10 | Can We?
Ternyata Dian ini masih dalam tahap uji coba. Sama seperti dirinya dulu yang melakukan masa uji coba selama sebulan. Lalu keputusan akan keluar yang menyatakan apakah dia layak dijadikan karyawan atau tidak.
Dian anaknya aktif, suka berbicara, dan juga memiliki insiatif tinggi saat Nirmala atau staf Koorlap lainnya kesulitan. Sejauh ini, cewek itu hanya lebih sering berinteraksi dengannya.
Dikarenakan projek sebelumnya sudah selesai, maka kini Nirmala dioper untuk gabung ke staf yang mengurus para pemain U-16. Dari yang dia dengar, ada anak artis di sana. Mungkin kalau mamak-bapaknya datang, Nirmala mau menyempatkan diri buat berfoto sama mereka.
“Pengalaman kerja sama Timnas kayak gimana, Kak?” tanya Dian.
“Pengalaman? Pengalaman apa nih? Pengalaman seru, pengalaman buruk, atau pengalaman sedih?” tanya Nirmala.
“Dari pengalaman seru dulu deh,” ucap Dian.
Nirmala terlihat berpikir-pikir. “Serunya tuh mereka semua pada asik, staf-staf pada gak jaim dan mau mengayomi aku yang masih baru waktu itu. Terus juga para pemain sampai pelatih punya chemistry yang bagus, jadi kita enjoy aja gitu kerja bareng mereka.”
“Rasanya deket sama pemain gimana tuh, Kak?”
“Deket sama pemain?” tanya Nirmala, lalu dibalas oleh Dian yang mengangguk antusias. “Seru sih ... kayak temen tongkrongan. Mereka suka bercanda, kadang kalo gak bisa ngimbangin bercandaan mereka, bagi aku pribadi suka merasa ke-blunder. Jadi, sama mereka kalo bercanda gak boleh baper.”
Dian masih mendengar dengan antusias.
“Terus kalo buruk, palingan masalah internal para staf, sih. Yang kadang suka lalai, terus juga kadang suka miskom sampai menganggu aktivitas latihan. Coach Shin dulu pas awal-awal aku masuk, pernah marah-marah sama Om Dion perkara salah ngasih tau jadwal ke lapangan. Beuh, semua habis kena shibal sekkiya!” Nirmala tertawa sejenak seraya mengingat-ingat kejadian tersebut. “Terus juga aku sempet kaget waktu awal-awal kerja. Dulu ranah aku hanya sebatas proker kampus, tapi kali ini lebih besar dan lebih sakral, kadang suka blunder. Kadang suka takut, insecure sama kemampuan. Begitu.”
“Kalo sedihnya gimana, Kak?”
Nirmala terdiam. “Sedih tuh kalo liat perjuangan para pemain. Aku awal-awal gak ngerti bola sama sekali, cuma asal masuk aja gitu, karena kan niatnya cuma mau kerja. Tapi lama-lama paham, meski kadang ada beberapa istilah dan peraturan yang sampai sekarang aku gak paham. Offside aja aku masih rada gak paham,” ucapnya.
Jalanan cukup macet, mereka kini sedang dalam perjalanan menuju restoran Nasi Padang langganan Nirmala.
Kini, sejak dia putus dari Zayan, kalau mau kemana-mana Nirmala bukan lagi naik KRL atau Transjakarta. Tapi lebih sering menggunakan si Ijo. Meskipun dia harus mengeluarkan sedikit uang lebih untuk biaya bensin.
“Apalagi kalau mereka kalah dalam pertandingan, Di. Kasian gitu liat para pemain. Belum lagi kalo udah liat hujatan-hujatan netizen yang ngerusak mental mereka,” lanjut Nirmala.
Dian mengangguk-angguk paham. Cewek itu ingin bertanya sekali lagi, namun terhenti saat ponsel Nirmala yang terpasang di phone holder untuk menunjukkan google maps, tiba-tiba layarnya berubah kala ada seseorang yang menelepon.
Nathan Chu is Calling ...
Nirmala sedikit terkejut, buru-buru mengangkat panggilan tersebut dan mengaktifkan mode loud speaker.
“Mal—”
“Babe, I’m driving. On the way to get lunch. I’ll call you later. I’m promise.”
Tanpa persetujuan si penelepon, Nirmala langsung mematikan sambungannya. Bisa berabe jika dia lama-lama menelepon Nathan, sedangkan di sampingnya terdapat Dian yang merupakan orang awam yang tidak boleh tahu hubungannya dengan Nathan.
“Pacar ya, Kak?” tanya Dian.
