16. Flower Bouquet and Chocolate

Genre : Romance, drama

Author : Ryze95

Flower Bouquet and Chocolate

Buket bunga pengantin,

Siapa yang tidak tahu mitos dibalik acara lempar bunga pengantin yang biasanya dilakukan oleh seorang pengantin wanita setelah pesta pernikahan selesai?

Pengantin wanita akan membalikkan badan dan mulai melemparkan rangkaian bunga kearah tamu undangan, lalu para tamu yang belum menikah akan berlomba untuk mendapatkan rangkaian bunga tersebut.

Menurut mitos yang beredar, siapa saja yang dapat menangkap rangkaian bunga tersebut, maka akan segera mendapatkan seorang kekasih dambaan hatinya.

Kannagi Koyuki,

Satu tahun yang lalu, pada saat menghadiri acara pernikahan salah satu sahabat terbaiknya, dia mengalami kejadian tak terduga.

Gadis itu menangkap buket pengantin yang dilemparkan oleh mempelai wanita, dan entah suatu kebetulan atau bukan, seorang pria yang berdiri disampingnya pun ikut memegang buket bunga yang sama.

Saling menoleh dan bertatapan satu sama lain, mereka berdua sama-sama terkejut bukan main.

Jadi apakah mitos ini berlaku untuk mereka? .
.
.
Musim dingin, 10 Februari

Orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar jalan masih mengenakan mantel tebal dan berbagai jenis pakaian untuk menghangatkan tubuh mereka dari cuaca dingin yang masih menyelimuti kota Tokyo.
Uap udara yang terbentuk dari helaan nafas mereka menunjukkan bahwa suhu di luar sana belum menghangat, dan bagi sebagian orang mungkin cuaca seperti ini adalah alasan yang pas untuk tidak keluar rumah.

Manik mata secerah langit musim semi itu memandangi lalu-lalang orang-orang dari lantai dua sebuah café sederhana dengan gaya—memadukan toko bunga, cake dan teh sehingga menghasilkan sebuah café layaknya taman bunga indoor yang sedang ramai oleh pengunjung di dekat stasiun Omotesando. Menyandarkan tubuh nya pada pinggiran meja sambil menyesap secangkir coklat panas, gadis itu terus memandangi orang-orang dibawah sana dari jendela kaca.

“Koyuki…”

“Koyuki!!...”

“Koyuki!!! Hoy, apa kau mendengarku?!”

Koyuki menoleh kearah asal suara, lalu menghela nafas lelah, “Kukira siapa, ternyata kau Hime…” ucapnya malas.

“Berhenti memanggilku dengan sebutan memalukkan itu!” jawab gadis bernama asli Higuchi Meiko itu dengan sedikit kesal.

Koyuki meletakkan cangkir coklat panas yang kini isinya telah habis di pinggir meja, “Jadi, ada apa kau kemari?”

“Kau ingat acara reuni SMA kita kan? Si ketua kelas meminta kita untuk menjadi panitia, dan sekarang dia sudah berada di bawah bersama dengan yang lain,” Meiko memicingkan matanya penuh selidik, “Jangan bilang kau lupa dengan rencana itu!”

Koyuki menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal, sehingga rambut panjangnya yang menjuntai hingga menutupi punggung dan tertata tidak rapi itu semakin tidak jelas bentuknya, “Lagipula untuk apa aku ingat, toh tidak ada untungnya sama sekali bagiku. Paling hanya acara berkumpul dan saling bernostalgia.” Ujarnya malas.

Meiko sudah tidak aneh dengan sahabatnya yang satu ini, dia memang sering kehilangan mood jika dia tidak menyukai topiknya. Terlebih lagi dia ingat jika Koyuki kurang menyukai suasana jika disana ada Keito. Kejahilan muncul tiba-tiba dalam benak Meiko, “Hmmm, apa mungkin seorang Koyuki tidak mau menghadiri acara reuni ini hanya karena akan ada seorang Kanzaki Keito?”

