16 | Stop Right Here
Kata orang-orang, jalanin aja dulu. Akhirnya gimana kita serahkan saja kepada Tuhan.
Kalo lanjut, kita bahagia.
Kalo berhenti, paling nangis di pojokan.
Yeah, kira-kira begitu kalimat penyemangat Nirmala sekaligus anekdot baginya. Ternyata menjalani hubungan beda agama begitu waw sekali ya. Selain harus backstreet perkara mamanya yang selalu mewanti-wanti (bahkan sudah menganggap kalau selama ini sudah Nathan tidak ada hubungan lagi dengan Nirmala) dia juga harus sabar mengenalkan agamanya tipis-tipis ke Nathan.
Hasilnya pun berakhir nihil.
Kayaknya, imannya Nathan lebih tebel dibandingkan Nirmala. Ya gak salah sih, Nirmala salatnya saja masih belang bentong. Kayak begini mau memuslimkan Nathan si anak Tuhan yang taat? Benar-benar mustahil.
Apa dia putus saja besok?
Tapi Nirmala udah sayang banget sama Nathan!
Apa dia putusin di minggu depan saja? Beres pertandingan?
Tapi nanti kalo hal ini mempengaruhi Nathan sampai ke urusan karirnya gimana? Nanti kalau performa cowok itu menurun gara-gara dia gimana? Karir anak orang bisa terancam!
Nggak! Nggak boleh ada kata putus!
Harus bisa pertahankan hubungan ini sampe Nathan log in!
Tapi ntar kalo gue yang log out, gimana? Iman Nirmala gak setebal Nathan.
Ya ampun, Nirmala! Sadar, sadar! Istighfar!
Nirmala hampir terjatuh saat tidak sengaja menginjak tali sepatunya yang longgar dan terlepas. Beruntung Nathan yang berjalan di sampingnya berhasil menahan pinggangnya agar cewek itu tidak terjatuh begitu saja.
“I’m sorry. My shoes—”
Tiba-tiba Nathan berjongkok, belum sempat Nirmala bertanya, dia sudah lebih dulu mengikatkan tali sepatunya dan membetulkan ikatan lainnya agar tidak mudah terlepas.
“It’s better now.” Nathan kembali berdiri, menggandeng tangannya dan lanjut berjalan menyusuri sisi lain museum.
Kali ini tema nge-date mereka bukan lagi ngebolang, bersantai di pinggir pantai atau makan malam cantik. Tapi museum date. Tadinya Nirmala mau ajak Nathan ke Bandung, tapi tidak jadi karena terlalu jauh. Jadinya paling masih main di sekitaran Jakarta. Di Bogor pun sebenarnya banyak museum, hanya saja kurang aesthetic. Di tambah Nathan juga bilang katanya penasaran dengan yang namanya museum Macan.
Dengan meminjam nama Amel, Nirmala akhirnya cabut dari rumah sejak pukul 10 pagi. Seperti biasa dia menjemput Nathan di hotelnya, lalu berpindah posisi menjadi cowok itu yang mengemudi.
“Sayang,” panggil Nirmala.
Nathan menoleh. “Hm?”
Nirmala menunjuk ke arah sepasang suami-isteri yang memiliki seorang anak kecil di ujung sana dengan dagunya. “What do you think?” tanyanya.
Cukup lama Nathan memperhatikan mereka. Hingga akhirnya dia menjawab, “Our future?”
Jawabannya berhasil membuat Nirmala terdiam. “You know what? You have to be a muslim first.”
“Why?” tanyanya.
“I just only married a muslim man.” Semoga mereka gak ribut karena perkara ini. Soalnya Nirmala ingin tahu kepastian yang Nathan berikan.
“Nirmala, don't start again.”
Tuh, kan?
“Let’s get dinner with my family. They are already miss you.” Nathan tiba-tiba mengubah topik pembicaraan. Membuat Nirmala seketika lupa akan masalahnya sejenak.
“Tonight?”
Nathan menggeleng. “No, tomorrow. I’ll pick you up.”
“To my house? To Bogor?” tanya Nirmala rada terkejut. Jangan salah, Jakarta-Bogor itu lumayan jauh. Apalagi untuk pendatang baru seperti Nathan. Nirmala tidak yakin membiarkan cowok itu naik mobil sendirian lewat jalan tol. “Are you serious?”
“Hey, my drive skill more better than yours. Just believe me, I can do it.”
“Pakai mobil siapa?”
“Rendy. As always.”
Akhirnya percakapan pun selesai. Yasudah lah, lagipula Nathan sudah cukup beradaptasi dengan lingkungan lalu lintas di Jakarta dan Bogor.
