37. All his Love
“Juna ke Jogja sejak kemarin, Dan.” Itu suara Mbak Nana yang menginterupsi Danisha yang mengetuk pintu kos Juna.
“Oh, terus pulangnya kapan, Mbak?”
“Kurang tahu, Dan. Coba telepon aja.”
“Nggak diangkat.”
“Nomornya aktif kan tapi?”
“Iya.”
Mbak Nana kemudian menyimpulkan sendiri. Mungkin karena masalah tempo hari, Juna jadi menarik diri untuk sementara waktu dari perempuan ini. Dia menghampiri seraya mencari kontak Juna.
Nada sambung ke enam, akhirnya diangkat. Mbak Nana menekan loudspeaker.
“Halo, Mbak. Tumben telepon? Ada apa?”
“Harus ada alasan dulu nih?”
“Ya nggak, hehe. Kenapa?”
“Ini,” Mbak Nana menatap Danisha. Dibalas dengan gelengan. “Nggak apa-apa. Si Kembar nanyain, kapan pulang.”
“Lusa pulang.”
“Kerja ya di Jogja?”
“Liburan.”
“Tumben. Nggak lagi kabur dari Danisha, ‘kan?” Mbak Nana ini mulutnya sebelas-duabelas dengan suaminya. Mengingat dia juga ada di mobil dua malam lalu, ikut menyaksikan meski tidak mendengar jelas pertengkaran Juna dan Danisha.
Jeda sesaat.
“Jun?”
“Eh, sori, Mbak. Barusan lagi gotong printer. Tadi tanya apa?”
“Nggak lagi kabur dari Danisha, ‘kan?”
“Nggak.”
“Kok dia telepon nggak diangkat?”
Mampus. Danisha ingin menjedotkan kepalanya sendiri ke tembok. Atau mengubur diri hidup-hidup sekalian.
“Danisha lagi di situ ya?”
“Iya. Mau bicara?” Mbak Nana kemudian menatap Danisha penuh rasa bersalah. Dia kelepasan, sungguh.
“Nggak, Mbak. Salamin aja.”
Setelahnya sambungan berakhir. Juna tidak berbasa-basi bertanya hal lain. Ditutup begitu saja.
“Juna lagi marah ya?” Danisha seperti bertanya ke diri sendiri. Jawabnya pun dia sudah tahu. Juna berhak marah.
“Kamu ‘kan denger sendiri suaranya. Nggak marah dia.”
“Tapi dia kalau marah emang gitu, ‘kan. Nggak kelihatan marah, tapi nyuekin. Jaga jarak.”
Mbak Nana terkekeh ringan. “Nah, itu tahu.”
Setelahnya, Danisha pamit. Menolak tawaran untuk ngopi dulu di rumah Mbak Nana. Meski hari ini jadwalnya kosong.
Mobilnya menepi di minimarket dekat gerbang kompleks. Membeli minuman dingin untuk setidaknya sedikit meluruskan pikirannya.
“Dan?” Seseorang menyapa ketika dia hendak membayar.
Begitu menoleh, ada Yasmin di dekat pintu. “Eh, Yas. Mau berangkat ke klinik?”
“Iya. Ini mampir beli roti buat ganjel perut.”
Danisha tampak menimbang. “Boleh minta waktu setengah jam?”
“Buat?”
“Ngobrol.”
“Oh, oke. Aku ambil roti dulu.”
***
Menuruni tangga dua-dua sekaligus, Juna menghampiri kamar Nimas dengan tergesa. Diketuknya dengan tidak sabaran.
“Nimas udah ke butik, Jun.” Ratih muncul dari dapur. Membawa bolu kukus ke ruang tengah. Juna sempat mencomot satu potong.
“Aku perlu printer nih, Tan.”
“Ya udah masuk aja. Biasanya nggak dikunci.”
