Epilog: Banda Neira

Selamanya ...
Sampai kita tua ...
Sampai jadi debu ...
Ku di liang yang satu ..
Ku di sebelahmu ...

—Banda Neira.

*

Banda Neira memang tidak pernah gagal.

Salah satu pulau di Kepulauan Banda, Maluku Utara. Butuh waktu 15 jam perjalanan laut dari kota Ambon hingga sampai ke Banda Neira. Tempat di mana surganya pohon kehidupan tumbuh, pohon di mana pada zamannya, surga kecil tersebut dilirik dan diperebutkan oleh banyak negara Eropa untuk sebuah hasil alam yang mereka sebut ‘Pala’.

Pala sendiri adalah buah yang mungkin sudah orang-orang ketahui kegunaannya seperti apa. Namun konon dulu buah itu digunakan sebagai bahan pengawet jenazah, yang pada saat itu banyak dibutuhkan oleh negara-negara eropa.

Selain itu pun, banyak serpihan-serpihan sejarah yang akan selalu terus dikenang bersama Banda Neira maupun kepulauan di sekitarnya. Tentang perlawanan bangsa Belanda dengan rakyat Banda dibantu Inggris, hingga muncul sebuah perjanjian Breda yang akhirnya mengusir Inggris dan Belanda berhasil memiliki pulau Run (salah satu pulau di Kepulauan Banda).

Atau tempat pengasingan dua tokoh penting kemerdekaan (Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir) sehingga muncullah kata-kata indah seperti;

“Jangan dulu mati sebelum ke Banda Neira.”

Sekarang Nirmala bisa membuktikan mengapa Sutan Sjahrir mengatakan hal tersebut.

Sebab kau akan tersihir oleh alamnya dan duniamu akan berhenti sejenak saat melihat gunung kecil yang berdiri indah seakan-akan menyambut pagimu hingga senja menjemput. Suara decak air dan angin saling bersahutan, saat lumba-lumba muncul menyambut kalian ke surganya. Sejenak, Nirmala tidak bisa menahan air mata saat dia memberanikan diri untuk menyentuh air laut tepat di samping lumba-lumba yang berloncatan mengiringi kapal.

Entah, Nirmala tidak tahu apa alasan utama yang menggerakkan hatinya untuk memilih pulau kecil yang menghadap gunung api Banda tersebut sebagai mimpi destinasinya. Bukan Labuan Bajo, bukan Maldives, Swiss atau tempat surga duniawi lainnya. Cukup pulau kecil yang ramah untuk menyambut dirinya pulang meskipun dirinya tidak mengenal satupun orang di sana.

Pikiran romantisnya memunculkan sebuah angan. Andai suatu saat itu terjadi, akan begitu indah jika bisa mengajak  teman hidup yang akan menemaninya hingga mati menjadi debu.

Entah siapa. Dan tidak tahu kapan. Karena pada dasarnya itu akan menjadi mimpi terbesarnya yang tidak pernah berani dia sebutkan pada siapapun.

Dia takut. Bagaimana jika tidak ada laki-laki yang mau menjadi suaminya kelak? Bagaimana jika tidak ada laki-laki yang bisa menyamai Papanya yang begitu sempurna meskipun memiliki banyak kekurangan? Hingga akhirnya semesta membuatkan sebuah skenario di mana dia bertemu dengan seorang laki-laki yang tidak pernah menjadi ekspektasinya.

Namun di hadapan laki-laki itulah bibirnya bergerak mengatakan mimpinya dan Banda Neira. Dengan semudah itu.

Banyak pertanyaan muncul.

Can we make this happen?

Is he the one for me?

But it’s seem too impossible.

Tapi saat melihat jika di hadapannya ini nyata adanya. Merasakan air laut membungkus tubuhnya, matanya terpaku pada dasar laut yang begitu indah, warna warni, dan dirinya dilewati beberapa kali oleh penyu yang berenang santai menikmati lingkungan hidupnya yang masih jauh dari fenomena pengapuran karang. Membuatnya tersadar jika semua ini sungguhan.

Terlebih saat dia tersadar ada tangan yang menggandeng tangannya dan mengajaknya menyelam semakin dalam untuk mengacau koloni ikan-ikan kecil di sekitar terumbu karang.

Wifey!”

Lamunan Nirmala yang tengah menatap gunung api Banda buyar. Dia menoleh mendapati seorang pria tengah mendekat dengan sesuatu di tangannya. Nirmala memberikan gestur untuk memintanya duduk di sebelahnya. Di sebuah dermaga apung mini yang terdapat di samping hotel tempat mereka menginap.

“Beli di mana?” tanya Nirmala saat Nathan membukakan kotak berisi potongan buah-buahan, lalu memberikan padanya.

There’s Indomaret Points samping hotel,” jawabnya. Pria itu kini beralih mengambil botol air mineral di dalam plastik dan membukakannya untuknya.

Hey, I can do it myself.” Nirmala memukul pelan tangan Nathan yang hanya dibalas oleh senyuman kecil.

I know. But just let me.”

Akhirnya, beberapa menit kemudian mereka terdiam sembari menatap ke arah laut. Merasakan udara sore yang mulai terasa dingin, karena matahari sudah tertutup awan, dan kabut mulai muncul di pucuk gunung di hadapan mereka. Nathan merangkul pinggangnya, mengusap tangannya, lalu mendekat untuk mengecup cerukan lehernya.

“Kamu bahagia?” tanyanya.

Nirmala mengangguk. “Bahagia. Makasih, Hubby.”

Tangan Nathan kini berpindah untuk membetulkan rambut istrinya. “If you’re not happy, tell me. I will try more harder.”

Lagi-lagi Nirmala hanya mengangguk.

“Maaf, aku baru bisa ada waktu untuk ... Ajak kamu ke tempat ini,” ucap Nathan sekali lagi. Kali ini mencoba untuk lebih banyak berbicara bahasa Indonesia.

“Iya. Nggak apa-apa.”

Nirmala menepuk-nepuk paha suaminya. Menunjukkan bahwa tidak apa-apa mereka telat datang ke tempat ini sejak 1 tahun pernikahan mereka, karena jadwal pekerjaan mereka yang tidak bisa diganggu gugat. Tidak apa-apa. Toh, meskipun harus menunggu sedikit lebih lama, mereka datang di waktu yang tepat untuk menikmati keindahan surga Indonesia timur ini.

Yeah. I did it.

We can make it happen.

Banda Neira, me and my husband.

* * *

END.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top