1 - Eskapisme Masa Remaja

Cahaya lampu LED berpendar menembus tirai putih dari sebuah kamar di lantai tiga Tsukimi Mansion, sebuah apartemen kelas menengah di Tokyo. Hampir seluruh sudut dindingnya dilapisi poster-poster A3 bergambar enam orang gadis remaja berpakaian serupa. Kamar itu dilengkapi oleh sebuah ranjang berukuran queen, televisi, meja belajar, nakas, dan lemari pakaian. Boneka-boneka kelinci merah muda pastel berjajar di atas ranjang. Rak buku di atas meja belajar dipenuhi album photocard dan pajangan merchandise beraneka bentuk dan ukuran.

Pemilik kamar itu adalah seorang remaja tujuh belas tahun bernama Arisu Shimada. Arisu selalu menganggap dirinya sebagai gadis yang membosankan. Penampilannya biasa saja dan mudah dilupakan. Rambut hitam pendek sebahu, tubuh setinggi 160 cm yang sedikit gempal, dan mata sipit khas orang Jepang. Ia membenci bentuk rahangnya, yang membuat wajah ovalnya tampak cenderung maskulin. Ia membenci paha dan betisnya yang lurus dan berisi seperti batang pohon.

Selama bersekolah, tidak pernah sekali pun Arisu menerima cokelat white day atau ajakan kencan dari murid-murid lelaki. Oleh karena itu, ia memilih menenggelamkan dirinya dalam dunia mimpi. Ia memenuhi kamarnya dengan poster dan pernak-pernik idol group favoritnya, Starlight. Lantaran masih remaja, ia tidak punya cukup uang untuk sering-sering menghadiri konser Starlight secara langsung. Namun, ia hampir tak pernah melewatkan penampilan Starlight di televisi.

Malam ini, Starlight tampil di Yokohama untuk acara ulang tahun sebuah perusahaan e-commerce ternama. Konsernya disiarkan di televisi. Sejak satu jam sebelum acara, Arisu sudah berdandan seolah ia hadir di lokasi acara. Ia kenakan T-shirt putih berlogo bintang violet dengan tulisan STAR⁠☆LIGHT berwarna merah muda holografik, dan rok lipit pendek berwarna senada. Matanya berbinar waktu warta berita malam di televisi berakhir dan jingle yang ia tunggu-tunggu diputar.

Sudah dimulai! Arisu melompat berdiri. Televisi menampilkan panggung terbuka megah yang dikelilingi puluhan ribu penonton. Hujan rintik-rintik di Yokohama tidak melemahkan antusiasme mereka. Poster, lightstick, dan spanduk tak henti-henti dilambaikan.

“Starlight! Starlight! Starlight!” Para penonton terus melakukan chant. Rasanya lama sekali hingga pembawa acara muncul dari balik panggung.

“Selamat malam, pemirsa! Di musim gugur yang indah, cinta dan harapan mekar seperti bunga. Mari kita sambut idola-idola kita tercinta, Starlight!” seru pembawa acara. Sorak-sorai penonton langsung membahana.

Yeah!” Arisu bersorak girang. Panel latar belakang panggung terbuka, menampilkan enam gadis remaja yang berbalut kostum sailor berwarna merah muda holografik. Idol group Starlight baru debut tahun lalu, tetapi grup itu telah menjadi salah satu pendatang baru paling populer di Jepang. Mereka terkenal dengan lagu-lagu yang playful dan optimis. Tak heran, banyak remaja mengidolakan mereka.

Seorang dari keenam gadis itu maju dan melambai centil. Ia bertubuh langsing semampai. Rambut hitamnya tergerai lepas sampai ke punggung. Matanya yang bulat dan besar membuatnya tampak bagaikan boneka porselen. Namanya Alice Akiyama, center Starlight. Sebagai penyanyi utama, gadis itu bukan hanya cantik, tetapi juga memiliki kemampuan vokal dan dance yang mumpuni. Seketika, para penonton di studio bersorak. Demikian pula Arisu, yang langsung mengangkat lightstick tinggi-tinggi.

“Meski awan gelap naungi diri, semua pasti akan baik-baik saja. Jadi mari bersorak. It’s my lucky day! Starlight! Starlight! Yeah!” Arisu bersenandung mengikuti lirik lagunya. Ia ayunkan lightstick berbentuk bintang dalam genggamannya. Pendar merah jambu dan violet silih berganti menerangi kamar mungil si gadis remaja. Lagu demi lagu ia nyanyikan tanpa kenal lelah.

Tiba-tiba, Arisu mendengar perutnya keroncongan. Ia berusaha mengabaikan hal itu, tetapi rasa lapar makin lama makin menjadi. Beberapa saat lamanya Arisu mencoba memikirkan alasan mengapa dirinya jadi begitu lapar.

“Sial, aku lupa makan malam,” gumam Arisu kesal.

Ogah-ogahan Arisu mematikan televisi. Ia membuka pintu, lalu melangkah malas ke dapur. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, tetapi orang tuanya belum pulang dari kantor. Kemungkinan bos mereka mengadakan acara karaoke lagi, pikir Arisu sembari memperhatikan bahan-bahan makanan dalam kulkas. Pak Shimada bekerja sebagai staf keuangan di sebuah perusahaan penerbitan besar, sedangkan Bu Shimada bekerja di sebuah department store elit di wilayah Ginza.