“Hah? Bu—bukan. Temen,” jawab Nirmala kikuk.
* * *
‘Nir, coba lu pikir. Tuhan ngasih tau aib yang disembunyikan oleh Zayan tepat di depan mata lu. Lalu gak lama Nathan tiba-tiba masuk ke kehidupan lu, membuat lu terkadang lupa kalo lagi di fase patah hati abis diselingkuhin. Lu pikir ini sekedar kebetulan?’
Sebenarnya, sedikit banyak perkataan Amel mempengaruhi dirinya dalam mengambil keputusan. Waktu itu, sehabis pulang dinner bareng Nathan, semalaman dia tidak bisa tertidur dan memikirkan apa yang harus dia pilih. Melepaskan atau memperjuangkan.
‘I know it sounds crazy, and too fast to said that. But I think I like you. I like everything you did.’
Perkataan-perkataan Nathan pun juga terus terlintas di kepalanya. Membuatnya bertanya-tanya apakah yang dikatakan oleh cowok itu benar adanya? Atau hanya bualan belaka?
‘Now I realize, I’m not just interesting with you. But I in love you.’
Mengingatnya kembali membuat sesuatu di hati Nirmala berdebar. Perasaan tak percaya, senang, dan takut bercampur aduk. Dia benar-benar tidak pernah mengira kejadian ini akan terjadi di dalam hidupnya. Bahkan memiliki hubungan rumit seperti ini pun jauh dari ekspektasinya.
‘Buka kepala lu, dan coba deh lu inget, lu dulu pernah bilang kalo gak dapet mas-mas Jawa, lu mau nyari bule aja di Bali! Mungkin aja Nathan adalah hasil doa lu sejak dulu. Gitu-gitu dia juga bule, kan? Bule Semarang malah, pas banget.’
Lagi-lagi perkataan Amel membuatnya goyah. Padahal kalau Nirmala mau logis, yang bule itu bukan Nathan saja, ada banyak bule di luar sana. Dan itu gak harus Nathan.
Meskipun Nathan mengatakan jika dia jatuh cinta padanya, nyatanya cintanya suatu saat akan terhalang oleh pembatas yang begitu tinggi untuk dia lalui. Mereka dua orang yang berbeda. Agama mereka berbeda. Meskipun Nirmala tidak bisa mengatakan dirinya agamis, namun dia tidak bisa melawan peraturan. Meskipun di Indonesia ada hukum yang memperbolehkan pernikahan beda agama, namun tetap saja resiko yang dimiliki begitu berat. Nirmala tidak bisa mengambil resiko itu.
“Nir, kalau misal nanti aku dateng ke rumah terus ngelamar kamu di depan Papa, kamu gak bakal tolak aku, kan?”
Tiba-tiba saja dia teringat dengan salah satu dari sekian kenangannya bersama Zayan. Saat itu Zayan mengajaknya makan di Warpat sembari melihat sunset dari atas puncak.
“Emang kamu mau ngelamar aku? Kapan?” jawab Nirmala.
“Misal, Sayang. Misal aku ngelamar kamu besok.”
“Jangan besok. Aku baru keterima kerja!”
Zayan tertawa. Cowok itu mengusap kepalanya seraya tersenyum manis padanya. “Dua tahun lagi deh, aku ngumpulin uang dulu. Kira-kira kamu bakal nolak apa nggak?”
“Tolak apa nggak, ya? Kayaknya gak mungkin sih.” Nirmala tertawa. “Lagian kamu tuh ngomong apa, sih? Udah jelas aku terima, dong!”
Zayan yang tadinya hanya tersenyum tulus, kini kembali tertawa. “Hahaha, iya iya.”
Lihat? Seserius apa hubungannya dengan Zayan dulu? Meskipun ada banyak momen di mana Nirmala muak dengan ego Zayan yang begitu tinggi dan rasa gengsinya yang tidak mau kalah, sehingga dalam kondisi apapun harus Nirmala duluan yang mengalah atau ambil inisiatif terlebih dahulu.
Lagi-lagi Nirmala tenggelam dalam kebimbangan malam itu.
Nathan.
Pertama kali Nirmala melihatnya saat cewek itu menjemputnya di Bandara bersama Rendy yang merupakan bagian dari pihak manajemen PSSI. Mereka tidak melakukan interaksi yang begitu intens. Bahkan tidak sama sekali. Nirmala hanya memastikan bahwa kedatangannya ke Indonesia berjalan dengan lancar, dan pengambilan sumpah kewarganegaraan pemain sepak bola tersebut berjalan dengan baik tanpa ada kendala. Sudah itu saja.
