40. On your Shoulder

"Siapa yang telepon?" Selli bertanya ketika anak perempuannya sudah kembali duduk di kursi sebelah ranjang. Bertanya penasaran.

"Juna, Ma. Ngabarin kalau pulang pakai kereta. Danisha juga ikut."

Selli terdiam.

"Papa beneran nggak perlu dikabari, Ma?" Sarah mengalihkan, melihat wajah tak nyaman milik Mama.

"Nggak usah. Besok kita langsung pulang saja ya, Sarah."

Sarah mengelus lengan mamanya. Bertanya hati-hati. "Mama ingin dengar sesuatu tentang Juna?"

Helaan napas terdengar berat. "Apa?"

"Pernah nggak Mama sekali saja dalam setahun ini memikirkan bagaimana kehidupan Juna?" Sarah dengan segera menyadari perubahan ekspresi di wajah mamanya. Membuatnya diliputi rasa bersalah seketika. "Kalau Mama merasa nggak nyaman, kita nggak akan bicara ini sekarang. Masih ada besok atau lusa, Ma. Juna pasti masih menunggu. Selalu begitu. Anak itu bisa menunggu."

Selli menatap putrinya. Meraba di dalam hati, di dalam kegamangan. "Kenapa dia pulang?"

"Ya?"

"Adikmu kenapa pulang sekarang?"

Perlahan senyum terkembang di wajah Sarah. Sebuah awal yang menyenangkan. "Ada kerjaan katanya, Ma."

"Sok sibuk sekali dia."

Sarah tergelak lirih. "Memang sibuk kok, Ma. Aku pernah nyoba nyari ke kosnya, nggak ketemu. Kalau kata yang punya kos, Juna baru bener-bener di kos kalau udah sakit. Ketularan Papa deh, Ma, workaholic-nya."

Lantas, gurat wajah itu berubah lagi. Padahal jelas sekali tadi Sarah lihat ada kerut di bibir, menandakan jika mamanya tersenyum. Tapi wajah murung itu kembali lagi. Sarah merasa terbanting dengan ekspektasinya sendiri. Kelegaan yang sempat dia rasakan kembali runtuh.

***

Danisha menyalakan laptop di pangkuan. Lelaki di sampingnya sebentar-sebentar bergerak, terlihat gusar. Matanya memang terpejam, tapi Danisha yakin Juna tidak sungguhan tidur. Mau menegur sejak tadi, tapi urung. Siapa tahu lelaki itu akan tidur dengan sendirinya. Nyatanya, sampai sekarang masih sama.

"Jun, kenapa?"

"Susah merem."

"Pakai bahu gue."

Sedetik kemudian bahunya terasa ada beban. Membuat Danisha berdeham kaku.

"Nggak akan disangka mesum, 'kan?" Juna berbisik di dekat lehernya.

"Tergantung lo nemploknya model gimana. Kalau kayak gini, iya disangka mesum lah."

Sambil terkekeh lirih, Juna menggeser tubuh dan juga kepalanya. Menjauh dari leher Danisha dan menyandar di batas yang aman untuk jantungnya. "Gini? Oke."

"Hm."

"Nonton apa sih?"

"Nex Carlos."

Kecanggungan di antara mereka perlahan mencair. Hitungan jam, semua berubah. Tangis Danisha untungnya juga tidak berlarut. Juna memberinya waktu untuk menangis. Selang dua jam, mereka sudah berinteraksi normal. Danisha lega bukan main dan diam-diam berjanji untuk tidak membuat dirinya ada di posisi ini lagi.

Berdamai dengan Juna secepat ini, sama sekali tidak terlintas di kepalanya. Dia sudah menyiapkan diri kalau-kalau Juna butuh waktu yang lama untuk memberi sebentuk maaf. Apa pun drama yang perlu Danisha lewati, akan dia lewati dengan tabah demi mengembalikan Juna ke sisinya.

"Kapan gitu gue ketemu orangnya di acara food festival."

"Aslinya gimana, Jun?"

"Lebih montok."

"Mulut ya."

"Hih, beneran. Kocak orangnya."

"Tidur gih."

