23 - Wujud Asli Tuan Kelinci

Arisu tidak ingat bagaimana ia bisa tiba ke dalam sebuah gedung perkantoran mangkrak. Begitu lepas dari kepungan, ia memaksa kakinya terus melangkah menuju tempat sunyi pertama yang ia lihat. Aliran adrenalin menenggelamkan rasa sakit di badannya, membuat gadis itu sejenak bisa bergerak cepat. Usai menaiki tangga menuju lantai dua, barulah gadis itu ambruk tersungkur. Pasir dan debu masuk menggores luka-luka di lutut dan betisnya.

“Ugh!” Tanpa sadar, Arisu mengerang. Cepat-cepat ia tutupi mulut dengan telapak tangan. Bau anyir dari darah di tangan memenuhi rongga hidungnya. Perlahan, gadis itu duduk bersandar pada sebuah pilar di sudut bangunan. Tak sanggup lagi ia lari. Rasa nyeri menjalari sarafnya, berdenyut-denyut seirama detak jantungnya. Pakaian gadis itu robek-robek. Punggung jaket putihnya sudah hampir seluruhnya berubah warna menjadi merah. Kedua tungkainya pun dipenuhi luka gores, cakar, dan robekan pulpen. Kulit kepalanya mengelupas di beberapa bagian, tempat orang-orang menarik paksa rambut panjangnya.

Dengan sisa-sisa energinya, Arisu kembali menyalakan ponsel. Sebuah panggilan masuk dari Kaito, tetapi layar sentuh masih tidak bisa digunakan. Ia hanya bisa memandangi ponsel itu bergetar beberapa kali, hingga akhirnya jadi hening sama sekali.

Perlahan, air mata Arisu mulai mengalir. Wallpaper ponsel itu adalah foto selfie yang ia ambil bersama Starlight dan Kaito di bandara sesaat sebelum berangkat mengikuti Tur Asia Tenggara. Kala itu, mereka semua tersenyum bahagia. Siapa sangka foto itu diambil baru kurang lebih sebulan lalu? Oh, betapa cepat keadaan berubah! 

Teman-teman, maafkan aku yang egois ini. Aku sungguh senang bisa berkumpul dengan kalian selama ini. Maaf aku pergi tanpa izin dari kantor, dan maaf karena aku tidak bisa berjumpa kalian lagi. Kumohon, bila aku mati malam ini, jangan terlalu bersedih karena aku. Perlahan, Arisu mengusap foto tersebut. Wajah kawan-kawannya terlihat kabur dari matanya. Ia sudah kehilangan banyak darah, dan kesadarannya pun turut menipis. Angin musim gugur membuatnya menggigil. Ia meringkuk dan merapatkan jaket, tetapi pakaian yang sudah robek-robek itu tak mampu menghangatkannya.

“Tuan Kelinci, mengapa kautinggalkan aku seorang diri? Mengapa kau tidak pernah muncul memperingatkanku, sehingga aku tidak salah langkah seperti ini?” Arisu berbisik lirih. Gadis itu meringkuk, berusaha menghangatkan tubuhnya. Perlahan, matanya terpejam. Sungguh, ia mengakui bahwa ia telah bersikap bodoh. Kesombongannya membuatnya percaya bahwa ia bisa menghadapi popularitas, kecantikan, dan kekayaan yang tiba-tiba menghampirinya. Bukankah sejak dahulu kesombongan memang awal dari kejatuhan?

Andai aku diberi kesempatan hidup untuk kedua kalinya, meski kutahu itu mustahil kudapatkan, aku janji akan jadi lebih bijaksana. 

“Kau mencariku?” Sebuah suara familier segera mengembalikan Arisu ke dalam kesadaran penuh. Gadis itu mendongak penuh harap. Di ujung lain bangunan mangkrak itu, tepat di atas tong-tong besar berkarat, berdirilah Tuan Kelinci bak seorang raja agung yang sedang menatap rakyat jelatanya. Sinar bulan membuat bulu tebal kelinci itu bagai bersinar keperakan. Pakaian ouji-nya melambai pelan tertiup angin. Matanya yang kemerahan tampak berkilau terkena pantulan cahaya bulan. 

Tuan Kelinci! Arisu nyaris bersorak bahagia. Sambil sesekali mengerang pelan kesakitan, sekuat tenaga Arisu menyeret tubuhnya mendekati si kelinci putih. Darah dari luka-luka di kedua kakinya membentuk sepasang garis panjang berwarna merah gelap di permukaan lantai beton. Si kelinci mengernyit dengan ekspresi jijik melihat hal tersebut.

“Aku menyesal, Tuan Kelinci! Tolong kembalikan aku ke kehidupan lamaku!” pinta Arisu. Gadis itu menangis sesenggukan di kaki kelinci itu. Namun, kelinci itu bergeming. Telinganya bergerak-gerak. Bibirnya terangkat ke samping, seolah menertawakan nasib Arisu. Mata merahnya menatap si gadis penuh kepuasan. Tanpa perlu kata-kata, sadarlah Arisu bahwa kelinci itu sama sekali tak berniat menolongnya.

