22 - Pengejaran dan Obsesi

Derap langkah Arisu bergema di trotoar. Paru-parunya seakan mau meledak. Bahkan latihan-latihan dance yang rutin ia lakukan tak mampu mempersiapkan dirinya untuk lari sekencang ini. Ia takut. Takut luar biasa. Ia tak mengenal wilayah itu. Berdiam diri menunggu bus berikutnya mustahil dilakukan. Ia pun tak berani masuk ke tempat-tempat keramaian. Bagaimana jika orang-orang yang melihatnya semua menggila? Oh, tamatlah ia!

“Taksi!” Arisu melambaikan tangan pada taksi pertama yang melintas. Gadis itu langsung melongok ke arah sopir.

“Pak, tolong antar aku ke— Ah!” Spontan Arisu melompat mundur begitu pria paruh baya yang mengemudikan taksi hendak mencekal pergelangan tangannya. Sekilas, Arisu melihat guratan-guratan luka membentuk huruf kanji namanya di sekitar pergelangan tangan sopir itu.

“Mengapa takut? Kemarilah, Alice-chan! Aku janji kita akan bahagia selamanya,” ucap si sopir datar bak suara mesin. “Ayo, masuklah. Mari pulang ke rumah kita.”

“T … tidak! Tidak mau!” pekik Arisu. Kembali gadis itu berlari. Kakinya mulai sempoyongan. Ulu hatinya sangat sakit seperti ditusuk-tusuk. Gadis itu menyelinap ke dalam sebuah bangunan kosong, lalu menghubungi Kaito lewat ponselnya. Bolak-balik ia salah memencet layar karena telapak tangannya basah kuyup oleh keringat. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya panggilan tersambung.

“Alice-chan! Ke mana saja kau! Kami semua khawatir, tahu!” Bentakan Kaito terdengar dari telepon. Diam-diam Arisu sedikit lega. Syukurlah Ichinose-san masih terdengar normal, batinnya. Muncul secercah harapan bahwa ia masih bisa menyelamatkan diri.

“Tolong, Ichinose-san! Aku ada di daerah Musashino, dan banyak orang mengejarku. Cepat ke sini! Kurasa semua orang sudah menjadi gila!” desis Arisu panik. “Aku … aku tadi mengunjungi makam kenalanku, tetapi orang-orang mengenaliku saat aku hendak pulang. Kumohon segeralah datang!”

“Tenang, Alice-chan. Cobalah lebih spesifik. Sebutkan di mana kau berada sekarang, dan aku akan menjemputmu. Akan kubawa petugas keamanan.” Suara Kaito terdengar bak air sejuk di telinga Arisu. Gadis itu cepat-cepat menjulurkan kepala ke luar, lalu kembali bersembunyi di kegelapan. Derap langkah para pengejar yang mencari-cari berkejaran dengan degup jantung Arisu. Gadis itu menempelkan tubuh rapat-rapat ke dinding, berharap tak seorang pun dapat melihatnya dari luar.

“Uh, aku tidak tahu …. Aku berada di dalam bangunan rusak bekas toko roti. Kurasa namanya Clover Patisserie, tetapi plangnya sudah buram. Di seberang jalan, ada minimarket Family Mart. Agak jauh ke kiri, aku bisa melihat pompa bensin—”

“Alice-chan, halo? Halo? Suaramu putus-putus ….” Terdengar Kaito memanggil-manggil. Berulang kali Arisu memanggil, tetapi koneksi telepon tidak kunjung membaik. Sementara itu, suara-suara yang ditimbulkan gadis itu menarik perhatian pengejar-pengejarnya. Berbondong-bondong mereka datang mendekat.

“N … nanti aku telepon lagi, Ichinose-san! Aku harus pergi sekarang! Mereka datang!” teriak Arisu. Ia melompat keluar dari etalase toko, lalu berlari menyeberang jalan. Tidak sengaja kakinya tersandung tepian trotoar. Gadis itu jatuh terjerembab. Ponselnya melayang dari genggaman, lalu terbanting keras di aspal.

“Tidak! Jangan!” pekik Arisu. Buru-buru ia berlari ke tengah jalan, menghindari mobil-mobil yang melaju kencang. Begitu ia berhasil memperoleh ponselnya kembali, segera ia berusaha menyalakan benda elektronik itu. Namun, tabrakan dengan aspal telah meninggalkan retakan-retakan besar di layar ponsel. Walau berkali-kali Arisu menyentuh layar, fungsi touchscreen tidak lagi merespon.

Sial, bagaimana cara aku menghubungi Ichinose-san sekarang? Aku harus cari cara untuk kembali ke area yang kukenal! Harus!

Tanpa pikir panjang, Arisu berlari memasuki ke stasiun kereta. Beruntung, ia masih memegang kartu transportasi. Ia menyambar masker kain yang tergantung dari rak depan salah satu minimarket, lalu mengenakannya untuk menutupi wajah. Diam-diam ia membaur dengan para penumpang. Ia menyembunyikan diri di antara para pegawai kantoran bertubuh tinggi. Sementara itu, beberapa orang yang tadi mengejarnya ramai-ramai muncul di stasiun.

“Apakah kalian melihat Alice-chan?” tanya mereka pada semua orang. “Alice-chan tadi pergi ke sini!”

