20. That Day

Genre: Family, sad.
Author: katsumi_rei

That Day
Enjoy~😆😆

HATCHUUUU!!

"Sungguh pagi yang indah ketika kau sedang menyantap makananmu dengan tenang dan damai, sampai pada akhirnya ada yang bersin dan mengenai sarapanmu." Ucap Akane dengan wajahnya yang badmood.

"Aah, memang pagi yang indah ya... Ditambah kalau itu makanan kesukaanmu." Sautku sambil menusuk daging yang telah siap disantap.

"Ya maaf lahya, lagipula kan hari ini dingin banget. Kalian pasti ngerti kan, dingin banget." Ucap Tatsu sambil mengusap hidungnya.

"Dingin sih, dingin ya. Tapi gausa sampe kena makananku juga kali, ya?"

Aku mengambil piring Akane dan memberikannya sisa makananku. Asalnya, aku mau mencegah mereka berdua agar berhenti bertengkar. Tapi, yaa lain cerita kalau lain reaksi.

"Yeay! Sudah kuduga Mika emang selalu dan akan pasti baik. Beda sama Mata Empat, ya?" Senyum Akane melebar.

Berbeda di lain sisi yang mulai mengerutkan dahinya, "tch, bocah. Dikasih makanan sisa aja mau."

"Hah?" Akane membalasnya dengan perempatan di dahinya.

Brak.

Aku memukul meja tidak terlalu keras. Tetapi, berhasil mengheningkan ruangan ini.

"Akane, kalau sudah selesai cuci piringnya. Semuanya. Aku mau ke kamar, bye." Aku melangkahkan kakiku dari ruangan itu menuju ke ruanganku.

"Kutarik kembali kata-kataku tadi. Kau tidak sebaik yang kuharapkan, Mika." Ucap Akane sambil meletakkan kepalanya di meja.

Aku menghentikan langkahku untuk sementara, "sampai aku mendengar kalian berdua di hukum karena hal sepele lagi, bersiaplah."

"U-um..." Meskipun pelan, aku bisa merasakan mereka mengangguk dengan perlahan.

Tap. Tap.

Huft. Aku menghela nafas pelan. Betapa lelahnya jika menghadapi mereka berdua ketika sedang bertengkar. Aku tidak mau jika disuruh melerainya dengan cara biasa. Mereka tidak akan mendengarkanku.

Tapi di sini, di asrama ini. Aku merasakan adanya kehangatan dari setiap orang yang melihatku. Meskipun tidak semua, tapi aku merasakannya. Tidak seperti tahun sebelumnya.

Aku berhenti sebentar di dekat jendela, dan melihat ke bawah. Hanya orang yang berlalu lalang bersama teman-temannya. Tidak sendiri.

"Hey, Mika!" Seseorang memukul punggungku pelan. Tapi tetap saja aku kaget.

"Siapapun kau, aku membencimu," Ucapku sambil menengok perlahan. "Meskipun kau..."

Ucapanku terhenti melihat orang yang tadi memukulku pelan. Astaga, apa yang kuucapkan tadi. Aku menyesal. Sangat menyesal.

"Kak Sharvon..." Kataku pelan sambil menatap ke lantai. Aah, dia merupakan satu dari sedikit orang yang tidak bisa kubenci  selain dua sahabatku, Akane dan Tatsu.

"Hehh... Sedih banget dibenci sama Mika. Jangan gitu dong. Aku kan kakak kelasmu yang cantik, baik, pintar, dan rajin menabung."

"Pede banget ya, kamu." Ucapku singkat sambil mengalihkan muka dan melanjutkan perjalananku ke kamar.

"Dih, malah pergi. Ikut lah yaa." Ujar Sharvon sambil berlari kecil mengejarku.

"Sorry, ga nerima tamu."

"Dih, gitu."

Aku menghentikan langkahku untuk yang keberapa kalinya, aku tidak tahu, "Goceng mau?"

