39. Sorry
🔊 Sorry—Pamungkas (covered by Cantika Abigail)
*tapi skrg dah putus mereka 😭
———————
“Juna!” Seruan terdengar dari belakang. Juna yang melangkah tergesa ke mobil, terhenti. Begitu menoleh, tampak Vian dan Nina yang berlari ke arahnya.
“Gila ya, gue udah cegat di samping panggung, tahunya lo lewat belakang.” Nina sedikit mengomel.
“Eh, sori, sori. Kalian udah telepon ya padahal? Gue baru pegang ponsel, niatnya mau telepon balik pas di mobil.”
Vian bertanya cemas. “Jun, Tante Selli gimana? Danisha ngabarin kalau beliau masuk rumah sakit.”
Juna tersenyum. “Kalian naik apa? Ikut gue aja yuk. Sambil ngobrol.”
“Mau makan siang?” Nina masuk ke bangku depan tanpa pikir panjang. Mengambil alih kemudi. Juna tak sempat protes.
“Makan siang di bandara aja ya. Gue langsung ke Jogja soalnya.”
Nina melajukan mobil Juna dari tempat parkir gedung Dubes. Menuju arah bandara. Sesi interogasi dimulai.
“Masih marah sama kita?” Nina perlu memastikan ini dulu.
“Siapa coba yang marah?”
“Elu, elu, elu!”
Vian menambahi. “Ngilang ke Jogja tanpa pamit, apa namanya kalau bukan marah?”
“Biasanya juga gitu, ‘kan? Gue jarang pamit ke kalian.” Juna perlu membela diri sebelum ‘dihabisi’. “Emang timing-nya pas aja, setelah berantem sama Dan—ya gitulah pokoknya. Intinya, gue ke Jogja karena mau liburan. Terus kebetulan Mama diajak sama Tante buat ke sana. Sekalian aja.”
“Jadi beneran bukan karena marah?” Nina mendelik padanya.
“Ya terserah deh mau anggapnya gimana. Gue udah jelasin. Tinggal mau percaya atau nggak.”
“Kalau pun marah beneran, nggak apa-apa kok, Jun. Danisha udah keterlaluan. Tapi jangan marah ke kita juga, ya.”
Juna menoleh. Menepuk punggung tangan Vian sekilas. “Adududuh, nggak bisa ya lihat gue ngambek dikit. Kalian ini jangan manis-manis jadi perempuan.”
“Kita emang manis, mati lo deket-deket sama kita terus.” Nina mengibaskan rambut dengan angkuh.
“Mama masuk rumah sakit kemarin. HB-nya rendah. Harus transfusi darah. Kalau sekarang udah mendingan, tadi Mbak Sarah ngabarin.” Juna menjawab pertanyaan pertama.
“Syukur deh. Gue kira, amit-amit, jatuh di kamar mandi apa gimana.” Dengan mulus, Nina membelokkan mobil ke area bandara. Untungnya gedung Dubes dekat dengan bandara. Hanya sekitar lima belas menit.
“Kalian libur apa gimana?” Juna berjalan di tengah, diapit Vian di sisi kiri dan Nina di sisi kanan. Kalau ada Mas Rizki di sini, pasti dua perempuan ini akan diberi kipas masing-masing. Maka, sempurna sudah sebutan ‘dayang’ itu.
Apalagi ketika berpapasan dengan lelaki yang melirik ke arah mereka, Juna dengan cepat merangkulkan tangan di masing-masing bahu. Menarik mereka lebih dekat. Nina justru balas dengan menggelayut manja. Vian juga santai-santai saja.
“Gue jemput paksa Vian di tempat kerja,” jawab Nina terkekeh.
Mereka masuk ke salah satu restoran. Juna memesan nasi Bali, belum makan berat sejak kemarin. Dia antisipasi saja sebelum lambungnya bermasalah. Sementara Vian dan Nina hanya memesan es kopi. Tidak menyela ketika Juna makan.
“Kok malah pada diem?”
“Lo habisin dulu aja makanannya.” Nina mengedikkan dagu. Menyandar lebih santai di kursi, mulai menggulir layar ponselnya. Vian sibuk di telepon, sepertinya ada kendala di kantor.
Seraya makan, Juna menatap keduanya dengan perasaan menghangat. Dia mudah jatuh pada perhatian-perhatian kecil. Termasuk ketika dua perempuan ini menyusulnya ke acara di Dubes tadi. Bayangkan bagaimana Siska jiper ditelepon Nina untuk mengetahui keberadaan dirinya.