"Nyanyiin."

"Ganggu yang lain nanti."

"Pelan aja."

Danisha tak bisa menolak. Menjeda video yang sedang dia tonton, bibirnya terbuka, menyenandungkan lagu Malaikat Juga Tahu dengan suara rendah.

Lelahmu... jadi lelahku juga
Bahagiamu... bahagiaku pasti

Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati


Kali ini hampir habis dayaku

Membuktikan padamu ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik sendiri

Karena kau tak lihat

Terkadang malaikat tak bersayap
Tak cemerlang, tak rupawan
N

amun kasih ini, silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Siapa yang jadi juaranya

Hampamu tak kan hilang semalam

Oleh pacar impian, tetapi kesempatan
Untukku yang mungkin tak sempurna
Tapi siap untuk diuji
Ku percaya diri, cintakulah yang sejati

Namun tak kau lihat

Terkadang malaikat tak bersayap
Tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini, silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Siapa yang jadi juaranya

"Kenapa lagu itu?"

Dia menggigit bibir. Mau-maunya sih dia menuruti kemauan lelaki ini. Dijawab sekenanya. "Di bahu gue ada malaikat tanpa sayap yang lagi nyender."

"Dan, plis, gue bukan anak TK."

Danisha terkekeh. Bahunya berguncang kecil. Tapi Juna tak menyingkirkan kepalanya. Dia senang mendengar suara tawa perempuan itu lebih dekat seperti ini.

"Bagi gue dan orang-orang yang lo sayangi, lo itu beneran malaikat tanpa sayap, Jun."

"Yang ngajarin receh gini siapa?"

"Nggak perlu diajarin juga kali ah."

"Kalau pakai sayap, gue beneran bisa terbang, nggak?" Pertanyaan yang sungguh melantur. Juna rasa dirinya melambung ke awang-awang hingga blank dan terhempas ke bumi.

Barusan, itu sekadar pujian, 'kan? Bukan untuk maksud yang lain?

"Tidur deh. Jangan ngajak berantem. Baru juga gue minta maaf."

Karena Juna diam, Danisha pikir jika lelaki ini benar-benar tidur.

"Gue gagal jadi malaikat tanpa sayap-nya Mama, Dan."

Mempertimbangkan sebentar kalimat yang hendak keluar dari mulutnya, telunjuk Danisha mengetuk-ngetuk tepian laptop. "Sepuluh tahun lebih ... lama banget ya, Jun. Gue salut lo bisa bertahan selama itu. Jangan mundur dulu ya. Kalau capek, jangan pernah merasa sendiri. Lo punya banyak bahu. Tinggal pilih mau bahu yang mana."

"Penginnya cuma di sini, Dan, di bahu lo."

Danisha tercekat. Telunjuknya berhenti mengetuk.

"Tapi semuanya harus bergerak ke depan, 'kan?" lanjut Juna. "Lo nggak perlu ngulangin dua atau tiga kali soal penolakan itu. Gue mundur sejak saat itu kok."

"Gue juga minta maaf untuk hal ini."

"Jangan minta maaf mulu, nanti habis stok maaf gue."

"Nggak akan habis." Danisha tahu betul sifat lelaki ini yang murah hati. Tidak perlu dia sebutkan contohnya, kalian pasti mengerti.

Beban di bahu Danisha tiba-tiba hilang. Secepat itu pula dia menoleh, mendadak jarak membentang jauh. Tidak. Lelaki itu tidak ke mana-mana, tidak bergeser juga. Tapi rasanya ... berbeda.

"Kok udahan?"

Juna menoleh, mengernyit bingung. Lalu begitu paham, gelagapan sendiri. "Oh, itu ... bahu lo keras."

Dusta. Juna segera bangun dari sana karena tidak mau ketagihan. Bahu itu kelewat nyaman. Takutnya, besok-besok dia kalau sedih yang dia cari cuma bahu itu. Meski Danisha sendiri menawarkan bahu jika dibutuhkan, Juna tidak bisa membiarkan dirinya semakin menyedihkan.

