Prolog: Teluk Bintuni
Nirmala Lazuli. Maritime and photography addict. Sometimes love baking.
*
You know what? Everything happened between us is only for temporary. There's nothing spesial word like forever or for life.
You do your own life. And I do my own life even though I need to cry first.
So, if someday we'll meet again even though it's impossible, please just act like we were never met before.
*
Nathan Tjoe A On. A footballer who addict with phone and Nirmala Core.
* * *
“Hati-hati Nirmala!”
Terlambat. Sepatu boot-nya tidak bisa menahan licinnya batang pohon bakau yang sudah terlumuri lumpur. Tubuh cewek itu terjatuh dari ketinggian satu meter dan mendarat di akar-akar bakau dengan punggung yang lebih dulu berciuman dengan permukaan. Nirmala mau berteriak karena sakit yang dia dapat, tapi dia tahan lantaran merasa sensasi aneh di lengan kirinya.
“Nirmala! Lo gak kenapa-kenapa?!” Fahmi, partner kerjanya langsung menghampirinya dan membantunya untuk duduk di tengah-tengah lumpur tambak.
Nirmala tidak bisa mengeluarkan sepatah kata. Cewek itu lebih memilih untuk mengecek lengan atas sebelah kirinya yang ternyata tertusuk kayu runcing. Darah segar mengalir tak lama kemudian, membuat tubuh cewek itu lemas seketika. Fahmi tak kalah panik. Dia segera memasukkan semua peralatan ke dalam tas dan membopong Nirmala ke atas jembatan. Pencatatan stasiun 4 dan 5 hari ini dibatalkan. Ada kecelakaan pekerja dan itu lebih penting.
Tidak sampai 5 menit, akhirnya mereka sampai di puskesmas terdekat. Sengaja Fahmi tidak membawa Nirmala ke balai dahulu, sebab cowok itu tahu di sana peralatan medis masih sangat kurang. Setidaknya membawa Nirmala ke puskesmas lebih baik dibandingkan jika Fahmi harus mengobati Nirmala seorang diri.
“Aduh! Kakak Ruby bisa pelan dikit, tidak? Sakit!” Nirmala sedikit meracau saat perawat mencoba menarik sisa serpihan kayu di tangannya. Wajah cewek itu sudah pucat, mungkin karena panik, dan darahnya sudah cukup banyak yang keluar.
“Ko sabarlah dikit! Ini sebentar lagi su selesai!” jawab Kak Ruby.
Nirmala hanya meringis dan mengigit bibir bawahnya. Dia bahkan tidak sadar jika Fahmi barusan merekam proses pengobatan lukanya itu. “Lu ngapain ngerekam gue? Muka gue lagi jelek tauk!” kesalnya.
Fahmi hanya nyengir. “Dokumentasi buat Pak Edward. Hari ini kita gak ada kegiatan, soalnya lo kecelakaan.”
Alasan yang cukup masuk akal, sih. Akhirnya Nirmala tidak protes lagi. Lukanya pun selesai dibebat oleh perban. Dia diberi air putih hangat sebelum akhirnya lanjut kembali ke homestay untuk istirahat. Fahmi juga sudah kembali ke homestay-nya yang terletak di belakang rumahnya. Cowok itu menawarkan diri jika ada apa-apa bisa hubungin dia atau langsung telpon saja.
Nirmala merasa beruntung, meski harus merantau sangat jauh seorang diri dan memilih bekerja di pekerjaan yang cukup ekstrem (baginya), Tuhan baik hati dengan mengirimkan seseorang seperti Fahmi yang cukup care sebagai sesama rekan kerja.
Drrt drrtt drrt!
Baru saja Nirmala ingin duduk selonjoran di ranjang, ponselnya tiba-tiba berdering. Dia mengira itu Papa atau Mamanya yang memang rutin menelpon setiap beberapa hari sekali. Atau mungkin adiknya atau sahabatnya. Tapi ternyata bukan.
Nathan Chu is calling ...
Membaca nama kontak tersebut membuat Nirmala terpaku. Dia tidak bergerak hingga panggilan itu berakhir tanpa respon. Disusul oleh beberapa pesan yang sungguh itu membuat hati Nirmala mendadak gundah.
Kenapa? Kenapa dia tiba-tiba menghubunginya. Bukankah semuanya sudah berakhir?
Nathan Chu
|Aku menyerah, Mala.
|Aku tidak bisa melepaskanmu.
|Kita masih punya kesempatan.
|I can fix every different things that we have!
|Please. I need you.
Ya Tuhan. Padahal semua sudah kembali baik-baik saja. Setidaknya dia bisa kembali melanjutkan hidup meski harus pergi jauh ke ujung Nusantara hanya untuk merawat mangrove di daerah teluk Bintuni, Papua Barat. Dengan menyibukkan diri mengukur persebaran mangrove, dia bisa melupakan sosok cowok yang entah sekarang bagaimana kabarnya. Apakah dia kembali ke Jakarta, atau kembali ke Rotterdam, atau mungkin sekarang dia sudah tinggal di Swansea. Dia tidak tahu. Karena dia memang tidak mau tahu.
Setelah mengatur napasnya selama beberapa detik, akhirnya Nirmala membuka aplikasi WhatsApp. Dia tidak membuka pesan tersebut, dia memilih untuk memblokirnya langsung dan mematikan sambungan internet.
Apapun kenangan indah bersamanya saat itu, bukan berarti dialah pelabuhan terakhir yang akan dia tuju.
* * *
Disclaimer dikit:
Cerita ini sudah tamat. Mohon berikan apresiasi berupa vote, komen atau follow. Terima kasih.
Tokoh-tokoh yang bukan atlet atau orang yang tidak terlalu dikenal publik akan saya samarkan namanya. Timeline tidak seluruhnya sesuai dengan keadaan di dunia nyata.
Semuanya hanya fiksi. Sekali lagi tolong, ini hanya fiksi. Tidak nyata.
Jika ada kesalahan atau unsur cerita yang kurang senonoh, harap beri tahu saya. Saya terbuka dengan sesi komentar. Terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top