Jadi, mana mungkin Juna bisa marah? Ya kalau Danisha kemarin ‘kan, memang beda kasus. Ada ego Juna yang terluka meski dia tidak mau berlarut memikirkannya.
“Selama ini, kalian merasa gue kekang ya?” Di sela kunyahan, Juna bertanya. Langsung dihadiahi pelototan Nina. Vian juga menatapnya.
Tidak ada jawaban, Juna melanjutkan makan.
Meletakkan ponsel di atas meja, Nina bersedekap, memejamkan mata. Terlihat lelah karena belum sempat istirahat sepulang dari Lombok. Hal pertama yang dia lakukan begitu landing adalah menelepon Siska. Belum pulang ke apartemen, dia langsung menjemput Vian ke kantornya.
Dia bangun ketika Juna menandaskan isi piring. “Oke, gue jawab. Lo sama sekali nggak ngekang kami. Sekali-sekali lo abaikan itu omongan Danisha. Laki lho, Jun, jangan gampang baper.”
“Tapi yang dia omongin bener,” sanggah Juna. “Nggak masalah gue laki atau perempuan ya.”
“Danisha mungkin juga emosi waktu itu, makanya dia ngomong nggak pakai dipikir. Aslinya, mah, nyesel banget pasti. Ngapain coba dia nyusul ke Jogja segala?”
“Gue juga nggak tahu ngapain dia nyusul.”
“Udah minta maaf dia?”
“Belum.”
“Si Bego!” Nina langsung kena cubit Vian di lengan.
Sambil mengaduh, Nina membela diri. “Dia emang bego kok. Kalau dia bisa mikir dikit nih, nggak akan jatuhin harga diri Juna di depan Dewa. Laki dia yang dia puja mati-matian, tahunya nyakitin doang. Coba dinalar, dia jauh lebih kenal Juna ketimbang itu laki berengsek yang baru bentar. Bisa-bisa dia bikin malu Juna!”
Juna menyela. “Lo juga, Nin. Bukannya lo suka Dewa, ikutan nyanjung-nyanjung dia.”
“Eh, nggak ya.” Nina berkacak pinggang. “Gue tarik lagi pujian apa pun yang keluar dari gue soal Dewa. Ya wajar aja ya, first impression gue langsung bagus. Segalanya tampak sempurna, tahunya serigala berbulu embek.”
Menepuk perutnya yang kenyang, Juna terkekeh tanpa suara. Nina paling bisa kalau disuruh julid.
Mereka mengobrol tiga puluh menit, sebelum Juna bergegas menuju pintu keberangkatan. Hanya membawa ransel hitam. Di depan restoran, Juna memeluk keduanya bergantian. Sama eratnya.
***
Saat Juna keluar dari taksi, bersamaan dengan Danisha yang muncul di lobi. Mereka berpapasan dengan canggung. Danisha tampak serba salah. Dia hanya berkata singkat jika hendak pulang dan dijawab anggukan saja.
“Ketemu Danisha di depan, Jun?”
“Iya, Tan.”
Lengan Juna ditahan di depan pintu. “Mamamu sedang tidur. Di dalam sudah ada Sarah. Biarkan dulu.”
Tanpa ditahan dua kali, Juna menurut. Dia mengikuti langkah tantenya menuju ruang tunggu di tengah koridor.
“Mama membaik ‘kan, Tan?”
Ratih menggeleng. “Tadi sempat memburuk lagi, Jun. Dokter bilang untuk sementara biarkan tenang dulu.”
Lewat penjelasan singkat itu, Juna mengerti kenapa tantenya melarang untuk masuk dan menemui Mama. Kehadirannya hanya akan menambah beban pikiran saja. Merusak suasana hati. Memperburuk keadaan.
“Jun ....” Bahunya diusap lembut.
“Aku pulang aja ya, Tan. Ngantuk, tadi di pesawat nggak bisa tidur. Kalau butuh apa-apa, Tante segera kabari aku.”
Ratih ingin menangis melihat bagaimana anak ini begitu peka. Meski begitu, dia tidak ingin terlihat sedih. Alih-alih menatap kasihan, Ratih menepuk bahu Juna. “Nimas ada di rumah. Pastikan dia nggak berantakin rumah ya, Jun.”
Memeluk tantenya sebentar, kemudian berdiri. Juna meninggalkan koridor itu.
***
“Loh, udah pulang, Le? Kondisi ibumu gimana? Sudah membaik?”
Juna dicegat di depan pagar, ketika baru saja turun dari ojol. “Sudah, Budhe.”
“Rencana nanti ibu-ibu kompleks mau jenguk selepas Magrib.”