Kalau mau jujur, dia tidak cuma ingin bahu itu. Tapi semua yang ada di diri Danisha. See, dia memang tidak tahu diri. Makanya Juna perlu tegas ke diri sendiri mulai dari sekarang.

Danisha antara kesal dan ingin tertawa. "Rese."

"Ikut fitness ya pasti?"

"Nggak rutin kok."

"Aslik, jangan ngabulin imajinasi gue dong, Dan."

"Emang apaan?"

"Dulu gue pernah bayangin lo sama Nina jadi petinju saking garangnya. Pasti dapet banget tuh ekspresi kalian pas ninju lawan." Juna mengepalkan kedua tangan di depan wajah. Lalu membuat gerakan meninju, ditingkahi dengan suara-suara dari mulutnya sendiri.

"Anjir." Danisha terpingkal. "Yang ada Nina tuh, cukup dia aja yang jadi petinju."

***

"Om Juna! Om Juna! Om Junaaaaaaaa!"

Juna menggeliat. Setengah bangun, dia mendongak ke jam digital di nakas. Pukul delapan. Empat jam setelah dia sampai di kos dan langsung tepar di kamar kosnya. Tanpa sempat melepas jaket.

Gedoran berikutnya. Lebih kencang. "OM JUNAAAAA!"

Di atas kasur, Danisha akhirnya ikut terbangun. Mengucek mata tapi enggan bangun. Matanya masih lengket.

Terdengar suara lain di depan pintu. "Jun, udah bangun? Tenang, gue bukan mau grebek kalian. Jangan loncat lewat jendela."

Juna sudah duduk, menggaruk rambutnya yang awut-awutan sambil menggumam. Dia pikir yang di luar bisa mendengar suaranya.

Setelah nyawanya terkumpul separuh, Juna melangkah ke pintu. Memutar kunci dan mendapati Mas Rizki nyengir lebar. Lain halnya dengan si Kembar yang menatapnya sebal. Oke, nanti sore sepertinya perlu mengajak mereka jajan.

"Mau ngajak sarapan, Mas?"

"Danisha masih bobo?" Mas Rizki mencoba mengintip dari celah tubuh Juna. "Ehem. Cie. Udah baikan."

"Mau grebek?"

"Kalau grebek ya rame-ramelah. Lo merasa tergrebek cukup dengan kehadiran gue dan si Kembar?"

"Ya, nggak." Juna nyengir. "Siapa tahu mau grebek beneran. Dinikahin sekalian juga mau."

"Pret. Fakir cinta lo—"

"Om, ayok salapan!" Dafa menyela tidak sabaran. Meraih satu tangan Juna kemudian diayun-ayunkan.

Tangan Dafa dipegang papinya. "Nggak usah ngajak-ngajak Om Juna, Daf. Dia mau sarapan sama cinta tak sampai-nya."

"Sialan lo, Mas." Tertawa.

"Siyalan itu apa?" Rafa mengerjapkan mata, bertanya polos.

"Mulut ya, Jun, mulut. Telinga anak-anak gue udah nggak perjaka lagi."

"Peljaka itu apa?"

Berteriak tanpa suara, Mas Rizki menjambaki rambutnya sendiri.

***

Mobil Juna terparkir rapi di halaman, Mas Rizki bilang kalau kemarin Nina yang mengembalikan. Pagi ini, Juna memanasi mesin mobil sambil menunggu Danisha selesai mandi dan ganti baju. Sekalian menuju tempat acaranya di Bekasi, dia bisa mengantar Danisha ke studio.

"Jun, baju gue kotor semua ternyata. Pinjem kaus ya!" Berteriak dari dalam kamar kos.

"Iya!"

Mas Rizki pura-pura terbatuk. Lalu menyindir. "Udah cocok nikah sih. Tapi yang satu nggak cinta. Lebih baik sakit gigi daripada patah hati."

Karena sudah terbiasa disindiri, Juna sudah kebal dan tidak perlu marah. Dia membuka pintu mobil, duduk di sana sambil membuka ponsel.

"Lo kerja di mana hari ini?"

"Kenapa?"

"Jaga-jaga kalau ada yang nyariin lagi."