"Ogah. Pelit banget sih, Mika." Kata Sharvon sambil mengembungkan pipinya.

"Aw, So(K) cute." Ujarku dengan ekspresi tidak ikhlas.

"Ikhlas dikit, gitu ya."

Tanpa disadari aku, maksudku kita sudah sampai di depan pintu kamarku, "goceng mau?" Ulangku lagi.

"Ogah Mika, ogah!" Jawab Sharvon lagi.

Brakkk.

Aku membanting pintu kamarku, dan langsung merebahkan diri di kasur tertjintah.

Huft. Hela nafasku sudah terdengar dua kali sampai saat ini. Baru saja memulai hari, sudah berkali-kali menghela nafas saja.

Kreek.

Pintu kamarku dibuka oleh Sharvon----begitulah tebakanku, "Mika lebih kejam dari pembunuhan." Ucap orang yang baru masuk itu.

"KYAAAAAAA! ADA ORANG MESUM MASUK KAMARKU!!" Teriakku dengan sengaja membuat orang-orang yang di luar menatap kamarku.

"MIKA APAAN BANGET, SIH? MESUM KOK NGOMONG MESUM!" Sesuai dugaanku, Sharvon.

"MANA ORANGNYA NGATAIN AKU MESUM LAGI!" Teriakku untuk yang kedua kalinya membuat orang-orang yang di luar mengerubungi kamarku.

BRAK.

Pintu kamar dibanting oleh Sharvon dengan sekuat tenaganya, karena tidak mungkin sampai membuat kaca bergetar sedikit kalau tidak sekuat tenaga. "MIKA! KITAKAN SAMA-SAMA PEREMPUAN. JANGAN MIKIR YANG ANEH-ANEH NAPA! ATAU JANGAN BILANG KAMU HODE?"

Aku punya satu pertanyaan di saat seperti ini, 'ini siapa yang bodoh?'

"Stop it, Sharvon." Ucapku sambil memincingkan mata.

"Beneran hode, kah?" Kata Sharvon.

"YA NGGA LAHYA, TERNYATA KAMU YANG BODOH YA, KAK!"

"MAKSUDNYA APA BILANG AKU BODOH?!"

Aku merebahkan diriku ke kasur lagi. Kayanya tadi aku yang gamau denger orang berantem. Kenapa aku jadi berantem, ya? Sama orang yang kaya gini lagi.

Huft. Aku menghela nafas lagi dan lagi, "di saat kaya gini tuh, aku jadi keinget sesuatu deh." Kata Sharvon.

Aku mengambil buku novelku yang berada di meja di samping kasur dan menaruhnya di atas mukaku, "ga tertarik, gamau tau."

"Meskipun ini hari ulang tahun ibumu?" Tanya Sharvon.

Glek.

Aku menelan ludahku sendiri, duduk dan bersender pada tembok.

Sharvon menduduki kasurku tanpa izin dariku. Tapi entah mengapa aku tidak mau mempermasalahkannya, "Mi---"

BRAKKK.

Sudah berapa kali pintu kamarku dibanting hari ini? "MIKA! SUMPAH! KALI INI YANG SALAH BUKAN AKU! INI SALAH AKANE!!"

"GAK MIKA, GAK! INI SALAH TATSU! DIA MECAHIN PIRING! TAPI AKU GATAU KITA BAKAL DIMARAHIN ATAU NGGA!"

"KALIAN APA-APAAN, SIH?! TIMINGNYA GAK PAS BANGET. ULANG LAGI, ULANG LAGI!" Kata Sharvon ikut-ikutan teriak.

Ada apa, sih? Otakku belum konek setelah Sharvon mengatakan kalimat yang tidak ingin ku dengar di hari ini.

"Mika langsung tablo," Kata tatsu sambil menaikkan kacamatanya. "Kamu sih, Cebol." Dan mengarahkan kalimat itu ke Akane.

"Apasih, Mata Empat?"

"Lah, aku dicuekkin?" Kata Sharvon kepada dua anak yang terus menerus bertengkar itu.

