Another Space

Lia terbangun di tempat yang aneh. Gedung pencakar langit ada di mana-mana. Dengan sejuta pernak-pernik keramaian kota.

Sejauh matanya memandang walaupun terlihat modern kota itu terlihat aneh. Model bangunannya sama sekali tak pernah ia jumpai. Bentuknya ada yang berbentuk bulat, berbentuk bulan sabit, beserta antena di atas rumahnya.

Tak hanya itu. Karena Lia terbangun di keramaian kota, ia kembali dikejutkan dengan penampilan penduduk yang berlalu lalang.

Ia menatap warna kulitnya sendiri.

"Normal," pikirnya.

Melihat warna kulit penduduk yang berwarna-warni yang dibalut dengan seragam silver lengkap dengan sepatu bot hitam itu membuatnya bingung. Tak lupa juga di kedua tangannya terdapat pistol besar yang entah digunakan untuk apa.

Masa sih... alien?

Warna kulitnya menjadi sangat mencolok di antara warna warni para alien yang berlalu lalang. Ada yang berwarna hijau, kuning, oranye, bahkan pink.

Belum sempat ia memerhatikan isi kota aneh ini, ledakan terjadi, membuat heboh para alien, tak terkecuali Lia.

Lia meneguk ludah. Firasatnya tidak enak.

Entah mengapa, para alien mulai berlari. Membuat Lia mau tak mau mengikuti langkah mereka, di sela-sela ledakan yang masih terus terjadi.

Keringatnya mulai bercucuran. Bohong, kalau ia bilang ia tidak takut.

Lia berteduh di bawah seng yang kebetulan ada di pinggir jalan. Tubuhnya yang mungil memungkinkan dirinya untuk berteduh di bawah sana. Kakinya tidak kuat untuk menyejajarkan langkah para alien itu. Sehingga tak ada pilihan lain selain keluar barisan dan berteduh.

Ia menekuk lututnya, sambil tersedu. Ledakan di luar masih terus bersahutan. Lia hanya hisa berharap bahwa ledakan tersebut tak sampai mengenainya.

Ada cahaya senter yang menyorotnya.

Ia menengadah dan menyipitkan matanya.

"Ada anak kecil! Kita harus menyelamatkannya dan membawanya ke pengungsian!"

Senter itu dimatikan. Kini Lia dapat melihat sosok yang bisa berbicara dalam bahasanya.

Gadis itu tampak normal. Rambutnya dikepang dua. warna kulitnya sama sepertinya. Hanya saja ia mengenakan seragam yang sama dengan alien lainnya.

"Tenanglah. Aku manusia. Aku harus membawamu ke tempat yang aman karena perang antar galaxy telah dimulai. Ayo!"

Lia menyambut uluran tangan gadis itu. Sambil mengusap air matanya, ia berdiri dibantu oleh gadis itu.

"Namaku Laura. Kau?"

"Lia."

Laura tersenyum.

Di belakang Laura ada seorang lelaki yang juga tampak normal.

"Dia Peter. Dia juga manusia seperti kita. Kau tak perlu takut lagi."

Lia mengangguk pelan. "Laura, kita punya waktu dua menit untuk mencapai pesawat kita. Aku sudah menghubungi Max. Ia sedang menuju ke sini. Kita hanya perlu menuju tanah lapang merah di sana karena di sini rawan ledakan."

"Baik."

Peter menoleh ke arah Lia. "Apa kau masih kuat berjalan?"

Lia menatap Peter sambil menggeleng.

Peter berjongkok, menyejajarkan tingginya dengan Lia. "Jangan khawatir. Kami akan menyelamatkanmu."

Setelah mengatakan itu, Peter menggendong Lia. Lia hanya bisa pasrah dan menutup matanya. Ia tak ingin melihat kegaduhan di sekitarnya. Kepalanya pening. Ia tak pernah berada di medan perang seperti ini.

