45. Home [End]

What? Udah landing?”

“Iya.”

“Kok maju? Bukannya ini kalian baru berangkat?”

“Nggak tahu. Nina nih yang pesen tiket. Habis dia gue omelin tadi. Lagi sibuk?”

Sialnya, iya.

“Kirimin alamatnya. Kita mau naik taksi aja.”

“Tapi—”

Kirim alamatnya.” Lalu panggilan diputus.

Oke. Itu kira-kira satu jam yang lalu. Panggilan kembali masuk ke ponselnya. “Gimana? Udah sampai di apartemen gue?”

Belum—”

Nyasar?!”

“Nggak nyasar. Cuma kita ada di depan gedung kantor lo nih. Buruan turun sebelum noraknya Nina keluar.”

Kok bisa? Gue kirimnya ‘kan alamat apartemen. Bukan kantor.”

“Bisa. Lo pernah bilang nama kantor lo waktu itu. Nggak bisa nahan rindu kita. Cepetan. Bentar doang.”

Meninggalkan meja, Juna bergegas memasuki lift. Menuju lantai dasar. Jantungnya ikut berdebar. Padahal mereka rutin video call. Untuk ukuran sebulan, belum ada yang banyak berubah. Baru juga sebulan, belum hitungan bulan menuju tahun.

Sampai di lobi, Juna mempercepat langkah. Bergegas menuruni undakan tangga di teras. Dari kejauhan, sudah terlihat tiga bebek, no, tiga dayang. Terlihat bagaimana Danisha menarik Nina yang menempel di patung. Berpose norak dan Vian yang lugu mau-maunya dimintai tolong memfotokan.

Udah! Itu Juna udah turun. Buruan. Dia mesti balik kerja lagi.” Danisha menarik lengan Nina, karena tak mempan diteriaki.

Mendengar nama Juna disebut, Nina buru-buru meninggalkan patung. Mengibaskan tangan Danisha, dia berlari lebih dulu.

Selain rindu, Juna juga tak bisa menahan tawanya. Lihat, seperti tiga kawanan bebek, ketiga perempuan itu berlarian menuju ke arahnya. Juna yang awalnya hanya melangkah ringan sambil menormalkan detak jantung, kini lebih bergegas. Gagal sudah usahanya untuk terlihat cool setelah melihat bagaimana ketiga perempuan itu heboh.

Juna merentangkan kedua lengan lebar, menangkap pelukan dari para dayang. Setelah semua sudah dalam pelukan, Juna merengkuh ketiganya erat.

Aduh, lebay banget ya kita.” Juna menyindir.

Bodo amat. Kangen, kangen, kangen!”

Eh, eh, jangan ada yang nangis ya. Maskara sama eyeliner kalian kena di kemeja. Gue nggak bawa ganti.”

Yang merasa menggunakan maskara-eyeliner dan menangis, cukup sadar diri untuk mundur dari lingkaran. Ya, Nina. Siapa lagi yang selalu cetar dan bold di antara ketiganya?

Melihat lelehan maskara di pipi itu, membuat Juna terharu. “Bercanda, Nina. Sini, peluk gue lagi.”

Tapi ‘kan lo nggak bawa kemeja ganti.”

Nggak masalah.”

“Ini lipstik gue mungkin juga ngotorin kemeja lo.”

Nggak apa-apa.”

Nanti lo dikira habis—”

“Ribet!” sambar Danisha. “Kalau nggak mau, ya udah, sana jauh-jauh.”

Dengan wajah pura-pura menangis, Nina mendekat. Siap merajuk. “Jun, lo salah besar selama ini. Ternyata ada yang lebih galak dari gue. Sejak lo pergi, gue kena damprat mulu sama Danisha.”

“Ngadu, ngadu!”

“Nggak penting yang galak siapa. Yang penting Vian masih lurus.”

“Belasan tahun, kita nggak bisa bikin dia sesat. Vian nih diem-diem sakti, Jun.” Nina menunjuk Vian dengan dagunya.

Vian tergelak dalam pelukan Juna.

***

Menunggu Juna pulang kerja, mereka mengelilingi gedung. Danisha yang masih jetlag memilih mencari kafetaria. Membiarkan Nina menggeret Vian untuk diajak touring gedung. Kalau semua kemauan Nina mesti dituruti, gempor dia. Jadilah Danisha sendirian menikmati secangkir kopi bersama koper-koper.

Belum ada satu jam duduk di sana, Juna sudah muncul. Danisha memperbaiki duduknya. “Loh, kok cepet?”

“Cuma briefing final buat acara besok.”

“Wah.” Danisha menggeleng takjub. Bertepuk tangan. “Bapak presiden kita.”

Juna duduk. “Yang dua mana?”

“Pada keliling. Menghayati status sebagai turis.”

“Nggak ikut?”

Menepuk salah satu benda di dekatnya. “Gue rela nunggu koper aja.”