Wajah Koyuki berubah semakin masam, “Siapa juga yang takut pada dia, hah?!”

“Kalau begitu, ayo turun!” Meiko meraih tangan kanan Koyuki dan menyeretnya untuk keluar dari ruangan pribadinya. Dengan setengah hati, Koyuki mengekor dibelakang Meiko.

Tidak sampai lima menit, kedua gadis itu kini telah menginjakkan kakinya dilantai dasar café dimana para tamu café sedang memenuhi kursi-kursi yang telah disediakan dengan beberapa pelayan yang mondar-mandir mengantarkan pesanan para tamu. Meiko mencari sosok si ketua kelas bernama Miyamoto Sora, dan pandangannya berhenti disatu titik, diujung ruangan, bersama dengan seorang pria berwajah tampan yang dia kenal. Setelah melihat wajah pria yang duduk disamping si ketua kelas, Koyuki terperangah melihat pria itu.

Meiko dan Koyuki menghampiri mereka dan duduk dikursi kosong berhadapan dengan mereka, “Maaf menunggu lama, Sora, Keito…” ujar Meiko sembari menatap mereka berdua bergantian, “Lalu, bagaimana acara reuni kita?”
“Hmmm, bukannya panitia ada sepuluh orang? Kenapa hanya kalian yang datang?” tanya Koyuki.

“Mereka ada urusan lain, jadi hanya kami yang datang.” Jawab Keito.
Koyuki manggut-manggut.

Sora mengeluarkan susunan acara yang sudah tercetak diatas kertas lalu memperlihatkannya pada Koyuki dan Meiko, “Tema reuni kita adalah kenangan manis masa muda, berhubung reuni nya tanggal 14 Februari yang bertepatan dengan hari valentine, di akhir acara kita bertukar coklat, bagaimana menurut kalian?” ujar Sora berapi-api, “Yang lain juga setuju dengan konsep ini.” tambahnya.

Koyuki membaca satu-persatu daftar acara yang diberikan oleh Sora, “Aku setuju dengan konsep nya, bagaimana Hime?” Koyuki melirik Meiko.

“Aku juga setuju, tinggal sekarang membagi tugas kan?” ujar Meiko manggut-manggut.

“Untuk pembagian tugas, Sora sudah menyiapkannya.” sahut Keito.

“Lalu?” tanya Koyuki.

Sora tersenyum bangga, “Untuk pembagian undangan, aku sudah minta tolong pada Takahashi dan Nobuhiko dan mereka setuju. Lalu untuk dokumentasi diurus oleh Maruyama dan Akane, penata acara oleh Sayuri dan Rika konsumsi Meiko dan aku dan yang terakhir…”

Sora menatap Koyuki dan Keito bergantian, “Koyuki dan Keito, kalian di bagian peralatan dan mengurus tempat reuni!”

Jawaban spontan keluar dari mulut Koyuki, “Aku? Pengurus acara? Bersama dia?” tunjuk Koyuki pada Keito, raut wajahnya berubah semakin masam, “Jangan bercanda! Acaranya empat hari lagi, dan kita belum menemukan tempat untuk reuninya?”

Sora menganggukkan kepalanya, “Itu karena biaya sewa tempatnya terlalu mahal.” Sora tersenyum pahit.

Koyuki memijit dahinya dan mengangguk lemah, “Jam berapa reuni-nya?”

“Mungkin sekitar jam 5 sore sampai 10 malam.” Jawab Keito.

“Kalian bisa memakai café-ku untuk acara reuni, mungkin aku akan tutup agak cepat…” Jawab Koyuki setengah hati, “Yang penting siang hari, coklat-coklat valentine itu sudah terjual.” Gumamnya.

Sora kegirangan, “Kalau begitu, aku minta ID Line-mu, akan kutambahkan kalian ke grup panitia reuni.” .
.
.
“Koyuki, ayolah… berhenti berwajah menyebalkan seperti itu!” rajuk Meiko pada Koyuki yang sejak tadi terus-menerus berwajah masam.

