17 | Life After Break Up

Semuanya berakhir.

Dan rasanya ini sangat menyakitkan. Seperti separuh jiwanya hilang entah kemana, dan yang sekarang tersisa di tubuhnya hanya mampu untuk melanjutkan segalanya tanpa gairah.

Apakah patah hati yang sesungguhnya sesakit ini?

Apakah patah hati benar-benar mempengaruhi hidupnya sampai separah ini? Nirmala capek. Nirmala capek menangis hanya untuk satu nama yang selalu dia pikirkan di setiap malamnya.

“NIRMALA!! KAMU LUPA MATIIN KOMPOR!!”

Teriakan Mama malam itu berhasil menyentakkannya yang melamun sembari menyusun susunan risol mayo yang telah diplastik-in ke dalam kardus. Cewek itu gelagapan dan berlari menuju dapur yang sudah dipenuhi oleh asap dari wajan penuh minyak sehabis goreng donat.

“Mala! Kamu gimana sih, sampe lupa matiin kompor?! Untung api kompornya kecil!”

Nirmala membuka pintu dapur yang mengarah ke halaman rumah, agar asap segera keluar.

Ini sudah pukul 10 malam. Nirmala belum tidur perkara orderan belum selesai. Dia sembari packing risol sembari menunggu donat dingin. Cewek itu mengusap keringatnya lalu mengibas-kibaskan tangannya agar asap cepat hilang.

“Kamu mending tidur dulu, sana! Nggak baik juga kalo kecapekan. Nanti subuh Mama bangunin buat lanjut cokelat-in kue. Jam Setengah 9 pagi kan, minta dianterinnya?” tanya Mama sekaligus memberikan nasehat.

“Iya.”

“Yaudah, tidur gih.”

Akhirnya Nirmala naik ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya yang terasa lelah. Cari duit, ternyata susah juga ya?

Nirmala kadang suka iri melihat temannya yang kerja dan merasa enjoy dengan pekerjaannya. Jujur lagi-lagi dia merindukan kerja di PSSI. Meskipun terkadang terkena mental saat menghadapi orang-orang dengan karakter yang berbeda-beda, dan memaksa dirinya yang introvert berubah menjadi ekstrovert, dia merindukan itu semua.

Cewek itu berdecak saat rasa kantuknya menghilang. Padahal tadi matanya sudah terasa berat dan langsung ingin tidur di tempat saat itu juga. Alhasil Nirmala mengambil ponselnya. Mengecek email, barangkali ada balasan dari lamaran pekerjaannya, yang ternyata nihil. Hanya ada email sponsor dan iklan. Kemudian  dia mengecek WhatsApp yang ternyata ada pesan terbaru dari Amel.

Amel Bolang
|Video reels buat minggu ini udah siap belum?
|Yang like di reels pertama lu udah naik sampe 7rb likes. Komennya hampir nyampe 100.

|Allhamdulliah.
|Videonya lagi gue edit.
|Besok atau lusa paling gue upload.

|Jir, komenannya pada nanyain kabar lu sama Nathan semua!
|Ini gue jawab apa, Cok?

|Yaelah.
|Gak di mana-mana. Heran gue.

|Di story dia galau mulu, btw.
|Ngasih siraman rohani soal pilihan kehidupan.
|Etdah kata gue.

|Diemin aja.
|Awas lu macem-macem. Pake acara replay segala!
|Gini-gini dia masih mantengin gue.

|Ciee.
|Gimana rasanya jadi mantan pacar Paduka Cuaon?

|Bacot.
|Btw, lu ada kenalan lagi gak? Yang kerja di Merak? Capek gue bikin risol mulu tiap hari!
|Kemaren tangan gue yang kecipratan minyak.

|Kagak ada, Nir! Itu semua yang kemaren gue kasih tau!
|Ini ada yang komen, ‘kak, mau jadi pacar aku, gak?’
|Boleh gak, gue jawab, ‘Boleh. Asal bermarga Tjoe A On.’?

|Jing! Jangan macem-macem lu!
|Mel! Awas lu ya! Gue kick lu jadi admin!

|Becanda, geblek.
|Gak gue jawab apa-apa!

