19 | Forget me, Forgive me

Satu tahun kemudian.

Percayalah, hukum alam itu nyata adanya. Hal tersebut dapat dijelaskan saat kondisi di mana jika masa kamu bersama dengan seseorang sudah habis dan berakhir, maka kamu tidak akan pernah lagi bertemu dengannya meskipun kalian berada di tempat yang sama.

Itu terjadi padanya yang tidak pernah lagi bertemu dengan teman-teman masa sekolahnya yang pernah mem-bully dan mengatainya hitam, gendut, jelek, hidup lagi. Padahal Nirmala mau banget ketemu lagi sama mereka biar bisa pamer kalau dia juga sudah glow-up sekarang. Atau contoh terdekatnya saja deh, dia sudah tidak pernah lagi bertemu dengan Zayan. Padahal dia masih tinggal di Jakarta dan kerja di perusahaan yang sama, dan Nirmala pun kembali tinggal di hiruk-pikuk Jakarta sebab dipindah tugaskan di sana.

Mungkin masanya memang sudah habis. Dan semoga saja begitu.

“Jangan jauh-jauh, Nir!”

Sebuah tangan menggenggam tangannya, menariknya ke dalam saku jaketnya dan memberikannya rasa hangat setelahnya. Nirmala tersenyum. “Gue bukan anak kecil yang harus dipegangin juga kali!” katanya.

Respon Nirmala membuat cowok di sampingnya terkekeh. “Bukan begitu, takutnya lo ilang dikit, ntar diambil orang.”

“Lebay lo, Win!”

Cowok yang bernama Windu itu lagi-lagi terkekeh. Mereka tengah berjalan menuju stadion The Den, London.

Ceritanya panjang. Sebenarnya ini terjadi secara tidak sengaja. Nirmala dan Windu bertemu dalam acara World Water Forum yang diadakan di Greenwich, London sejak 4 hari yang lalu. Mereka sama-sama datang sebagai delegasi perusahaan yang memang bergerak di bidang lingkungan. Nirmala awalnya kaget, tidak menyangka akan bertemu, lebih tepatnya tidak menyangka jika cowok itu mengenalnya.

Selama konferensi mereka terus bersama, hingga saat konferensi itupun selesai, mereka memutuskan untuk jalan-jalan sebelum akhirnya kembali ke Indonesia. Dan entah kerasukan apa, Windu mengajaknya menonton pertandingan bola. Sebagai seorang yang pernah bekerja di balik pertandingan sepak bola, jelas ajakan Windu cukup menarik perhatiannya. Mereka menaiki transportasi umum, berjalan bersama orang-orang yang sepertinya juga hendak ingin menonton pertandingan. Mereka memasuki arena, menunjukkan tiket mereka sebelum akhirnya masuk ke tribun dan duduk sesuai dengan kursinya.

“Gue gak paham liga Inggris loh, Win.”

“Ah, yang penting lu ngerti bola! Kapan lagi liat pertandingan liga Inggris?”

Nirmala memutar bola matanya. Cewek itu memilih untuk mengiyakannya saja. Bahkan sampai mereka duduk di tribun pun, cewek itu lumayan menikmati suasana. Hingga akhirnya Nirmala tersadar akan sesuatu. “Win, ini siapa versus siapa?”

Windu tidak langsung menjawab, agaknya dia juga tidak tahu. Alhasil dia membuka ponselnya yang memang terdapat e-tiket mereka barusan. “Millwall—jelas ini basecamp mereka—dan ... Swansea City.”

Ya elah.

Kebetulan macam apa ini?

Nirmala melengos. Menatap orang-orang yang memenuhi tribun lalu lanjut menatap lapangan. Semoga bukan dia. Semoga namanya tidak ada di deretan pemain ataupun cadangan.

“Lo kenapa?” tanya Windu, mendapati sosok cewek di sebelahnya yang terlihat gelisah seraya menatap lapangan. “Lo kebelet pipis?” tebaknya.

