3 - Kelinci Pengabul Permintaan

Mata Arisu terbelalak. Tangannya mencengkeram selimut di atas kasur erat-erat. Gadis itu yakin dirinya sedang bermimpi. Mengubah hidup? Apakah itu mungkin? Selama tujuh belas tahun, tidak sekali pun hidup Arisu berubah ke arah yang lebih baik, betapa pun ia berusaha. Malah, setiap usahanya selalu gagal secara menyedihkan.

“Memangnya siapa kau? Apa yang bisa kaulakukan?” tanya Arisu lirih. Ia memberanikan diri untuk mendekati si kelinci, yang memandangnya tanpa berkedip. Bulu putih kelinci itu halus dan berkilau di bawah sinar bulan. Telinganya bergerak-gerak pelan.

“Bagaimana bila kukatakan padamu bahwa aku bisa membuatmu menjadi Alice Akiyama?” Kelinci itu menatap tajam. Suaranya dingin, tetapi penuh godaan. “Aku mendengar tangisanmu setiap malam, Arisu Shimada. Aku tahu kau dirundung oleh teman-teman sekelasmu. Aku tahu kau sudah lama ingin menjadi seorang idol, tetapi kau tidak mempunyai kecantikan dan bakat yang mumpuni. Aku tahu kau tidak lebih dari seorang gadis menyedihkan yang tidak punya harapan.”

“A … apa?” Arisu tercengang. Mata kelinci itu seolah memandang jauh ke dalam jiwanya, mengobrak-abrik isi hatinya yang terdalam. Sayup-sayup, tawa Alice terngiang di telinganya. Tawa Alice selalu lepas tanpa beban, seolah gadis itu tidak pernah mengalami hari buruk sepanjang hidupnya. Arisu ingin dapat tertawa sebahagia itu suatu hari nanti. Arisu ingin bangun tidur dengan bahagia setiap hari, dikelilingi baju-baju bagus, tempat-tempat indah, dan para fans yang memujanya.

“Sepertinya kau belum percaya padaku. Lihat baik-baik.” Kelinci itu berjalan ke arah tumpukan photocard hancur di lantai, lalu melambaikan kaki depan di atas serpihan-serpihan kertas itu. Seketika, cahaya biru mengalir dari telapak kaki depannya dan membungkus potongan-potongan itu. Ketika cahaya itu hilang, photocard-photocard itu sudah kembali utuh. 

“Mustahil,” gumam Arisu. Telinga tajam si kelinci menangkap ucapannya. Selama beberapa detik, Arisu berani bersumpah bahwa seulas senyum puas melintang di mulut mungil hewan itu.

“Bagaimana, Shimada-san? Aku tidak punya waktu semalaman, kau tahu.”

Arisu menelan ludah. Awan berarak menutupi sinar bulan. Kini, hanya lampu strip LED merah jambu dan layar televisi yang menerangi kamarnya. Perpaduan keduanya menimbulkan pendar-pendar ganjil yang tidak nyaman. Debar jantung gadis itu menenggelamkan suara TV di telinganya. Keringat dingin membasahi telapak tangannya. 

Ini cuma mimpi. Ini cuma mimpi. Ini cuma mimpi. Mulut Arisu berkomat-kamit tanpa suara. Benar, ia yakin ia pasti sedang bermimpi. Karena ini mimpi, ia bebas melakukan apa pun yang ia inginkan. Barangkali, jika ia menerima tawaran itu, mimpinya akan berlanjut, dan ia akan tahu rasanya hidup dalam tubuh Alice Akiyama, biarpun mungkin mimpi itu hanya akan berlangsung kurang dari lima menit. Setidaknya, walau tak nyata, ia ingin merasakan rasanya berdiri di atas panggung dan menghadapi ribuan penonton. Ia ingin merasakan kehangatan sinar lampu sorot membanjiri tubuhnya. Ia ingin mendengar chant histeris pada fans yang tak kenal lelah menari dan berteriak demi dirinya.

“Beritahu aku apa syaratnya,” sambung Arisu cepat. “Apa yang harus kulakukan? Apa yang kauinginkan sebagai bayaran? Haruskah aku melakukan ritual khusus? Atau, haruskah aku mencarikan sesuatu untukmu?”

“Hahaha, kau sungguh lucu, Shimada-san.” Kelinci itu terkekeh. Matanya menyipit penuh arti. “Tidak perlu. Semuanya gratis, dengan satu syarat mudah. Permintaan ini hanya berlaku satu kali. Apa pun yang terjadi di masa depan, apa pun yang kaualami dalam kehidupan barumu, kau tidak boleh membatalkan permintaanmu. Anggap saja ini hadiah dari seorang dermawan yang berniat baik. Sekarang, ucapkan saja permintaanmu, dan aku akan mengabulkannya.”

“Kumohon, jadikan aku Alice-chan,” ucap Arisu lirih, nyaris tak terdengar.