“Okay. What should I bring for them?” tanya Nirmala. Siapa tahu mereka senang dibawakan sesuatu. Soalnya pas ketemuan pertama kali di Uluwatu kemarin, cewek itu tidak bawa apa-apa. Dia merasa tidak enak.
“What for? Just come with me and dress well.”
Oke perbedaan budaya.
* * *
Nirmala sampai di rumah pukul 6 sore, tepat setelah azan magrib. Di rumah pun terasa sepi. Lebih tepatnya orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Nirmala langsung naik ke atas kamarnya dan mandi membersihkan tubuhnya.
“Mala! Solat jangan lupa!” Suara Mamanya terdengar dari bawah.
“Iyaa!”
“Kalau udah solat makan!” ucap Mamanya lagi. Tapi tidak dibalas oleh Nirmala.
Cewek itu segera melaksanakan kewajibannya, soalnya kalau di-ntar-ntar bisa-bisa dia keburu males. Apalagi semenjak kembali tinggal di rumah, Mamanya bawel mengingatkannya untuk salat.
Setelah selesai 5 menit kemudian, dia mengecek ponselnya yang sedang di-charge. Melihat ada pesan masuk dari Nathan yang mengatakan, jika dia sedang istirahat santai di balkon kamarnya bersama roommate-nya.
Nathan Chu
|Get rest and sleep well.
|Don’t forget tomorrow.
|I’ll pick you up at 4 or 5 pm.
|Okay.
|Sleep well too.
|Don’t too much playing with your phone!
|Alright 😁
|I love you.
|Love youuu
Setelah membalas chat tersebut, Nirmala turun ke bawah. Makan malam bersama Sania dan Devi di ruang TV. Papa dan Mama menyusul. Mereka asik menonton TV sampai akhirnya Papa membuka pembicaraan.
“Lamaran kerja kamu gimana, Kak?” tanya Papa.
Sial. Selain pertanyaan tentang Nathan, dia juga tidak suka dengan pertanyaan itu. “Belum ada balasan.”
“Kamu gak nanya Amel, siapa tau di kantornya nerima karyawan baru,” balas Papa lagi.
“Udah aku tanyain. Katanya, nanti dikabarin.”
Plis. Udah. Jangan nanya lagi. Nirmala juga maunya keterima kerja, dia udah usaha sana-sini, juga tetep gak dapet. Sempat ada rencana mau ngojek online, tapi dilarang sama Papa-Mama. Dia juga capek nganggur terus.
“Tadi main ke mana?” tanya Mama.
Oke perasaan Nirmala tiba-tiba nggak enak.
“Ke museum macam. Sama makan bentar di Sency.”
“Sama siapa?” tanya Mama lagi.
“Sama Amel.”
Mama terkekeh. Dia membuka ponselnya dan tanpa pernah Nirmala duga, Mamanya memperlihatkan video paparazi yang menampilkan dirinya dan juga Nathan. Refleks Nirmala memejamkan matanya. Dia sedikit frustasi, kenapa semua orang tidak bisa menahan kamera mereka untuk tidak merekam orang sembarangan?!
Kenapa mereka senang sekali mengganggu privasi orang? Haruskah mereka menyewa tempat selama 1-2 jam untuk mereka habiskan waktu bersama tanpa takut diusik oleh orang-orang?!
“Sejak kapan Amel berbuah jadi cowok?” tanya Mama sinis.
“Itu ... Mah, aku sama Nathan cuma pacar—”
“Pacaran kalau gunanya untuk ke jenjang yang serius itu gak apa-apa, Nirmala. Mama gak pernah ngelarang asal kamu bisa jaga diri. Tapi kalau sama dia, nggak ada ujungnya! Dia Katolik, Mala! Kamu Islam! Mama-Papa kamu Islam!”
“...”
“Kamu udah pernah sekali disakitin sama cowok. Sakit banget, sampe satu keluarga ngerasain gimana sakitnya. Segitu sama yang seagama. Apalagi sama yang beda agama? Kamu pacaran sama Nathan, mau sebaik apapun orangnya, yang rugi di kamu! Waktu kamu habis sia-sia buat dia yang gak ada kepastian!”
“...”
“Inget kata-kata Mama, Nirmala! Pernikahan beda agama itu resikonya besar! Pertama, kalian gak dianggap sah di mata Tuhan. Kalian menikah tapi tetap hukumnya zinah!”
Nirmala hanya bisa terdiam. Karena pada kenyataannya dia benar-benar tidak bisa membantah fakta tersebut.