“Iya, Budhe. Terima kasih.” Juna pamit untuk masuk ke rumah. Diiringi kalimat cemas Budhe. “Jaga kesehatan, Le. Kamu kalau Budhe lihat kok sering pucat.”
Sampai di pintu, Juna menoleh, nyengir. “Budhe, besok pagi jogging sama aku yuk?”
Budhe Rum langsung kabur. Juna tertawa.
“Mas, kok pulang?” Nimas sedang berkutat di dapur dengan Danisha. Entah memasak apa.
Juna melangkah ke kulkas. “Mau balik ke Jakarta.”
“Eh?”
“Lo juga, Dan.” Kalimatnya membuat Danisha menoleh heran. Sebelum dibantah, Juna menjelaskan. “Yuan telepon gue tadi. Lo absen latihan. Besok pagi mesti manggung juga, ‘kan?”
“Nggak apa-apa. Gue sering skip latihan. Yang penting gue—”
“Bangga? Skip latihan emang sepele ya buat lo?” Juna menaikkan alis. Tapi dia kembali ingat kalau itu urusan Danisha. Dia tidak akan ikut campur. Meraih sebotol air dari kulkas, Juna mengulangi. “Kita balik sekarang.”
Nimas tampak sedih. “Yah, kok mendadak sih? Emang Mas Juna udah pamit?”
“Udah, Nim. Besok gue juga ada kerjaan.”
“Ya udah aku cariin tiketnya.” Mematikan kompornya, Nimas meraih ponsel di meja makan. Membuka aplikasi booking tiket.
Sebelum Danisha beranjak dari dapur. “Tiket kereta aja ya, Nim. Makasih.”
“Kok kereta?” Juna keberatan.
“Pengin naik kereta.”
Juna malas mendebat.
***
Petang itu gerimis. Sedikit menderas ketika mereka sampai di stasiun Lempuyangan. Nimas memeluk Juna lama sekali. Sama seperti ketika Juna pamit ke Budhe Rum dan Bulek Astri tadi, ditangisi juga. Tapi sayangnya dia tidak bisa menjanjikan kapan bisa pulang ke sini lagi.
Kereta sudah merapat. Mereka bergegas masuk. Mencari nomor kursi sesuai yang tertera di tiket. Juna masih berdiri, memberi kesempatan Danisha untuk duduk lebih dulu.
“Sana duduk di dekat jendela.”
“Kok gitu?”
Bukannya perempuan suka duduk di dekat jendela? Biar tak kena senggol orang. Tapi, baiklah, dari jawaban Danisha barusan, kentara kalau perempuan itu ingin duduk di pinggir. Maka, tanpa banyak kata, Juna duduk di dekat jendela.
“Kok malah lo yang duduk di sana?”
Juna menghela napas. Danisha tidak sedang kerasukan Nina, ‘kan?
“Gue tadi udah nawarin. Lo kayaknya keberatan duduk di sini.”
“Siapa yang bilang?!”
Seorang Bapak-bapak yang duduk di bangku di seberang mereka, menyela. “Yang sabar ya, Mas. Itu pacarnya pasti lagi PMS.”
Seraya berdiri untuk berpindah, Juna menjawab. “Dia tiap hari PMS, Pak.”
“Walah, sudah khatam harusnya.”
“Perempuan susah dimengerti, Pak.” Juna tersenyum. Menyingkir agar Danisha bisa duduk di bangku dekat jendela.
“Mau menikah kapan?”
Danisha terbatuk. Juna tergelak tanpa suara.
“Kok ketawa? Sudah menikah ya jangan-jangan?”
Juna menggeleng, memperbaiki ekspresinya. Lantas duduk setelah Danisha duduk. “Kami bersahabat baik, Pak.”
“Aduh, sayang sekali. Cocok hlo kalian ini kalau dilihat lama-lama.”
“Tapi kalau jodoh nggak ke mana ya, Pak.”
“Iya, didoakan saja. Jodoh bisa dinego, Mas.”
Tersenyum tipis, Juna kemudian mengangguk. Tidak menanggapi lebih lanjut. Demi menjaga perasaan perempuan di sebelahnya, yang pasti risi mendengar obrolan mereka.
Delapan jam perjalanan yang mungkin akan dihabiskan dalam senyap. Danisha menjadikan rintik kecil yang menempel manis di jendela sebagai pelarian. Sementara, di sebelahnya, Juna terus menunduk. Menatap sebuah foto yang baru saja dikirimkan Mbak Sarah padanya. Foto Mama yang tersenyum saat dijenguk ibu-ibu kompleks.