Cewek itu menoleh dengan wajah yang mengernyit. “Kagak.”

“Oh, terus kenapa? Muka langsung sepet gitu? Mau gue beliin minum?” tawar Windu.

Nirmala menggeleng. “Nggak, nggak apa-apa. Gak usah. Cuma ... Lu gak tau?” tanyanya.

Kini Windu yang mengernyit. “Tau apa?”

“Club bolanya Winduuu. Bego banget sih!” kesal Nirmala.

Windu tertawa. “Oalah. Gak tau gue. Gue juga gak nggak ngikutin liga Inggris. Palingan Manchester City sama Manchester United.”

“Oh. Sama-sama bego berarti.”

“Yang penting lo gak bego sendirian, Nir. Tenang, ada gue!”

Artinya, Windu gak tahu apa-apa tentangnya. Sepertinya cowok itu bukan tipikal yang suka main sosial media. Poin plus dari Nirmala.

30 menit berlalu. Akhirnya para pemain masuk ke lapangan untuk melakukan pemanasan. Sedari tadi, Nirmala menatap waspada ke arah lapangan. Cewek itu tidak dapat terlalu jelas melihat muka pemain karena lokasi tribun yang lumayan jauh. Seharusnya, dengan posisi kursinya yang sejauh ini, jikalau cowok itu bermain, dia tidak mungkin dapat mengenalinya.

“Eh, katanya yang di Swansea ada pemain dari Indonesia!” Windu menoel tangannya. “Pemain Timnas juga. Lo kenal gak? Namanya Nathan Tjoe A On.”

Mendengar namanya, seperti ada yang berdesir di tubuh Nirmala. “Nggak. Gue nggak kenal. Gue kerja di PSSI cuma sebentar.”

“Kalo Arhan, Ridho sama Asnawi lu kenal?” tanya cowok itu lagi.

Nirmala mengangguk. “Kenal.”

Akhirnya cowok itu berhenti berbicara. Nirmala lagi-lagi fokus memperhatikan orang-orang di lapangan. Cukup lama dia mencari dan akhirnya menemukan punggung tersebut.

Benar. Tidak salah lagi. Itu dia.

Meskipun dari kejauhan, Nirmala bisa mengenalinya walaupun dari jarak yang begitu jauh. Saat cowok itu berbalik, melanjutkan kegiatan pemanasannya, jantung Nirmala seperti berhenti berdetak.

Setelah sekian lama, dia akhirnya melihat cowok itu secara langsung. Wajahnya tidak ada yang berubah, tetap tampan meskipun dia melihatnya dari kejauhan. Rambutnya terlihat sedikit lebih pendek dari biasanya, dan dia masih mempertahankan janggut serta kumis tipisnya.

Damn! He still look so fine.

* * *

Perasaan apa ini?

Kenapa jantungnya berdebar tidak karuan? Biasanya jika mulai pertandingan, dia tidak sampai berdebar sampai separah ini.

Apakah dia sakit?

Ah tidak. Tubuhnya benar-benar fit. Tidak mungkin dia sakit. Pasti ini hanya perasaannya saja.

110 menit berlangsung dengan waktu jeda istirahat di menit 45. Pertandingannya berakhir kurang memuaskan, 2-1 untuk Millwall. Namun itu tidak menyurutkan mental para pemain. Mereka saling mengucapkan selamat, Nathan pun juga demikian. Hingga akhirnya dia mendengar suara beberapa orang di tribun memanggilnya.

“Mas Tejo!!”

Oh, rupanya mereka orang Indonesia.

Nathan berjalan sedikit mendekat ke arah tribun dan melambaikan tangannya untuk menyapanya. Meskipun kalah, setidaknya mereka tetap mendukungnya dan juga clubnya.

