungsoo.
Dia menyesal, dia ingin berubah jika Myungsoo ingin memberinya kesempatan. Maka dari itulah, ia membawa Bomin bersamanya agar mencegah dirinya bercerai dengan Myungsoo. Anggap saja Woohyun sedang menyandera anaknya, tapi dia pun tak ingin disebut demikian.
"Papa..."
Lamunan Woohyun pecah saat sebuah suara kecil mengintrupsinya. Bomin berjalan ke arahnya. Dan di belakangnya ada ibunya yang terlihat lelah.
"Bomin..." Ia segera menghampiri anaknya dan menggendongnya. Anak itu segera mengalungkan lengannya ke leher Woohyun dan bersandar ke dada bidangnya.
"Maaf bu karena harus mengurus Bomin lagi."
"Tak apa. Ibu senang. Lagian restoran sedang diurus oleh kakakmu."
Pria 29 tahun itu tersenyum sedih. Ia tak tega melihat ibunya yang akhir-akhir ini dititipi Bomin. Mau bagaimana lagi? Uang untuk daycare sudah ia bayarkan untuk sewa flatnya.
"Nak, tidakkah kau cari pekerjaan lain? Kau itu pintar, tak apa mencari pekerjaan yang tidak sesuai dengan jurusan kuliahmu. Asal bisa memenuhi kebutuhanmu dan Bomin. Juga membuat kau bisa kembali dengan istrimu."
Woohyun menunduk untuk melihat Bomin, anak itu ternyata sudah tertidur. Mungkin anak itu lelah menunggu dirinya di restoran sang nenek hingga tak ada waktu baginya tidur siang.
"Aku..sedang membujuk Myungsoo dulu, bu. Dia masih kekeh ingin bercerai denganku."
Sebenarnya sang ibu merasa kasihan dengan putera bungsunya itu. Ia sangat mencintai Myungsoo. Jika tidak, ia tak mungkin berbuat senekad ini dengan menyembunyikan Bomin dan mencegah Myungsoo menceraikannya.
"Apa perlu ibu membantumu?"
Woohyun tersenyum tipis, "tak usah, bu. Masalah ini, biar aku saja yang selesaikan."
Wanita setengah abal itu menghela napas, "ya sudah. Jika nanti kau perlu apa-apa dari ibu, datang saja ke restoran. Kau tahu, kan, nak? Kau juga boleh memiliki restoran ibu bila kau masih belum ada pekerjaan tetap."
"Terimakasih, bu. Hati-hati di jalan." Woohyun tak menanggapi ucapan sang ibu. Ia sudah sangat menyusahkan ibunya, bagaimana bisa ia menerima usaha kuliner yang memberi sang ibu penghasilan?
Setelah itu, wanita tersebut keluar dari flat kecil anaknya. Woohyun pun berbalik sambil menggendong buah hatinya yang tertidur dalam gendongannya. Dengan pelan, Woohyun berjalan menuju kamar satu-satunya yang ada di flat yang ia sewa.
Ia pun menaruh balita itu ke ranjang. Membelai kepalanya dengan rasa sayang dan dengan pandangan bersalah. Ia sebenarnya tidak tega melakukan ini. Setiap harinya, Bomin menanyakan Myungsoo.
Dirinya juga sering pergi untuk bekerja, membeli kebutuhan untuk Bomin agar anak itu betah tinggal dengannya. Minggu ini memang ia sama sekali tak bekerja, uang habis dan tak ada biaya untuk menitipkan Bomin ke Daycare, maka dari itulah 3 hari ia menitipkan Bomin pada ibunya.
Dari situlah ia bercerita mengenai hal yang sedang menimpanya. Ibunya menangis, ia langsung merasa berdosa.
Dan tadi, ia bertemu dengan Myungsoo. Pemuda yang ia cintai juga menangis, dan itu karenanya. Memang, dirinya adalah manusia tak berguna.
"Bomin, apakah papa harus menyerah?"
Ia memandang anak semata wayangnya itu dengan tatapan sedih. Tangan kasarnya masih membelai kepala dan wajah sang anak dengan pelan. Ia lalu menghela napas panjang.