Setelah tidak ada percakapan, suasana menjadi canggung. Danisha menatap isi cangkirnya, sementara Juna menekuri lantai. Dia sedang meredakan sesuatu yang menggila di dasar hati. Naif sekali jika dia bilang sudah tidak punya rasa apa-apa untuk perempuan di hadapannya. Untuk sampai di tahap itu, untuk benar-benar membunuh perasaannya, butuh banyak waktu. Dan bukannya Juna tidak berusaha selama satu bulan ini. Jarak barangkali bisa membantu.

Juna mengangkat wajah. Tatapannya tiba-tiba melembut. Hangat. “How's life, Dan?”

“Baik. Sangat baik.” Lalu menghela napas. “Berharapnya sih gitu. Tapi lo pergi, lumayan bikin kami chaos.”

“Gue ada pun, kalian sering chaos kok.”

“Enggak. Biasanya ada yang nengahin. Ini nggak. Nina makin beringas dan gue nggak bisa sabar ngadepin dia.”

“Vian?”

“Dia cukup pintar untuk menyingkir daripada berdarah-darah.”

Senyum di wajah Juna semakin lebar. “Kita balik ke apartemen gue dulu, yuk. Naruh koper, habis itu makan di luar sambil lihat night view.”

“Nina bilang mau belanja.” Danisha melirik koper ungu besar. “Makanya dia bawa koper segede gaban gitu.”

Tanpa Danisha sadari, Juna menatapnya lekat. Ada debar yang semakin tak bisa dia hilangkan. Alih-alih melawan, dia justru membiarkan dirinya semakin jatuh. Yang hatinya pahami; sekarang belum waktunya untuk melupakan perempuan ini. Ada sisi hatinya yang masih ingin menunggu, barangkali perempuan ini akan melangkah ke arahnya suatu hari nanti.

Namun, bagaimana kalau tidak?

Juna siap untuk patah lagi. Siap untuk diempaskan lagi ke bumi. Sesakit apa pun nanti, Juna terima sebagai konsekuensi.

“Dan, makasih buat lagunya.”

“Lagu apa?”

“Seminggu yang lalu. Makasih ya.”

Danisha melongo. Lalu mengerjap beberapa kali.

“Pas lihat, gue rasanya mau teleportasi dan nonton lo dari samping panggung.” Juna mengacak rambut Danisha. “Plis, jangan cengoh gini, Dan. Gemesin.”

"Lagu itu—" Danisha kehilangan kata-kata. Mau beralasan seperti apa memangnya?

"Aku dikirimin Vian. Dari kamu monolog sebelum nyanyi."

Baik, artinya Juna dengar semuanya secara lengkap apa yang Danisha sampaikan malam itu. Sialan. Danisha malu setengah mati. Dia harus ngumpet di mana sekarang?!

"Tapi tenang aja, aku nggak baper kok."

"Makasih pengertiannya. Aku cuma kangen aja."

"Iya, kangen." Juna memperjelas sendiri. "Kayak kangennya Nina sama Vian. Nggak lebih."

Danisha menunduk, berkata lirih. "Memang seharusnya gitu."

***

“Kamarnya gede nggak?” Nina bertanya ketika di dalam lift apartemen. Menunggu angka yang terus bertambah. “Kalau nggak, gue mau sewa hotel aja.”

“Sejak kapan lo jadi kolokan begitu?” Bukan Juna yang bicara, melainkan perempuan di sebelah Juna.

Untungnya ada Juna yang berdiri di tengah, kalau tidak mereka sudah saling jambak.

Juna menoleh ke Nina. “Gede kok, Nin. Cukup buat berempat. Lo bahkan bisa main kelereng sama gundu di sana.”

“Emang bocah,” sungutnya.

Melihat Nina yang bersiap ngambek, Juna berusaha mengalihkan. “Mau belanja apa memangnya?”

Berhasil, wajah Nina langsung berbinar. “Banyak, Jun. Nanti anterin ke tempat belanja yang kece yaa.”

Sebagai jawaban, Juna merangkul bahu Nina. Dia juga menoleh ke belakang, tempat Vian berdiri.

Lift berdenting. Juna berjalan di depan. Menuju unit paling ujung. Dia keluarkan keycard dari saku. Menempelkannya di mesin detektor. Pintu terbuka.

“Ini sewa sendiri, Jun?” Vian bertanya seraya mengintip isi apartemen.

“Iya. Sewa sendiri. Kalau kalian lupa, ini negara nggak asing buat gue. Dulu kan pernah—”

Langkah Juna terhenti. Begitu juga dengan ketiga perempuan yang langsung mematung di dekat pintu. Sementara pintu sudah menutup di belakang mereka. Berdebam lirih.

Lihat siapa yang berdiri memunggungi pintu dan menghadap jendela. Juna melangkah maju dua langkah dengan gamang. Dia akan percaya jika ini mimpi.

Punggung itu perlahan berbalik, digantikan oleh sebentuk wajah yang membuat Juna membeku seketika. Detak jantungnya menggila. Logikanya menolak apa yang ada di hadapannya. Berteriak jika ini hanya delusi semata atau mimpi akibat terlalu merindukan seseorang.