Koyuki berdiri dari sofa, lalu meraih mantel berwarna merah marun yang tergantung dibelakang pintu ‘kantor pribadi’ café miliknya, “Hime, mau ikut makan ramen?” tanyanya dengan wajah datar.

Meiko mendesah pelan, jika Koyuki tidak ingin membahas suatu hal yang tidak disukai olehnya pasti dia akan mengalihkan pembicaraan seperti itu dan Meiko sudah mengerti sifat gadis itu sejak dulu, itu karena dia adalah sepupu sekaligus sahabat Koyuki yang paling dekat, bahkan rumah mereka bersebelahan.

Meiko mengangguk dan tersenyum, “Asal kau traktir, itu tidak masalah. Aku mau ramen miso ukuran jumbo dan secangkir ocha.”

“Kau membuat bangkrut!” keluh Koyuki.

“Kau pimpinannya kan? Aku yakin kau tidak akan bangkrut jika mentraktir manager-mu sendiri.” Jawab Meiko sambil mengedipkan sebelah matanya.

Koyuki terkikik geli, “Kalau begitu, ayo! Sebelum pulang kita mampir ke kedai ramen, berhubung cuacanya semakin dingin, aku ingin makan yang hangat-hangat.”

Walaupun malam hari, dikota Tokyo masihlah ramai seperti disiang hari, orang-orang masih berlalu-lalang disekitar distrik Shinjuku. Yang membuat berbeda hanyalah langit yang berubah menjadi gelap dan banyaknya lampu neon beraneka warna yang memancarkan cahaya nya dari gedung-gedung seakan ingin menyaingi cahaya bintang-bintang diangkasa, juga lampu jalanan yang menuntun para pejalan kaki dalam menjelajahi jalanan di distrik ini. Suasana pertokoan yang ramai dan kedai-kedai makanan yang berjajar rapi dipinggir jalan raya menjadi tempat persinggahan para pejalan kaki untuk sekedar menghangatkan tubuh mereka dari udara musim dingin yang terasa menusuk kulit.

Disalah satu kedai, Koyuki dan Meiko sedang duduk meja dekat jendela menunggu pesanan mereka datang, menikmati pemandangan kota dibalik kaca jendela dengan secangkir ocha yang menghangatkan tubuh.

“Koyuki, kenapa kau masih membenci Keito?” tanya Meiko penasaran.

“Bukan benci, tapi tidak suka.” Koyuki menatap Meiko, “Kau ingat kan, dulu aku pernah adu argumen gara-gara sebuah coklat dengannya?”

Meiko mengangguk, “Kalau tidak salah, itu karena dia menolak coklat pemberian seorang gadis dengan cara membuangnya ke tempat sampah tepat didepan mata gadis itu kan?”

“Setidaknya, hargailah pemberiannya. Tidak masalah jika pada akhirnya dia tidak memakan coklat pemberian gadis itu.” Koyuki menyesap pelan ocha-nya, “Cara menolak coklatnya itu sungguh menjengkelkan.”

Meiko tersenyum simpul, “Kalau dipikir-pikir, gara-gara coklat kalian jadi saling bertegur sapa—”

“Lebih tepatnya cekcok.” Potong Koyuki, "Dan akhirnya aku memukulnya tepat diwajah." Tambah Koyuki sambil meringis.
Meiko tersenyum, “Apa kau sadar Ko? Keito jadi lebih sering memerhatikanmu loh?”

“Tidak mungkin.” Jawab Koyuki datar.

“Setidaknya hampir dua kali dalam seminggu dia selalu mampir untuk makan siang di café, lalu dia juga sering mencuri pandang kearahmu jika kau sedang sibuk menata cake di lemari kaca.”

