10 - Pertunjukan Amarah
“Wawancara eksklusif?”
Setelah Arisu pulih dari keterkejutan, ia langsung meminta Kaito memberi penjelasan sejelas-jelasnya. Alih-alih memberi izin mengadakan konferensi pers, manajemen justru hendak menampilkan Arisu dan Chika dalam wawancara eksklusif oleh sebuah acara infotainment di Channel 23.
“Benar. Saat aku mengusulkan konferensi pers, kebetulan pihak Channel 23 baru saja menghubungi manajemen. Mereka ingin kalian tampil secepatnya, dan mereka ingin jawaban hari ini juga. Jika kalian bersedia, kalian akan tampil besok pukul dua siang di slot acara Stars’ Highlight,” jelas Kaito. “Aku pribadi berniat memberitahu kalian setelah kelas nanti, tetapi karena kau sudah telanjur ada di sini, bagaimana? Kau setuju atau tidak?”
Arisu mengangguk walau hatinya waswas. Stars’ Highlight selalu direkam tanpa penonton live. Itu berarti, alih-alih berbicara tatap muka di depan ratusan fans dan wartawan, ia hanya akan menghadapi kamera dan segelintir kru. Arisu tidak tahu apakah Queen of Hearts dapat bekerja melalui siaran video, tetapi ia tak mampu memikirkan alasan bagus untuk menolak tawaran tersebut. Diam-diam, ia berdoa pada Tuan Kelinci. Ia ragu Tuhan akan merestui niatnya (sampai hari itu ia tidak tahu apakah Queen of Hearts bisa dikategorikan sebagai sihir, tetapi karena sejak kecil ia diajari bahwa Tuhan membenci sihir, ia tidak mau ambil risiko!), tetapi ia percaya Tuan Kelinci pasti akan mendukungnya.
Sore harinya, Arisu memperoleh kabar bahwa Chika juga menyetujui wawancara. Malam itu juga, Kaito mem-briefing mereka berdua tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dikatakan. Mereka pulang ke rumah masing-masing waktu sudah lewat tengah malam. Ketika matahari menyingsing keesokan harinya, Arisu bahkan belum sempat benar-benar terlelap. Pukul sepuluh pagi Kaito menjemput ia dan Chika, sekali lagi menegaskan pada mereka tentang hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang, lalu membawa mereka ke stasiun televisi.
Nuansa Stars’ Highlight sangat berbeda dengan Happy Sunday Life. Sejak persiapan, aura serius yang intimidatif sudah menggantung di udara. Stage acara berupa tiruan interior sebuah ruang tamu bergaya Victorian Gothic, lengkap dengan kandil keemasan menggantung di langit-langit. Presenter acara ini adalah seorang wanita elegan yang selalu menggunakan make up tebal bernuansa gelap dan gaun malam panjang berwarna hitam. Sebelum wawancara dimulai, presenter itu menjelaskan duduk perkara secara singkat sementara video reportase yang sangat spekulatif diputar di latar belakang. Arisu tidak terlalu serius menyimak bagian tersebut. Setelah video selesai, barulah acara benar-benar dimulai.
“Akiyama-san dan Sawamura-san, terima kasih sudah bersedia hadir di studio pada siang hari ini. Nah, sekarang, tanpa membuang waktu, mari masuk ke inti pembahasan.” Ucapan sang presenter mendorong Arisu ke mode siaga. “Kalian tentu sudah mengetahui segala spekulasi di Internet. Benarkah hubungan kalian sedang merenggang?”
“Ya, dan aku menyesal hal ini sampai terjadi,” jawab Arisu hati-hati. Ia sudah bertekad untuk memberikan kesan yang bagus.
“Kami sama sekali tidak bermaksud membuat masalah, tetapi, yah, kau tahu bagaimana dalam setiap hubungan pertemanan selalu ada perselisihan.” Chika menyambung sembari tertawa hambar. “Begitulah, aku baru menyadari kalau aku ternyata tidak benar-benar mengenal sahabat masa kecilku.”
“Oh ya, kudengar kalian sudah berteman akrab sejak kecil.” Presenter itu tersenyum. “Bisakah kalian bercerita sedikit?”