“Ma—ma?” Tergagap. Mendadak pikiran Juna kosong. Otaknya belum percaya dengan kehadiran Mama di sini. Untuk apa?

Tidak mungkin sosok itu begitu nyata dan sedekat ini. Tidak mungkin. Tapi untuk membuktikan nyata atau tidak, Juna bahkan tidak bisa beranjak mendekat. Terpaku di tempat. Dia takut jika ini delusi dan dia hanya akan menemui udara kosong di depan sana.

Juna menoleh dan matanya jatuh pada Danisha. Seakan bertanya. Seakan minta disadarkan kalau semua ini tidak nyata. Tapi Danisha mengangguk dengan mata berkaca.

Selli tersenyum. Menahan lebih lama cairan bening di sudut mata. “Juna. Anakku.”

Dua kata itu mampu merubuhkan segala keraguan dalam diri Juna. Dia kembali menatap depan. Tanpa menunggu, kakinya berderap maju detik itu juga. Bersimpuh dan memeluk perut sang Mama. Tangis mereka pecah sudah.

“Mama kangen sekali.” Suaranya bergetar. Tangan rentanya mengusap kepala Juna dengan sayang.

“Juna minta maaf, Ma. Juna minta maaf atas semua yang terjadi.” Tangis itu semakin dalam dan mengiris hati. Kalimat pertama yang selalu ingin dia ucapkan ketika suatu hari dirinya dipeluk seperti ini. Sebentuk permintaan maaf karena gagal menjaga Sena dan karena hanya dia sendiri yang selamat.

Danisha, Nina, dan Vian tak kuasa menahan tangis. Mereka tidak berharap banyak ketika Tante Selli menolak ajakan untuk menjenguk Juna dan mereka hanya memberi alamat apartemen ini. Mereka pikir Tante Selli butuh waktu untuk muncul seperti ini, setelah semua yang terjadi. Mungkin perasaan bersalah yang teramat membuatnya berat untuk datang.

Namun, siapa sangka justru akan begini. Tante Selli sudah di sini. Memeluk erat-erat anak lelakinya yang selama bertahun-tahun tidak tahu caranya pulang.

Juna bangkit, beralih menangis di bahu sang Mama. Tempat di mana seharusnya dia pulang dan mengadu. Tempat yang hilang dari hidupnya selama lebih dari sepuluh tahun.

Sekarang, Juna rasanya ingin menghentikan waktu. Supaya peluk ini tak hilang lagi dari hidupnya.

“Mama minta maaf, Juna. Semua salah Mama. Bukan salah kamu. Salah Mama.”

Juna mundur, melepas pelukan. Meraih kedua tangan Mama, membawanya ke dahi. Lidahnya kelu. Mendadak semua kalimat tercekat di tenggorokan. Padahal banyak sekali yang ingin dia katakan pada Mama.

Semenit yang lalu, sedikit pun tidak terlintas dalam benak ketika membuka pintu apartemen, dia akan diberi kejutan seperti ini. Sama sekali tidak.

Ini ... ini terlalu membahagiakan untuk Juna.

Pada sepasang punggung tangan yang dia rindukan itu, Juna akhirnya menemukan dirinya sudah pulang. Sudah di rumah. Dan semua sakit yang Juna tanggung seperti luruh, terlupakan.

“Mama sudah jemput. Kita pulang sama-sama ya, Jun. Kita mulai semuanya dari awal. Mama janji, Mama akan perbaiki semuanya. Mama akan tebus semua waktu yang hilang dari kita.”

***

THE END

Dimulai: 29 Maret 2019

Selesai: 19 Oktober 2019

Akhirnya, selesai, gais, selesai. Bahagia campur sedih akutu 😭😭😭

Cerita ketiga yg kutulis dengan hati pake banget. Ares, Regan, dan Juna. Berat rasanya mau pisah dari si Bontot. Tapi, udahlah ya, waktunya pisah ya pisah 😭

Terima kasih banyak buat yg baca dan dukung cerita ini. Setia nemenin dari awal bab sampai bab terakhir ini. Sayang kalian ❤❤❤

Kalau nanti kangen sm Juna, tengokin dia di Cabaca yaa. Biar doi gak kesepian 😂

Sampai di sini, apa kesan kesan kalian setelah baca cerita Juna beserta tiga dayang dan si Kembar? Apa pelajaran yg bisa kalian ambil dari kisah Juna? Tulis ya di sini, nanti aku masukin ke testimoni di awal bab 😙

Semoga cerita ini bermanfaat ya. Sampai ketemu lagi di cerita keluarga berikutnya 👋😃

Eh, masih gak rela pisah sama Juna ya?

Udah. Jangan nangis. Juna gak suka kalean sedih 😅

Kalau ada yg mau tanya, tulis di sini 👇

Kalau ketampung banyak, aku bakal jawab di bab yg baru.

Revisi: Sabtu/05.02.2022

Salam sayang,

Respati Kasih 🐨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top