"Eh, ada kakak mesum." Kata tatsu.

"Eiya, hai kakak mesum." Kata Akane menambahkan.

Tunggu, tunggu. Di saat seperti ini, kakak mesum itu bisa saja menghilangkan jabatan mesumnya.

"KYAAAAAAA! ADA COWOK MESUM MASUK KAMARKU!!" Seketika mereka bertiga membungkam mulutnya masing-masing. Dan pejalan di luar langsung menatap ke arah kamarku.

"EIYA!!!! ADA COWOK MESUM MASUK-MASUK KAMAR CEWEK!!" Teriak Akane membantuku.

BRAK.

"DIAMLAH KALIAN PARA PENYIHIR TERKUTUK." Kata Tatsu dengan membanting pintunya.

"Krik banget..." Sharvon menambahkan suasana.

"Ngeselin banget sih, kalian." Tatsu langsung membanting dirinya ke kasurku.

"Pergi." Aku mendorongnya sehingga ia terjatuh dari kasurku.

Tatsu berdiri, dan merebahkan diri di kasurku lagi. Dasar optimis.

"Sebenarnya, apa visimisi kalian datang ke kamarku?" Tanyaku kepada mereka bertiga.

"Gaada alasan khusus, selain menghilangkan kegabutan yang dilanda saat free day." Jawab Tatsu sambil mengambil buku novelku yang kupegang.

"Perlu aku bilang ke kepala sekolah biar gaada free day?" Tanyaku lagi.

"Goceng perhari, baru boleh." Jawab Akane.

"Bisa kalian pergi dari kamarku?" Tanyaku untuk entah yang keberapa kalinya.

"Gak." Jawab mereka serempak.

"Tadi lagipada ngomongin apa?" Tanya Akane.

Aku langsung menatap kasurku yang berawal rapi, sampai akhirnya ada pengacau yang datang.

"Hari ini ulang tahun ibunya Mika, kan?" Tanya Sharvon sambil tersenyum sedikit.

Hening. Tidak ada yang berkata satupun lagi. Tatsu yang awalnya membolak novel, langsung menghentikan kegiatannya.

Aku sendiri langsung teringat waktu kejadian di hari itu. Setahun sebelum aku berada di sini. Dan setahun sebelum kepercayaanku kepada ayahku memudar.
***********

"Ibu, ibu..." Panggil anak yang memegang erat buku yang entah apa isinya dengan baju biru muda yang terlihat cocok dikenakannya.

"Ada apa, sayangku?" Wanita yang dipanggil ibunya itu menoleh dan mengangkat anaknya ke pangkuannya.

"Ibu, lihat ini," anak itu sibuk membolak-balik lembaran buku yang dipegang erat olehnya, "cokelat ini terlihat enak, bu. Aku mau ibu membuatkannya untukku!"

"Yang mana, sayangku?" Wanita itu mengambil buku yang sedari tadi dipegang erat oleh anaknya.

Wanita itu terkekeh kecil, "Bagaimana kalau kita yang membuatnya? Ibu dan Mika."

Anak yang dipanggil Mika itu mengangguk dengan semangatnya.

"Um! Ayo ibu, sekarang!" Mika langsung turun dari pangkuan ibunya dan menarik-narik ibunya untuk bersegera.

"Oke, oke. Jangan sesemangat itu, Mika."

"Heeh? Mengapa tidak boleh?"

"Tidak apa. Nanti kalau sudah jadi, kita berikan ke ayah, ya?" Kata ibu itu sambil tersenyum.

"Tapi aku yang mau makan, ibuu." Jawab anak yang bernama Mika itu.

"Mika tidak mau berbagi dengan ayah? Mika pelit hayoo." Kata ibu itu dengan senyumannya lagi.

"Haduhh, punya anak kok pelit banget, ya?" Suara yang terdengar jelas bukan untuk perempuan tercampur dalam percakapan tersebut.

"Ayah!" Mika sedikit kaget.