Peter dan Laura berlari menembus kerumunan alien.

"Max! Kami menuju tanah merah. Tolong kirim koordinatnya."

"Siap kapten!" jawab Max dari seberang telepon.

Beberapa detik setelahnya, koordinat pasti pendaratan pesawat luar angkasa mereka berhasil didapat oleh Peter.

Mereka bergegas menuju tanah merah.

Tersisa waktu satu menit. Laura dan Peter mempercepat larinya. Koordinat titik yang diberikan Max sudah ada di depan mata. Pesawat luar angkasa yang dikemudikan oleh Max juga sudah nampak.

Lia menatap pesawat luar angkasa yang berbentuk bundar pipih itu dengan takjub. Pintunya terbuka, saat mereka berjarak kurang lebih seratus meter dari pesawat tersebut mendarat.

Dua puluh detik setelahnya, mereka berhasil menyelamatkan diri di dalam pesawat. Setidaknya mereka masih aman dari ledakan, saat berada di dalam pesawat tempur luar angkasa milik Peter.

"Kapten!"

Max menyapa Peter dan Laura.

"Wah kalian membawa anak kecil."

"Kami tidak sengaja menemukannya. Sebelum bertempur, apa ada waktu untuk mengantarnya ke tempat pengungsian?" tanya Peter sambil menurunkan Lia di bangku pesawat dan memasangkan sabuk pengaman.

Laura duduk di sebelah Lia. Menenangkan gadis kecil itu dan memberi tahunya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Ada waktu lima sampai sepuluh menit kalau klan musuh tidak ada di perbatasan tiga puluh menit lagi. Kalau mereka sampai di perbatasan di bawah tiga puluh menit, kita tidak punya waktu."

"Kalau begitu berangkat sekarang menuju tempat pengungsian."

Max menatap Peter ragu. "Tapi untuk mencapai pengungsian kita harus melewati perbatasan dulu. Kau yakin? Kalau kita melewati perbatasan dan klan musuh sudah ada di sana, kita tidak bisa menuju pengungsian dan terjebak di baris depan pertempuran."

Peter tampak berpikir sejenak. Keputusan ini cukup berat.

"Tak apa. Setidaknya kita harus mencoba."

"Baik kapten!"

Max menuju kemudi. Di detik berikutnya, pesawat lepas landas.

Peter memberi pistol kecil pada Lia.
"Lia. Kalau kami terpaksa menurunkanmu di tanah lapang, berjalanlah ke arah timur dan tembakkan pistol ini ke atas. Mereka yang ada di sana akan menyelamatkanmu."

Lia mengangguk dan menerima pistol itu. Dalam hati ia terus mengucap doa.

Tuhan, tolong selamatkan kami.

***

Situasi kali ini lebih menyeramkan dari mimpi buruknya sekalipun.

Wajah Lia menegang kala ia mengetahui bahwa kekhawatiran Max benar-benar terjadi.

Mereka terjebak di garis depan pertempuran, padahal nyaris saja mereka lolos mengambil jalan menuju pengungsian.

"Perbatasan sialan!" umpat Peter.

Pesawat tempur klan mereka dengan klan musuh saling berhadapan.

Lia dapat melihat penumpang di pesawat musuh melalui kaca depan pesawat tempurnya, begitu pula sebaliknya.

Namun keajaiban terjadi.

Anak itu, ada di sana.

Mata mereka bertemu.

Bertepatan dengan itu, ia dapat mendengar suara desingan peluru laser yang dilepaskan oleh musuh dan pesawat tempur yang dinaikinya.

"TIDAK! JANGAN!"

Teriakan itu sia-sia. Karena pesawat tempur yang dinaikinya dengan pesawat tempur musuh sudah saling menembak satu sama lain. Suara desing peluru berlaser saling bersahutan. Membuatnya menutup telinga karena takut.