“Katakan lebih keras lagi. Aku ingin dengar kesungguhanmu,” balas si kelinci. Kembali makhluk itu berjalan maju. Kini, jarak antara ia dan Arisu kurang dari semeter.

“Kumohon, jadikan aku Alice-chan!” seru Arisu. “Aku ingin jadi seorang idol. Tuan Kelinci, tolong bantu aku!”

Segera setelah mengucapkan kalimat tersebut, angin kencang berembus di luar. Suaranya melolong-lolong menakutkan. Dedaunan bergemerisik. Televisi mati tanpa ada yang menyentuh, lampu LED berkedip-kedip tak beraturan. Mendadak, tubuh Arisu menegang. Ketakutan membanjiri benaknya bak banjir yang datang bergulung-gulung. Bagaimana mungkin sebuah mimpi bisa terasa sangat nyata? Bagaimana bila semua ini benar-benar terjadi, dan keputusannya akan melepaskan suatu hal yang sangat berbahaya?

Tidak! Tidak! Aku tidak bisa ragu sekarang! Rahang gadis itu mengeras. Ia paksa matanya untuk membalas tatapan sepasang manik merah menyala milik si kelinci. Dengan gestur yang, anehnya, sangat manusiawi, hewan itu mengulurkan kaki depan kanannya. Tanpa pikir panjang, Arisu menyambut uluran itu. 

Keduanya bersalaman, dan seketika cahaya biru memancar dari tengah telapak tangan yang bersentuhan. Cahaya itu begitu terang hingga Arisu tidak lagi bisa melihat kamarnya. Refleks, gadis itu memejamkan mata. Sensasi seperti sengatan listrik naik menjalari lengan kanannya, lalu menyebar ke seluruh tubuhnya. Tawa puas si kelinci membahana ke seantero kamar. Sungguh, Arisu belum pernah mendengar tawa yang begitu polos dan kekanak-kanakan, sekaligus licik dan kejam.

Sedetik kemudian, segalanya gelap. Arisu merasakan tubuhnya melayang-layang di tengah kegelapan total. Ia tak dapat melihat, mendengar, mencium, ataupun merasakan apa-apa. Sambil meraba-raba, ia berusaha bergerak maju, meski tidak tahu ke mana ia harus bergerak. Suatu permukaan menyentuhnya dari balik kegelapan. Makin keras Arisu berusaha bergerak, makin kencang benda yang tak kelihatan itu membungkusnya.

“Hei, Tuan Kelinci! Di mana kau? Ini di mana?” seru Arisu. Aneh, ia tidak bisa mendengar suaranya sendiri. Apakah aku masih bermimpi? pikirnya. Kembali detak jantungnya bertambah cepat. Tangannya menarik-narik benda tak kasat mata yang membungkusnya, berupaya untuk menemukan ujung benda itu.

Mendadak, jam weker berdering nyaring. Bunyinya mengembalikan Arisu ke alam nyata. Gadis itu menggerutu pelan begitu menyadari dirinya terbelit selimut. Rupanya itu benda yang susah payah berusaha ia singkirkan sejak tadi! Ia melepaskan diri, menggeliat malas di kasur, lalu menutupi kepala dengan bantal. Tetap saja bunyi weker mencegahnya kembali tertidur.

Argh, berisik! Arisu mengomel dalam hati. Refleks, tangannya meraih ke nakas, berusaha menemukan tombol untuk mematikan alarm. Jarinya meraba-raba hingga menemukan tombol kecil di puncak jam weker kubus dari kayu. Setelah berhasil mematikan alarm, Arisu hendak kembali terlelap. Namun, tepat ketika ia nyaris kembali ke alam mimpi, benaknya menyadari suatu kejanggalan.

Jam wekernya seharusnya berbentuk bulat, bukan kubus.

Arisu langsung terjaga. Gadis itu melompat turun dari ranjang. Ia terbelalak mendapati piyama putih bermotif ceri yang membalut tubuhnya. Ia tidak pernah punya piyama. Sandalnya pun seharusnya sandal kain biasa, bukannya sandal putih berbulu dengan hiasan pita. Tatkala Arisu mengangkat kepala, mulutnya spontan melongo keheranan. Dalam waktu semalam, ia telah berpindah ke kamar yang sama sekali tidak ia kenal. Lemari pakaian berdesain minimalis elegan berdiri di hadapannya, sedang ranjang king size berlapis selimut tebal nan lembut berada di belakangnya.

Teringatlah Arisu pada kejadian semalam. Gadis itu mencubit lengannya sendiri, lalu meringis kesakitan. Ia tidak sedang bermimpi. Lantas, rumah siapa ini? Siapa gerangan yang membawanya ke tempat ini?

“Jangan-jangan …,” gumam Arisu tak percaya. Di sudut kamar, berdiri sebuah cermin tinggi berbentuk oval. Buru-buru ia hampiri cermin itu. Seketika, ia terperangah melihat refleksinya. Dari balik cermin, tampaklah sosok Alice Akiyama yang balik memandangnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top