"Tapi, aku mau makan cokelatnya. Aku ngga mau ngasih ke Ayah. Soalnya, ayah kemarin kan janji hari ini mau beliin es krim. Tapi, ayah ngga ngasih ke aku sampai sekarang." Lanjut Mika sambil mempoutkan bibirnya.

"Oh ya? Maaf deh kalau gitu." Jawab lelaki yang dipanggil ayah tersebut sambil mengelus rambut Mika.

"Huh." Mika berlari sambil mengeratkan pegangannya pada buku itu.

"Bapak sama anak sama aja pelitnya, ya?" Kata ibu itu sambil tersenyum.

"Oh ya? Kita lihat saja." Jawab ayah itu.

Kreek.

Mika membuka kulkas dan mengambil bahan-bahan yang diperlukannya, seperti coklat, gula, dan kawan-kawannya.

"Mika yakin tidak mau memberikan coklat ini ke ayah?" Tanya ibu sambil mengenakan celemeknya.

"Um! Aku yakin dan sangat yakin dari dalam hati!" Jawab Mika dengan semangatnya.

"Hahah, untung ibu ngga ikutan pelit, ya?" Jawab ibu.

Di lain tempat, lelaki yang dipanggil ayah tadi itu duduk di kursi yang masih sangat terjamin kualitasnya sambil menatap ke arah catur yang dimainkannya, "sama-sama pelit, ya?"

"Hmph, jangan membuatku tertawa, Shiori. Sungguh, kau wanita yang baik. Kau terlalu baik sampai menghalangiku untuk memanfaatkannya," Entah kepada siapa dia berkata tetapi apapun yang dia katakan pasti ada maksud tersendiri.

"Jangan menghalangiku melakukan itu, Shiori. Dia anak kita satu-satunya. Dan tidak ada lagi yang bisa diharapkan darinya selain melanjutkan perusahaan kita."

Tak.

Skakmat. Tamatlah sudah permainan yang ia mainnya sendiri.

"Akhirnya selesai juga." Kata ibu itu sambil merenggangkan badannya.

"Ibu mengapa bikin 3 cokelat? Ini kan buatku dan ibu saja." Kata Mika.

"Kalau Mika tidak mau memberikannya ke ayah, biar ibu saja yang berikan." Entah mengapa setelah melihat ibunya tersenyum, Mika juga ikut tersenyum dengan senyuman hangatnya.

Kreek.

Mika membuka pintu dimana tempat ayahnya bermain catur tadi sambil membawa cokelat-cokelat yang ia buat bersama ibunya.

Di sana sudah ada ayahnya bersama caturnya dan segelas besar es krim yang diinginkan Mika.

"Es krim!!!" Teriak Mika.

"Eits. Cokelat untuk ayah mana?" Tanya ayah sambil menyambar es krim yang baru saja ingin diambil oleh Mika.

"Wah, ada es krim. Sayang banget, tadi Mika udah bilang gamau ngasih cokelat ini ke ayah, ya? Kalau begitu, es krimnya untuk ibu!" Ibu mengambil cokelat yang dibawa Mika dan memberikannya ke ayah.

"Oh, sayang banget. Padahal ayah mau ngasih es krim ini ke Mika. Sayangnya, ibu yang mau ngasih cokelat ke ayah, ya? Jadi ibu yang dapet es krimnya, deh." Ayah mengambil cokelat yang diberikan ibu dan memberikan es krim itu ke ibu.

Mika yang melihat kejadian itu langsung syok di tempat.

"Bercanda kok Mika, bercanda..." Kata ibu memberikan es krim itu ke Mika.

"Asikkkk, dapet es krim!!! Padahal aku lagi pelit ke ayah, tapi ayah baik ke aku! Aku sayang ayah!" Kata Mika sambil melompat dan memeluk ayah kesayangannya itu.

"Tapi, ayah sayangnya sama ibu." Kata ayah dengan nada bercanda.

"Dan ibu sayangnya sama Mika." Ibu menjulurkan lidahnya ke ayah.