Melahap sisa potongan bolu, Juna membuka pintu. Meletakkan ponselnya di meja. Menyalakan laptop milik Nimas, mencolokkan flashdisk, lalu mencari colokan untuk kabel printer.
“Eh, Tante lupa, Jun. Itu colokan di kamar Nimas rusak kemarin.”
Juna menghela napas bersamaan dengan ponselnya yang bergetar. Berpikir sebentar sebelum mengangkatnya.
“Halo, Mbak. Tumben telepon? Ada apa?”
“Harus ada alasan dulu nih?”
“Ya nggak, hehe. Kenapa?”
“Ini ... nggak apa-apa. Si Kembar nanyain, kapan pulang.”
“Lusa pulang.”
“Kerja ya di Jogja?”
“Liburan.”
“Tumben. Nggak lagi kabur dari Danisha, ‘kan?”
Juna nyaris tersedak ludahnya sendiri. Dia mengapit ponsel di antara bahu dan leher. Kemudian mengangkat printer ke ruang tengah.
“Jun?”
“Eh, sori, Mbak. Barusan lagi gotong printer. Tadi tanya apa?” Juna sebenarnya sudah dengar. Hanya saja dia mencoba memastikan. Siapa tahu salah dengar. Apakah Danisha datang mencarinya?
“Nggak lagi kabur dari Danisha, ‘kan?”
“Nggak.”
“Kok dia telepon nggak diangkat?”
Juna mengernyit dalam. Setelah meletakkan printer di lantai dekat meja televisi, Juna kembali untuk mengambil laptop. “Danisha lagi di situ ya?”
“Iya. Mau bicara?”
Tanpa berpikir panjang. “Nggak, Mbak. Salamin aja.”
Merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Juna menutup sambungan. Segera membawa laptop ke ruang tengah dan duduk begitu saja di lantai. Sempat menatap mamanya yang takzim duduk di sofa. Sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran Juna. Mungkin sudah tidak peduli, tepatnya.
“Kerjaan, Jun?”
“Cuma mau nge-print jurnal-jurnal, Tan.”
“Untuk?”
“Riset, Tan. Jumat acaranya di dubes. Takut kelihatan bego aku.”
“Wah, keren dong!”
Juna hanya terkekeh. Kemudian suara printer mendominasi. Selagi menunggu hasil cetakan keluar, Juna berdiri. Melangkah ke dapur. Menyeduh secangkir kopi.
“Belum sarapan kok udah ngopi, Jun.” Ratih menyusul ke dapur. Membuka kulkas, mengambil buah. Ingat jika Juna melewatkan sarapan demi berkutat mencari jurnal-jurnal. “Mau dibikinin telor ceplok?”
“Nggak usah, Tan.”
“Mau nebeng makan di rumah Budhe Rum ya?”
“Takut ngerepotin.”
“Nanti juga diantar sendiri ke sini. Kayak biasanya.”
“Nah, itu yang bikin nggak enak, Tan. Mau nolak, lebih nggak enak lagi.”
“Kamu ‘kan sudah seperti anaknya sendiri.”
“Justru itu.” Juna menyandar di kabinet sambil menyesap kopi. “Takutnya besok pas balik ke Jakarta, ditangisin lagi.”
Ratih hanya tersenyum. Juna membawa kopinya ke ruang tengah. Jurnal-jurnalnya sudah selesai dicetak. Mengembalikan printer dan laptop ke kamar Nimas, kemudian ikut duduk di sofa sambil mempelajari jurnal. Bolpoin merah dia gunakan untuk menandai poin-poin yang penting.
Ratih mencoba mencairkan suasana yang sempat beku seraya mengupas apel. “Mbak mau jalan-jalan ke mana gitu?”
“Nggak usahlah, Rat.”
“Atau mau main ke butik?”
“Nggak usah.”
Beralih ke keponakannya. “Jun, kamu rencana hari ini mau ke mana?”