“Lagi-lagi tidak ada apa-apa ….” Arisu menghela napas panjang. Terpaksa ia harus pergi ke minimarket. Gadis itu meraih hoodie merah muda bermotif bintang-bintang violet yang tergantung di belakang pintu depan, lalu mengenakannya. Tidak lupa ia memasang tudung menutupi rambutnya yang berantakan.
Minimarket terdekat jaraknya hanya lima menit dari Tsukimi Mansion. Musim gugur baru saja dimulai. Udara malam sedikit dingin, sehingga Arisu berlari-lari kecil menyusuri jalan.

Malam itu jalanan sepi dan gelap. Arisu tanpa sadar menghela napas lega waktu mencapai minimarket yang terang. Hanya ia satu-satunya pengunjung. Segera ia menghampiri etalase tempat makanan-makanan siap saji dipajang. Ia membeli sekotak curry katsudon, memanaskannya di microwave, lalu menyantapnya di bangku yang disediakan di dalam minimarket.

Televisi mungil di langit-langit minimarket menyiarkan konser Starlight. Arisu menonton sambil menikmati makan malam. Kakinya bergoyang-goyang mengikuti melodi. Tak lama kemudian, bel kembali berdenting. Empat remaja perempuan masuk bergerombol. Begitu melihat mereka, Refleks, Arisu menundukkan kepala dan memalingkan muka. Ia berusaha makan cepat-cepat, tetapi salah satu dari remaja-remaja itu berhasil mengenalinya.

“Eh, Shimada-san? Astaga, sudah kuduga itu kau! Kukira kau takkan penah keluar rumah lagi,” seru gadis itu dengan nada ramah yang dibuat-buat. Dandanan tebal dan pakaian terbuka membuat gadis itu kelihatan modis, tetapi sekaligus lebih tua dari usianya yang baru tujuh belas tahun. Tatkala gadis itu mendekati Arisu, teman-temannya serempak mengikuti. Dalam waktu singkat, Arisu sudah dikelilingi oleh keempat remaja itu.

“Hoshifumi-san, sudah lama tidak bertemu,” sahut Arisu gugup. Tanpa sadar, ia bergeser menjauh. “Sedang apa kalian di sini?”

“Berbelanja, tentu saja.” Gadis lain, yang bertubuh mungil dan rambut sebahunya ditata membentuk ikal-ikal besar, tertawa kecil sambil mengguncangkan kotak permen dalam genggamannya. “Astaga, hoodie-mu itu official merchandise Starlight, kan? Tidakkah seharusnya kau menggunakan uangmu untuk hal yang lebih berguna? Kau tahu kau takkan pernah bisa menjadi seorang idol, Shimada-san.”

Arisu hendak menyanggah, tetapi tidak bisa menemukan kata-kata yang pas. Tangannya mencengkeram sendok erat-erat. Ia paham penampilan fisiknya sangat jauh dari standar para bintang idola. Suaranya biasa-biasa saja, meski ia hapal seluruh lagu Starlight dan urutan rilis mereka. Usianya pun sudah terlalu tua untuk memulai pelatihan. Ia tahu, agensi-agensi idol group suka melatih trainee semenjak sekolah dasar. Tanpa bakat yang mumpuni, mustahil ia bisa menembus audisi idol group.

Seharusnya aku tidak keluar rumah hari ini! Gadis itu mendorong kursinya mundur, lalu bangkit dengan kasar. Ia berjalan cepat meninggalkan keempat remaja perempuan yang kini menertawakannya. Dahulu, keempat gadis itu pernah jadi teman sekelasnya. Namun, karena lelah dengan perundungan yang setiap hari ia terima, Arisu memutuskan untuk mogok sekolah. Ia tidak pernah kembali ke sekolah sejak liburan musim panas dimulai, tak peduli seberapa keras orang tuanya membujuknya. Akhirnya, orang tuanya pasrah dan membiarkannya berbuat sesuka hati. Teman-teman sekelasnya pun tak ada yang menghubungi. Arisu menduga bahwa mereka diam-diam bersyukur karena ia sudah pergi dari sekolah.

Mereka bilang mukaku merusak pemandangan kelas, batin Arisu sembari tertawa getir tatkala ia sudah menginjakkan kaki ke dalam lift. Perlahan, air matanya mengalir. Ia tidak mengerti mengapa ada gadis-gadis yang terlahir jauh lebih sempurna daripada gadis-gadis lainnya. Mereka terlahir dengan penampilan menarik, bakat menonjol, dan nasib selalu baik. Meski Arisu tidak sepenuhnya percaya reinkarnasi karena dibesarkan dalam keluarga Katolik, terkadang ia berpikir bahwa nasib buruk yang ia jalani sekarang mungkin adalah karma dari kehidupannya di masa lampau.

Sesampainya di kamar, Arisu mengecek ponsel. Selama ia pergi, group chat para penggemar Starlight yang ia ikuti telah dipenuhi ratusan notifikasi. Tentu ia jadi penasaran. Tidak biasanya grup begini ramai di hari kerja. Begitu ia membaca pesan-pesan dalam grup, tahulah ia bahwa teman-teman grupnya sedang membahas sebuah video dance cover yang sedang viral di internet.

Tidak mungkin. Arisu terperangah setelah menonton video itu. Tanpa sadar, ia menjatuhkan ponsel. Ia mengira nasibnya takkan jadi lebih buruk lagi malam ini. Namun, dugaannya salah. Sebab, bencana yang lebih besar baru saja menimpanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top