"Yaudah, Mika sayangnya sama ibu aja! Biar gaada yang sayang sama ayah!" Kata Mika masih memeluk ayahnya tapi ditambah dengan mempoutkan bibirnya.

"Gadeng, bercanda..." Kata ayah sambil terkekeh pelan dan membalaskan pelukan anak semata wayangnya.

"Kalau kalian begitu terus, ibu makan duluan, ya?" Tanya ibunya dengan nada yang sangat terdengar jelas kalau mengatakan ia jealous.

"Wah, Mika. Ada yang cemburu tuh." Kata ayah sambil menunjuk ke arah ibu.

"Aku juga sayang ibu, kok!" Kata Mika yang langsung berlari ke arah ibunya dan memeluknya.

"Enak." Di saat yang seperti itu, ayah mengatakan satu kata yang tidak terduga oleh Mika dan ibu.

Mengapa? Karena jika ada makanan seenak apapun itu, ayah tidak akan memujinya. Terkesan seperti orang pelit, bukan? Memang benar.

"Wah, ayah curang! Ayah makan cokelatnya duluan! Aku kan juga mau!" Kata Mika melepaskan pelukan dari ibunya dan duduk di kursi, langsung menyantap cokelatnya.

Ibu yang melihat itu tersenyum, dan memakan ujung cokelatnya.

Para maid yang mendengarkannya dari luar ikut terseyum. Mungkin mereka senang melihat sang pemilik rumah senang dan bahagia bersama.

Uhuk. Uhuk.

Suara batuk yang terdengar dari sangat kecil, menjadi perhatian ayah dan Mika yang sedari tadi debat hal yang tidak terlalu penting.

"Ibu?" Tanya Mika pelan.

Bruk.

Kejadian yang membuat seisi kediaman itu syok di tempat. Termasuk ayah dan Mika. Ya, ayah pun termasuk.

Kreek.

Suara pintu dibuka. Bukan pintu ruangan rumah sakit, melainkan pintu kamar tuan rumah.

----Sepertinya dari awal ayah sudah tahu tentang penyakit ibu, dan ayah tidak mungkin membawa ibu ke rumah sakit. Maka dari itu, ayah memilih untuk memanggil dokter ke rumahnya.----

Dokter yang keluar dari ruangan sang pemilik rumah itu berkata kepada ayah, "keadaan ibu shiori sekarang sudah membaik. Tetapi, kita tidak bisa mempastikan untuk kedepannya."

"Pak dokter, tapi kita boleh masuk kan?" Tanya Mika dengan ekspresi khawatir.

Dokter itu mendekati Mika, "jangan khawatir, nak. Ibumu sudah membaik, kok. Tetapi, untuk saat ini kamu belum boleh masuk. Maaf, ya?"

"Terima kasih, pak dokter." Jawab Mika dengan lesu.

Mika langsung beranjak ke kamarnya dan membanting diri di kasur.

"Ibu..." Ucap Mika pelan dengan nada yang lirih.

Minggu-minggu berlalu. Ini saatnya yang Mika sangat tunggu-tunggu, yaitu melihat ibunya.

Kemarin dokter berkata ke Mika bahwa dia baru bisa melihat ibunya hari ini. Tetapi, ia tidak boleh sedih saat di depan ibunya. Begitulah pesan dari dokter.

"Hm. Aku siap!" Kata Mika di depan pintu kamar orang tuanya, menyemangati dirinya agar tidak sedih saat melihat ibunya sendiri.

Mengetuk pintu dan masuk ke kamar. Terlihat ibunya yang duduk diatas ranjang sambil membaca buku entahlah buku apa.

"Ibuuu!" Mika berlari menghampiri ibunya dan memeluknya.

"Mika! Ibu udah kangen, nih!" Kata ibu sambil membalas pelukan putrinya.

"Ibu aja kangen, apalagi aku!" Ucap Mika sambil mengeratkan pelukannya. Mungkin ia bisa saja menangis karena melihat ibunya yang terlihat berat badannya mengurang.