“Benar, kami saling mengenal sejak sama-sama belum menjadi idol,” jawab Chika lugas. “Kami bersekolah di SD yang sama dan sama-sama mengikuti klub vokal. Alice-chan suka menyanyikan lagu-lagu pop untuk mengisi waktu luang, tetapi dulu dia tidak berniat untuk serius menjadi penyanyi. Ia baru tertarik pada dunia idol waktu kelas 5 SD, setelah aku mengikuti beberapa audisi. Aku yang mendorongnya supaya ia berani mengikuti audisi Starlight.”
“Menarik. Berapa audisi yang kalian ikuti sebelum menjadi trainee Mirai Entertainment?” tanya si presenter lagi.
“Tidak ada. Audisi Starlight adalah yang pertama dan terakhir,” jawab Arisu mantap. Kisah Alice yang langsung berhasil dalam audisi pertama sudah melegenda di forum-forum fanbase Starlight. “Berkat pengalaman Chika-chan, aku bisa mempersiapkan diri untuk audisi dengan baik. Sejujurnya, aku senang ia diterima bersama-sama denganku. Starlight sudah jadi seperti keluargaku sendiri.”
“Namun, akhir-akhir ini kau lebih sering mengerjakan proyek solo, Alice-chan. Apakah ini pertanda bahwa kau akan segera memulai babak baru dalam kariermu?” Presenter itu mencondongkan badan pada Arisu dengan gestur mengintimidasi. Spontan, Arisu menggeser posisi agak ke belakang. Gadis itu menghela napas panjang, lalu berbicara dengan nada pasrah.
“Aku tahu.” Arisu tersenyum sedih. “Itulah sebabnya Chika-chan salah paham dan mengira aku hendak meninggalkan Starlight. Selain itu, kurasa aku memang mengabaikan Chika-chan akhir-akhir ini. Padahal, seharusnya aku punya koneksi untuk mencarikan proyek juga baginya. Lain kali, aku akan mengajaknya melakukan proyek bersama-sama, seperti waktu ia dulu mengajakku audisi.”
Dari sudut matanya, Arisu menangkap kilatan amarah di mata Chika. Rekan segrupnya itu langsung berdiri dan menyahut sebelum dipersilakan menanggapi. Chika berseru, “Astaga! Ternyata kau belum mengerti juga, Alice-chan! Aku tidak perlu mengemis bantuanmu. Aku cuma ingin kau ingat bahwa kau tak mungkin bisa menjadi center Starlight tanpa jasaku, supaya kau tidak menganggap dirimu lebih baik daripada anggota lain. Itu saja.”
“Mohon duduk kembali, Sawamura-san,” pinta sang presenter. Dari bawah stage, Kaito memberi kode dengan gerakan tangan supaya gadis itu duduk kembali. Sambil tertawa sumbang, Chika kembali duduk. Tatapannya masih penuh permusuhan.
“Maaf, maaf, aku terbawa emosi.” Gadis itu mengibaskan tangan. “Bagaimana menurutmu, Alice-chan? Bukankah sejak dulu kau selalu menggunakan ide-ide dan pelajaran dariku untuk membuat penampilanmu menonjol di Starlight?”
“Cukup, Sawamura-san. Sekarang, mari kita dengar jawaban Akiyama-san.” Presenter itu berkata lagi, kali ini lebih tegas. Nyali Arisu sedikit ciut melihat lirikan tajam wanita itu. Otaknya berpikir keras. Bagaimana cara ia membalas perkataan Chika tanpa membuat dirinya kedengaran terlalu defensif? Apalagi, ia sudah sangat ingin membela Alice dengan berapi-api. Gadis itu menelan ludah. Untuk kesekian kalinya, ia meragukan dirinya sendiri.
Tampilkan kesan positif. Tampilkan kesan positif. Tampilkan kesan positif. Oh, demi segala makhluk yang hidup, tampilkan kesan positif!
“Menurut pendapatku, kurasa Chika-chan telah salah paham,” ucap Arisu tenang. “Selama ini, kami mendiskusikan konsep penampilan bersama-sama dengan anggota-anggota lain. Chika-chan memiliki banyak ide hebat, dan aku sangat mengagumi kreativitasnya. Namun, aku tidak pernah mengambil ide Chika-chan mentah-mentah. Semua penampilanku, baik di awal karier maupun saat ini, adalah hasil dari diskusi dan gabungan ide banyak pihak, termasuk idenya. Tidak ada bukti aku pernah melakukan plagiasi.”
