24 - Malaikat Pelindung
Iblis.
Arisu mengenal konsep iblis dan malaikat sejak kecil. Kedua sosok itu muncul dalam banyak cerita Alkitab, serta film dan komik. Namun, semenjak usianya cukup tua untuk tidak lagi takut pada monster di bawah ranjang, Arisu menganggap iblis sebagai metafora akan sifat-sifat jahat dalam diri manusia. Baginya, sosok iblis yang mengerikan layaknya monster tidak lebih dari hasil imajinasi para penulis dan ilustrator fantasi. Namun, makhluk yang sekarang berdiri di hadapannya jelas bukan buah animasi komputer. Bau busuk dari kulit berlendir makhluk itu menusuk hidung Arisu. Spontan, gadis itu berpaling dan muntah di lantai di sampingnya. Rasa pahit dan panas memenuhi mulutnya. Sedari pagi, ia memang belum makan apa-apa.
“Berbahagialah. Kau satu-satunya gadis yang pernah melihat wujud asliku selama seratus tahun terakhir.” Tawa sinis sang iblis bergema ke seluruh ruangan. Dinding sampai bergetar karenanya. Arisu terpaku, tak sanggup menjawab apa-apa. Seluruh tubuhnya membeku ketakutan.
“Setidaknya aku harus berterimakasih. Berkatmu, aku memperoleh banyak jiwa untuk menjadi pengikutku.” Makhluk itu mengedikkan kepala ke arah luar. Sayup-sayup terdengar keributan besar. Teriakan marah dan pekik kesakitan bersahut-sahutan. Meski Arisu tak bisa melihat ke luar, sebuah adegan melintas di depan matanya. Didorong kegusaran karena gagal mendapatkan gadis itu, para fans fanatik yang tadi mengejarnya mulai berkelahi satu sama lain. Beberapa orang terluka parah karena terkena hantaman dan tusukan. Orang-orang yang berusaha lari malah terjebak dan terinjak-injak.
Kumohon, bangunlah. Arisu menatap putus asa pada tubuh-tubuh yang bergelimpangan. Berhenti saling membunuh. Starlight dibangun dengan semangat persahabatan. Para fans seharusnya saling bersahabat!
“T … tolong hentikan semua ini ….” rintih gadis itu memelas. “Aku berjanji akan memberikan apa saja ….”
“Dan apa yang bisa kautawarkan padaku sekarang? Tidak ada!” tukas si iblis sembari mengayunkan cakarnya. Seketika, lenyaplah ilusi yang dilihat Arisu. Kembali ia menatap dinding kosong yang berlumut. “Lagipula sebentar lagi toh kau akan mati. Bila kautinggalkan kau di sini, besok orang-orang hanya akan menemukan mayatmu. Tenang saja, orang-orang itu akan kembali waras setelah kau mati dan aku mengambil jiwamu. Tentu kejadian ini akan menjadi berita besar, jadi bersyukurlah karena nama Alice Akiyama mungkin akan tercetak dalam sejarah.”
Tuhan, maafkan aku. Aku sungguh telah berbuat dosa besar. Arisu tersungkur di lantai. Sesaat timbul keinginannya untuk berdoa, tetapi malah tawa getir yang terlepas dari sudut bibirnya. Bodoh, apa yang kupikirkan ini? Tentu saja mustahil Tuhan mendengarkan seseorang seperti diriku. Perjanjian dengan iblis bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah diampuni.
Arisu membiarkan rasa sakit dan lelah menenggelamkannya. Aneh, ia sama sekali tidak merasa takut. Ia betul-betul pasrah pada nasibnya. Samar-samar, ia melihat sang iblis berjalan mendekatinya dengan tangan terulur. Kuku-kuku di ujung tangan itu panjang dan melengkung tajam seperti sabit.
Tiba-tiba, seberkas cahaya memancar entah dari mana. Sinarnya begitu terang hingga menyilaukan mata Arisu. Refleks, gadis itu memejamkan mata. Jantungnya berdebar keras, bersiap untuk apa pun yang sebentar lagi akan menghantamnya. Namun, tidak terjadi apa-apa! Geraman si iblis bergema ke seluruh ruangan, tetapi tidak ada apa pun yang menyentuh Arisu. Perlahan, gadis itu memberanikan diri membuka mata. Entah sejak kapan, sebuah lingkaran yang bercahaya sudah mengelilinginya. Si iblis berusaha keras meraihnya, tetapi sebuah dinding tak kasat mata telah memblokir makhluk tersebut. Bersamanya di dalam lingkaran, berdiri seorang pemuda yang wajahnya sangat dikenal Arisu.
Apa itu tadi? Bagaimana pemuda itu bisa ada di sini? Arisu terperangah. Dengan punggung tangan ia mengusap mata beberapa kali, berusaha meyakinkan diri bahwa ia tidak salah lihat. Pemuda yang selama ini menguntitnya, pemuda yang mengetahui identitas asli dan informasi-informasi pribadinya, kini berdiri di antara ia dan iblis jelmaan Tuan Kelinci. Meski orang itu baru saja melawan para fans fanatik yang menangkap Arisu, sama sekali tidak ada luka di badannya. Gadis itu sama sekali tak bisa membayangkan bagaimana si pemuda bisa lolos dari keberingasan mereka.
“Bangunlah. Jangan takut.” Pemuda itu menyentuh lengan Arisu. Seketika, rasa sakit di tubuhnya mereda bak terbasuh air sejuk. Luka-lukanya masih terbuka, tetapi tidak lagi mengeluarkan darah. Meski masih terheran-heran, ia bangkit dan bersembunyi di balik punggung si pemuda.