Perasaannya campur aduk. Kedua matanya terpaku dengan peluru laser bercahaya biru yang menghantam pesawat tempur yang ditumpangi anak itu, juga peluru laser bercahaya hijau yang diarahkan pada pesawat tempurnya.

Lia terus berteriak kala menyaksikan hal itu. Membayangkan mereka yang ingin bertemu namun harus saling melawan satu sama lain. Peluru laser bercahaya hijau itu menembus pesawat tempurnya. Semuanya berjalan dengan lambat, membuat Lia dapat melihat jelas detil kejadian mengerikan itu.

Apa aku akan mati?

Ledakan terjadi saat pesawat tempur yang ditumpanginya mengalami kehancuran. Lia dapat melihat mata basah Laura yang dengan cepat langsung memeluknya.

pandangannya menggelap, di detik-detik terakhir pesawat tempur tersebut hancur menjadi abu di luar angkasa.

***
Dengan napas terengah dan jantung berdebar, Lia terbangun dari tidurnya. Air matanya bercucuran, mengingat perpisahannya dengan Laura, Peter, dan Max yang cukup tragis. Ia selamat, tapi bagaimana dengan mereka?

Bertepatan dengan itu, pintu kamar Lia menjeblak buka.

Lampunya dinyalakan, membuat gadis itu menoleh ke arah pintu. Mamanya, berdiri di ambang pintu dengan wajah khawatir.

"Ada apa, Lia? Mengapa kau berteriak di tengah malam?"

Lia menggeleng. "Hanya mimpi buruk kok, Ma. Lia baik-baik saja."

Mama menghela napas. "Sebelum tidur, jangan lupa membaca doa, agar tidurmu tak diganggu oleh mimpi buruk."

Setelah berpesan seperti itu, mama menutup pintu dan kembali ke kamarnya.

Lia segera turun dari tempat tidurnya dan buru-buru meletakkan pistol kecil dalam rak koleksinya.

Seperti dua hari yang lalu, terakhir ia bermimpi, ia membuka buku biru pastel dan mulai menulis isi mimpinya dengan tak sabaran.

Hari keempat.

Dunia luar angkasa.

Hari ini menegangkan sekali. Meski begitu, aku berhasil melihatnya lagi dalam mimpi dan kembali bermimpi.

Hari ini aku terbangun di medan perang. Beruntung aku bertemu dengan manusia di sana.

Kami hanya bertemu pandang, di kedua pesawat tempur yang berbeda. Sampai akhirnya pesawat tempur kami saling membunuh satu sama lain dan membuatku terbangun dari mimpi.

Apa kabar, Laura, Peter, dan Max?

Apa mereka mati menjadi abu?

Aku berharap mereka selamat. Kumohon, tolong selamatkan mereka. Siapapun, yang ada di dunia mimpi itu.

Dan hei, apa anak itu juga akan terbangun saat mati dalam mimpinya, sepertiku?

Dia selamat, kan?
.
.
.
Tbc

************************************
Day 6
6th November 2019

Tema : Buatlah cerita dengan genre space opera.

APA INI?!

KENAPA TEMANYA MENDADAK BEGINI?

Maafkan aku, yang menulis dengan sehina ini. Chapter ini rada gaje, tapi anehnya, tembus 1200 kata ...

Aku juga jadi merasa jahat sama Lia. Bocah 10 tahun kudu liat perang dan masuk medan perang itu gimana ceritanya ㅠ.ㅠ  //nangis di pojokan.

Mau bolong, tapi di satu sisi petjut muncul menandakan kalau kita harus bermaso ria.

Dan untuk hari ini, aku kembali menjalankan motto, "pokoknya nulis."

Sudahlah... yang penting tidak tewas.

Maaf ya Lia. Rasa rasanya memang wonderland ditakdirkan untuk jadi random, bukan khusus cerita anak kecil dengan mimpi sejuta permen manis fuwa fuwa.

Happy reading and see you tomorrow ㅠ.ㅠ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top