"Ibu jadi ingin makan cokelat, nih. Cokelat waktu itu enak banget, sih. Ngeliat Mika jadi keinget, kan." Kata ibu sambil terkekeh pelan.

"Iyalah! Kan yang buat cokelatnya aku! Pasti kalo ibu ngeliat aku langsung keinget cokelatnya." Kata Mika dengan bangganya.

"Oh ya? Ibu kira yang membuat cokelat itu ibu. Bukannya Mika cuma mencetaknya doang, ya?" Kata ibu dengan nada sedikit mengejek.

"Tapi kan—"

Tok. Tok.

"Ibu shiori, dokter mau bertemu dengan anda lagi." Kata salah satu suster yang ikut mengurus ibunya.

"Yaah, aku kan mau ngobrol banyak lagi sama ibu." Kata Mika dengan ekspresi sedih.

"Kita ngobrol lain kali lagi, ya? Mika jangan lupa belajar, jaga kesehatan juga, ya?" Kata ibunya sambil mengecup kening anaknya.

"Padahal akhir-akhir ini aku jadi juara satu di kelas mulu." Kata Mika sambil mempoutkan bibirnya dan melambaikan tangan ke ibunya.

"Oh ya? Selamat kalau begitu." Ibu membalas lambaian anaknya.

"Makasih, bu."

Bulan-bulan berlalu. Mika semakin jarang bertemu ibunya sejak saat itu. Jarak mulai memisahkan mereka. Mika sudah menjadi anak SMP kelas 2 dengan terus mendapatkan peringkat satu di kelasnya.

Tanpa disangkanya, hari ini ia bisa bertemu dengan ibunya setelah sekian lamanya.

"Hm. Aku siap!" Kata Mika di depan pintu kamar orang tuanya, menyemangati dirinya agar tidak sedih saat melihat ibunya sendiri.

Ia terkekeh sendiri karena ia teringat kalau ia melakukan hal ini juga ketika hari itu. Hari dimana ia masih bisa bertemu dengan ibunya dan tidak merasakan hal yang sangat sangat berbeda.

Seperti biasa, mengetuk dan membuka pintu kamar orang tuanya. Dan melihat ibunya di ranjang dengan alat-alat----

Tunggu. Hari ini mungkin berbeda. Ia tida melihat alat-alat yang biasa dipakaikan ibunya. Tidak satupun. Ia hanya melihat alat rumah tangga yang seharusnya berada di kamar dengan ibunya di atas ranjang sambil membaca buku.

"Mika?" Sapa ibunya yang sangat-sangat kurus.

"Ibu?" Mika berjalan mendekati ibunya dan duduk di ranjang orang tuanya.

Kreek.

Pintu dibuka. Terlihat lelaki gagah di ambang pintu. Ya, ayahnya.

"Mika." Sapa ayahnya.

"Hai, yah..." Balas Mika.

"Bisakah kau keluar sebentar? Ada hal yang ingin ayah bicarakan dengan ibu." Tanya ayahnya sambil mendekati ranjangnya.

"Hehh? Padahal aku belum berbicara dengan ibu? Sebentar saja ya, yah?" Mika berdiri dan menghadap ayahnya.

"Beri kami waktu 15 menit." Kata ayah.

Mika mengambil smartphone dari kantungnya dan memencet fitur jam, "15 menit dari... Sekarang."

"Dasar pelit." Kata ayah.

"Tidak, kalian sama-sama pelit." Ibu terkekeh kecil.

Mika memang tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tetapi, ia sempat mendengar kalau ibunya berkata, "jangan terlalu memaksakan Mika, yah." Seperti itu.

Kriiing.

15 menit berlalu. Mika mengetuk dan masuk ke dalam kamar.

"Mika, ibu ingin kamu menjadi yang terbaik dari yang terbaik." Kata ibu tiba-tiba.

"Ibu?" Tanya Mika dengan heran, sangat heran.