“Sialan, kau ini mengganggu saja.” Si iblis berdecih. Namun, makhluk itu bergeming. Entah karena apa, ia segan menghadapi pemuda berpakaian serba kelabu itu.
“Aku tahu sudah tugasmu untuk menyesatkan manusia, tetapi gadis ini adalah bagianku,” sahut pemuda itu. Meski ia hanya berwujud manusia biasa, dan tanpa berbekal senjata apa-apa, tiada setitik pun rasa takut yang terdengar dalam suaranya kala menghadapi sang monster. “Penyesalannya sudah sampai ke hadapan Tuhan, dan Tuhan berkenan mengampuninya.”
“Hah, kaupikir perjanjian bisa dibatalkan begitu saja? Gadis ini tahu persyaratannya. Ia tahu bahwa keputusannya tidak bisa ditarik kembali, tetapi ia tetap menerima tawaranku. Sejak zaman dahulu kala, jiwa para pendosa adalah hakku.”
Iblis itu menggertakkan gigi. Dengan geram, ia memasang kuda-kuda dalam posisi siap menyerang. Arisu memekik kaget. Namun, pemuda misterius itu sudah siap. Ia mendorong lembut tubuh Arisu ke samping, lalu melangkah keluar dari lingkaran. Dari udara kosong, muncullah sebuah pedang bercahaya di tangan kanannya. Arisu tidak melihat dari mana pedang itu muncul. Seolah-olah si pemuda mengumpulkan cahaya bulan dan mengubahnya menjadi senjata. Kala iblis itu menyerang, si pemuda langsung melawan.
Arisu hanya bisa terpaku menyaksikan pertarungan bak adegan film di depan matanya. Berkali-kali sang iblis menerjang, mencakar, dan memukul. Si pemuda sigap menangkis serangan demi serangan dengan pedangnya, tetapi beberapa kali cakar tajam iblis itu nyaris mengenainya. Sinar bulan membuat cakar-cakar itu berkilau bak terbuat dari logam. Panjang masing-masing cakar, menurut taksiran Arisu, tidak kurang dari dua puluh sentimeter. Sekali saja terkena, tentu pemuda itu akan terluka parah.
Namun, jelas bahwa sang pemuda jauh lebih unggul. Pelan tapi pasti, iblis itu mulai kewalahan menghadapi sabetan pedang pemuda itu. Kulit tebalnya memerah dan terkelupas di sana-sini lantaran terkena sabetan pedang. Akhirnya, ia pun kalah. Ia terlempar ke ujung bangunan. Seketika, tembok hancur membentuk lubang besar tepat di tempat makhluk itu menabrak. Makhluk itu beringsut hendak kabur, tetapi si pemuda jauh lebih cepat. Dalam sekejap, pemuda itu sudah menodongkan pedangnya ke leher sang iblis. Pendar cahaya dari pedang itu perlahan-lahan membakar dan melelehkan kulit iblis itu, hingga ia berteriak-teriak kesakitan.
“Hentikan! Hentikan! Baik, aku menyerah! Kau boleh ambil gadis itu, brengsek!” Sang iblis berubah kembali ke wujud kelinci. Kini, ia tampak mungil dan lemah. Meski demikian, sorot matanya menyala-nyala penuh kemarahan.
“Batalkan perjanjian, kemudian pergilah. Jangan lagi coba-coba mengambil jiwa-jiwa yang sudah menjadi milik Tuhan,” perintah sang pemuda tegas. Tak sedikit pun ia mengurangi kewaspadaan.
“Ya. Kuanggap perjanjian ini tidak pernah ada.” Sambil mendesis gusar, Tuan Kelinci berpaling menatap Arisu. “Hari ini, tepat pada tengah malam, akan kukembalikan kau ke malam ketika aku mendatangimu, dan semua ini takkan pernah terjadi. Kau akan kembali jadi remaja biasa yang buruk rupa dan tak berbakat yang hidup biasa-biasa saja. Anggap kau beruntung karena Tuhan masih mau mengampuni jiwamu yang busuk itu, Arisu Shimada. Kebanyakan orang biasanya terlalu pongah untuk bertobat.”
Aku bisa pulang. Aku bisa kembali ke masa lalu, sebelum semua kekacauan ini terjadi. Hati Arisu berdesir oleh kebahagiaan dan kelegaan. Jika ia kembali ke masa lalu, berarti ia tak pernah menjadi Alice. Chika Sawamura mungkin akan tetap hidup. Para fansnya takkan saling membunuh. Banyak jiwa yang terselamatkan.
Jam di ponsel Arisu menunjukkan angka 00:00. Angin berembus kencang, bunyinya melolong-lolong memekakkan telinga. Petir menyambar-nyambar di langit malam. Perlahan, gadis itu mulai menghilang. Tubuhnya bercahaya mulai dari ujung kaki. Cahaya putih cemerlang itu terus merambat naik dan menariknya pergi.
“Tunggu! Setidaknya beritahu aku namamu!” seru Arisu. Ia memandang penuh harap ke arah pemuda yang telah menyelamatkannya. “Aku belum berterimakasih secara pantas kepadamu!”
“Kau tidak perlu tahu siapa namaku.” Tepat sebelum Arisu menghilang, suara sang pemuda bergaung di telinganya. “Anggap saja aku adalah malaikat pelindung yang dikirim Tuhan untukmu.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top