Nirmala menghela napas lega. Rasanya dia pengen ke Cilegon dan jambak rambut Amel yang katanya kemaren baru di-pikok warna kuning mentereng. Katanya sih nanti mau ditimpal pake warna Merah.

Mau warna merah kek, mau warna ungu kek, bodo amat! Nirmala gak peduli.

Drrtt drrt drrt!

Ponselnya bergetar, ada notif pesan lain masuk. Saat muncul pop-up di layarnya. Cewek itu dibuat terdiam.

Nathan Chu
|Sayang.
|I miss you so much.
|Let’s go to Banda Neira.

Nirmala menghela napas panjang, sebelum akhirnya menggeser pop-up tersebut hingga hilang dari layarnya. Ini sudah yang kelima kalinya. Cowok itu mengirimkannya drunk text, padahal saat ini di Swansea masih pagi. Entah dia mengirimnya secara sadar atau tidak, yang jelas dia tidak menarik kembali pesannya, bahkan tidak sama sekali mengirimkan permintaan maaf.

Nathan seperti sengaja.

Dia masih belum rela.

Sama sepertinya. Namun Nirmala bisa apa?

Ini sudah jalan yang tepat. Berpisah dan menemukan tujuan baru yang lebih baik lagi.

Nathan Chu
|Sayang.
|I miss you so much.
|Let’s go to Banda Neira.
|I’m still loving you.

* * *

Sudah lebih satu bulan sejak Nirmala putus dengan Nathan. Sudah hampir satu bulan juga, cewek itu menjadi seorang guru TK di dekat rumahnya.

Benar-benar hal yang tidak pernah Nirmala duga. Dia berpikir, nggak ada salahnya mencoba, dengan mengajar anak-anak berusia 5 tahun untuk membaca dan menulis. Lalu siangnya setelah selesai mengajar dia bisa kembali fokus membuat orderan. Hitung-hitung menambah pemasukan yang benar-benar sangat tidak seberapa itu dibandingkan saat dia bekerja dulu.

Beberapa cara sudah dia lakukan, dengan mengikuti kelas online seperti copy writer, SEO, data analyst, untuk mempercantik CV-nya. Tapi tetap saja, kalau bukan rejeki tidak akan dipanggil.

“Bu Nirmala! Kata Om-nya Farhan, Bu Nirmala cantik!”

Ini sedang waktu istirahat. Anak-anak dipersilahkan untuk memakan bekal bersama-sama di kelas atau bermain di luar hingga 45 menit ke depan. Setelahnya mereka akan bernyanyi, berdoa, lalu pulang. Kemudian akhirnya pun Nirmala bisa bernapas lega.

“Makasih, Om-nya Farhan.” Nirmala tersenyum. Padahal di dalam hati dia mau mengumpat.

Om-nya Farhan ini salah satu penghuni di kampungnya yang akhir-akhir ini mencoba mendekatinya. Sedangkan dia saja belum bisa move on dari Nathan.

Siapa sih yang bisa move on dari cowok modelan Nathan?

Gak ada.

Bukannya move one, Nirmala malah menyebut namanya dengan sebutan Mr. Perfectly fine!

“Ih, kan Bu Nirmala udah punya suami jugaa!”

“Ih, nggak! Bu Nirmala belum punya suami!”

“Udah tauu! Kamu gak liat wallpaper di hapenya Bu Nirmala?!

“Iyaa! Kamu gak liat di hapenya Bu Nirmala ada Bu Nirmala sama om-om bule!”

“Nih, liat!” Salah satu anak menarik tangan kiri Nirmala dan menunjuk cincin di jari manisnya. Sebuah cincin dengan permata kecil yang dia beli di Pasar Madang dengan uangnya sendiri. “Ini cincin pernikahan mereka!”

Dasar bocil, sok tau lu!