Lalu waktu terus berjalan. Nirmala mulai mengamati sikap cowok itu. Mencari tahu alasan mengapa tiba-tiba masyarakat Indonesia khususnya perempuan beralih yang tadinya menyukai Rafael (jujur, Nirmala pertama kali lihat cowok itu, juga sempet sedikit naksir. Tapi gak jadi saat Rafael katanya udah punya pawang) sebagian beralih ke Nathan. Selain dia yang katanya single, wajahnya juga merupakan type kebanyakan para wanita di sini.
Awalnya Nirmala tidak sadar setampan apa cowok itu, lantaran dunianya hanya ada Zayan.
Tapi setelah tahu dan sadar jika kini dunianya bukan lagi berputar pada siapapun, dia baru merasakan bagaimana rasanya tertampar oleh pesona yang dimiliki Nathan.
Padahal waktu yang mereka habiskan bersama begitu singkat, namun efeknya begitu besar.
Lamunan Nirmala buyar tak kala seseorang datang dan mengambil duduk di sampingnya. Suara deburan ombak dan orang-orang dari kejauhan menyadarkannya jika dia kini sedang berada di pesisir pantai. Menikmati waktu sore dengan melihat senja yang akan menjemput malam.
“There’s any wrong happened?” Pernyataan muncul dari Nathan. Cowok itu melepas kacamata hitamnya dan membiarkan mata tajamnya tersebut menatap Nirmala khawatir.
“No. Nothing. I just ... feeling the moment.” Nirmala menerima kelapa segar yang berada di tangan Nathan. Menghindari tatapannya yang mungkin bisa saja menangkap rasa bimbang di dalam hatinya. Suasana di pantai ini sangat indah, dia tidak ingin merusaknya hanya karena gejolak yang bergelora di hati dan pikirannya.
“You have to check this one.” Nathan menyerahkan ponselnya. Meminta cewek itu untuk melihat apa yang ada di layar tersebut.
Ini sudah hampir seminggu Nirmala menon-aktifkan Instagram. Dia jadi tidak tahu apa yang sedang ramai dibicarakan di dunia maya.
“Apa ini?” gumam Nirmala pada postingan tersebut yang ternyata adalah sebuah video ‘Nirmala Core’ yang sebelumnya pernah dikirim oleh Om Dion. Namun kali ini durasinya agak sedikit lebih panjang. “Ya Allah, aib gue!! Tega banget sih?!” kesal Nirmala seketika.
Nathan hanya terkekeh. “They are send that video when your birthday. But then viral after couples days ago.”
“They? Who is ‘they’?!”
“Om Dion, all the staf, the coach, the squad. All our friends.”
Cukimay!
Jahat banget mereka! Masih mending mereka masukin video pas dia lagi cantik! Ini gak ada sama sekali! Malu-maluin malah.
“You look cute Mala. Don’t worry. Everyone loves you.”
“Hah?!” Jelas Nirmala tidak mengerti. Cute dari mananya? “I didn’t see any cute here! Look at this!” kesalnya. Rasanya dia mau komen, tapi lagi-lagi ingat itu akun Nathan, bukan akunnya.
Haruskah dia bikin akun baru dengan username sulit agar tidak terdeteksi oleh mantannya? Contohnya: @minyak.plus2.bgr.id
“Relax, Mala. This is why people around really enjoy with you.”
Enjoy sih enjoy, tapi ini pem-bully-an namanya! Karena kesal, akhirnya Nirmala scroll isi komentar. Dia mengira isinya penuh sindiran dan kritik pedas. Ternyata tidak ada. Isinya hanya komentar lucu, dan memuji dirinya yang ternyata sudah sedekat dan seakrab itu dengan para pemain Timnas.
Salah satu komentar ada yang mengatakan;
Resebanget_ Masih ada yang mau hujat Kak Nirmala? Semua staf, pelatih dan pemain udah seakrab dan sesayang itu sama kakaknya. Keliatan banget mereka rekan kerja yang baik. Jadi stop ngehujat!
“See? You make everyone loves you by the way you are,” ucap Nathan. “Even my mom said you’re cute and cheerful.”
Nirmala menoleh, lagi-lagi mendapati cowok itu yang tengah menatapnya. Kemarin dia baru tiba di Bali, Nathan menyewa mobil dan mengantar Nirmala ke hotel yang cewek itu pesan untuk beberapa hari di Bali. Setelahnya, Nathan mengajaknya makan malam bersama keluarganya. Jujur, sepertinya Nirmala dapat karma karena sudah menjebak Nathan waktu itu dengan mengajaknya makan siang di rumahnya.