“Arisu-chan, aku kemari untuk mengingatkanmu pada peraturan perjanjian kita. Tidak boleh ada penyesalan, ingat? Permintaan hanya berlaku satu arah. Apa pun yang terjadi, kau tidak bisa membatalkan permintaanmu,” ujar kelinci itu tajam. “Bukankah aku sudah cukup baik dengan memperbaiki hidupmu tanpa bayaran? Tanpa aku, kau akan tetap jadi remaja penggerutu yang sepanjang hari bersembunyi di rumah, dirundung semua orang karena sikapmu yang tidak tahu diri itu, dan tidak punya masa depan.”

“Aku tahu kau menemui Alice-chan, Tuan Kelinci,” sahut Arisu lirih. Suaranya sengau akibat terlalu banyak menangis. “Apakah surat Alice-chan benar? Apakah kau juga membuat perjanjian dengan banyak gadis lain sebelum aku? Apakah hidup mereka semua berakhir tragis? Sebenarnya, mengapa kau mengubah hidupku?”

“Ah, inilah mengapa aku tidak suka berurusan lama-lama dengan gadis-gadis remaja. Mereka selalu jadi terlalu cerewet!” Kelinci putih itu mendecih gusar. “Ya, aku memang membuat perjanjian dengan Alice Akiyama. Aku tidak memberikan Queen of Hearts kepadanya, ngomong-ngomong. Ia sudah cukup cantik dan menarik tanpa kemampuan khusus itu. Lagipula apa yang kulakukan bukan urusanmu, Arisu-chan. Aku datang dan pergi ke orang-orang yang kusuka, dan kebetulan kau salah satunya. Jangan merasa terlalu spesial.”

Arisu tertegun. Setiap kata yang diucapkan Tuan Kelinci bagai pisau yang mengoyak-ngoyak hatinya. Apakah kelinci itu memang kejam sedari dulu, tetapi Arisu terlalu bodoh untuk melihat hal tersebut? Apakah sejak awal ia hanya dianggap sebagai mainan murahan yang bisa dibuang begitu kelinci itu bosan?

“Setidaknya, tolong aku, Tuan Kelinci. Aku tidak mengerti mengapa orang-orang mengejar dan melukaiku. Ponselku jatuh, jadi aku tidak bisa menghubungi Ichinose-san. Tolong, aku hanya ingin pulang.” Suara Arisu nyaris tak terdengar. Bibirnya yang memucat bergetar seiring tiap kata yang terlontar. Dalam hati, mati-matian ia meyakinkan diri bahwa masih ada sisi baik dalam diri Tuan Kelinci. Bukankah dahulu hewan mungil itu menolongnya beradaptasi dengan kehidupan sebagai Alice? Barangkali, jika ia tidak meminta terlalu banyak, makhluk itu akan berbelas kasihan ….

“Kau heran? Itu karena ulahmu sendiri, Arisu-chan.” Jawaban Tuan Kelinci memupuskan harapan sang gadis. “Berapa kali kau menggunakan Queen of Hearts? Lima puluh kali? Seratus kali? Atau, sudah tak terhitung lagi? Sudah kubilang agar kau tidak menggunakannya terlalu sering. Tiap kali kau menggunakan Queen of Hearts, efeknya akan terakumulasi pada setiap orang yang terkena dampaknya. Kau tahu apa akhir bagi pemujaan berlebihan, bukan? Fansmu, yang memang sudah memujamu sejak awal, makin lama makin terobsesi padamu. Obsesi itu mengalahkan akal sehat mereka, hingga tak ada lagi yang mereka inginkan selain memilikimu.”

Tidak. Tidak mungkin. Para fans pasti sudah menontonku ratusan kali! Arisu tercengang ngeri. Ia menggunakan Queen of Hearts setiap kali ia diwawancara perihal konfliknya dengan Chika Sawamura. Ia menggunakan Queen of Hearts di atas panggung setiap kali ia merasa kurang percaya diri. Bahkan, ia pernah menyelipkan Queen of Hearts dalam videoklip. 

“Kau tahu, tidak ada alasan khusus aku melakukan hal ini. Aku hanya suka menebar kekacauan di bumi. Menyenangkan sekali melihat manusia saling bunuh untuk hal-hal yang sebenarnya sepele, tahu!” Kelinci putih itu terkekeh dengan nada merendahkan. “Yah, kebetulan saja kau korban yang mudah.”

“M … makhluk apa kau sebenarnya, Tuan Kelinci?” Arisu tergagap. Sebuah kata muncul dalam benaknya, tetapi ia takut mengucapkan kata tersebut. Bila dugaannya benar, kelinci itu adalah makhluk yang sering menjadi penjahat dalam dongeng-dongeng yang ia baca di masa kecil. Makhluk yang sering digambarkan sebagai sumber segala kejahatan, yang sudah ada bahkan sebelum dunia dijadikan.

Kelinci putih itu menyeringai kejam. Mata merahnya berkilat-kilat. Di depan mata Arisu, berubahlah wujud makhluk itu. Tubuhnya membesar hingga menyentuh langit-langit gedung. Bulu putihnya menjelma jadi kulit bersisik yang dilapisi lendir busuk menjijikkan. Sepasang sayap bak sayap naga muncul dari punggungnya. Empat tanduk berbentuk laksana tanduk banteng tumbuh dari samping kepalanya. Mulutnya melebar sehingga wajahnya seakan-akan sobek menjadi dua. Deretan taring menyembul dari balik mulut tersebut.

“Kau benar.” Dengan suara dalam dan berat, makhluk itu berbicara pada Arisu yang terbelalak ketakutan. “Aku adalah Iblis.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top