4 - Queen of Hearts

“Alice-chan?” pekik Arisu tak percaya. Refleks, tangan kanannya bergerak mengusap pipi. Bayangan di cermin pun melakukan hal yang sama. Masih belum puas, ia sentuh hidung, dagu, dan dahinya. Lalu, ia coba mengibas-ngibaskan rambut. Ah, sejak kapan kulitnya yang berminyak jadi begini lembut? Sejak kapan matanya jadi begini bulat dan lebar? Sejak kapan rambutnya jadi begini halus berkilau? Sungguh sulit baginya untuk menerima bahwa semua ini nyata!

Tunggu, kalau aku adalah Alice-chan, berarti suaraku ikut berubah. Arisu mulai menyanyikan lagu Starlight pertama yang terlintas di benaknya, Kenangan Musim Gugur. Biasanya ia selalu kesulitan menyanyikan lagu bernuansa ballad itu. Namun, sesuai dugaannya, kini ia dapat mencapai nada-nada tinggi dengan mudah. Percayalah Arisu bahwa ia benar-benar telah masuk ke dalam raga idolanya.

“Astaga, ini menyenangkan!” serunya spontan. Sedetik kemudian, buru-buru telapak tangannya menutupi mulut. Ia tak tahu dengan siapa Alice tinggal. Kalau ternyata ada orang lain yang memergokinya berteriak-teriak heboh seperti orang kesurupan, wah, bisa gawat! Sejenak gadis itu terdiam memikirkan langkah yang harus ia ambil. Akhirnya, ia memutuskan untuk mencari sarapan. Gadis itu mencuci muka cepat-cepat, menyisir rambut sebisanya, lalu beranjak keluar kamar.

Perlahan, Arisu berjingkat-jingkat melintasi lantai. Sandal bulu berwarna putih yang ia kenakan membuat kakinya terasa bagai tenggelam. Ia mengawasi keadaan sekeliling, takut kalau-kalau ternyata ada orang lain di apartemen. Namun, tempat itu kosong. Dengung pelan air purifier di samping televisi menjadi satu-satunya suara.

“Besar sekali!” Arisu terbelalak kagum. Ruang tengah apartemen Alice terdiri dari ruang santai, pantry, dan ruang makan yang tersambung jadi satu. Seluruhnya berdesain minimalis, dengan warna dominan krem dan cokelat tua. Sebuah meja mini bar berdiri di tengah pantry. Didorong rasa penasaran, jemari Arisu mengusap permukaan marmer meja itu. Dingin dan kokoh, jauh berbeda dari meja dapur berlapis keramik di rumahnya.

Lama Arisu menelusuri pantry itu. Ia buka satu persatu lemari. Meski besar dan mewah, tidak banyak bahan makanan yang tersedia. Tentu idol seperti Alice-chan tidak sempat memasak sendiri di rumah, pikirnya. Ia menemukan sekotak sereal muesli yang terisi separuh di lemari, serta sebotol susu yang masih tersegel di dalam kulkas. Sambil bersenandung kecil, ia mulai menyiapkan sereal.

“Senang?” Tiba-tiba kepala si kelinci menyembul dari kolong meja. Matanya berkilat-kilat licik.

“Wah!” seru Arisu kaget. Nyaris saja ia menumpahkan susu dari botol. “Oh, tentu saja, Tuan! Maksudku, ini menakjubkan! Tidak kusangka kau akan benar-benar membuatku menjadi Alice-chan.”

“Asal kau tahu saja, aku masih punya satu hadiah lagi untukmu. Namun, sebelumnya, bisakah aku minta sedikit sereal? Menggunakan sihir membuatku lapar. Oh, ya, susunya sedikit saja.” Dengan satu lompatan, kelinci itu duduk di kursi meja makan. Hidung merah mudanya bergerak-gerak.

Kelinci makan sereal? Sebelah alis Arisu terangkat. Namun, setelah mengalami keajaiban, ia enggan bertanya terlalu banyak. Gadis itu mengeluarkan satu mangkuk lagi, lalu menuangkan sereal biji-bijian ke dalamnya. Dengan kecekatan seperti manusia, kelinci itu menyendok sereal dan makan dengan lahap. Usai makan, ia mengeluarkan sapu tangan dari saku jasnya, lalu mengelap mulut. Kumisnya, yang dibasahi susu, bergerak-gerak puas.