Bedanya waktu itu mereka makan makanan rumahan, tapi kali ini mereka makan di restoran ternama di daerah Uluwatu. Beruntung, Nirmala udah pernah bertemu Om Romejo sebelumnya, jadi ada perantara selain Nathan untuk memperkenalkan dirinya pada ibu dan kakaknya Nathan. Rasanya gimana? Beuh canggung bukan main! Berasa diajak kenalan sama calon mertua. Padahal saat pertama kali bertemu orang tua Zayan dulu gak secanggung ini. Mungkin karena Nirmala merasa takut ada perbedaan budaya antara dirinya dengan mereka.
Beruntungnya lagi, Tante Melinda dan Kak Joy—sama satu lagi Nirmala lupa namanya, pokonya dia suaminya Kak Joy—menyambut dirinya dengan terbuka dan super ramah.
Merasa tersanjung dengan ucapan Nathan, Nirmala menampar pelan wajah cowok itu agar berhenti menatapnya. “Stop starring at me!”
Tangan Nirmala yang satunya lagi (yang memegang ponsel Nathan) tak sengaja memencet ikon homepage. Di sana langsung muncul postingan seorang cewek berambut blonde tengah berpose sedikit sensual namun enak dipandang dengan mengenakan bikini bewarna peach. “Who is she?” tanya Nirmala spontan.
Yah, mungkin saja itu teman Nathan atau sepupunya atau mungkin—ekhm—mantannya gitu.
Nathan melirik sejenak ke arah layar ponselnya. “Teman. Dari Amsterdam.”
Nirmala iseng. “Teman atau teman?” godanya. Lalu Nirmala mencoba membuka akun Instagram cewek dengan username awalan Gina itu. Ternyata dia sejenis selebgram. Satu kata yang muncul di benak Nirmala, ‘coquette girl’. Postingannya Instagramnya benar-benar menunjukkan jika dia adalah sejenis cewek feminim yang mahal. Kalau salah satu teman Nathan orang kayak begini, tidak kebayang circle pertemanan cowok itu sebau sawit apa. (Baca: SArang duWIT)
Nirmala jadi insecure.
Kok bisa Nathan suka sama modelan Opet kayak dia? Padahal orang kayak Nathan gini bisa milih cewek lain yang lebih oke dari pada dia.
“Mala, You’re beautiful just the way you are.” Entah mungkin karena ekspresi Nirmala yang keliatan banget lagi merasa insecure, membuat Nathan tiba-tiba mengelus kepalanya. Cewek itu tersenyum tipis. Keluar dari aplikasi Instagram dan mengembalikan ponsel cowok itu.
“Thank you.”
* * *
Pernikahan Shayne dan Mima bertema outdoor. Berlokasi di antara pepohonan tinggi dengan tema warna putih yang mengingatkan Nirmala dengan pernikahan Edward and Bella di film Twilight.
Tidak ada dress code untuk para tamu undangan, namun karena Nirmala packing-nya dadakan dan tidak ada dress di lemari kosannya, adanya kebaya modern warna putih gading dengan rok span batik (bekas acara kartinian kemarin yang diadakan secara internal oleh para pegawai di kantor PSSI) akhirnya itu yang dia bawa. Beruntung beberapa tamu undangan ada beberapa yang mengenakan kebaya. Yeah, sekalian lah, memperkenalkan kebaya di hadapan banyak bule.
Nathan datang dengan setelan tuxedo hitam yang melekat sempurna di tubuhnya. Jangan ditanya gimana penampilannya, guanteng puoll. Meuni kasep pisan! Nirmala sampai malu kenapa dia gak menyempatkan diri buat beli dress modern di mall dekat hotelnya kemarin malam. Soalnya kalo jalan bareng Nathan dia berasa jadi seorang Nyai bersama Meneer-nya.
Kampreeet!
Tapi untungnya Nirmala bisa menahan rasa gengsi dan malunya hingga pertengahan acara. Sebab kini dia hanya duduk di kursi yang telah di sediakan seraya mengobrol dengan salah satu tamu undangan yang baru dia temui saat itu. Hitung-hitung dapet koneksi baru.
“Oalah, kamu orang PSSI? Kerja di bagian apa?” tanya seorang wanita yang kebetulan duduk di sebelahnya.
“Saya kerja jadi staf Koorlap. Yang bantu ngurus acara-acara penting PSSI. Khususnya Tim Nasional. Saya ke sini jadi perwakilan rekan-rekan saya yang berhalangan hadir. Kebetulan Shayne ngundang kita semua.”
