Piece of Moment

When you put the tie on my shirt collar, I think you definitely put something in my heart too.

—N

Itu terjadi saat aku baru selesai berganti baju untuk pengambilan sumpah kewarganegaraan. Langit masih gelap, suasana begitu sunyi. Jam di lenganku menunjukkan pukul 3 pagi waktu setempat. Agenda ini dilakukan begitu mendadak dan terkesan terburu-buru (?).

Entahlah, yang jelas setelah landing dan sampai di bandara, kami langsung disambut oleh beberapa orang dari PSSI, yang menuntunku, Tom dan Ragnar ke kantor imigrasi. Salah satu yang entah kenapa menarik perhatianku bukanlah rencana mendadak mereka yang memintanya langsung mengikrarkan sumpah WNI di kantor imigrasi saat itu juga, melainkan seorang gadis dengan rambut dikonde asal yang terdapat koyo kecil tertempel di kedua sisi keningnya.

Apakah itu tidak kepanasan?

Can you move a side?”

Kepalaku refleks menoleh menatap tangan kananku yang dipegang oleh gadis koyo tersebut. Dia memintaku agar bergeser sebentar, lalu tanpa aku duga dia mengalungkan sebuah dasi merah di leherku.

Excuse me, let me put in on this tie.”

“Yeah. Sure,” ucapku. Mencoba untuk melihat ke arah lain sebab jaraknya begitu dekat denganku. Bahkan aku dapat mencium aroma tubuhnya yang didominasi oleh vanila bercampur melati. Entah itu wangi dari parfumnya atau shampo-nya.

Gadis itu melirik sejenak ke arahku. “What's your name?” tanyanya.

Eh? Dia tadi bertanya namaku? “Um ... Nathan.”

Sial, kenapa aku jadi gugup begini?

Just Nathan? Or ...”

“Nathan Noël Romejo Tjoe-A-On.”

Gadis mengernyit. Terdengar dia bergumam sesuatu yang tidak aku mengerti. “Panjang amat namanya.”

What’s yours?” tanyaku. Tidak ada salahnya untuk berkenalan, bukan?

“Nirmala. Nirmala Lazuli.”

Nirmala membetulkan kembali kerah kemejanya dan tersenyum. “Okey. Done.”

Oh? Sudah selesai? Kenapa cepat sekali?

*

Gue gak butuh emas dan berlian. Gue juga gak butuh dikasih bunga mawar tiap hari. Gue lebih demen lu bantuin gue nyetrika sono! Itu cucian isinya baju lu semua!

—N

Ternyata yang orang-orang bilang kalau sifat suami/istri akan ketauan kalau udah nikah itu memang benar. Gue ngerasain sendiri.

Lu mau tahu alasan gue maksa buat masang CCTV di setiap sudut apartemen? Biar gue tahu kalo ada barang hilang pelakunya kalo bukan setan ya Nathan. Walau gue rada nggak yakin hantu Belanda bakal iseng kayak hantu di Indonesia.

Nathan pelupanya udah kayak aki-aki. Taruh barang sembarangan, yang kalo udah hilang ujung-ujungnya gue yang repot. Terakhir kali yang bikin gue nyaris jantungan itu waktu dia lupa naro dompet di tempat umum, sampe gue akhirnya ngomel-ngomel di kantor polisi. Untung ketemu dan gak ada kartu-kartu yang hilang. Bersyukur kita tinggal di Belanda. Gak kebayang kalo tinggal di Konoha.

Atau kejadian terakhir yang bikin gue bete akhir-akhir ini. Saat lusa kemaren gue nitip cucian di mesin cuci buat dikeringin, terus dijemur di balkon. Karena gue mau ke acara baby shower temen arisan gue yang kebetulan acaranya di Amsterdam. Jadi gue nginep.

Dan lu tau pas gue balik, itu cucian masih mangkrak. Kerendem 2 hari jadi bau dan beberapa centiang. Mana baju kesayangan gue lagi yang kena!

Ngamoook gue langsung di tempat! Padahal gue udah baik hati bawain dia oleh-oleh makanan enak dari Amsterdam.

Gue diemin dia seharian. Bodo amat! Sono lu nanti pagi hari siap-siap sendirian!

Malemnya, gue keluar kamar setelah seharian rebahan. Gue dibuat kaget saat lihat Nathan di ruang TV sedang duduk di depan meja setrika seraya mendengarkan podcast olahraga di YouTube. Matanya sesekali melihat ke arah TV dan kembali fokus pada pakaian yang tengah dia gosok.

Gue dibuat terdiam. Kembali berpikir untuk menyudahi saja merajuknya ini. Alhasil gue peluk dia dari belakang seraya mencium punggungnya yang bertelanjang dada.

