5. Double-Trouble Maker

Juna menepati janjinya untuk menemani Nina. Asisten merangkap manajernya tidak bisa menemani. Meski Juna yakin, urusan terbang ke Surabaya bukan masalah. Nina berani sendiri.

Juna tetap sabar. Meski yang ditemani sejak dijemput ke rumah masih menekuk wajah. Entah masalah yang kemarin atau yang mana.

Serius, Juna sebal dengan perempuan yang sedikit-sedikit ngambek, apalagi manja. Tapi anehnya, dia mempunyai toleransi yang tinggi untuk ketiga sahabat perempuannya.

Mereka bebas mau apa. Mau marah, Juna terima, bahkan sabar menghadapi. Mau ngambek, Juna akan diam dan menunggu sampai membaik sendiri. Mau membuat masalah, Juna tidak akan meneriaki mereka. Tetap berkepala dingin—tanpa harus membuat masalah semakin runyam.

Kalau dipikir, jangan-jangan Juna kena pelet. Ya dinalar saja, dia menjadi serba-mudah ketika menghadapi ketiganya.

Bucin tolol memang.

“Nin,”

“Apa?!”

Juna kesal sendiri, dia bahkan baru menyadarinya sekarang. Tapi dilihat dari ekspresi Nina, sepertinya perempuan itu juga tidak sadar. Dia menghadang jalan Nina yang sejak tadi melangkah di depannya. Dicekal satu tangannya dengan pelan lalu membawanya masuk ke salah satu koridor yang sepi di bandara.

“Tadi sebelum pake baju, sadar apa nggak?”

“Kenapa?”

Juna melepas tas selempangnya, lantas menanggalkan hoodie yang dia pakai. Menyisakan kaus hitam tanpa lengan.

“Pake.” Diulurkannya hoodie itu.

“Nggak mau.”

“Pake, Nina. Gue nggak mau lo jadi tontonan orang-orang.”

“Apaan sih, Jun? Soal punggung gue? Ini style, Jun, style. Jangan norak. Gue bahkan pernah berpakaian lebih terbuka dari ini.”

Kalimat barusan tidak benar-benar datang dari hati Nina. Juna hafal karakter Nina yang ini. Kalau sedang bete, kalimatnya berkali lipat lebih judes dari Danisha. Sengaja membuat orang di sekitar lebih kesal.

“Oke. Gue pulang. Biar Vian yang ke sini gantiin gue.” Juna mengambil tasnya yang tergeletak di lantai. Bersiap meninggalkan Nina di sana.

“Jun!”

Baru dua langkah, Juna berhenti. Dia tidak langsung berbalik, justru menyeringai.

Nina menyerah. “Ya udah, sini hoodie-nya.”

***

Mendarat di Bandara Juanda, keduanya menuju hotel yang sudah disediakan pihak penyelenggara acara. Juna tidak banyak tanya sebelum akhirnya tiba di hotel dan mendapati fakta kalau kamar hotel hanya untuk satu orang.

Sialnya, tidak ada kamar lain yang tersisa. Semua sudah terisi tamu penting dari luar kota—Juna malas mengonfirmasi lagi.

“Ya udah, biasanya tidur berempat juga.” Nina mengibaskan tangan. Melirik wajah masam Juna.

“Tapi ini cuma berdua.”

Keduanya masih berdebat di dalam lift.

“Kemarin juga tidur sekamar di rumah Vian, ‘kan?”

“Itu beda, Nina.”

“Biar gue yang tidur di sofa.”

“Nggak. Gue aja.”

Nina nyengir mengikuti Juna keluar dari lift. Menuju kamar sesuai dengan nomor di keycard.

“Gue tadi siang ketemu Danisha.” Juna duduk di sofa, melepas sepatu ketsnya. Sementara Nina sudah merebahkan tubuh di kasur. Meluruskan punggungnya yang pegal.

Menatap langit-langit, Nina bertanya. “Oh ya? Kamis ya ini?”

“Gue nggak sempet masuk ketemu Tante Anna. Cuma makan siang bentar sama Danisha.”

Is she okay?”

“Kita tahu gimana. Dia bakal kelihatan baik-baik aja.” Juna menghela napas.

“Kapan sih terakhir lihat Danisha nangis? Gue bahkan lupa.”

“Jangan coba-coba bikin dia nangis, Nin.” Juna mengingatkan. “Dia kalau nangis lama. Susah dibujuk. Susah dihibur.”