"Haruskah papa menyerahkanmu dan mengakhiri semuanya? Aku tidak ingin membuatmu menderita lagi."
****
Myungsoo tak pernah segembira ini sejak sebulan belakangan. Dia sudah meminta ijin kantornya tidak berangkat dengan alasan urusan keluarga. Ya, benar. Myungsoo tidak bohong. Dia memang ada urusan keluarga dan sangat penting.
Woohyun akhirnya mau menyerahkan Bomin padanya.
Entah mukjizat apa yang Tuhan berikan pada Woohyun sehingga hatinya luluh dan mau mengembalikan Bomin pada pelukannya. Tuhan telah mengabulkan semua doa malamnya. Ia bersyukur dan tak menghilangkan kesempatan ini.
Woohyun berjanji untuk menemuinya di sebuah restoran dekat dengan taman kota. Jam 10 pagi. Sekarang jam 9. Masih ada 1 jam. Meskipun dari apartemennya menuju tempat temu hanya berjarak 20 menit, Myungsoo ingin datang lebih awal.
Akhirnya, ia kini sudah sampai dan duduk di sebuah meja di restoran yang Woohyun sebut. Kedua pipi gempalnya tak berhenti mengembang karena ia terus-terusan tersenyum tanpa ragu.
Jam 10 lewat 15 menit. Woohyun tiba dengan membawa Bomin yang ia pegangi lengan mungilnya.
Tak bisa menyembunyikan perasaannya, Myungsoo pun berlari dan memeluk Bomin dengan kencang. Ada setitik air mata jatuh di kedua pipinya. Namun, pria 27 tahun itu mengabaikannya.
"Mama, Bomin kangen mama." Dengan lengan kecilnya, balita itu memeluk ibunya dengan kerinduan.
"Mama juga kangen Bomin." Lalu, ia melepaskan pelukannya dan menghujani puteranya dengan ciuman di seluruh wajahnya.
Bomin terlihat lebih kurus –pikir Myungsoo. Ia ingin marah dengan Woohyun karena hal ini. Tapi tak ada waktu untuk melakuan hal itu. Ia bisa melakukannya nanti saat Bomin tak ada.
Woohyun yang sedari tadi berada di sana, hanya berdiri diam membeku. Pandangannya kosong dan tak berekspresi. Entah apa yang sedang ia rasakan, Woohyun sendiri saja tak tahu.
"Kita duduk dulu." Perintah Myungsoo. Lalu, ia membawa Bomin ke dalam rengkuhannya seakan-akan Woohyun akan mengambil anaknya lagi.
"Terimakasih karena mau mempertemukanku dengan Bomin."
Woohyun tak menjawab. Ia hanya menunduk, dengan pandangan kosong dan duduk tanpa bergerak, berseberangan dengan Myungsoo.
"Aku tak menyangka, kau mau mengabulkan permintaanku."
"Berarti sekarang Bomin bisa tinggal dengan Mama dan Papa?"
Baik Woohyun dan Myungsoo langsung melihat satu sama lain. Seperti mengetahui apa yang akan Woohyun utarakan, Myungsoo beralih untuk melihat puteranya dan berkata,
"Bomin main ke tempat itu dulu, ya" Myungsoo menunjuk tempat main untuk anak-anak yang ada di restoran itu. Kini, Myungsoo tahu tujuan Woohyun memilih tempat ini sebagai tempat pertemuan mereka.
Bomin yang memang anak penurut, segera turun dari gendongan Myungsoo dan berlari riang menuju tempat bermain yang dimaksud.
"Maafkan aku karena menjauhkanmu dari Bomin selama sebulan ini."
Woohyun yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara dengan suara seraknya. Ia memang sedang kurang sehat karena 2 hari ia kurang tidur akibat memikirkan keputusannya ini.
"Tak apa. Yang paling penting, kini kau mau mempertemukanku padanya."
Sebenarnya, dibalik kebahagiaan bertemu dengan Bomin, Myungsoo juga memiliki rasa takut jikalau Woohyun memintanya untuk kembali bersama pria itu. Dalam hati Myungsoo, ia sungguh dan sudah membulatkan tekadnya untuk bercerai dengan Woohyun.