Ibu terus mengatakan pesan-pesan seperti ibu ingin meninggalkannya.

Di lain sisi, Mika terus heran sampai akhirnya ia tersadar sesuatu. Alat-alat untuk penyakit ibu.

Mengapa ia baru terpikirkan sekarang? Sebodoh itukah dia? Tidak mungkin.

Uhuk. Uhuk.

Ibunya terbatuk keras sampai mengeluarkan darah. Mika panik. Dan ayahnya juga ikut panik.

"Ibu mau Mika masih terus mengigat ibu...—UHUK UHUK!"

"IBU!"

"Dan jangan lupakan tentang cokelat di waktu itu."

Pesan terakhir ibu masih terngiang di kepala Mika sampai saat ini, saat dimana hal-hal yang benar-benar tidak diinginkan.

"Mengapa kau masih saja terus mendapatkan nilai 94 di pelajaran sosial?" Tanya ayah saat jam makan malam selesai. Tetapi, Mika dan ayahnya masih berada di ruangan itu.

"Maafkan aku, yah." Jawab Mika sambil menundukkan kepalanya.

"Sudah berkali-kali ayah bilang, ayah tidak bisa memaafkanmu jika kamu terus mendapatkan nilai di bawah 100."

"Aku sudah mencobanya, biarkan aku berusaha lebih keras lagi."

"MIKA! Jangan membuatku tertawa. Ini sudah yang keberapa kalinya?" Kata ayah sambil sedikit berteriak di kata Mika.

"2 kali di minggu ini." Jawab Mika masih terus menunduk.

Ya, sifat ayahnya berubah 180°. Bisa dipastikan bahwa Mika sudah lelah berada di posisinya. Dengan ayahnya yang terus mengkekangnya dan memarahinya terus menerus.

"Apa kau tidak lelah mendapatkan nilai segitu? Mana usahamu Mika? Tunjukkan!" Ayah mulai memarahinya semenjak ibunya telah tiada.

Mika tidak mengerti mengapa ayahnya bisa menjadi seperti ini. Apakah ayahnya butuh calon penerus yang lebih baik darinya? Memangnya hal itu harus ditunjukkan dengan kekerasan seperti ini?

Muka Mika memerah dia berjalan ke arah pintu tanpa memerdulikan ayahnya yang terus memarahinya.

Brak.

Ayahnya menyandungnya saat ia berjalan. "Di mana sopan santunmu? Dengarkan saat orang lain berbicara, Mika!"

Brak.

Mika meninju pintu ruang makan. Entah apa kabar tangannya saat ini, yang pasti ia kesakitan.

"SUDAH YANG KEBERAPA KALI AYAH MEMARAHIKU DI HARI INI? AKU LELAH, YAH! MENGAPA AYAH TERUS MEKEKANGKU SEPERTI INI? DI MANA KEPRIBADIAN AYAH SAAT MASIH ADA IBU?!" Teriak Mika.

Plak.

"Kau sudah mulai berani bersikap seperti itu pada orang tuamu sendiri ya? Apa maksudmu berkata seperti itu?" Ayah mulai murka.

"ORANG TUA? DIBANDINGKAN ORANG TUA, KAU TERLIHAT SEPERTI POLISI YANG KEKURANGAN BURONAN BAGIKU!" Mika keluar membanting pintunya. Dia sudah sangat muak.

Mika keluar dari rumah itu dan berlari menuju rumah tantenya yang dekat dari situ. Ia sudah tidak berani lagi kembali ke rumah.

Mungkin kalau Mika balik ke rumahnya, ia akan terpanggang oleh ucapan ayahnya dan entah apa yang akan dilakukan ayahnya kepadanya.

Tantenya tidak akan mungkin bisa merawatnya terus menerus. Dan ia telah mendapatkan izin dari ayahnya untuk melakukan hal apa saja sepuasnya. Lebih terdengar jika ayahnya sudah tidak peduli lagi.