“Iya. Lagian kalau mau bikin Danisha nangis juga mesti pikir-pikir dulu. Ketimbang lihat dia marah, gue lebih takut pas dia nangis.”

“Aneh banget sih lo.”

“Danisha sama lo kan satu spesies. Gue kadang nggak bisa baca ekspresi di wajah kalian. Tapi yang jelas sih, kalau berhadapan sama gue, self-control kalian bagus banget.”

“Boleh jujur?”

“Boleh. Apa?” Nina menoleh.

Juna melipat tangan, menyandar di punggung sofa dengan elegan. “Lebih mudah menghadapi sepuluh Vian daripada satu Nina.”

Nina tertawa sumbang lalu memaki pelan. Juna senang melihat mood Nina sudah membaik. Sebenarnya, Nina tidak separah yang dia sangka. Perempuan itu mudah dihibur. Mudah dialihkan.

“Ya, ya, gue akui. Vian nggak seribet gue. Dia mudah dihandle. Nggak neko-neko.”

“Gue juga ribet.” Juna mengambil ponselnya. Mengecek chat yang masuk. Ada job MC lusa. Semoga saja selama di Surabaya, Nina tidak menguras energinya.

“Ribet pas Mr. Perfect lo kumat.” Nina berguling ke samping, menyangga kepala dengan satu tangannya. Dia menatap Juna. Siapa yang menyangka jika lelaki sembrono ini punya sifat perfeksionis yang menyebalkan?

Merasa ditatap lama, Juna menyingkirkan ponselnya. Balas menatap Nina. Bertanya lewat alis.

“Jun, nggak apa-apa?”

Ya, ini yang ketiga kali ditanya seperti ini.

“Gue harus nangis sekarang?”

“Gue ajak ke Surabaya, siapa tahu bisa lupa sebentar. Cari angin. Jakarta sumpek, ‘kan?”

"Ya, sumpek. Thanks udah ajak gue ke sini.”

“Kita tahu, di lingkaran ini, siapa yang pinter poker face.” Nina tersenyum masam. “Jadi, maaf misal gue nggak peka dan sebagainya.”

“Siapa?” Mengabaikan kalimat kedua.

“Yang pake topeng?” Menunjuk Juna dengan dagunya. “Lo sama Danisha.”

Seraya tertawa, Juna berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Enggan menanggapi.

“Gue serius.” Nina kembali ke posisi semula—menatap langit-langit.

Lalu dia bicara sendiri. “Kenapa kalian nggak bisa ngerepotin orang lain? Kenapa kalian bikin orang lain justru tergantung sama kalian?”

Nina memejamkan mata. Mengembuskan napas pelan. “Sialan.”

***

“Gue nggak mau!”

“Gampang, Juna. Jalan ke depan doang. Gue gandeng misal lo grogi.” Nina meralat. “Nggak, lo nggak akan grogi. Lo terbiasa tampil di depan banyak orang. Ayolah, yang begini jauh lebih gampang. Yuk bisa yuk!”

“Kalau gue kesandung, malunya seumur hidup, Ninaaa.”

“Gue pegangin. Nggak akan jatuh!”

“Lihat, gaun lo sendiri aja ribet begini.” Juna menunjuk ujung gaun Nina yang berdiri di depan kursinya. Panjangnya berapa meter coba. Juna bahkan tidak mau mengira-ngira. “Gimana kalau kaki gue nyangkut di ekor gaun lo yang kayak sapu jagat ini?”

“Berhenti ngomong aneh-aneh, kita nggak punya banyak waktu.”

“Lagian ke mana orang yang harusnya jadi pasangan lo?”

“Kepleset di kamar mandi. Ya kali, maksa dia tetap dateng?”

“Keplesetnya kenapa mesti sekarang?!”

“Junaaaa!” Nina mulai frutrasi. Waktu sudah semakin mepet tapi Juna tidak kooperatif. “Udahlah. Gue ganti baju aja. Kita pulang ke Jakarta sore ini juga. Nggak ada pemotretan besok pagi. Batal satu, batal semua.”

Menghela napas, Juna mengalah. Dia berdiri. “Gue ganti di mana?”

***

Juna menatap kesal Nina yang mesem-mesem. Dia tahu, ponselnya tidak berhenti berdenting sejak mereka berjalan menyusuri trotoar mencari makan tengah malam.