“Mungkin kau salah lihat Hime.”
Meiko menggoda Koyuki, “Hmmm, apa mungkin ini kutukan buket bunga pengantin ya?” ujarnya sembari meletakkan jari telunjuk di dagunya seakan sedang berpikir.

Koyuki melirik Meiko tajam, “Hentikan Hime! Aku tidak suka jika kejadian itu kau ceritakan lagi.”

Koyuki mendesah sebal. "Lagi pula itu hanya mitos!"

“Hati-hati loh, nanti kau bisa jatuh cinta padanya.” Meiko terkikik geli, "Dan kutukan itu bukan mitos lagi."
“Terserah.” .
.
.
Ruangan pribadi lantai 2 café, 12 Februari

“Yo!” Sapa Keito dengan senyuman yang membuat wajah tampannya semakin tampan, namun bagi Koyuki senyuman itu tidak berpengaruh sama sekali, gadis itu tetap dalam wajah datarnya, dengan mata birunya yang menatap pria itu dengan tatapan sebal.

“Kita akan berangkat sekarang?” tanya Koyuki to the point.

Keito menganggukkan kepalanya, “Kau tidak sibuk, Ko?” tanyanya. Koyuki meraih mantel merah marunnya lalu mengenakannya, rambutnya yang bergelombang dan tidak tertata rapi itu dia ikat ekor kuda, dan hari ini gadis itu mengenakan kacamata dengan lensa lebar dengan frame hitam, Keito menatap gadis itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

Merasa diperhatikan, Koyuki segera melirik Keito, “Kenapa melihatku seperti itu?” dengusnya sebal.

Keito mengelus tengkuknya dan mengalihkan pandangannya kearah lain, “Aku tidak tau kalau kau memakai kaca mata.”

“Oh, aku kurang tidur.” Koyuki menaikkan kaca matanya, terlihat lingkaran hitam dibawah matanya yang berwarna biru, “Lihat! Mata panda.”

Keito menatap iris mata Koyuki yang bisa dibilang sedikit aneh untuk gadis berdarah asia sepertinya, “Matamu… biru?”

Koyuki mengenakan kembali kacamatanya, “Ibuku orang inggris asli, dan memiliki mata yang sama denganku. Jadi ini bukan lensa kontak.”

Keito menundukkan kepalanya hingga mereka sejajar, menatap kedua mata Koyuki dari dekat. Mata gadis itu memang cantik, Keito baru menyadari jika mata gadis yang ada dihadapannya ini berwarna biru—sewarna dengan langit cerah di musim semi.

“Jadi, mau sampai kapan kau menatap mataku?” tanyanya kesal.

“Maaf…” Keito berbalik kearah lain menghindari tatapan masam gadis yang ada di depannya, “Jadi, ayo berangkat?”

Koyuki mengangguk, “Masih banyak yang harus kita siapkan, 2 hari lagi hari ‘H’,” Koyuki melihat jadwal di smartphone miliknya, “Dan aku harus membuat resep coklat baru yang akan dijual besok, belum lagi menyiapkan pembungkus coklat beserta hiasannya, menu untuk valentine belum aku buat…” ujarnya hampir menangis, “Karena itu kemarin aku hanya tidur selama dua jam untuk membuat resep coklat baru.” Tambahnya menegaskan.

"Rasanya kau sibuk sekali, ya?" Keito geleng-geleng kepala.

"Apa kau ada acara setelah ini?" Tanya Koyuki.

Keito tersenyum, "Tidak ada, hari ini aku libur."

"Kalau begitu, temani aku hari ini." Ujar Koyuki penuh harap.

Keito hanya membalas nya dengan anggukan kepala.

"Bagus, ayo berangkat!"  .
.
.
Coffee shop, Shinjuku...

"Senar gitar, sudah. Alat-alat pesta, sudah. Pita, sudah. Kertas kado, sudah. Kartu ucapan, sudah." Gadis bermata biru itu menghela nafas lega setelah mengabsen daftar barang-barang yang telah dibelinya.