"Dan ini, hadiah dariku yang kau harapkan sejak lama." Woohyun mengeluarkan lipatan kertas dari dalam saku jaket denimnya. Pria itu pun meletakkan kertas tersebut di atas meja dan mendorongnya ke arah Myungsoo.
"Apa ini?" ia pun menerimanya dan membuka lipatan kertas tersebut. Kedua matanya membulat saat melihat kertas yang ia genggam adalah surat perceraian yang 5 bulan lalu Myungsoo ajukan padanya.
Proses perceraian memang tidak dapat dilangsungkan karena belum ada persetujuan dari Woohyun dengan mendatangani surat tersebut. Tapi kini, surat itu sudah terisi dengan nama, tanda tangannya serta stempel sah.
"I-ini –"
"Aku telah memikirkan ini semalaman. Ya, mungkin kau benar. Aku bukan suami yang bisa diharapkan. Aku juga bukan ayah yang baik untuk Bomin."
"Aku tidak akan menerima pernikahan ini jika kau tidak baik, Hyung."
"Tapi nyatanya sekarang kau meminta berpisah denganku, kan?"
Tenggorokan Myungsoo kering. Ia tidak tahu harus menjawab apa dengan pertanyaan Woohyun ini.
Pria 29 tahun itu tersenyum getir dan memandang nyalang ke arah jendela kaca yang ada di dekatnya.
"Aku ingin untuk terus membangun keluarga denganmu, Soo. Aku ingin jadi suami dan ayah yang baik untuk kau dan Bomin."
Pria bermarga Kim tersebut menunduk, ia tak boleh menangis begitu mudah. Ia kuat dan ingin menunjukkan padanya bahwa selepas perpisahan ini, ia tak membutuhkan Woohyun sebagai pendampingnya.
"Tapi sepertinya perasaanmu sudah banyak berubah. Aku mencoba setia, dan kamu menampik itu."
"Woohyun –"
"Datangi aku seminggu kemudian." Potong Woohyun segera, ia memandang Myungsoo kali ini dengan intens, "surat itu, hakmu. Mau kau ajukan ke pengadilan atau tidak, terserah. Tapi jika kau memberiku kesempatan kedua, aku sangat berharap, kertas itu tak akan kau serahkan ke Pengadilan."
Setelah mengatakan itu, Woohyun berdiri dan berjalan ke arah playground tempat Bomin sedang main. Myungsoo tidak tahu apa yang Woohyun katakan pada puteranya. Tapi Bomin terlihat merengek dan tidak rela melepaskan Woohyun.
Pria itu segera keluar dan meninggalkan Bomin di tempat bermain. Saat di depan pintu, kepalanya menoleh kearah Myungsoo dan menatapnya dengan tatapan sedih.
Myungsoo melihatnya. Woohyun menatapnya dengan tatapan sedih.
*****
Woohyun telah diterima di sebuah agensi artis yang masih berkembang. Impiannya terkabul. Ia akan bekerja di tempat yang ia inginkan meskipun perusahaan yang ia masuki belum besar.
Sudah 2 hari ia bekerja di perusahaan itu. Dan hari ini semakin membuatnya bersemangat karena akan bertemu dengan Myungsoo. Ia akan memberikan kabar ini padanya. Ia akan membuktikan, jika dirinya bisa menjadi suami yang baik dan bisa menafkahi keluarga kecilnya dengan cukup.
Myungsoo menginginkannya bertemu di restoran sama seperti seminggu yang lalu. Ia menyanggupinya.
Dan di sinilah ia, berhadapan dengan sang istri yang menatapnya dengan wajah datar. Woohyun berharap, ini akan berakhir bahagia.
"Apakah Bomin sehat?" Pertanyaan Woohyun pertama pada Myungsoo untuk mengurangi kecanggungan.
"Sehat. Sekarang aku sudah tinggal di rumah orang tuaku. Jadi, sekarang Bomin sedang bersama neneknya."
Woohyun tersenyum, "syukurlah." Woohyun kembali menatap Myungsoo dan tersenyum padanya, "bagaimana keputusanmu soal yang minggu lalu?"