Cowok itu tersenyum, matanya menatap para orang-orang di tribun satu persatu, hingga kemudian dia menangkap seseorang yang tengah menelepon di salah satu kursi di tribun. Mata Nathan terbelalak, tubuhnya mematung di tempatnya. Butuh beberapa detik bagi dirinya untuk merespon apa yang dia lihat, hingga kemudian satu nama terlepas dari tenggorokannya.

“Nirmala!”

Tidak ada respon. Orang yang dia panggil tersebut masih sibuk dengan ponselnya. Sepertinya sedang ada hal penting yang tengah dibicarakan. Hingga beberapa detik kemudian, cewek itu selesai bertelepon.

Nathan dengan cepat kembali memanggilnya. “NIRMALA!!” Sangat kencang, sampai-sampai beberapa orang menoleh bahkan cewek itu pun juga menoleh dan terkejut bukan main.

Tidak salah lagi. Itu Nirmala.

“Nirmala!” panggilnya lagi. Bukannya mendekat, cewek bernama Nirmala itu justru cepat-cepat mengenakan tasnya dan mengambil ancang-ancang untuk pergi dari tribun.

Sial.

“Nirmala!!”

Merasa jika panggilannya sia-sia, cowok itu lantas nekat melompat naik ke atas tribun, dan berjalan menerobos kerumunan untuk mengejar Nirmala. Gadis yang selama ini masih menghantuinya. Gadis yang bahkan sampai sekarang masih sangat dia cintai dan selalu dia sebut dalam doanya agar mereka bisa dipertemukan. Kini, doanya dijabah. Dia melihatnya begitu dekat, di tempat yang sama.

Nathan tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini!

Hey, Bro! What are you doing?”

Seseorang tiba-tiba menghalangi jalannya. Nirmala telah berjalan semakin menjauh, dan itu justru membuat Nathan semakin panik.

Fuck off!” makinya kesal, seraya mendorong dada cowok di hadapannya, agar menghindar dari jalannya.

Namun sepertinya orang itu cukup memiliki fisik yang bagus, sehingga hanya terdorong sedikit ke belakang, sebelum akhirnya kembali menahan tubuh Nathan. “You know her?” tanyanya.

Nathan terdiam. Pikiran-pikiran buruk mulai berdatangan di kepalanya. “Who you?” tanya Nathan dingin.

I’m her boyfriend. Stop calling her and stay off!”

Bagaikan tersambar petir, Nathan membisu. Tubuhnya terasa lemas saat mendengar penjelasan cowok itu. Tidak mungkin. Ini tidak mungkin! Cowok itu pasti bercanda.

Not funny.” Nathan mencoba untuk tidak menghiraukannya dan kembali mengambil ancang-ancang untuk menyusul Nirmala.

Yang tahu-tahu cewek itu menghentikan langkahnya dan berbalik badan. “Windu! Buruan!!” teriaknya memanggil seseorang.

Orang yang dipanggil Windu tersenyum miring menatap Nathan. Entah kenapa lagi-lagi Nathan mematung di tempat. Apalagi saat tahu gadis yang dia cintai barusan memanggil cowok di hadapannya ini.

Windu berbalik badan, meninggalkan Nathan dan meraih tangan Nirmala untuk meninggalkan tribun. Meninggalkan Nathan yang mendadak hancur dalam sepersekian detik.

Tidak. Bukan ini yang Nathan inginkan!

Bukan ini yang Nathan minta dalam doanya!

“Nirmala ...”

* * *

Windu baru
|Ada 7 Eleven di deket motel lu.
|Ke sono yuk.

|Mau ngapain?

|Jajan.
|Sekalian cari udara.

|Males ah.
|Udah malem. Ngantuk.

|Oh, yaudah. Gak apa2
|Istirahat yaa.

|Iyaa. Lu juga.

|Flight jam berapa besok?
|Gue siang. Jam 2.

|Yah. Gue malem jam 9.

|Gue beli tiket baru lagi deh.
|Biar bareng.

|Idih. Banyak duit?
|Duluan aja sono lu!
|Gue mau cari bule London.

|Oh. Tipe lu yang bule?
|Yang kayak tadi di stadion bukan.

|Siapa? Kagak liat gue.
|Udah lah, gue mau bobok.
|Bye.

|Selamat bobo.

