33. Stupid Juna
Ps: bayangin Lily ini kayak Sea, anaknya Shareena-Ryan Delon ya. Montok gemes pengin uyel uyel!
Happy reading❤
——————
Jumat sore, si Kembar sudah ribut minta mandi. Padahal biasanya perlu main kejar-kejaran di halaman kos lebih dulu sampai mereka mau mandi. Ini, baru pukul tiga lebih, sudah rewel ke mamanya. Ini karena tadi siang Juna mengajak mereka makan malam di rumah Mbak Sarah. Yang tentu disambut gembira oleh si Kembar.
Memang pada dasarnya, apa pun itu, judulnya yang penting: pergi dengan Om Juna.
Siska menuruti untuk mengosongkan jadwal Juna weekend ini. Selain rencana menemui ayah Yasmin, ternyata semalam Mbak Sarah menelepon. Dia ingin Juna datang bersama sahabat-sahabatnya untuk makan malam di rumah.
Seharian ini mood Juna sangat baik. Dia pagi-pagi sudah mengajak si Kembar jajan, siangnya mentraktir makan di bakso Bang Ujang, membelikan banyak snack untuk anak kos yang akan begadang nonton bola malam ini.
Bahkan, sekarang, sambil menggosok badan mobil, Juna bersenandung sembarang lagu.
Mas Rizki sedang makan kacang atom di teras. “Jun, lo udah bagi tim belum?”
“Hah?”
“Gue lagi males bawa mobil.”
“Oh, itu. Udah. Mas sekeluarga bareng gue sama Yasmin.”
“Terus dayang-dayang lo yang lain?”
“Mereka mah mandiri, Mas. Gampanglah. Asal tahu alamat, mereka juga nyampe.”
“Pinter ya lo ngemong mereka.”
“Ngeledek.”
Mas Rizki menaikkan satu kaki ke kursi. Sambil terus ngemil kacang atom. “Lagaknya udah serius nih sama Yasmin.”
“Emang kelihatan nggak serius?”
“Kayak nggak tahu tabiat lo aja. Bentaran juga udah beda gandengan.”
“Ya masa’ mau gitu terus, Mas?”
“Tobat ceritanya,” cibirnya. “Tapi ya, Jun, lo masih muda, masih cakep nauzubillah gini. Apa nggak sayang kalau mau nikah cepet-cepet?”
Juna memeras kanebo. Melirik ke pintu rumah Mas Rizki. “Sori ya, Mas. Gue pengin jadi laki gentle. Nggak main ketemu mantan di belakang istri.”
“KAPAN, JUN, DIA KETEMU MANTAN?!” Mbak Nana langsung menyambar, membuat suaminya terhenyak dan kacang atom dalam stoples berhamburan di lantai.
“Astaga, Sayang. Juna cuma bercanda!” Langsung berdiri sambil memeluk istrinya. Dia memaksanya untuk masuk. Sempat menoleh tajam pada Juna. Melayangkan ancaman lewat tatap mata.
“Cuma kamu satu-satunya di hatiku, Zeyeng. Halah, mantan apaan, mereka jahat semua. Nggak ada yang sebaik kamu, Zeyeng.”
“Zeyeng-zeyeng gundulmu!”
“Kok aku digundul-gundulin, sih? Orang nggak botak, kok.”
Juna terkekeh. Masih mengelap mobilnya.
***
Setelah mampir ke pom bensin, Juna merapatkan mobilnya di sisi jalan. Sambil menunggu mobil Nina. Tak sabar, Juna langsung menelepon perempuan itu. Sekadar memastikan sudah sampai mana. Jangan-jangan nyasar.
“Nin, udah di mana?”
“Baru mau jemput Danisha.” Terdengar suara berisik.
“Tapi udah sama Vian?”
“Udah kok, udah. Ini dari kantor Vian mau jalan ke apartemen Danisha. Lo nggak usah rempong, cukup shareloc aja.”
“Ya, oke. Hati-hati.”