“Apa? Ada Alice-chan? Mana? Mana?” Para calon penumpang kereta ikut mencari-cari. Arisu membelalak ketakutan. Ia diam mematung dan berusaha tidak menarik perhatian. Namun, orang-orang itu enggan menyerah. Mereka mulai menarik dan memelototi wajah para gadis yang sedang menunggu kereta.

Aku tidak bisa terus di sini, batin Arisu. Diam-diam ia pergi lewat jalan keluar lain. Sial baginya, salah satu fans menyadari kepergiannya. Kembali Arisu harus lari dari rombongan fans fanatik. Lama kelamaan, ia tak kuat lagi. Kakinya terantuk pembatas jalan. Jatuhlah ia terjerembab.

Dalam sekejap, para fans fanatik sudah menangkapnya. Tua, muda, lelaki, perempuan, semuanya mengerubuti Arisu. Hanya butuh waktu singkat hingga gadis itu sadar bahwa mereka bukan hendak memerkosanya. Namun, Arisu tidak bisa bernapas lega. Sebab, bagai tersihir, orang-orang itu mulai menarik anggota-anggota badan si gadis. Arisu terbelalak ngeri begitu menyadari hal yang sedang mereka lakukan.

Sial, mereka akan merobek-robekku!

“Argh! Hentikan!” Arisu memekik kesakitan. Ia menatap ngeri pada ujung-ujung jemarinya. Lenyap sudah kuku-kuku palsu cantiknya. Tanpa belas kasihan, orang-orang itu merobek kukunya satu persatu, lalu bersorak-sorak bagai telah memenangkan lotere seratus juta yen. Darah membasahi tangannya. Namun, tentu saja orang-orang itu tidak puas hanya dengan memperoleh kuku. Bak orang mencabut bulu ayam, mereka mulai mencabuti rambut Arisu. Seseorang menghujamkan pulpen ke betis sang gadis dan perlahan-lahan merobek kulitnya. Seorang lagi mencakar-cakar pahanya dengan beringas. Orang-orang mulai berkelahi memperebutkan kesempatan untuk menyentuhnya. Dari antara keramaian, ia melihat suatu benda berkilat ditarik keluar.

Itu gunting! Arisu meronta lebih keras. Perkelahian bertambah sengit. Seorang lagi mengeluarkan pisau lipat dan orang lain mengeluarkan cutter. Arisu hanya bisa menatap ngeri saat para pengejarnya mulai saling tusuk. Tiap kali ia berusaha lari, orang lain langsung menangkap dan menjatuhkannya. Lutut dan sikunya sudah lecet-lecet karena bolak-balik terjatuh ke trotoar. Telapak tangannya penuh goresan dan lumuran darah. Dalam posisi menelungkup, ia berupaya menyeret dirinya menjauh. Namun, belum sempat ia pergi jauh, sebilah pisau tiba-tiba menembus punggung kirinya di dekat tulang belikat.

“Argh!” Sekali lagi Arisu menjerit. Rasa nyeri langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, lebih kuat daripada rasa sakit dari luka yang sudah-sudah. Air mata mengaburkan penglihatannya. Ia tak sanggup lagi menggerakkan tangan kirinya. Sebuah kaki yang besar menginjak punggungnya tepat di atas tulang belakang, memaksa gadis itu tiarap. Injakan itu menekan rusuknya.

“Kau tidak akan pergi ke mana-mana, Alice-chan!” Didengarnya seseorang berseru. Makin lama, napasnya bertambah sesak. Matanya berkunang-kunang. Susah payah gadis itu berusaha menjaga dirinya tetap sadar.

Aku tidak mau mati di sini. Tuhan, tolong, aku tidak mau mati di sini! Arisu berteriak dalam hati. Rembesan darah terasa hangat dan lembap di punggung pakaiannya. Ia mulai memikirkan orang tuanya. Tanpa dirinya, mungkin kawan-kawannya di Starlight akan berkabung sebentar. Setelahnya, mungkin manajemen akan membuka audisi personel baru. Gadis lain akan menggantikan posisinya. Dalam waktu setahun, paling lama dua tahun, takkan ada yang mengingat Alice Akiyama. Namun, orang tuanya pasti berduka sepanjang sisa hidup mereka.

“Aku telah berdosa. Aku sangat berdosa.” Arisu membisikkan kalimat itu berulang-ulang. Ah, apa kata ayat kitab suci yang dahulu pernah ia baca semasa masih mengikuti sekolah Minggu? Mengapa baru sekarang ia bisa mengingat bunyi ayat itu?

Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju ….

Tiba-tiba, beban terlepas dari punggung Arisu. Kerumunan orang mulai memecah. Dari sudut matanya, Arisu melihat suatu sosok familier berupaya melawan para pengepungnya satu persatu. Dengan kasar orang itu menarik punggung jaket Arisu, hingga gadis itu terpaksa berdiri.

“Cepat lari, Shimada-san!” seru suara itu.

“Kau?” Arisu terbelalak. Hampir ia tak mempercayai pendengarannya. Itu pemuda yang dahulu menguntitnya! “Bagaimana kau bisa—”

“Jangan banyak bicara! Cepat lari!”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top