"Emang siapa yang mau nyariin?"

"Mantan yang mau bales dendam? Perempuan yang ngaku lo hamilin? Atau tukang kredit panci?"

Dijawab serius. "Bekasi."

"Hooooh."

Juna mendongak ketika Danisha berjalan ke arahnya. Langung tergagap. "U-udah?"

Bukan hanya Juna yang terpana, Mas Rizki pun iya. Gorengan yang dia gigit sampai jatuh tanpa disadari. Untuk Juna, dia sering melihat Danisha mengenakan setelan lelaki. Karena memang begitu gaya manggungnya. Kalau keseharian, perempuan itu lebih sering mengenakan kemeja polos yang kedodoran. Tapi sekarang, melihat Danisha di balik kaus The Beatles miliknya yang sedikit pudar, ditambah dengan gelungan rambut yang asal. Rasanya kok beda ya?

Ada manis-manisnya.

Mas Rizki menunjuk Juna. "Iler, lap itu ilernyaaa!"

Juna menampar pipinya sendiri. Sadar, Jun, sadar. Lo sudah pernah melihat Danisha seperti ini berkali-kali.

***

"Ini kosnya, Sarah?" Selli memastikan sekali lagi.

"Iya, Ma. Mau coba turun?"

Selli menggeleng.

Ditanya sekali lagi. "Yakin nggak mau turun, Ma?"

"Mama mendadak pusing, Sarah. Langsung pulang saja."

Baru akan meminta sang sopir taksi untuk meninggalkan depan gerbang, tiba-tiba gerbang digeser dari dalam. Memunculkan sosok yang dikenali Sarah. Dia menurunkan kaca mobil.

"Eh, Mbak Sarah?" Mas Rizki menyapa lebih dulu. "Mau cari Juna, ya?"

"Eng ...." Menoleh ke mamanya. Kemudian kembali ke Mas Rizki. Tampak ragu. "Memangnya ada?"

"Ada kerjaan di Bekasi, Mbak. Berangkat dari tadi pagi."

"Oh ya udah, Mas. Ini kebetulan lewat saja."

"Ada pesan buat Juna?"

Sarah menggeleng. "Nggak usah, Mas. Nanti saya telepon aja anaknya."

Mas Rizki sempat memperhatikan sosok wanita paruh baya di dalam mobil yang memilih diam. Dari wajahnya, sekilas, dia tahu kalau itu mamanya Juna. Tapi yang membuat dia heran, ekspresi itu terasa dingin sekali. Kemudian ingat jika selama ini Juna hampir tidak pernah bercerita soal keluarga.

Hingga mobil itu berlalu dari hadapannya, Mas Rizki masih melamun.

"Papi, ayok buluan, kebulu ujan!"

***

Hujan dengan curah sedang, mengguyur sejak pagi. Dengan dua cangkir teh dan sepiring pisang goreng, Nimas dan ibunya duduk di kursi teras. Menikmati sore yang basah dan dingin. Tidak banyak yang bisa dilakukan ketika hujan begini. Anak-anak yang biasanya masih berseliweran main, terpaksa harus mandi lebih awal.

"Rumah jadi sepi, Buk." Nimas mengambil pisang goreng, meniup-niupnya sebelum menggigit ujungnya.

Ratih tak menanggapi pernyataan anaknya. Memilih sibuk dengan pikirannya sendiri. Setengah jam lalu, Sarah menelepon. Mengabari jika mereka sudah landing.

"Ibuk sedih ya Mas Juna pulang?"

Menyusut sudut mata, Ratih kemudian tersenyum. "Nggak."

"Terus apa?"

"Masmu itu akan baik-baik saja, 'kan?"

"Kenapa khawatir sama karang yang dihantam ombak setiap hari, Buk?"

Ratih tersenyum. "Analogi yang bagus. Juna di sini bentar, kamu ikutan pinter ya."

"Ih, ibok!"

***


Kalian mau bilang sesuatu gitu? Curhat jg boleh. Aku baca setiap komen meski jarang bales sekarang :(

Selasa, 15/10/2019
Revisi: 14.01.2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top