Juna melajukan mobilnya. Mas Rizki di sampingnya tampak lebih kalem. Entah sudah lapar atau masih marah padanya karena tadi sore dia singgung soal mantan di depan Mbak Nana. Tapi dia tidak ambil pusing. Mas Rizki marahnya tidak akan lama.
Di belakang, si Kembar dikelilingi oleh para perempuan. Tampak bahagia sepertinya. Apalagi Dafa yang nemplok di lengan Yasmin, kalau Rafa tetap dengan mamanya. Mereka ini, masih kecil, tapi sudah tahu soal perempuan. Mana beberapa kali Dafa menciumi pipi Yasmin. Apa-apaan itu. Pasti ajaran papinya, deh!
“Apa?” Mas Rizki merasa dipelototi.
“Nggak.” Juna kembali fokus ke depan.
Setengah jam kemudian, mobil Juna memasuki halaman rumah kakaknya. Pintu depan dibuka lebar-lebar. Tidak seramai yang Juna pikir. Kakaknya bilang jika malam ini spesial untuk Juna saja. Jadi tidak perlu khawatir jika ada keluarga yang lain. Kakaknya paham jika Juna akan merasa tidak nyaman.
Mendengar suara mobil di halaman, Sarah muncul di pintu. Dengan baju santai rumahan—tapi tetap cantik, keluar menyambut Juna dan yang lain. Memeluk adiknya dan menyalami dengan ramah orang-orang yang datang bersama Juna.
Sarah memeluk Yasmin lebih lama, sebelum akhirnya membawa mereka masuk ke rumah. Dipersilakan duduk di ruang tamu lebih dulu. Makan malam di halaman belakang belum siap. Lagi pula, sekalian menunggu tiga dayang—meminjam istilah Mas Rizki—kesayangan Juna datang.
“Lo rempong banget sih, Jun. Katanya tadi ‘gampanglah, asal tahu alamat, mereka juga nyampe’. Kenapa sibuk cek HP mulu?” Mas Rizki memang tidak memandang tempat. Mau di mana pun, selalu begitu. Sampai istrinya mencubit pinggangnya, baru bungkam.
“Cuma ngecek aja udah sampai mana,” bela Juna.
Rendy keluar menyalami mereka seraya menggendong Lily yang tampak menggemaskan. Istrinya sedang membantu menyiapkan di belakang. Si Kembar langsung mendekat ketika Lily berpindah tangan ke Juna.
Pipi tembam Lily kena jawil tangan-tangan si Kembar. Yang dijawil tergelak saja. Suasana hati Juna sepertinya menular pada batita di pangkuannya ini. Yasmin yang duduk di sebelahnya juga tampak gemas melihat Lily.
Tak lama, mobil Nina datang. Juna berdiri seraya menggendong Lily. Si Kembar ikut berdiri. Juna hendak mengeluh kenapa mereka lama sekali, tapi tertahan melihat apa yang mereka bawa.
Nina memegang stroller, Danisha memeluk boneka beruang kutub raksasa dan Vian mengeluarkan kardus lego dari bagasi.
“Eh, btw, guys. Lily nggak ultah hlo. Kita cuma mau makan malam aja.” Juna terheran-heran melihat mereka membawa banyak hadiah.
“Jangan protes. Kita nggak ngasih ke lo, tapi ke ponakan tersayang kita.” Nina menghambur ke batita yang digendong Juna di bagian depan. Menciumi pipi gembil itu.
Para dayang alias tante ini bergantian menyapa Lily. Untungnya batita itu tidak mengamuk kena cium sejak tadi. Juga mencium bau parfum yang berbeda-beda. Si Kembar juga minta cium di pipi oleh ketiga dayang Juna. Dasar, tidak mau kalah.
Seraya melangkah masuk, Juna mengusap lembut pipi Lily yang memerah bekas lipstik. Dia mengadu ke kakaknya yang muncul di ruang tamu, selesai cipika-cipiki dengan para sahabat Juna. “Mbak, anakmu nih, pipinya habis kena cium.”