Koyuki menyandarkan kepalanya diatas meja dan memejamkan matanya, "Kurasa malam ini aku bisa tidur nyenyak."

"Jangan lupa siapkan juga coklat yang akan kau bawa saat reuni nanti, Ko..." ujar Keito mengingatkan sembari menyeruput secangkir cappuchino-nya.

Tiba-tiba kedua mata gadis itu terbuka lebar, "Aku hampir lupa tentang yang satu itu."

Keito terkikik geli.

Koyuki menatap Keito yang duduk dihadapannya, "Hey..."

"Hm??" Keito meletakkan cangkir nya diatas meja kecil yang memisahkan dirinya dengan Koyuki.

"Maafkan aku karena dulu aku pernah memukul wajahmu." Ujar Koyuki sembari menggaruk pipinya yang tidak gatal.

Keito menerawang, mengingat kejadian yang sudah terlewat itu dan masih bisa mengingatnya dengan baik, "Tidak usah dipikirkan, aku juga salah karena yang kulakukan saat itu sangat buruk."

Koyuki mengangguk setuju, "Seharusnya kau lebih mempertimbangkannya, karena kau sudah melukai perasaan wanita."

"Kau benar Ko, tapi..." Keito menatap Koyuki, "Jika dipikir-pikir, pukulanmu waktu itu sangat menyakitkan." Ringis Keito sambil mengusap pipi kanannya seolah dia merasakan kembali sakitnya pukulan Koyuki

"Maaf ..." Koyuki tersenyum kecut.
Keito tersenyum manis, namun Koyuki melihatnya seperti senyuman setan, gadis itu menelan ludahnya karena gugup.

"Tidak akan kumaafkan!" Sahut Keito.

"Ehhhh???!!"

"Aku akan memaafkanmu..." Keito mengusap noda coklat didekat bibir Koyuki dengan tangannya dengan lembut, membuat gadis itu membelalakkan matanya karena terkejut, "Jika kau membuatkanku coklat, aku suka rasa blueberry." Tambahnya sembari tersenyum.

Deg!

"Bercanda, kan??"—batinnya histeris.
.
.
.
Café, 13 Februari...

"Kenapa gusar, Ko??"

Sejak tadi pagi Meiko perhatikan gadis bermata biru itu hanya mengurung diri didapur bersama dengan karyawannya, entah sudah berapa banyak coklat yang dibuat oleh gadis itu, namun dia tetap membuat coklat yang baru lagi dan lagi.

"Hime..." gumam Koyuki pelan.

"Hm?"

"Keito memintaku membuatkannya coklat, bagaimana menurutmu?"

"Tinggal kau buatkan saja, mudah kan?" Jawab Meiko santai.

Koyuki mengacak-ngacak rambutnya hingga semakin berantakan, "Coklat apa yang harus kubuat? Coklat permintaan maaf?"

"Tidak ada coklat seperti itu di hari valentine," Meiko tertawa, "Yang ada hanya dua jenis coklat, Giri-choco atau Honmei-choco, tinggal pilih saja coklat apa yang ingin kau buat."

Koyuki mendapat pencerahan, "Berarti aku harus membuat Giri-choco." Ujarnya mantap.

"Yakin Giri-choco??" Goda Meiko.
Koyuki hanya menganggukkan kepalanya.

"Kupikir jika Keito memberi mu sebuah coklat, dia mungkin akan memberikan Honmei-choco." Meiko mengedipkan sebelah matanya.
Koyuki membatu.

"Apa kau tidak sadar kalau dia memberikanmu perhatian yang lebih?" Meiko mendesah pelan.

"Aku tidak pernah memperhatikannya."

"Ayolah Ko, dia itu sedang berusaha mendekatimu!"

"Tidak mungkin Hime!!"
"Aku berani bertaruh. Dia itu menyukaimu, bahkan sebelum aku menyadarinya waktu itu." Meiko mendesah pelan.