Sejak saat itu, Mika sudah lupa caranya merasakan kehangatan dan kasih sayang dari orang-orang yang ia sayangi.

Tetapi, ia terus mengingat kata kata yang membuatnya hangat setiap ia mendengarnya, "cokelat yang kita buat bersama itu enak banget, kok."

Siapa lagi kalau bukan dari ibunya?
*********

Aku menatap langit-langit kamar, seseorang menjentikan jarinya di depanku.

"Yang bengong, mati." Begitulah katanya.

Hah? Mati?

"Apasi?!" Kataku dengan nada sedikit marah.

"Kau tidak mau pergi?" Tanya Sharvon kepadaku.

Aku menunduk.

Entah ada angin darimana, aku berjalan menuju laci di meja belajarku, mengambil dua buah kotak berwarna putih. Dan langsung berlari dengan tujuan entah kemana.

Badanku hari ini sangat sok tau, ya?

"Hei, Mika!" Teriak Tatsu.

Aku tidak tahu, tapi sepertinya diantara Akane dan Sharvon menahannya.

Aku berlari dan terus berlari. Entah mengapa air mataku mengalir dengan derasnya. Aku tidak tahu mengapa badanku bisa bergerak tanpa sepengetahuanku. Mungkin ini yang dinamakan reflex.

Tubuhku berhenti di suatu pemakaman konglomerat. Aku seperti tahu ini, tapi aku merasa bersalah karena aku melupakan ini.

Aku masuk ke dalam dan entah mencari apa. Aku berhenti tepat di depan batu nisan yang bertuliskan Amaru Shiori. Aku terududuk air mataku mengalir dua kali lebih deras dibandinkan saat tadi aku berlari.

Aku menaruh salah satu kotak putih yang tadi kubawa, "semoga ibu menyukainya." Kataku sambil tersenyum. Aku menatap kotak yang satu lagi.

"Mika?" Suara yang sudah lama tidak kudengar. Aku ingin mendengarnya, tetapi aku terlalu takut untuk mendengarnya.

Aku mencoba menoleh perlahan. Ayah? Ya, itu ayahku itu ayahku.

"A-Ayah?" Aku mencoba memastikan. Seketika aku langsung berdiri dan mundur beberapa langkah.

"Mika." Kata ayahku.

Aku menunduk dan menjawab dengan ragu-ragu, "ya?"

Aku menaruh kotak putih yang kubawa tepat dibawahku. Dan aku mundur beberapa langkah lagi untuk yang kedua kalinya.

"Untuk ayah?" Tanya ayahku dengan suara yang lembut.

Aku diam. Ayahku mengambil kotak itu dan membukanya, "cokelat? Untuk ayah? Kau membuatkannya?"

Aku mengangguk ringan dan menjawab, "ke-kemarin... Aku membuatkannya untuk ibu. Ta-ta-tapi, sisa cokelatnya masih bisa dibuat satu cokelat lagi. Aku tidak mau, jadi aku membawa dua-duanya ke sini."

"Kau punya teman, kan? Mengapa kau tidak memberikan kepada mereka?" Tanya ayah.

"I-i-itu..."

"Mmmm, enak. Gapapa deh, untungnya kamu gak kasih ke temanmu. Ayah beruntung datang ke sini, ya?" Ucap ayah dengan nada yang sedikit senang. Membuatku ikut senang.

"Ya, pastilah. Kan buatanku. Pasti enak."

"Pede bener." Kata ayah sambil sweatdrop. "Oiya, ayah mau nanya."

"Gaada pertanyaan untuk bapak-bapak pelit." Jawabku.

"Pelit ngomong pelit." Saut ayah.

"Temen kamu itu stalker, ya? Gabaik loh." Tanya ayah sambil menunjuk ke araah pohon.

Ketika aku melihatnya, memang benar ada Akane, Tatsu, dan Sharvon yang sedang melihat ke arah kita berdua.

"Ohh, itu bukan temenku. Biasa fans." Jawabku sambil menyeringai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top