Myungsoo tak menjawab, justru ia mengeluarkan sebuah amplop coklat yang ia sodorkan pada Woohyun di atas meja.
Tangan pria bermarga Nam itu langsung bergetar, saat melihat amplop tersebut, memiliki lambang Pengadilan Seoul dengan jelas. Ia takut untuk menerimanya.
"Soo, ini apa?"
"Buka saja."
Dengan ragu dan tangan yang tiba-tiba terkena tremor, Woohyun membuka isi dari amplop tersebut. Kedua matanya membaca rentetan huruf yang ada pada surat itu, dan membuatnya ingin menitikkan air mata.
"Aku memutuskan untuk menyerahkan surat itu kepada Pengadilan. 3 hari lagi, kita akan melakukan mediasi, dan itu surat pemanggilanmu."
Woohyun segera menutup surat itu. Ia tak kuat lagi untuk membacanya. Matanya sudah memerah, namun tak ada air mata yang menetes. Dirinya terlalu banyak berharap, hingga fakta ini membuatnya sakit hati dengan cukup parah detik ini.
"Jadi, kau tak memberiku kesempatan?"
Myungsoo tak ingin melihat wajah Woohyun, jadi ia menunduk sambil memainkan jarinya. "Maaf."
Woohyun tersenyum getir, ia pun sedikit meremas surat itu di bawah meja.
"Kau masih bisa bertemu dengan Bomin. Hak asuhnya akan jatuh padaku karena dia masih di bawah umur."
Pria 29 tahun itu tak ingin berkata apa-apa lagi, ia pun tak ingin mendengar ucapan Myungsoo yan menjelaskan prosedur perceraian.
"Tapi, aku akan pindah ke Jepang."
Pernyataan itu sukses membuat jantung Woohyun berhenti.
"Apa?"
"Kantor pusat ingin mempromosikanku. Tapi, dengan syarat aku harus bekerja di kantor Jepang."
"La-lalu, bagaimana aku bertemu dengan Bomin?"
"Kau bisa datang ke Jepang. Nanti akan aku kasih alamatnya. Kau pun tak perlu membayar tunjangan anak. Aku bisa memenuhi kebutuhan Bomin."
Ini kiamat. Woohyun merasakan nyawanya seperti hilang separuh setelah mendengar ini. Ternyata benar, terlalu membayangkan hal-hal yang indah justru akan jatuh sakit bila bayangan indah itu tak jadi nyata. Namun, Woohyun tak tahu bisa sesakit ini.
"Tak bisakah kau sesekali datang ke Korea, menemui keluargamu mungkin?"
Myungsoo tidak langsung menjawab, ia hanya tersenyum kaku dan berkata, "mereka juga ikut denganku. Adikku diterima di universitas sana. Dan ayah pun sudah pensiun."
Benar, Woohyun mungkin sudah setengah mati. Nyatanya, kini seluruh anggota tubuhnya tak bisa ia gerakan.
"Kau tidak apa 'kan jika datang ke Jepang? Kalaupun tak ada uang untuk ke sana, aku bisa membelikanmu tiket."
Sebenarnya, ini menghancurkan harga dirinya. Namun, Woohyun diam saja dan mengangguk dengan kaku atas usul Myungsoo tadi.
"O iya. Kau bilang, akan mengatakan apa padaku?"
Oh, benar. Woohyun ingin mengatakan kalau dirinya sudah bekerja di agensi artis dan Idol sebagai produser musik. Ia juga akan bilang bahwa gajinya nanti akan lebih besar dari yang dulu dan mampu memenuhi kebutuhan mereka berdua.
Tapi....
Apakah ini penting untuk dikatakan setelah semua yang Myungsoo mengatakan apa yang akan terjadi di masa depan?
Woohyun kira, ini tak penting sama sekali.
Ia pun tersenyum, menghela napas keras dan memperbaiki posisi duduknya, "tidak. Itu tidak penting."
"Benarkah?"
"Iya. Aku pamit. Aku janji akan datang ke Pengadilan 3 hari lagi."
END
Sudah. Tamat. Sekarang, saya minta VOTE dan KOMENTAR!
Arigatchu~ :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top