Sebelum pulang dari acara fashion show tadi, Nina sudah makan dua burger. Sampai di hotel, mereka sempat mampir di kafe lantai satu. Seharusnya sudah kenyang. Tapi ketika Juna bersiap tidur di sofa, Nina merengek minta ditemani cari makan. Burjo menjadi pilihan mereka.

“Buka grup dong.”

“Ogah.” Juna merapatkan jaket. Udara dingin begini tapi Nina justru mengenakan kaus lengan pendek. Terlihat tidak terganggu dengan dinginnya udara tengah malam.

“Lo cakep banget, Jun. Nggak lihat tadi gimana para tamu undangan pada cengoh lihat lo? Pasti mikir deh mereka. Ini model terbitan mana dan kapan, kok langsung debut.”

“Bodo amat.”

“Lo nggak kesandung, apanya sih yang bikin sebel?”

Juna mengeluarkan bungkus rokok, menyulut satu batang. Kopi hitam panas diantarkan bersama dengan gorengan.

“Gue nggak tahu kenapa lo sebel sama profesi gue.”

“Nggak sebel.”

“Terus apa? Gara-gara mantan terindah lo yang bekas model itu?”

“Lo tahu dia keluar dari dunia modelling gara-gara apa?”

“Narkoba?” Nina tentu saja ingat. “Jun,  jangan konservatif dong. Kalau mau lebih khawatir, lingkungan kerja Danisha lebih berpotensi. Lagi pula, gue bisa jaga diri. Lo nggak perlu khawatir. Gue udah bisa memilah mana baik, mana buruk.”

Juna menoleh, mengembuskan asap dari sela bibirnya. “Sori, gue emang kadang kontradiktif gini.”

Diam-diam, Nina tersentuh. Dia paham bagaimana lelaki ini selalu mencoba ikut membaur di lingkungan kerjanya. Mencoba, setidaknya mengenal beberapa orang yang setiap harinya bekerja dengan Nina. Kadang kalau lelaki ini tidak sibuk, dia akan mengantar atau menjemput Nina ke lokasi pemotretan. Selarut apa pun. Juna pasti menyempatkan.

Dan bukan hanya Nina saja, Juna juga melakukan hal yang sama ke Danisha dan Vian. Memastikan jika ketiga sahabatnya bertemu dengan orang-orang baik dan bukan berada di tempat yang salah.

“Kalau mau nyoba modelling, nggak ada salahnya, Jun. Katanya udah rencana mau nyicil rumah. Lumayan buat tambahan.”

“Belum.” Juna menggeleng. “Gue masih belum mau ninggalin si Kembar.”

“Gue lupa lo udah jadi bapak sekundernya mereka.”

“Gue jadi kangen mereka.” Coba saja belum larut malam, Juna pasti akan menelepon mereka.

“Terakhir gue ketemu, kena cakar sama Dafa.”

“Rafa.” Juna mengoreksi.

“Susah bedainnya.”

“Gampang. Rafa punya tahi lalat di bawah mata. Dafa punya satu lesung di pipinya.”

“Belum kepikiran nikah, Jun? Karena setiap lihat lo sama si Kembar, berasa lo udah siap nikah. Ini cuma ngomongin begini aja lo kangen mereka.”

Juna tergagap, belum siap ketika obrolan dibanting ke topik seputaran menikah. “Belum. Gue masih begini. Mau bangun rumah tangga sama siapa? Diri sendiri belum bener.”

“Kenapa selalu merendah coba? Ini seorang Juna lho. Gue nggak akan ngomong materi. Di mata gue, lo pekerja keras. That's enough. Lelaki bisa dilihat dari dia mau kerja apa nggak, bukan seberapa banyak duitnya—”

“Nin,” potong Juna.

“Gue ngomong apa barusan?” Nina menepuk dahinya sendiri. Lalu mengibas-ngibaskan tangan. “Ya, ya, ya. Nikmati hidup dulu deh, Jun, sebelum terikat sama seseorang.”

Karena di mata Nina, meski Juna terlihat bermain-main dengan banyak hati perempuan, sekali lelaki itu terikat maka itu untuk selamanya.

Kenapa Nina bisa menyimpulkan demikian?

Selama lima belas tahun dia mengenal Juna, lelaki ini selalu menepati janjinya pada siapa pun.

***

Jumat, 19/04/2019
Direvisi: 06.11.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top