Nirmala memejamkan matanya seraya menghela napas berat. Salahnya juga sih, yang belum ganti wallpaper. Dia merasa fotonya saat dia datang ke pernikahan Shayne dan Mima, itu akan menjadi manifestasi nanti dirinya ketika memiliki calon suami.

Semoga Tuhan baik, mau memberikannya jodoh seseorang seperti Nathan namun dalam versi agamanya.

Kriiing!

Akhirnya penderitaan Nirmala hari ini selesai.

“Husss! Anak-anak, udah jangan ribut! Ayo rapihkan barang-barang kalian, kita berdoa dulu sebelum pulang!” Nirmala berdiri dan berjalan menuju pintu depan. Memanggil anak-anak didiknya dan  anak-anak didik yang lain untuk masuk kembali ke dalam kelas.

“Baik anak-anak. Besok jangan lupa bawa apaa?” Nirmala bertanya pada anak-anak didiknya setelah mereka selesai bernyanyi riang lalu ditutup dengan berdoa.

“Botol plastik bekas!!”

“Benaar! Besok jangan lupa bawa botol plastik bekas! Pulangnya jangan rebut-rebutan! Yang belum dijemput boleh tunggu papa-mamanya di taman atau di kelas sama Ibu.”

Tak lama Nirmala mengatakan hal tersebut anak-anak pun berhamburan keluar kelas setelah salim dengannya. Cewek itu tersenyum, dan mengambil botol minumnya untuk melegakan tenggorokannya yang terasa kering. Setelahnya dia duduk di kursinya dan mengecek ponselnya.

Kalimat anak didiknya barusan kembali terlintas di kepalanya saat melihat wallpaper di ponselnya. Sepasang Adam dan Hawa yang begitu lugu dan tidak tahu jika terdapat sebuah penghalang besar di kemudian hari.

Rasanya Nirmala ingin kembali ke masa lalu dan menikmati momen saat mereka menghabiskan waktu bercerita satu sama lain di pinggir pantai, berdansa di bawah pohon rindang, sembari menatap mata tajamnya yang begitu indah, dan jangan lupakan bagaimana sentuhan manis yang cowok itu berikan setiap kali menyentuh rambutnya, tangannya dan juga bibirnya.

Bohong kalau Nirmala bilang tidak merindukannya.

She miss him so bad.

And she really hope that he’s too.

Drrt drrt drrt!

Ponselnya bergetar. Menyadarkannya sejenak dan mengecek siapa peneleponnya. Butuh beberapa detik bagi Nirmala untuk melotot terkejut saat melihat nama kontak yang tertera di layarnya.

Bu Manda BRGM is calling ...

“Ha—halo, selama Pagi.” Ini masih jam setengah 11. Masih bisa bisa dikatakan pagi, kan?”

“Halo, Nirmala. Ada kabar bagus. Pak Edward udah cek CV kamu. Dia tertarik. Apalagi ada track record kamu pernah magang di BRGM.”

Deg. Deg. Deg.

“Beliau mau ngobrol sama kamu. Nanti sore kamu bisa? Via zoom.”

“Bi—bisa Bu! Bisa banget!”

“Oke. Semoga beruntung yaa!”

Ya Tuhan apakah ini mimpi?? Akhirnya ada panggilan interview!

* * *

Nathan bisa gila jika begini terus.

Tiada hari tanpa dirinya yang merindukan sosok Nirmala. Tepat pada saat waktu bebas dari kegiatan club-nya selama beberapa minggu, Nathan memutuskan untuk kembali ke Rotterdam. Hidup sendirian di negeri orang dalam kondisi patah hati benar-benar menyiksanya.

Namun rupanya, yang dia kira jika pulang ke Rotterdam akan memperbaiki suasana hatinya, ternyata sama saja. Dia masih tidak bisa merelakan Nirmala. Tiap hari dia mengawasi Instagram cewek itu. Baik yang pribadi maupun yang umum. Tidak ada informasi apapun, kecuali konten memasak dengan durasi singkat. Di videonya pun tidak menunjukkan wajahnya. Hanya tangannya saja.