“Adududuh, sini Mama lihat.” Sarah mengambil alih anaknya. Dengan suara pelan dan tidak berlebihan. “Makasih, Tante-tante, buat hadiahnya.”
“Jun, kenapa tadi lo buru-buru? Jadi lupa ‘kan nggak beli apa-apa.” Mbak Nana mencolek bahu Juna.
“Udahlah, Mbak. Gampanglah kalau mau ngasih, bisa kok titipin ke omnya.”
“Aku juga lupa nggak bawa apa-apa.” Yasmin ikut bicara, meringis malu.
“Nggak apa-apa, Yas.”
Makan malam sudah siap. Semua beranjak ke halaman belakang. Ada tiga meja yang digabung menjadi satu. Juna merangkul Yasmin yang sejak tadi lebih banyak diam. Dibalas dengan senyum, menandakan jika Yasmin baik-baik saja, Juna tidak perlu khawatir.
Sepanjang makan malam, Juna sengaja mengajak Yasmin mengobrol. Juga berusaha memasukkan perempuan itu ke dalam obrolan. Sarah yang peka juga selalu melemparkan pertanyaan ke Yasmin.
Sungguh, Yasmin sangat menghargai bagaimana usaha Juna dan kakaknya untuk membuatnya bisa membaur dalam lingkar percakapan ini. Tapi, di mana pun itu, yang terjadi adalah Yasmin sendiri yang menarik diri dan ketiga sahabat Juna tetaplah yang paling istimewa.
Dia bukannya ingin membanding-bandingkan dirinya dengan ketiga sahabat Juna. Ini bukan perasaan minder atau tersisihkan. Juna memperlakukannya dengan baik, begitu juga dengan ketiga sahabat Juna yang sangat welcome dengan kehadirannya di tengah-tengah mereka. Hanya saja ... Yasmin merasa asing berada di antara mereka. Seperti, rasanya salah saja berada di sini. Di antara Juna dan para sahabatnya.
Oke, katakanlah untuk orang lain sikap Yasmin ini terlalu berlebihan. Hal seperti ini saja dipermasalahkan. Untuk orang yang perasa seperti Yasmin, hal sekecil apa pun tetap menjadi pikiran. Hal ini sudah ditepis berkali-kali, tapi selalu datang kembali. Iya, perasaan tak nyaman itu.
Seperti saat ini, dia tatap lekat bagaimana Juna tertawa oleh lelucon yang Nina lontarkan baru saja. Sepasang mata itu memejam saking terpingkalnya. Gurat-gurat yang bahagia. Apakah sejak bersama dirinya, Juna pernah tertawa selepas itu?
Rasanya tidak.
Sadarlah, Yas, hubungan ini kamu yang menginginkan. Bukan lelaki itu yang maju dan menawarkan sebuah hubungan. Kamu sendirilah yang maju, mengorbankan segala egomu sebagai perempuan yang tugasnya menunggu. Kamu membalik peran itu. Kamu mengabaikan risiko apa saja yang siap menyakitimu.
Dengan berpikir jika selama Juna ada di dekatmu, lantas kamu punya kesempatan untuk merebut hatinya? Memiliki separuh hidupnya?
Atau setidaknya, dijadikan sandaran ketika lelaki itu lelah?
Tidak, Yas. Sayang sekali. Itu sepertinya mustahil.
Juna tidak semudah itu meletakkan seluruh dunianya di bahumu. Berbeda denganmu yang dengan mudah menyukai semua-semua yang ada pada diri seorang Juna. Jatuh cinta begitu mudahnya.
Semua perlakuan baik semata karena lelaki ini hanya menghargaimu sebagai perempuan. Dia tidak memandangmu dengan segenap cinta. Di dalam binar itu, kamu tidak seistimewa yang kamu inginkan. Kamu tidak akan pernah punya tempat di hatinya.