Masih panjang tanya jawab yang dilakukan sepanjang sesi berdurasi setengah jam itu. Selama itu pula Arisu terus bertahan menegaskan dirinya tak bersalah. Soal apakah Alice asli memang bersalah, Arisu tidak peduli. Alice adalah Arisu, dan Arisu adalah Alice. Selama Arisu berada dalam raga Alice, ia akan memperjuangkan nasib Alice apa pun yang terjadi.
Akhirnya, tibalah ujung acara. Chika maju dan memberikan pernyataan penutup. Tak satu pun kata-kata gadis itu masuk ke benak Arisu. Ia terlalu sibuk memikirkan pernyataan penutupnya sendiri, yang kemarin ia rancang semalam suntuk. Setelah tiga menit, Chika selesai berbicara. Gadis berwajah tirus yang selalu mengenakan lensa kontak biru itu meninggalkan stage. Kini, giliran pembawa acara memanggil Arisu maju.
Ini dia. Arisu melangkah ke bawah spotlight. Walau ia sudah mempersiapkan pernyataan penutup ini, tetap saja tangannya berkeringat karena gugup. Perlahan ia menarik napas dalam-dalam, lalu membungkuk hormat. Diam-diam, kala ia mengangkat kepala, dikedipkannya sebelah mata. Setelahnya, barulah ia membuka mulut. Ekspresi sayu wajahnya menegaskan penyesalan yang hendak ia tampilkan.
“Fans-ku yang tersayang, aku tidak bisa memaksa kalian untuk mempercayaiku. Mungkin, hari ini kalian melihat sisi lain dari diriku yang tidak sesuai dengan bayangan kalian. Namun, entah siapa pun yang kalian dukung, cerita versi mana pun yang kalain percayai, kuminta agar kalian jangan bertengkar. Masalah antara aku dan Chika-chan adalah masalah pribadi kami. Aku minta maaf karena telah membuat kalian tak nyaman, dan kami akan berusaha mencapai kompromi secepat mungkin. Jadi, kumohon tetap berikan doa-doa baik kalian untuk Starlight, dan dukung kami supaya masalah ini cepat selesai.”
Sudah selesai. Arisu menarik napas panjang. Rasanya seolah sebuah beban berat baru saja terangkat dari jiwanya. Bagai sedang bermimpi, gadis itu melangkah melewati orang-orang yang mengerubunginya, lalu menghilang ke backstage. Segera ia berganti pakaian dan menghapus make-up. Oversized hoodie berdesain polos yang ia bawa membungkus tubuhnya bak pelukan hangat. Kemudian, ia melangkah cepat menuju pintu keluar.
“Mau ke mana kau?” Suara Kaito menarik perhatiannya.
“Hanya sebentar, Ichinose-san. Aku perlu menenangkan diri,” sahut Arisu tanpa sedikit pun memperlambat langkah. “Aku akan segera kembali.”
“Kembali, Alice-chan!” Kaito mulai mengejar. Sekonyong-konyong, Arisu berhenti melangkah, berbalik, lalu menatap manajernya lekat-lekat.
“Kumohon biarkan aku sendirian sebentar saja. Rasanya aku seperti hendak meledak di sini,” ucap Arisu tanpa berkedip. Tangannya meremas tepian hoodie erat-erat. Dadanya sesak menahan campuran emosi yang membuncah.
“Kutunggu kau di depan gedung.” Akhirnya Kaito berujar pasrah. Arisu mengangguk kecil tanda berterima kasih, lalu cepat-cepat berlalu.
Di depan pagar stasiun televisi, beberapa wartawan sudah menunggu. Para kru mengarahkan Arisu lewat jalan kecil di belakang gedung untuk keluar, sementara Kaito maju untuk meladeni pertanyaan para wartawan.