“Ah, sampai di mana aku tadi? Oh, ya, aku harus memberitahumu tentang hadiah yang kaudapatkan. Tiba-tiba menjadi seorang idol tentu mengejutkan untukmu, jadi kuberi kau satu kemampuan tambahan supaya kau lebih cepat beradaptasi dengan kehidupan barumu. Jadi mandilah, kenakan baju yang pantas untuk keluar rumah, lalu turunlah ke taman. Lebih mudah kalau kuberikan demonstrasi langsung. Sementara kau bersiap, aku akan menikmati tempat ini.” Si kelinci melompat turun dari kursi, lalu berpindah ke sofa besar di seberang televisi. Sebentar saja, kelinci berpakaian ouji itu sudah asyik menonton warta berita pagi.

Kelinci aneh, batin Arisu sembari bersiap-siap. Ia sempat kebingungan melihat banyaknya sabun mandi dan skincare Alice, tetapi ia berhasil mempersiapkan diri dalam waktu kurang dari tiga puluh menit. Ia kenakan blus lengan pendek berwarna merah muda dan rok renda hitam selutut. Kemudian, ia mengikuti kelinci itu ke lantai dasar.

Kompleks apartemen itu terdiri dari lima tower yang mengelilingi taman dan kolam renang dalam formasi segi lima. Sebuah jogging track membentang mengitari taman tersebut. Saat Alice keluar, beberapa lelaki dan perempuan paruh baya sedang berlari-lari kecil di sana. Beberapa orang membawa anjing. Anehnya, tak ada seekor anjing pun yang menyadari kehadiran si kelinci.

“Sekarang aku harus bagaimana?” bisik Arisu. Sengaja ia berbisik karena khawatir jika ternyata hanya ia yang bisa melihat dan merasakan kehadiran si kelinci. Tentu bukan berita bagus apabila seorang Alice Akiyama terlihat sedang berbicara sendiri di tengah keramaian.

“Ucapkan selamat pagi pada orang terdekat,” balas kelinci itu. Arisu mengangguk ragu. Ia pura-pura berjalan-jalan, lalu menyapa seorang pria yang sedang membaca buku di bangku taman.

“Selamat pagi,” ucap Arisu pelan sambil mengangguk. Pria itu menengadah sebentar, balas mengangguk, lalu kembali menekuni buku yang ia bawa. Kontan, Arisu kecewa. Sepertinya, para penghuni apartemen ini bukan penggemar idol group. Tetap saja, ia sudah berada dalam raga Alice, jadi sudah seharusnya orang-orang memberikan perhatian lebih padanya! Di samping Arisu, kelinci itu pun ikut cemberut.

“Oh, hanya itukah usaha terbaikmu? Pantas saja kau tidak populer di sekolah. Dengar, ikuti perkataanku baik-baik. Kaulihat orang-orang yang sedang mengobrol di pinggir kolam renang? Sekarang, ucapkan selamat pagi pada mereka. Berusahalah kedengaran lebih bersemangat, tetapi tetap natural. Jangan lupa, saat kau berbicara, kedipkan sebelah matamu. Kau akan melihat keajaiban.”

Dahi Arisu mengernyit sangsi. Meski demikian, gadis itu menurut. Sambil berusaha menjaga gerak-geriknya tetap natural, ia berjalan mendekati kelompok kecil yang ditunjuk oleh si kelinci. Kelompok itu terdiri dari dua orang wanita berusia awal empat puluhan tahun, dan tiga orang pria yang tampak sedikit lebih tua dari mereka. Tipe orang-orang yang sudah tidak lagi gemar menonton penampilan idol group. Kelinci itu mendorong maju kaki Arisu.

Ayo, semangat! Ingat, kau bukanlah Arisu yang dulu. Sekarang kau Alice, sang idol terkenal!

Arisu menghela napas panjang. Dengan nada yang lebih riang, gadis itu mengucapkan selamat pagi. Tidak lupa ia lambaikan tangan dan kedipkan mata kanannya. Hasilnya sungguh berbeda. Orang-orang itu berhenti berbicara, lalu balik menyapanya ramah.

“Oh, selamat pagi!” sapa salah satu wanita ramah. “Aku suka pakaianmu. Kau penghuni lantai enam, bukan? Kapan-kapan, datanglah ke pertemuan warga!”

“Selamat pagi! Kudengar kau ini artis terkenal, ya? Aku tidak tahu banyak tentang artis-artis zaman sekarang, tetapi anakku bilang kau sangat terkenal. Kalau boleh tahu, siapa namamu?” tanya seorang pria berkacamata oval. “Mari ikut mengobrol dengan kami.”

Arisu agak kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Entah karena apa, orang-orang itu tiba-tiba menaruh perhatian besar padanya. Gadis itu hanya tersenyum dan menjawab seperlunya. Agar mereka tidak curiga, ia hindari berbicara terlalu banyak tentang pribadi Alice. Tanpa terasa, seperempat jam berlalu dengan cepat.