Obrolan sudah berganti. Kali ini suara Mas Rizki mendominasi. Yasmin hanya memandangi Juna dan sibuk dengan pikirannya sendiri.
Apakah sudah benar jika besok dia akan mempertemukan Juna dengan ayahnya? Apakah tidak terlalu buru-buru? Bagaimana kalau Yasmin hanya mengikuti ego sesaat? Bagaimana kalau Ayah telanjur menyukai Juna sebagai calon menantu, sedangkan, pada kenyataannya, Yasmin belum berhasil memiliki hati Juna sedikit pun?
Minggu lalu, dia spontan saja mencetuskan ide itu. Tanpa berpikir panjang bagaimana reaksi Ayah terhadap Juna. Sekarang, dia tiba-tiba takut kalau Ayah berharap banyak, untuk kemudian hanya merasakan kecewa. Yasmin tidak ingin hal itu terjadi.
Yasmin menggenggam satu tangan Juna yang menapak di atas kursi. Ketika lelaki itu menoleh, ada tanya lewat mata. Kecemasan yang sama sejak tadi. Yasmin tahu jika lelaki ini sebenarnya cemas padanya.
Juna mendekat. Berbisik, “Kamu mau aku antar pulang sekarang?”
“Nanti aja.”
“Kamu kelihatan suntuk. Mau istirahat di kamar tamu?”
“Nggak usah, Jun.”
Setelah merasa tidak bisa membujuk, Juna menjauhkan kepalanya. Kembali duduk tegap. Dia dengan sangat jelas bisa membaca ekspresi berbeda yang timbul tenggelam di wajah Yasmin. Beberapa kali memang terlihat ikut menikmati obrolan di meja. Tapi, beberapa kali juga Juna berhasil menangkap gelagat yang berbeda.
***
Tengah malam, acara itu selesai. Si Kembar sudah tidur di gendongan orangtua mereka. Ketika berpamitan, Lily juga sudah tertidur, ditemani babysitter. Berhubung tengah malam, Juna sengaja melajukan mobil tetap berada di belakang mobil Nina.
Termasuk saat mobil Nina berbelok ke apartemen Danisha, Juna ikut membelokkan mobilnya. Dia pikir hanya sebentar, hanya menurunkan Danisha, sudah. Tapi tidak ketika seseorang sudah menunggu di halaman apartemen. Juna sontak melepas sabuk pengaman dengan cepat dan membuka pintu.
“Jun, mau ke mana?” Pertanyaan Yasmin terabaikan. Bahkan mungkin tidak terdengar oleh Juna yang tergesa keluar.
“Siapa sih itu, Yas?” Mas Rizki menyipitkan mata penasaran.
“Calonnya Danisha, Mas.”
“Oh, tapi kok Juna—”
Emosi Juna sudah naik ke ubun-ubun begitu mendengar nada memaksa yang dilontarkan lelaki itu pada Danisha. Maka, sedikit pun Juna tidak ragu ketika melayangkan satu pukulan keras dan Dewa langsung tersungkur ke aspal tanpa sempat mengelak.
Juna merangsek, hendak meraih kerah kemeja Dewa, tapi dihadang oleh Danisha.
“Nggak gini caranya, Jun!” Sambil menahan dada Juna, membuatnya mundur dua langkah.
“Dia mesti dihajar, Dan, biar dia nyesel karena udah nyakitin lo.” Juna bicara soal kemarin. "Mau apa lagi dia ketemu lo?"
Dewa berdiri, mengusap darah di ujung bibir. Menatap tajam Juna yang berani main pukul begitu saja. Mencoba tetap tenang dan ingat apa tujuannya datang ke sini, Dewa hanya fokus ke Danisha. “Dan, kita bicara berdua saja.”
“Nggak!” Juna berkata tegas. Dia cepat memegang lengan Danisha. Menahan perempuan itu tetap di sisinya.
“Lepas, Jun. Lo nggak berhak ngatur hidup gue sampai segininya.”