Juna menoleh. “Paling main ke rumah Budhe Rum.” Menepati janjinya kemarin untuk bertandang ke rumahnya.
“Bisa antar ke pasar Beringharjo dulu?”
“Boleh, boleh.”
“Mbak juga ikut ya.”
“Ngga—”
“Harus ikut.”
***
Danisha menimbang kaleng soda di tangannya. Memilah mana pertanyaan yang harus dia tanyakan lebih dulu. Mana juga yang seharusnya dia tidak tanyakan. Terlalu banyak suara di kepalanya.
“Kami putus beberapa hari lalu.” Yasmin justru yang memulai.
Danisha sukses terhenyak. “Ya?”
“Malam setelah kalian bertengkar, kami sepakat untuk putus.”
“Kenapa putus?”
“Aku ragu dan Juna minta aku mundur.”
“Sesederhana itu, Yas? Maksudku, bukankah kamu ingin berjuang mendapatkan Juna? Kenapa kamu justru—”
“Ketika aku meminta kesempatan pada Juna, hatinya dimiliki oleh kamu, Dan. Entah sejak kapan.” Yasmin tersenyum getir. “Yang aku tahu pasti, dia memberi kesempatan ke aku karena dia ingin melupakan kamu. Tapi nyatanya, malam itu, aku tahu kalau aku terlalu nekat.”
Danisha tertunduk. Menelaah penjelasan yang mungkin bisa membuatnya bisa sedikit saja mengerti posisi Juna.
“Malam itu, aku jadi tahu betapa Juna cinta sama kamu, Dan. Aku mulai goyah, selain takut patah hati, aku takut menyakiti Juna. Jadi, ya, kami berpisah baik-baik.”
“Aku—”
“Kalau aku boleh jujur, aku sedih dengar kamu nuduh Juna macam-macam.” Yasmin memotong. “Katakanlah aku orang baru di antara kalian, tapi mudah kok, Dan, untuk memahami seorang Juna. Aku yang orang luar ini, bisa lihat gimana Juna nggak bermaksud untuk menjadi sok benar atau mengekang kalian. Aku bahkan ingin menjadi salah satu di antara kalian, supaya bisa menjadi orang kesayangan Juna.”
“Aku emosi waktu itu,” aku Danisha pelan.
“Kalau aku aja sedih dengarnya, gimana Juna, Dan?” Dia tidak bermaksud untuk memojokkan Danisha, hanya saja dia tidak ingin segala bentuk perhatian Juna dipandang sebagai bentuk pengekangan. Entah kenapa Yasmin merasa berkewajiban meluruskan hal ini. Mungkin karena dia mencoba memahami posisi Juna sejak awal.
“Iya, aku nggak mikir panjang waktu itu. Langsung hakimi dia. Nggak cuma sekali, Yas. Sering, dan dia yang selalu sabar. Kali ini, aku udah keterlaluan. Makanya dia jadi jauh banget rasanya.”
“Juna menjauh?”
“Dia nggak mau angkat teleponku.”
“Udah coba samperin ke kosnya?”
“Dia di Jogja sejak kemarin.” Danisha kemudian teringat sesuatu. “Juna cerita ke kamu soal siapa yang dia cintai?”
Yasmin menggeleng. “Aku tahu sendiri.”
“Sejak?”
“Lihat kalian di taman rumah sakit.”
Danisha mencoba mengingat. Mundur kembali ketika dirinya dan Juna duduk di taman rumah sakit, ketika menunggui Vian yang sakit. Saat itu, mereka mengobrol sebentar di taman. Hingga akhirnya Juna menangis di pelukannya. Jadi, Yasmin lihat? Bukankah dia pamit pulang?
“Lihat gimana Juna begitu percaya sama kamu. Dia nangis di pelukan kamu. Hal yang kemudian aku sadari, setelah mengenal kalian sejauh ini, Juna nggak begitu ke Nina atau Vian. Juga ke aku.”
Yasmin cukup tabah menerima fakta ini.