“Sekarang aku harus bagaimana?” desis Arisu sambil melirik pada si kelinci.

“Tidak ada. Kembalilah ke dalam. Ada sesuatu yang harus kujelaskan,” balas kelinci itu. Arisu menurut, diam-diam lega atas instruksi tersebut. Ia segera berpamitan pada orang-orang yang mengajaknya bicara.

“Sampai jumpa!” Orang-orang itu melambai. Arisu melangkah ringan kembali ke bangunan apartemen. Si kelinci mengikuti di belakangnya. Keduanya mencari tempat di mana mereka dapat berbicara bebas.

“Apa itu tadi, Tuan Kelinci?” tanya Arisu setelah ia dan si kelinci menyingkir ke bawah tangga darurat. “Mereka ramah kepadaku karena mengenali Alice-chan, kan?”

“Queen of Hearts.” Si kelinci tersenyum penuh arti. “Kemampuan untuk memikat hati masyarakat hanya dengan kedipan mata. Aku jarang memberikan kemampuan ini pada orang-orang yang kutolong, tetapi aku tahu kau pantas mendapatkannya. Seorang idol yang tidak mampu memikat hati para fans tentu tidak ada artinya, bukan?”

“Eh? Sesederhana itu? Hebat,” gumam Arisu. “Apakah ada batas pemakaiannya?”

“Tidak ada. Kau bebas menggunakan Queen of Hearts kapan pun dan di mana pun. Hanya saja, setiap perbuatan pasti punya konsekuensi, jadi usahakan jangan lakukan terlalu sering, oke? Percayalah, kau tidak ingin diikuti kesana kemari oleh orang-orang yang terobsesi padamu.”

“Aku bisa menjaga diriku, Tuan Kelinci,” sahut Arisu mantap. Tentu saja ia menjawab tanpa pikir panjang. Persetan dengan efek samping! Untuk saat ini, ia sudah menjadi idol, dan ia bertekad untuk bersenang-senang sepuas hati.

“Nah, karena kau sudah mengerti semuanya, sekarang aku pamit dahulu. Oh ya, kalau kau tidak mau sesuatu yang buruk menimpamu, sebaiknya kau kembali ke apartemenmu sekarang. Selamat tinggal, dan semoga beruntung.” Si kelinci menepuk-nepuk punggung tangan Arisu, lalu melompat pergi. Dalam sekejap, makhluk itu lenyap dari pandangan. Arisu tidak bisa menemukannya meski ia melongok ke tiap ceruk dan koridor di sekitar area tersebut.

Kurasa ia memang sudah pergi. Arisu mengangkat bahu, lalu menaiki lift kembali ke lantai enam. Begitu ia nyaris mencapai pintu apartemen Alice, langkah Arisu terhenti. Seorang pria berusia kurang lebih pertengahan tiga puluh tahunan mondar-mandir dengan gusar. Ponsel tergenggam erat dalam tangannya. Arisu merasa pernah melihat pria itu, meski ia tidak ingat di mana.

“Alice! Ke mana saja kau ini? Bolak-balik aku meneleponmu, tetapi kau tidak mengangkat!” omel pria itu. “Aku tahu kalian baru pulang dari Yokohama semalam, tetapi itu bukan alasan untuk bermalas-malasan! Teman-temanmu sudah menunggu dari tadi.”

Sejenak Arisu hanya mengerjap seperti orang bodoh. Sesaat kemudian, gadis itu terbelalak dan cepat-cepat meminta maaf. Pria itu adalah Kaito Ichinose, manajer Starlight. Siang ini, seingat Arisu, Starlight dijadwalkan tampil dalam sebuah acara talkshow di televisi. Karena terlalu bersemangat, gadis itu sama sekali tidak berpikir untuk mengecek ponsel atau jadwal Alice yang asli.

“Yah, setidaknya kau sudah berdandan. Ayo cepat! Mobil sudah menunggu di lobby.” Seperti seorang gembala menggiring domba, pria itu menggiring Arisu ke bawah. Arisu bahkan tidak sempat masuk ke apartemen untuk mengambil ponsel dan dompet Alice. Gadis itu menelan ludah, gugup. Walau jiwanya sekarang berada dalam raga Alice Akiyama, dan walau ia sudah sering melihat penampilan Alice di televisi dan internet, tetap saja ia ragu dapat seratus persen menirukan gerak-gerik dan sifat sang idola.

Aduh, semoga saja tidak ada yang mencurigaiku!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top