“Kedua, gimana kalau kalian punya anak? Anak kalian mau masuk agama apa? Kamu mau anak-anak kamu kayak anak-anak almarhum Budeh Sulastri? Yang tiap jumatan ikut ke mesjid, yang tiap Minggu ikut ke gereja! Akhirnya pas dewasa milih jadi Protestan. Sampe akhirnya ibunya mati pun anak-anaknya gak ada yang bisa doain dia di akhirat!”
“...”
Suasana begitu tegang. Tanpa sadar Nirmala menitikkan air mata. Makanannya di piring terasa hambar, membuatnya tidak kembali nafsu untuk makan.
“Kak, yang dibilang sama Mama kamu itu bener. Mungkin kamu seneng dan penasaran sama Nathan. Tapi di sini masalahnya kita hanya ingin kamu gak ngambil resiko yang besar.” Papa akhirnya turun tangan. Menasehati Nirmala dengan kata-kata yang lebih lembut.
“Tapi ... Tante Shinta sama Om Gilbert ... Dia ...” Sania yang mengerti bagaimana perasaan kakaknya, mencoba untuk angkat suara.
“Om Gilbert dari awal ketemu Tante Shinta, dia itu atheis! Tante Shinta dari kecil juga udah jago agamanya, Sholeh! Gak kayak kamu yang disuruh pake kerudung susahnya minta ampun! Kayak begini pacaran sama yang beda agama! Udah double dosanya!”
“Mah, udah, Mah!” Papa mencoba untuk menghentikan Mama. Sebab Nirmala sudah tersedu-sedu. “Sania! Kamu jangan ikut campur!”
“Mulai besok, udahin hubungan kamu sama Nathan! Kalau kalian emang jodoh, suatu saat kalian bakal ditemukan lagi dengan versi yang terbaik! Atau mungkin Allah punya rencana lain buat ngasih kamu jodoh orang yang lebih baik lagi!” ucap Mama.
Nirmala masih menangis. Kepalanya dilanda rasa bingung, sedih, dan rasa bersalah.
Naith, what should I do?
* * *
Makan malam bersama keluarga Tjoe A On berjalan dengan sangat harmonis. Tante Melinda sampai membelikan beberapa souvernir untuknya karena katanya dia mengingatkannya dengan hal yang lucu dan manis. Nirmala sampai dibuat salting sendiri dengan Tante bule tersebut.
Mereka berbincang-bincang santai. Tentang kebiasaan mereka di Belanda, perbedaan cuaca antara Jakarta dan Rotterdam. Hingga kemudian, Nathan berceletuk.
“Maybe you guys need to come to Bogor. The weather is better than here.”
Nirmala mencubit paha Nathan. Sebab, Bogor yang dia maksud itu jantung kotanya. Kalau Bogor pinggiran kebanyakan panasnya 11 12 sama kayak Bekasi.
“Maybe next time we have to go there, Honey,” ucap Tante Melinda seraya tersenyum manis.
Aduh, manisnya. Pantesan senyum anaknya juga manis.
Lalu makan malam tersebut harus berakhir pada pukul set 8 malam. Alasannya karena Nathan ingin mengantar pulang Nirmala ke rumahnya di luar kota. Nirmala berpamitan, dia berpelukan dengan semuanya.
“Send my greeting to your Father. I already miss him! Hahahah!” ucap Om Romejo jenaka.
“I’m gonna miss you honey. Next time you have to come to our house in Rotterdam, okay?” ucap Tante Melinda. Wanita itu bahkan sampai mencium kedua pipinya.
Lalu akhirnya Nirmala kembali berdua bersama Nathan di mobil. Mereka hanya diam. Hanya ada lagu jazz yang menemani mereka.
“Nathan.”
“Hm?”
“I really love your family. Their kind. Just like you.” Nirmala mengatakannya seraya menatap lurus ke arah jalanan.
“I love your family too. Can I come to your house, besok?” tanyanya.
Nirmala meneguk ludahnya susah payah. “Well, Naith can we go to somewhere that we can deep talk about something?” tanyanya.
Nathan tampak berpikir sejenak. “Well, A rooftop maybe?”
“Sure.”
Akhirnya mobil kembali berbelok. Menuju hotel tempat Nathan menginap. Mereka menaruh mobil di lantai basemen, lalu menaiki lift langsung menuju lantai paling atas. Setelahnya mereka menaiki tangga satu lantai untuk bisa sampai di rooftop.
Udara malam langsung menerpa, menggerakkan rambut mereka dengan bebas. Nathan melepas blazernya dan mengenakannya pada Nirmala.
Cewek itu tersenyum sebagai tanda terima kasih.