Dengan ibu jari, Juna mengusap layar itu. Hanya sebentar, kemudian mematikan layar dan menyimpan ponselnya di saku jaket.
“Kenapa mendadak pulang?”
“Ngomong sama siapa?”
Danisha akhirnya menoleh. “Lo masih marah, bikin jiper kalau mesti tatap-tatapan.”
“Kenapa pilih kereta daripada pesawat?” Juna bersedekap. Balas bertanya.
“Pengin ngobrol lebih banyak. Tapi kayaknya lo nggak mau diajak ngobrol.”
Juna menyandarkan kepalanya di kursi. “Iya, gue masih marah, jangan ajak ngobrol dulu.”
Tanpa Juna ketahui, Danisha menatapnya lekat. Sebelum akhirnya perempuan itu menyandarkan kepala di bahu Juna. Dia siap kalau-kalau lelaki ini menjauhkan kepalanya.
Namun, menit berlalu, tidak ada penolakan yang dirasakan Danisha. Dia bahkan bisa menyandar semakin nyaman di bahu itu.
Senyap. Hanya suara kereta yang berderak dan dengkuran halus dari Bapak-bapak yang duduk di bangku seberang mereka. Danisha tampak menimbang-nimbang beberapa saat.
Akhirnya, lirih tapi sarat penyesalan. “Jun ... maaf ya.”
Bicara sendiri karena tidak ada reaksi dari Juna.
"Gue melukai perasaan lo kemarin. Nggak dimaafin sekarang nggak apa-apa."
Dilanjutkan lagi. "Tapi jangan lama-lama marahnya."
Meski menutup mata, Juna masih terjaga dan mendengar semuanya. “Iya.”
Danisha terkesiap, sontak menadahkan kepala hingga tanpa sengaja menabrak leher Juna. "Buat yang mana?"
"Tiga kalimat yang lo ucapin."
Bibir Danisha bergetar pelan. Mau nangis rasanya menerima perlakuan Juna yang seperti ini. Sementara dirinya terlalu jahat dan menuruti ego sendiri. Kenapa dirinya tidak bisa seperti Juna?
Danisha menjauh ketika dirasa gumpalan di sudut mata mulai leleh. Tidak mau dipergoki jika sedang menangis.
Tapi Juna membuka mata di waktu yang tepat sebelum Danisha menyembunyikan wajah dengan memandang keluar jendela. Mata Juna mengikuti bulir yang merambat turun di pipi itu.
Di jendela itu, Danisha sedang merutuki diri sendiri. Tangannya ikut terangkat, mengetuk sisi kepala. Seolah bisa sedikit saja mengurangi rasa bersalahnya yang semakin menjadi setelah Juna memaafkannya dengan mudah.
Semua kemarahan yang meledak-ledak kemarin, amukan yang dia sasarkan ke Juna, terasa begitu memalukan jika diingat kembali.
Tanpa sepatah kata, Juna menghentikan kepalan tangan yang menghantam kepala itu. Perlahan, tanpa perlawanan, Juna membawanya turun ke pangkuan. Mengurai satu per satu jemari yang yang menggenggam rapat.
Dengan sedikit keberanian yang Juna punya, dia menyelipkan jemarinya di antara jemari Danisha. Dia hanya ingin memastikan sesuatu. Matanya lekat menatapi jemari yang sedang dia genggam.
Sedetik. Dua detik. Tiga detik.
Tetap sama. Perasaannya ternyata tidak bergeser sedikit pun. Masih terasa mendebarkan bahkan semakin gila. Tapi sayangnya, tidak dengan Danisha.
Perempuan ini tidak akan pernah bisa mencintainya.
Juna tidak punya pilihan lain selain belajar menerima.
"Maaf kalau perasaanku justru bikin kamu terluka. Kita akan kembali seperti kemarin, Dan. Meski nggak sepenuhnya bisa karena kamu telanjur tahu semua isi hatiku. Tapi aku bakal berusaha. Semampuku, aku ingin mengembalikan semua ke tempat semula."
Terdengar masuk akal. Ini hanya cinta sepihak dan bukanlah sebuah obsesi untuk bisa memiliki. Lagi pula perasaan miliknya tidak jauh lebih penting dari persahabatan mereka.
***
Setan dalam diri Juna be like: lemah kamu, Juna, lemah! Gampang banget maapin!
Wkwkwk
Btw, tinggal 6 bab lagi, wohooo!
Pengin cepet2 kelar, terus mikir event yg udah di depan mata sambil nyicil Regan/Satria/Kala~
Meski gak pengin cepet2 pisah dari Juna :(
Senin, 14/10/2019
Revisi: 14.01.2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top