“Hoalah. Seru ya kerjanya?” tanyanya.
Nirmala hanya tersenyum karir. “Kalo Ibu Manda kerja di mana?” tanyanya. Sepertinya wanita di sampingnya ini tipikal ibu-ibu karir yang sayang anak dan suami.
“Saya kerja jadi staf divisi administrasi di BRGM. Tau BRGM?”
Cewek itu terdiam. Dia bukannya tidak tahu. Tahu banget malah! “Badan Restorasi Gambut dan Mangrove? Wah, saya waktu kuliah pernah magang di sana Bu!”
“Walah! Seriusan kamu?” Bu Manda ikutan terkejut.
“Iya! Saya ikut program MSIB, Kampus Merdeka. Terus saya dapet wilayah penugasan di Riau bagian pelayanan masyarakat.”
“Wah, hebat kamu! Jurusan kelautan berarti?”
Lagi-lagi Nirmala tertawa karir. Wah, mangsa empuk sekali, nih. Ingatkan Nirmala untuk minta kontaknya nanti. “Iya, Bu.”
“Loh? Kenapa nyasar ke PSSI? Saya kira kamu lulusan komunikasi.”
“Hehe, nggak Bu. Kebetulan rezeki saya di sana.”
“Nanti kalau kamu mau pindah, kasih tau Ibu aja! Kadang kita suka buka lowongan. Cuma gak terbuka informasinya.”
Duh, nikmat mana yang kau dustakan?
“Hehe, siap Bu, Terima kasih.”
Lalu percakapan mereka terhenti saat Nirmala tersadar jika acara kini berlanjut ke sesi dansa. Para tamu undangan yang memiliki pasangan ikut bergabung berdansa beriringan dengan pengantin. Nirmala memperhatikan ke sekeliling, mencari sosok Nathan yang barusan melipir bergabung dengan teman-temannya.
“Kamu gak gabung? Ajak pacarnya sana!” ucap Bu Manda.
Pacar? Kayaknya wanita itu mengira Nathan pacarnya. Tapi kayaknya hampir semua orang ngiranya dia pacaran sama cowok itu. Meskipun hubungan mereka saat ini sulit untuk dijelaskan. “Ih, saya mah gak bisa dansa begituan, Bu. Ibu aja tuh, ajak suami,” balas Nirmala malu-malu.
Hingga kemudian, tiba-tiba Nathan beneran muncul dan menawarkan dirinya untuk berdansa dengannya.
“No, I can’t dance.” Nirmala menolak.
“It’s simple move. Just follow me,” ucap Nathan meyakinkan dirinya sembari memberikannya tatapan begitu tajam, dan dalam bercampur tulus menjadi satu.
Membuat Nirmala tergugu, dan akhirnya cewek itu luluh. Mengiyakan ajakan Nathan dan bergabung berdansa di depan deretan kursi.
“Just hold my hands and grab my shoulder. Follow my step with carefully.”
Nirmala melakukan apa yang Nathan katakan. Dia memegang tangan cowok itu, juga meletakkan tangannya di bahunya. Membiarkan Nathan memegang pinggangnya dan menuntunnya bergerak mengikuti alunan lagu. Ini pengalaman pertamanya berdansa seperti ini. Dia tidak pernah melakukan ini sebelumnya.
“You looks so gorgeous,” ucapnya, menatap Nirmala begitu dalam. Meneliti setiap inci wajah dara di hadapannya dengan penuh damba.
Sebagai balasan, Nirmala hanya tersenyum simpul. “So do you,” balasnya tidak mau ambil pusing. Soalnya kalo diseriusin yang ada dia malah butuh koyo nantinya.
“Mala, I start to think a lot about this.” Nathan kembali berbicara.
“Apa?”
“Can we be like them? Like Shayne and Mima?”
Mendengarnya, Nirmala meneguk ludahnya susah payah. Cewek itu ingin mengalihkan perhatiannya, namun entah kenapa matanya terasa terkunci pada iris hazel milik Nathan yang masih setia menatapnya dengan begitu intens.
“What do you mean?” tanya Nirmala, terdengar begitu retoris.
“I mean you and me settle down and live together. Forever.”
Hati Nirmala terasa seperti ada jarum yang menusuk. Kedua tangannya refleks menggenggam tangan dan bahu Nathan erat-erat.
Naith, itu terlalu jauh untuk dipikirkan.
“Why?” tanya Nirmala singkat. Sebab lidahnya mendadak terasa kelu.
“Cause someday, I wanna be the only one who takes you to Banda Neira.”
* * *
Note:
Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top