“So, what kind of deep talk do you mean?” tanya Nathan. Cowok itu menatap Nirmala yang entah kenapa sejak selesai makan malam barusan, tatapan wajahnya menjadi datar. Matanya yang selalu bersinar mendadak redup dan sayup. Pandangan Nathan beralih pada leher Nirmala yang melingkar kalung silver berliontin huruf ‘N’ pemberiannya. “Sayang, what is happening?”
Nirmala memejamkan matanya sejenak. Mengatur semua perasaan yang bergejolak di hatinya. Hingga kemudian dia merasakan kehangatan di tangannya saat cowok di hadapannya menggenggam tangannya.
“It’s okay. Tell me.”
Lo bisa Nirmala. Lo bisa mengakhiri ini semua.
“Naith. Someone told me, that something like soul mate is not going anywhere. We will found it, in the right place, in the right time, and for the right people.”
“Yeah. I ever heard that one.”
“According to us, we found each other in the right place, in the right time. But not for the right people.”
Nathan mulai mengerutkan keningnya. Dia mulai paham apa maksud dari Nirmala. “Nirmala, please don’t start again.”
“You have to listen, before everything’s going late!” sanggah Nirmala, menggenggam erat tangan Nathan. Dia juga mulai memberanikan diri untuk menatap wajah cowok itu. Menatap mata hunter-nya yang juga sama-sama menusuk dirinya. “Naith, for all my life, I never felt so in love with someone but only you! I love you, and I do. I swear that’s not a lie.”
“...”
“But I can’t. I can not keep doing this. We are different. No one from us want to change the different!”
“I will.” Nathan tiba-tiba berucap. Suaranya amat dingin. Sedingin udara di malam hari ini. “Do you want me to change my religion? I’ll do it!”
Nirmala sempat terdiam. Namun beberapa detik kemudian, dia langsung menggeleng. “No. Don’t do that!” ucapnya. Cewek itu memegang kalung salib yang melingkar di leher Nathan dan tersenyum nanar. “Do you really want to throw this out from your life?!” tanya Nirmala begitu telak.
Sesuatu seperti ada yang menghantam di hati Nathan.
“Do you really want to change your God just because of me?!”
Lidah Nathan mendadak terasa kelu.
“Naith, don’t be stupid!”
Nathan memejamkan matanya. Tiba-tiba udara di sekitarnya begitu sesak. Dia masih memegang erat tangan Nirmala. “So what do you want?”
Nirmala mengigit bibir bawahnya. “Just stop right here. Everything is done.”
“Why are so mean?” tanyanya. Matanya kembali terbuka, kembali menatap tajam pada netra teduh milik Nirmala. “Why you want me to stop everything, when I was finally found my right person of my life?!”
“I’m not the right person! I’m not your right person, Naith! I’m just a girl who comes and finally go from your life!”
Dada Nathan maupun dada Nirmala terlihat naik turun. Menahan emosi yang meluap satu sama lain. “Mala, I just love you,” ucap Nathan begitu lirih.
Nirmala mengigit bibir bawahnya kuat-kuat. Dia tidak boleh luluh karena perasaannya. “Maybe for now, you just only love me. But in the future, maybe you will found the girl you love the most than you ever did. And it isn’t me.”
Nirmala menarik napas dalam-dalam. Dia menyentuh wajah Nathan dengan lembut, menghapus air mata yang hendak turun membasahi pipinya. “I’m so sorry,” gumamnya.
Cewek itu kemudian mendekat, mengecup bibir cowok itu dengan seluruh perasaan yang menumpuk di hatinya. Nathan memegang pinggang serta tengkuknya, membalas setiap kecupan, menyalurkan segala emosi yang berusaha dia luapkan.
Sesaat Nirmala tidak peduli dengan jantungnya yang terus berdegup kencang. Dia bahkan tidak peduli sederas apa air matanya yang jatuh dan mengenai wajah Nathan. Dia hanya ingin mengenang momen ini untuk yang terakhir kalinya.
Ciuman mereka terlepas saat napas mereka mencapai di ujung tenggorokan. Nirmala menjatuhkan kepalanya di dada bidang Nathan. Menghirup udara banyak-banyak seraya mengingat baik-baik bagaimana aroma khas cowok tersebut.
Nathan perlahan memeluknya. Begitu erat. Seakan-akan dia paham, bahwa momen ini mungkin tidak akan pernah terulang kembali. Cowok itu mengecup pucuk kepala Nirmala, menyesap aroma shampo dan tubuh cewek itu yang mungkin akan menjadi aroma favoritnya.
“Naith. Forget me. Everything is done.”
* * *
Note:
Duarr makjreng.
Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top