Begitu petugas keamanan berhasil menghentikan para wartawan, Arisu melangkah cepat menuju kafe tak jauh dari stasiun televisi. Karena bukan jam istirahat kantor, kafe itu sedang sepi. Hanya ada beberapa pekerja freelance yang fokus pada laptop masing-masing. Gadis itu menghela napas lega. Ia memesan secangkir matcha latte dan sepotong lemon cake. Sambil menunggu pesanannya, Arisu melangkah ke meja di sudut ruangan, jauh dari jendela.
Sepertinya aku berhasil memperoleh kesan positif. Arisu mengingat-ingat penampilannya saat wawancara. Tidak adanya penonton live di wawancara itu membuat Arisu tidak bisa mengetahui reaksi pendengarnya. Namun, ia tidak mau berpikir terlalu banyak. Otaknya sudah cukup penat akibat seluruh urusan ini, dan ia ingin bersantai sejenak. Gadis itu menyandarkan punggung pada kursi yang empuk, lalu memejamkan mata. Sayup-sayup ia mendengar bel pintu kafe berdenting. Ia tidak tahu bahwa Chika telah menyusulnya ke dalam kafe, dan bahwa gadis itu sedang amat sangat murka.
“Sialan kau, Alice-chan! Untuk apa kau mengatakan hal-hal semacam itu tadi? Kau sengaja ingin membuatku kelihatan menyedihkan, ya?” Chika menarik lengan Arisu keras-keras hingga gadis itu terpaksa berdiri dari kursinya. Arisu memekik kesakitan. Cangkir teh terguling dari meja, lalu pecah berkeping-keping di lantai.
“Tidak usah menarikku seperti ini, Chika-chan. Kau tahu aku cuma mengatakan kebenaran. Aku tidak punya maksud lain, sungguh,” sahut Arisu tenang. Sekuat tenaga ia berusaha menjaga emosinya tetap stabil. Ia sadar masih banyak orang yang mengikuti gerak-gerik mereka. Jangan sampai ia merusak image Alice gara-gara mengikuti perasaannya!
“Ingin playing victim lagi, eh? Seharusnya aku tahu kalau sejak dulu memang ini keahlianmu, Alice-chan.” tangan Chika masih mencengkeram lengan atas Arisu erat.
Spontan, Arisu berjengit begitu kuku-kuku panjang Chika mulai menekan ke dalam kulit halusnya. Namun, ia tidak melawan. Dari sudut matanya, Arisu menyadari keberadaan beberapa wartawan yang diam-diam merekam dari luar kafe. Sebuah ide licik langsung melintas dalam benaknya. Gadis itu balik berucap di telinga Chika, sangat pelan hingga terdengar hampir seperti bisikan.
“Benar katamu, aku memang bukan orang baik. Jadi, bukan salahku kalau kau terlalu percaya padaku.”
Seketika, tangan kiri Chika melesat ke pipi Arisu. Bunyi tamparan bergema ke seluruh penjuru kafe yang mungil itu. Para pengunjung menoleh. Begitu kerasnya tamparan itu, hingga Arisu terhuyung ke belakang. Pipi kanannya terasa bagai membara. Matanya pedas dan berair, memaksa gadis itu mengerjap-ngerjap supaya air matanya tidak meleleh.
Sementara itu, para wartawan langsung bergerak masuk. Kilatan flash kamera sambung menyambung bak sambaran petir di sekeliling kedua gadis itu. Dengan berpegangan pada punggung kursi, Arisu kembali berdiri tegak. Ia melirik sekilas ke arah para wartawan, lalu tersenyum manis kepada Chika. Sangat manis, hingga gadis remaja berambut biru itu kehilangan kata-kata.
“Maafkan aku,” ucap Arisu lirih. Gadis itu berlalu dengan langkah-langkah kaku, meninggalkan Chika berdiri terpaku.
Tanpa berkomentar, ia menyeruak di antara kerumunan wartawan dan mendatangi Kaito yang sudah menunggu di seberang jalan. Ia tahu wartawan-wartawan telah merekam seluruh kejadian di kafe. Publikasi kejadian tersebut akan berdampak buruk bagi reputasi Chika, jauh lebih buruk daripada hal-hal yang tadi diceritakan dalam wawancara. Dan, bagian terbaiknya, Chika telah mendatangkan bencana itu jauh lebih cepat daripada yang ia sangka.
Aku tidak sabar menantikan kehancuranmu, Chika Sawamura.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top