Melihat konten tersebut yang setiap minggu selalu update, membuat Nathan jadi rindu masakannya. Ah, bukan. Dia lebih rindu orang yang memasaknya.

“Kau tahu, bulu babi ternyata bisa dipegang dengan tangan kosong!” Nathan menatap teman-temannya yang datang menerima ajakannya untuk berkumpul dan minum di bar.

“Oh, sial. Dia mulai lagi.” Seth berdecak saat Nathan mulai kehilangan akalnya akibat terlalu banyak menenggak alkohol. Cowok itu akhir-akhir ini jika sedang mabuk akan berubah menjadi ahli spesialis kelautan. Entah dari siapa dia belajar itu semua.

“Aku pernah memegangnya. Namun jika tidak sengaja tertancap atau tertusuk di kulitmu, maka kau akan terkena racunnya!”

Rachael memutar bola matanya. “Yeah, kau sudah pernah mengatakannya tiga kali. Bahwa—”

“Satu-satunya pertolongan pertama sekaligus penawar racunnya adalah ...”

“Urin manusia.”

“Urin manusia.”

Saking hafalnya, Seth dan Rachael ikut-ikutan menjawabnya.

“Apakah kalian tahu? Ternyata plankton itu ada dua jenis.” Nathan melanjutkan racauannya.

“Baiklah. Yang ini baru pertama kali aku dengar.” Rachael memangku tangan pada wajahnya. Menunggu kelanjutan cerita temannya itu.

“Ada fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton itu tumbuhan, dia yang menyumbang oksigen terbesar di dunia. Jadi, jika kalian mengatakan bahwa pohon adalah penyumbang oksigen terbesar, kalian salah besar! No blue no green! That’s what my Nirmala said!”

“Ya Tuhan, efek gadis bernama Nirmala ini benar-benar sangat dahsyat.” Seth menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Zooplankton itu hewan. Dia adalah rantai makanan pertama di laut. Kau tahu apa yang dimakan oleh paus? Yes that’s right! Zooplankton! Dan kau tahu karakter Plankton di Spongebob Squarepants? Dia adalah sejenis zooplankton. Maka dari itu, dia takut melihat Pearl.”

“Bung, sudahlah. Hubunganmu dengan gadis yang bernama Nir—”

“Jangan sebut namanya! Hanya aku yang boleh sebut namanya!” ancam Nathan tiba-tiba.

Lalu tak lama kemudian muncul seorang cewek berambut pirang dengan pakaian atasan merah muda pucat serta bawahan celana bahan berwarna putih dari balik pintu bar. Cewek itu melambaikan tangannya ke arah mereka bertiga sebelum akhirnya ikut duduk, dan bergabung bersama mereka.

“Hai, Gina. Akhir-akhir ini kau sibuk?” sapa Rachael.

“Ya. Aku cukup sibuk akhir-akhir ini. Maka dari itu aku baru bisa menyempatkan diri bertemu kalian sekarang.” Gina menoleh ke arah Nathan yang tengah menatapnya dengan wajah yang terlihat setengah mabuk. “Apa dia sudah mabuk?”

Well, banyak hal yang sudah terjadi,” ungkap Seth.

“Gina!” panggil Nathan.

Yang dipanggil merasa bingung. Biasanya cowok itu merasa malu-malu dan enggan untuk memulai pembicaraan dengannya. Mengingat mereka dulu pernah dekat lebih dari sekedar teman. “Ya?”

“Kau cantik.”

“...”

“Katanya kau cantik,” lanjut Nathan. Yang justru malah membuat semua temannya mengernyit bingung. Apalagi Gina.

“Siapa yang bilang?”

“Nirmala bilang kamu tipikal cewek coquette yang mahal. Pertahankan tema postingan Instagrammu. Tapi alangkah lebih baik jika kau menambahkan video vlog liburanmu agar meningkatkan insight yang signifikan. Supaya jumlah pengikutmu semakin bertambah.”

Gina bingung harus takut atau berterima kasih pada cewek yang bernama Nirmala itu. “Well, thanks for advice ... Nirmala? Itu namanya?”