Nirmala tidak membalas pesan terakhir tersebut. Cewek itu memilih untuk mengunci ponselnya dan mengambil minuman soda dari dalam lemari es. Setelahnya dia mendatangi kasir dan membayarnya.

Seven Eleven di dekat motelnya ini terbilang sepi. Mungkin karena letaknya yang terpencil dan itu menguntungkan dirinya yang sedang butuh waktu sendiri namun juga muak jika berada di kamar motel.

Cewek itu menaruh sodanya di meja depan minimarket dan menarik kursi.

Baru beberapa detik pantatnya menduduki kursi, tiba-tiba seseorang ikut menaruh minuman kaleng di meja dan menarik kursi di hadapannya. Refleks Nirmala mendongak, mendapati seorang cowok mengenakan hoodie hitam serta topi yang juga sama-sama hitam.

Belum sempat Nirmala membuka suaranya, cowok itu lebih dulu duduk dan mengambil soda miliknya. Nirmala belum bisa bereaksi apa-apa, selain melihat tangan orang itu yang terdapat gelang kayu kokka. Dia membuka penutup kaleng soda, sebelum akhirnya menaruhnya kembali di meja.

Seketika tenggorokan Nirmala terasa tercekat, dia kesulitan untuk berbicara.

He’s obviously not your boyfriend,” katanya seraya membuka minuman kaleng miliknya. Sepertinya kopi americano. Yeah, seperti biasanya.

You guys don’t look right for each other.” Dia menyeruput kopinya.

We’re not dating. He’s my friend!” balas Nirmala, yang sebenarnya untuk apa dia menjelaskannya? Dia terlihat syok dengan kehadiran cowok itu yang muncul tiba-tiba. Apakah dia menguntitnya?

Bagaikan paham apa isi pikirannya, dia terkekeh. “I see you when you walk alone.”

Benar kan? Dia menguntit!

I start to following you when there’s a suspicious man walk behind you. And you didn’t even notice that.”

Oke. Nirmala tidak punya alasan untuk mengomel.

Who is he?” Tiba-tiba dia bertanya. Mata tajamnya (yang selama ini selalu Nirmala rindukan) menatapnya lekat-lekat.

“Teman.” Nirmala melengos, tidak tahan ditatap lama-lama olehnya. Lagipula, kenapa situasinya seperti ini? Kenapa dia seakan-akan sedang disidak oleh pacarnya akibat ketahuan selingkuh?

A friend from work?”

Whoever it is, that’s not your business, Naith!”

Nathan terkekeh. Dia tahu itu. Tapi hatinya tidak nyaman. “He looks interested in you. Be careful.”

Dih, maksud cowok ini apaan??

Then, why? You don’t have any reason to forbid me.” Nirmala menatap sinis padanya. Dia pikir dia siapa, huh?

I miss you.”

Rasa kesal yang sempat membuncah di dada Nirmala seketika hilang begitu saja saat mendengar kalimatnya barusan. Cowok itu merindukannya?

“...”

Nirmala mengepalkan tangannya kuat-kuat. Bisa diem gak? Gue juga kangen sama lu, anjing!

I still loving you.”

Bangsat!

Sorot mata tajamnya tiba-tiba melunak. “And I still want you.”

Nirmala menghela napas kasar. Ini sudah berjalan lebih dari setahun. Bahkan lebih lama dibandingkan waktu mereka pernah bersama. Apakah cowok itu hanya membual agar bisa mempermainkan hatinya?

Cewek itu berdiri dan tiba-tiba mencondongkan tubuhnya mendekat hanya untuk meraih kalung salibnya yang tersembunyi di dalam hoodie-nya. “Accept the reality, Naith.”