Nathan terkejut. Dia menaruh setrikaan dan menoleh seraya memegang tangan gue yang melingkar di perutnya.

“Masih marah?” tanyanya lembut.

Gue menggeleng. “Laper, Hubby.”

Nathan meraih ponselnya. “Pesan online saja. Aku gak bisa masak sebaik kamu, Wifey.”

Yaudah lah ya, baju centiang bisa dijadiin lap. Tinggal beli lagi yang baru.

* * *

Why she’s always busy? Why can’t she just sit still, so I can see her for long time?

—N

Dia itu seperti kutu lompat. Kadang ada di sini. Kadang ada di sana.

Aku bahkan sampai tidak suka jika sudah melihatnya sibuk berbicara dengan ponselnya, yang pasti tak lama dia akan pergi entah kemana.

Pagi-pagi saat sarapan dia ikut membersamai, namun saat sore hendak latihan dia tidak ada, lalu dirinya kembali muncul saat makan malam sembari memegang microphone dan bernyanyi lagu yang tidak aku mengerti. Tapi aku tetap terhibur seperti orang-orang karena ekspresinya yang menggemaskan.

“Waktu tamasya ke Binaria!”

“Aseekkk!”

Ridho yang duduk di sebelahku terlihat heboh tak karuan bersama yang lainnya. Kenapa? Apakah karena lagunya? Atau karena Nirmala yang bertingkah konyol bersama Rendy di tengah-tengah ballroom?

Tapi kenapa aku justru mendadak tidak suka melihat orang-orang yang tertawa dan bahagia?

Lalu momen lainnya berlanjut saat akhirnya aku mendapati gadis itu tengah duduk santai di salah satu kursi tribun. Dia tengah bertelepon. Wajahnya begitu cerah dan berseri. Senyumnya begitu manis, terlebih saat dia tertawa lepas seperti tidak ada beban.

Tanpa sadar aku ikut tersenyum. Aku ingin tahu apa yang membuatnya bisa seperti ini? Topik pembicaraan apa yang dia bahas? Biasanya jika sedang menerima telepon, wajahnya selalu serius, tak jarang aku mendapatinya marah-marah di telepon.

Tapi tunggu! Ngomong-ngomong siapa yang dia telepon? Kekasihnya?

Bugh!

Sial kepalaku terkena bola!

“Nathan! What are you doing? Focus!”

* * *

Bisa romantis dikit gak kalo di tempat umum? Asal lu tau bini lu ini incaran para om-om India-Arab, bahkan para Bule berperut buncit!

—N

Gue gak tahu ya, ini hanya perasaan gue saja atau apa. Tapi gue merasa lama-lama laki gue romantis cuma di rumah dan di kasur. Di luar mah dia boro-boro mau sekedar rangkul gue atau nyium gue.

Hingga suatu ketika gue nunggu Nathan beli kopi di salah satu pusat perbelanjaan. Gue duduk santai sendirian di salah satu kursi yang tersedia. Hingga kemudian tiba-tiba muncul seorang pria kayaknya usianya 40-an duduk di sebelah. Gue noleh sejenak pakai mata faset buat liat kalau ini orang kayaknya orang India campur Arab gitu. Badan besar, kulit sedikit tan, hidung mancung, dan alis yang tebal.

“Kau sendirian, Manis?” tanyanya menggunakan bahasa Belanda.

Gue yang udah 3 tahun hidup sama Nathan dan mulai terbiasa sama bahasa ibunya lantas mengernyit jijik. Apa-apaan ini woy! Pergi gak lu?!

“Kamu pasti imigran dari Philipina, bukan? Mau jadi istri keduaku? Aku bisa memberikanmu banyak hal. Uang, perhiasan—ouch, shit!” Kalimatnya terpotong saat tiba-tiba ada seseorang yang menumpahkan segelas kopi panas ke punggungnya. Refleks dia berdiri dan berbalik. Gue juga menoleh ke belakang yang ternyata ada Nathan yang menatap pria itu tajam seperti ingin memakannya hidup-hidup.

“Aku juga bisa memberikan itu semua pada istriku. Enyah kau, brengsek!”

Pria India-Arab itu pun pergi. Nathan segara menarik tangan gue buat segera pergi dari tempat itu. Tidak ada angin tidak ada hujan, dia tiba-tiba merangkul pinggang gue. Begitu erat.

“Tumben ngerangkul? Biasanya jalan sendiri-sendiri!” sindir gue.

Nathan kayaknya masih kesal. Sadar kali kalo bininya cakep dan diincar oleh banyak orang. Dia menoleh, lalu tiba-tiba mengecup bibir gue sekilas.

Gue mah, senyumin aje.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top