“Jangan sebut namanya. Hanya aku yang boleh sebut namanya!” Nathan mendengkus dan menjatuhkan kepalanya ke meja. Entah tertidur atau menangis sesenggukan.

“Dan kalian tahu? Ternyata mangrove juga terbagi menjadi dua jenis ... Sejati dan Asosiasi—”

“Oh, Nathan, ayolah!”

* * *

Tangannya masih gemetar. Jantungnya masih belum tenang sejak Interview (ah, bukan. Ini bukan sejenis interview. Justru percakapan santai mengenai dirinya yang pernah magang di perusahaan mereka).

Dia berbincang bersama Bu Manda selaku orang yang memberikannya rekomendasi, satu orang HRD yang bernama Pak Wisnu (dia pernah bertemu dengannya secara online saat interview magang) serta seorang pria yang bernama Pak Edward Sitokdana yang merupakan orang asli Papua yang kebetulan memegang lembaga restorasi mangrove dan gambut di daerah Papua. Khususnya berlokasi di Papua Barat.

Meski deg-degan, namun entah kenapa semua seperti dilancarkan. Nirmala diterima dan ditawarkan untuk bekerja sebagai layanan masyarakat sekaligus tenaga restorasi mangrove di sana. Tepatnya di teluk Bintuni. Semua biaya pemberangkatan dan tempat tinggal akan ditanggung oleh perusahaan. Sedangkan biaya makan itu melihat sikon.

Dari situ Nirmala sedikit merasa ragu. Namun sebisa mungkin dia menahan keraguan tersebut.

Dia harus mendapatkan pekerjaan ini!

“Ya Allah, Mala. Papua itu jauh banget!”

Ah, sial. Dia sudah menebak apa respon Mamanya.

“Rejekinya hanya ada itu, Ma. Kalau aku gak ambil, kesempatan berikutnya tidak akan ada lagi!”

“Tapi itu terlalu jauh! Emangnya gak ada yang deket-deket aja?” tanya Mama.

Nirmala menggeleng. “Hanya ada itu. Semua biaya berangkat dan tempat tinggal udah ditanggung mereka. Terkadang mereka juga menanggung biaya makan tergantung sikon. Dan yang terlebih, gajinya 2 kali lebih besar dari pada saat aku kerja di PSSI!”

Mama terdiam. Papa terlihat berpikir. “Kapan?”

“Untuk ngurus berkas-berkas administrasi, dimulai besok. Bu Manda bakal bantuin aku. Pemberangkatan sekitar 2 minggu lagi jika urusan administrasinya lancar.”

Papa mengangguk. “Siapin berkas-berkasnya. Sekalian nyicil buat packing. Papa izinin.”

Mama lagi-lagi terdiam, menatap Nirmala lekat-lekat. Cewek itu menghela napas dan mendekat. “Mah, aku udah gede. Aku bisa jaga diri aku.”

“...”

“Aku bakal pegang semua nasehat Mama. Jadi Mama gak usah khawatir. Ini pekerjaan impian aku, Mah. Aku harus bisa!”

Mama mengangguk, dan memeluk anak gadis pertamanya itu.

Nirmala membalas pelukannya, dengan pikiran yang tiba-tiba melayang entah kemana.

Nathan, aku bakal pergi jauh. Bukan lagi di Bogor, Jakarta ataupun Serang. Bukan lagi berada di pulau Jawa. Tapi tenang saja, aku masih berada di Indonesia. Aku hanya menghindar agar kita bisa memilih jalan masing-masing. Kamu bersama karir sepak bolamu. Dan aku bersama karir di dunia blue forest-ku.

Semoga kita bisa bahagia dengan pilihan kita masing-masing.

Oh ya, satu lagi. Terus lupakan aku ya. Aku hanya pantas dikenang sebentar, dan carilah gadis lain yang lebih bermakna untukmu. Siapapun itu, aku akan selalu bahagia melihatnya.

* * *

Note:

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top