Terima kenyataan? Apakah selama ini Nathan tidak pernah menerima kenyataan?

Stop it.” Nirmala kembali duduk. Dia menatap Nathan dengan tatapan lelah. “Everything is done. Let’s move on.”

Tidak. Nathan tidak bisa!

Like you always said, ‘God will give you the best’. And I’m not the best for you.” Nirmala pun berdiri, hendak bergegas meninggalkannya.

Refleks Nathan juga ikut berdiri dan menahan tangan cewek itu. “Please. Give me a chance!”

“Nathan, please. Everything is done. Try to forget me. Believe me, you’ll be fine!”

Nathan menggeleng. “How can I forget you, when you always on my mind every fucking times!” ucap Nathan sedikit frustasi. Dia bahkan sampai tidak sadar mengucapkan kata kasar dan mencekal lengan Nirmala begitu kencang.

“Lepasin!” berontak Nirmala.

Bukannya dilepas, Nathan justru kini meraih kedua lengan atas cewek itu, hingga membuat kedua mata mereka saling bertabrakan. “You want me to forget you. But did you do the same thing?” Mata cowok itu turun menatap lehernya yang melingkar kalung pemberiannya.

Nirmala mengeraskan rahangnya. Dengan sekuat tenaga dia mendorong Nathan agar menjauh. Lalu tanpa pernah cowok itu duga, Nirmala menarik paksa kalungnya dan melemparkannya tepat ke arah Nathan.

I already forgot you. So now your turn!”

* * *

Malam itu begitu kacau. Nathan tidak bisa tertidur. Bahkan teman sekamarnya saja sudah tertidur sejak beberapa jam yang lalu.

Nathan menatap kalung berliontin huruf ‘N’ di tangannya. Mengusapnya berkali-kali seraya mengingat-ingat kejadian beberapa jam yang lalu.

‘I already forgot you. So now your turn’

Percayalah, Nirmala. Aku sudah sering mencoba.

Aku tidak pernah berhasil untuk melupakanmu.

Apa yang salah dariku?

Salahkah aku untuk terus berharap?

Tuhan, kenapa kau begitu jahat? Memisahkan diriku dan Nirmala karena peraturan yang bahkan aku saja tidak mengerti mengapa peraturan itu ada? Kita saling mencintai, apakah itu belum cukup?

Ting!

Justin Hubner
|Bro!
|Go check out Nirmala’s IG.
|Is there something wrong with her?
|It’s you, right?

Tanpa membalas pesan dari Justin, Nathan segera membuka akun Instagram Nirmala. Akun pertamanya yang ternyata baru saja mengunggah postingan terbaru. Itu adalah foto dirinya. Foto punggungnya yang sedang duduk di ujung kapal nelayan saat mereka akan kembali pulang dari pulau Tunda. Di foto itu dia memasukkan sebuah lagu berbahasa Indonesia yang berjudul ‘Langit dan laut’.

Kalau Nathan tidak salah dengar, liriknya adalah:

Langit dan laut.
Dan hal-hal yang tak kita bicarakan.
Biar jadi rahasia.
Menyublim ke udara.
Hirup dan sesalkan jiwa.

Apa maksud Nirmala?

Merasa belum mengerti dan ditambah hatinya yang tiba-tiba gundah, Nathan lanjut membaca caption yang diberikan oleh Nirmala.

Lazulibluee You know what?

Everything happened between us is only for temporary. There’s nothing spesial word like forever or for life.

You do your own life. And I do my own life  even though I need to cry first.

So, if someday we’ll meet again even though it’s impossible, please just act like we were never met before.

Selama dua menit Nathan memandangi layar ponselnya. Hatinya yang sudah hancur semakin hancur. Dengan perasaan yang berantakan, cowok itu beralih membuka story-nya. Isinya hanya layar kosong dengan sederet tulisan singkat.

‘Forget me, forgive me.’

* * *

Note:

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top