"Eh?? Kapan??"

Meiko mengingat kutukan lempar bunga yang selalu dibicarakan koyuki, "Kutukan lempar bunga." Gumamnya.

Koyuki hanya melongo, dan jawaban spontan yang keluar dari mulutnya hanyalah, "Ha??!!" .
.
.
Coklat beraneka bentuk dan dibungkus dengan bermacam-macam bungkus kado yang dihiasi pita warna-warni hampir menenuhi kotak yang disediakan untuk mengumpulkan coklat oleh panitia acara reuni disamping pintu masuk café.

Hampir semua tamu undangan telah berkumpul di café. Bersenda gurau sembari bernostalgia, café diramaikan oleh candaan dan tawa para tamu.

Lampu-lampu hias beraneka warna yang menggantung di dinding café berkerlap-kelip memancarkan cahaya yang beragam. Ditengah café yang telah disulap menjadi lantai pesta, terdapat sebuah meja bundar yang diatasnya diletakkan aneka macam minuman dan kue-kue.

Disisi ruangan tepat sejajar dengan pintu masuk café, dibuat panggung kecil yang diatasnya telah diletakkan beberapa jenis alat musik, sebuah grand piano berwarna putih yang memang dimiliki café dan diletakkan disana, gitar, biola, sebuah cajon atau drumbox dan tiga buah mikrofon.

Meiko menyikut Koyuki yang berada disampingnya tengah meminum jus jeruk, "Ko, lihat! Keito melambaikan tangan padamu."

Meiko melemparkan pandangannya ke seberang ruangan, dan Koyuki mengikuti arah pandang Meiko dan melihat Keito yang sedang melambaikan tangan dan tersenyum padanya.

Ketika melihat Keito, tiba-tiba wajah Koyuki memanas, namun segera dia tepis pikiran aneh yang muncul dalam otaknya.

"Hime, aku tinggal sebentar ya." Koyuki menunjuk ke arah Keito malu-malu.
Meiko tersenyum dan menganggukkan kepalanya lalu sebelum berpisah Koyuki tersenyum pada Meiko.

"Tugasku sudah selesai kan, Kei? Sisanya kuserahkan padamu." Gumam Meiko. .
.
.
Tiba di acara tukar coklat, semuanya penasaran, coklat milik siapa kah yang mereka ambil?

Koyuki mendapat sebuah kotak coklat dengan bungkus kado sederhana bercorak bunga sakura dan warna dasar biru muda. Gadis itu asal pilih saja, karena dia memang menyukai warna biru muda.

"Asal pilih dan pada akhirnya aku mengambil ini..."—batin gadis itu suram.

Koyuki melirik Keito yang ada disampingnya, lalu pandangannya tertuju pada coklat yang ada di tangan Keito,
"Coklatku??"—jerit Koyuki dalam hati.

Coklat berbungkus kertas kado warna hitam dengan pita berwarna perak, coklat absurd yang dibuat olehnya tadi malam.

Keito tersenyum, "Itu coklatku." Tunjuknya pada coklat yang dipegang Koyuki.

Deg!

Perbedaan tinggi yang sedikit jauh membuat Koyuki mendongakkan kepalanya agar dapat melihat Keito.

Tatapan mereka berdua bertemu.

Disinari oleh cahaya yang redup diujung ruangan yang lumayan sepi, siluet bayangan mereka bersatu.

Keito menghapus jarak diantara dia dan Koyuki dengan sebuah kecupan singkat dibibir.

Gadis itu terlalu lambat untuk memproses apa yang terjadi padanya, sehingga dia hanya terdiam.

"Aku tahu jika coklat yang kuambil adalah milikmu..." Keito menggenggam tangan Koyuki.

Deg!

"Sekarang, bisakah kau tebak coklat apa yg kuberikan padamu, Koyuki??"

Deg!

"Honmei-choco ataukah Giri-choco??"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top