“Jauh di lubuk hatinya, dia hanya percaya sama kamu. Dia mungkin bisa jadi sandaran kita semua, orang-orang sekitar yang dia sayangi. Tapi dia cuma bersandar pada satu orang, Dan. Kamu barangkali luput menyadari hal itu.”
Di kursinya, Danisha kewalahan menerima fakta-fakta yang dia lewatkan selama ini. Betapa naifnya dia yang menutup mata dan hati atas semua sikap Juna. Menganggap jika lelaki itu hanya melakukan fungsinya sebagai sahabat; yang selalu ada.
Lalu ketika fungsi itu melewati batas, Danisha dengan mudah menyebutnya sebagai pengekangan. Kenapa dia tidak bisa berpikir seperti Yasmin?
“Jadi kenapa kamu mesti marah dengan perasaan yang Juna miliki untuk kamu?”
“Kami bersahabat baik.”
“Tidak ada yang salah dengan mencintai sahabat sendiri.”
“Aku takut semuanya bakal beda.”
“Kenapa mesti takut dan cemas, kalau Juna bisa di dekat kamu terus? Bukankah untuk kalian bertiga, dia sebaik-baiknya tempat pulang di dunia ini?”
Menambahkan getir. "Yang ternyata mahal harganya. Aku nggak bisa sekadar memberi seluruh hatiku untuk mendapat tempat itu. Aku gagal, sementara kalian tidak pernah merasakan itu."
***
Suara televisi masih terdengar ketika Selli keluar dari kamar. Dia terbangun dan mendadak merasa haus. Langkahnya menuju dapur, terhenti ketika melewati ruang tengah. Tatapannya jatuh di layar yang menayangkan berita bola, lalu beralih ke meja—di mana beberapa bundel kertas berserak di sana.
Terakhir, tatapannya berhenti di sofa.
Juna tertidur di sana tanpa selimut. Terlihat pulas. Meski tidak peduli, Selli tahu kalau anak ini seharian sibuk ke sana-sini. Setelah mengantar berkeliling pasar Beringharjo, anak ini bertandang ke rumah Rum. Entah apa yang dilakukan di sana.
Sorenya, dia bermain bola dengan empat anak kemarin di halaman depan. Selepas magrib, ikut menonton bola di pos ujung jalan. Baru pulang pukul sepuluh. Itu pun langsung membawa setumpuk jurnal ke depan televisi.
Jadi, Selli, bagaimana kamu bisa membenci anak yang justru disayangi banyak orang seperti Juna? Bagaimana hatimu begitu bebal untuk menerima anak ini sebagai bagian dalam dirimu?
Hati kecilnya bertanya demikian. Bertahun-tahun. Tapi tak pernah menemukan jawaban.
Selli membuang pikiran-pikiran yang hinggap, melanjutkan langkah ke dapur. Mengambil gelas dari kabinet kemudian mengambil air panas dari dispenser.
“Argh!” Pegangannya pada gelas meleset. Gelas itu dengan cepat meluncur ke lantai, pecah berkeping, dan air panas sempat mengenai punggung tangannya.
Mendengar suara benda jatuh dan rintihan, Juna terbangun. Mengucek mata. Dia mencari sumber suara yang dia yakin dari dapur. Dua-tiga langkah untuk kemudian mendapati mamanya memunguti pecahan gelas di lantai.
Juna sontak mendekat dan menyergah. “Ma, jangan pakai tangan. Nanti luka.” Kemudian mencari letak sapu dan pengki.
Selli menegakkan tubuh, sedikit mundur saat Juna membawa sapu mendekat dan menyapu pecahan gelas. Lalu mengambilkan keset di dekat pintu samping, cekatan membersihkan tumpahan air di lantai supaya tidak becek. Tiba-tiba mendongak, sadar akan sesuatu. Matanya menangkap tangan kanan Mama yang memerah.