“Dia bakal nyakitin lo lagi, Dan!”
“Lepas, Jun.” Untuk yang kedua kali sebelum habis sabarnya. Danisha dengan jelas memberi peringatan lewat mata.
Nina akhirnya maju setelah menimbang situasi. Menarik lengan baju Juna untuk melepas tangan Danisha. Tapi Juna memilih bebal. Hingga sentakan kasar membuat Juna terdiam. Terkejut.
Yang dia dengar berikutnya adalah muntahan emosi yang mungkin selama ini menumpuk di hati Danisha dan menemukan waktu yang tepat untuk meledak. Matanya memerah. Raut wajah yang tidak Juna kenali.
“Jangan merasa paling berhak untuk ikut campur masalah gue, Jun. Selama ini gue sangat menghargai bagaimana lo menjaga gue. Tapi harusnya lo nggak lupa untuk memberi gue ruang juga. Gue bisa selesaikan masalah ini berdua. Lo nggak perlu tampil kayak pahlawan main gebuk orang, sok jagoan bisa melindungi gue dengan cara itu. Nggak, Jun, gue nggak pengin diperlakukan kayak gini.”
“Gue nggak niat mau ngatur, Dan.” Juna menekan suaranya agar tak meninggi. “Ini antisipasi aja, gue nggak mau lo disakitin lagi kayak tempo hari.”
“Gue udah gede, Jun. Udah bisa ambil keputusan sendiri. Bisa jaga diri sendiri.”
“Oke, gue ikut kalian bicara.”
“Jangan kekanakan! Ini masalah pribadi gue, Jun. Cukup sampai di sini aja lo masuk.”
“Tapi—”
Danisha menunjuk Nina. Kesabarannya nyaris habis. “Lo pikir Nina senang lo ikut campur masalah dia sama Rian?”
Lalu beralih menunjuk Vian yang berdiri di antara pintu mobil yang terbuka. “Apa Vian bahagia waktu lo suruh dia jauhin Aldi? Sadar dong, Jun. Selama ini lo terlalu mengekang kami. Ngatur hidup kami. Jangan lupa kalau kami juga punya kehidupan masing-masing. Kami berhak menentukan apa yang kami inginkan!”
Juna mematung. Pias. Ada kilatan luka yang muncul di sepasang matanya. Tapi mana Danisha peduli hal itu. "Gue sayang sama kalian! Gue nggak akan biarin siapa pun bikin kalian sedih! Salahnya di mana, Danisha?"
"Buat apa semua itu? Buat apa kami menuruti semua keinginan lo, Jun? Sedangkan kami juga punya pilihan sendiri, yang nggak melulu soal nurutin apa yang baik menurut lo! Salahnya di mana?" Menunjuk-nunjuk dada Juna. "Tanya ke diri lo sendiri, Jun! Tanya kenapa lo bisa seegois ini! Sekalian tanya kenapa Sena—"
"Danisha!" Nina memotong tajam.
Danisha gemetar menurunkan tangannya. Bibirnya berkedut menahan rentetan kalimat lainnya.
"Gue udah sejauh itu?" Juna seperti bertanya ke diri sendiri. Matanya meredup di bawah sorot mata yang memandangnya marah.
"Jadi, ternyata begitu." Juna mengangguk lemah. Getir menyelimuti hati. Semua hal yang dia lakukan selama ini .... "Ternyata gue nggak lebih dari seorang control freak."
Lalu perlahan melepas tangannya dari Danisha. Berbalik dan beralih menatap Nina. “Hati-hati, Nin, nyetirnya. Kabarin kalau udah sampai apartemen.”
Nina bergeming menerima tatapan penuh luka itu.
Terakhir, Juna tersenyum pada Vian sebelum kembali masuk ke mobil. Melaju pergi dari sana tanpa menoleh lagi.
***
Lumayan patah hati nulis bab 33 dan 34. Gak tega sm Juna :(
Sabtu, 05.10.2019
Revisi: 29.12.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top