Setelah lantai kering, tanpa banyak kata Juna mengambil gelas bersih, mengisinya dengan separuh air panas dan separuh air dingin. Meletakkannya di meja makan, dekat mamanya berdiri.
Tatapan mereka sempat bertemu. Tapi sama-sama kompak membisu. Juna tercekat, tak bisa berkata apa-apa. Situasi ini terlalu canggung. Maka, Juna yang mengalah. Dia meninggalkan area dapur. Setelah sebelumnya membuka lemari kotak obat, mencari salep dan meletakkannya di dekat gelas.
“Mama butuh bantuan lain?”
Tidak dijawab. Juna tersenyum tipis, kembali ke ruang tengah. Mematikan televisi dan memunguti jurnal yang berserakan. Kemudian melangkah ke tangga, sempat berhenti di tengah anak tangga. Menoleh ke meja makan, tempat mamanya kini duduk termenung.
Segelas air dan obat salep itu tidak tersentuh. Mamanya lebih memilih duduk dan menuruti segala lamun yang hadir. Juna tersenyum getir, meneruskan langkah menuju kamar.
***
Dia masih terjaga.
Setelah usahanya untuk tidur gagal, Danisha melangkah ke balkon dengan membawa serta ponselnya. Membuka ruang chat milik Juna. Mengetikkan beberapa kalimat, untuk kemudian dihapus lagi. Begitu terus sampai diulangi lima kali.
Apa dia coba telepon saja? Tapi bagaimana kalau tidak diangkat? Lalu, kalau diangkat pun, Danisha hendak bicara apa? Dia merasa dilema. Satu sisi, ingin mendengar suara Juna. Sisi yang lain, dia belum siap menghadapi Juna, sekali pun hanya sebatas suara.
Hubungannya dengan Mas Dewa tidak menemui titik temu. Kemarin, ketika lelaki itu minta untuk bicara empat mata, sebenarnya adalah yang terakhir. Terlalu banyak kata maaf yang dilontarkan lelaki itu, hingga rasanya Danisha lelah dan muak. Dia ingin marah pada lelaki itu, tapi marahnya justru menyasar ke sahabat-sahabatnya. Terutama Juna.
Dia hanya percaya sama kamu. Dia mungkin bisa jadi sandaran kita semua, orang-orang sekitar yang dia sayangi. Tapi dia cuma bersandar pada satu orang, Dan. Kamu barangkali luput menyadari hal itu.
Kalau pun dirinya tidak luput, menyadari semua sikap Juna, lantas apa? Kalau waktu bisa diputar kembali, dirinya tidak bertemu Mas Dewa, dirinya tidak menghakimi Juna, apakah dirinya bisa menyadari semuanya?
Setengah nekat, Danisha menekan ikon hijau. Dia hanya bertaruh saja. Tidak diangkat lagi, tidak apa. Kalau diangkat—kali ini sungguh diangkat!
Namun, suara lelaki itu tak kunjung terdengar.
“Jun,”
“Ya?” Mungkin terdengar biasa, tapi entah bagaimana terdengar dingin bagi Danisha. Meski begitu, ada kelegaan yang menyelinap saat lelaki itu akhirnya mau mengangkat panggilannya.
“Gue ganggu, nggak?”
“Ada apa?”
“Lagi nggak bisa tidur.” Danisha berharap lelaki itu akan bertanya seperti yang sudah-sudah, dengan nada khawatir yang terselip di antara canda.
Namun, jeda yang tercipta sempat membuat Danisha resah. Di seberang sana lelaki itu tak lekas menjawab.
“Jun, gue—”
“Sori, Dan. Gue udah ngantuk.”
—gue akhirnya ngerti apa yang lo rasain.
Ada yang hilang ketika terdengar nada sambungan telah terputus. Menyisakan malam dingin yang memeluknya bersama penyesalan-penyesalan.
***
Rabu, 09/10/2019
Revisi: 13.01.2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top