3. Meet Vivian

Silau matahari membuatnya terbangun sempurna. Sesaat yang lalu dia merasakan langkah kaki di samping kepalanya. Dia kira akan ada tepukan keras di punggungnya demi membuatnya bangun. Tapi Vian hanya melangkahinya untuk membuka gorden.

Dengan mata menyipit, Juna beringsut bangun. Menggaruk rambutnya yang semakin awut-awutan. Mengerjapkan mata, dan mengedarkan pandangan. Dia ada di kamar yang bernuansa kayu dengan harum vanila. Lalu pandangannya jatuh ke kasur di atasnya.

Tangannya meraih boneka dolpin yang tadi dia jadikan bantal. Tanpa ragu, dia menyambitkan boneka ke tubuh yang bergelung dengan selimut itu. Terdengar suara mengaduh pelan. Tapi Nina masih melanjutkan tidurnya.

Juna berdiri, sambil merem pun dia hafal letak rumah minimalis milik Vian ini. Meski dia harus hati-hati dengan pernak-pernik yang ada di setiap jengkal ruangan.

Danisha sudah pernah menyenggol vas kaca, pecah berkeping-keping, tapi Vian tidak marah. Nina pernah menjatuhkan guci imut, pecah, Vian juga hanya menghela napas. Juna? Dia lebih ekstrem. Merusak pagar cantik rumah Vian dengan bemper mobil. Vian marah? Tidak dong. Vian justru menangis melihat dahi Juna benjol karena menghantam setir.

"Viiiiian." Juna berhenti di pintu samping, menempelkan kepala di daun pintu. Menatap punggung perempuan yang sedang berkutat dengan pupuk dan tanaman kesayangannya itu.

"Hmm?"

"Bikinin sarapan dong." Juna tahu jika sudah di taman kesayangannya ini, Vian mendadak lupa daratan. Sewajarnya, orang bangun pagi-pagi pasti membuat sarapan, tapi Vian tidak. Dia lebih sayang dengan para bunga itu ketimbang perutnya sendiri dan perut sahabatnya yang dini hari tadi menggedor pintu—mengganggu tidurnya.

"Nina udah bangun?" tanya Vian tanpa menoleh.

"Belum. Tapi gue laper."

Vian berdiri, berbalik. Melepas sarung tangan dan celemeknya. Wajah teduhnya tersenyum.

"Si Cupu masih sering dateng?"

"Aldi namanya." Vian melewati Juna yang masih betah di pintu.

"Ya, ya whateverlah itu."

Juna mengekor ke dapur. Dia duduk di meja makan sambil mengamati Vian yang mulai membuka kulkas, mencuci sayuran, lalu memotong-motongnya.

Satu hal terlintas di kepala Juna. "Jangan cepet-cepet nikah ya, Vi."

Vian menoleh sebentar, mendengkuskan senyum. "Kenapa?"

"Di antara kita berempat, cuma lo yang bener. Cuma lo yang waras."

Di antara mereka berempat, Vian yang termuda. Tapi anehnya, Vian bisa bersikap lebih dewasa dan bijak. Meski untuk beberapa hal, Vian kadang bertingkah seperti adik yang ingin dimanja. Juna gemas setiap melihat sisi Vian yang itu.

"Maksud gue, boleh sih kalau mau nikah cepet. Ya tapi jangan sama Aldi. Gue nggak setuju."

Setelah memotong wortel, Vian menyalakan kompor. Meletakkan panci berisi air di sana. "Kenapa sih sama Aldi? Dia temen yang baik kok."

"Baik apaan? Dia natap lo mesum gitu."

"Nggak mungkin."

"Gue cowok, Vian Sayang. Gue ngerti jenis tatapan yang dia beri ke lo gimana. Dia pikir dia bisa sembunyi di balik tampilan dia yang rapi dan culun itu? Hah!"

"Terus yang baik itu gimana? Kayak lo?"

Bukan, Vian tidak akan berkata begitu. Juna menoleh, mendesis sebal. Nina menarik kursi dan duduk. Rambut panjangnya sudah dicepol asal. Mencuat sana-sini.

Juna kembali ke Vian. "Inget ya, Vi. Pegang omongan gue. Aldi bukan lelaki baik-baik. Lo harus percaya. Jangan kasih dia kesempatan. Kalau dateng, usir. Nggak mau pergi, tendang aja."

Nina kembali menyahut. "Jangan ngerasa jadi lelaki paling baik sedunia dong, Jun. Kesannya kayak gitu. Semua lelaki yang deket sama gue atau Vian atau bahkan Danisha, semuanya jelek. Nggak ada benernya. Padahal kita, manusia, nggak ada yang sempurna."

Percuma saja Juna berdebat dengan orang yang masih setengah mabuk. Dia berdiri, melangkah ke kulkas, mencari minuman kelapa. Kemudian meletakkannya di atas meja—tepat di hadapan Nina.

"Gue sarapan di jalan aja, Vi."

"Eh?"

"Mendadak inget gue harus ke kantor. Ketemu klien."

Juna sudah berlalu. Mengambil jaket dan kunci di kamar, melangkah keluar. Terburu-buru.

"Dia barusan marah, ya?" Nina meraih kaleng di depannya, membuka tutup dan menyesapnya sedikit.

Vian membawa satu mangkuk sup. "Nggak. Dia nggak ngambek. Tenang aja."

"Serius? Soalnya muka Juna asem banget tadi." Nina mengaduk supnya. Antara menyesal dan tidak. Mereka terbiasa bicara dengan nada sarkas seperti itu. Tapi ada saat-saat di mana Nina merasa Juna sungguhan marah.

Vian ikut duduk, menikmati supnya sendiri. "Juna cuma marah untuk hal-hal tertentu, Nin."

"Iya sih. Sekalinya marah, ngeselin parah. Lagi pula, playboy cap biawak kayak dia mana pake hati sih? Gue rasa hatinya udah diloakin."

Vian nyengir, setengah mengiakan kalimat Nina.

"Gue nggak tahu mau ngapain hari ini."

"Nggak ada jadwal pemotretan?"

"Ada, sore. Lo ada acara pagi ini selain pacaran sama bunga-bunga?"

Vian menggeleng. Tidak ada.

"Ikut gue, yuk?"

"Ke mana?"

***

Danisha adalah orang kedua yang menggantikan peran Juna ketika lelaki itu sibuk dengan pekerjaannya. Lima belas menit yang lalu, Juna menelepon. Danisha yang hari ini libur, langsung melesat ke tempat yang dimaksud Juna dengan panik yang coba dia redam.

Sampai di tempat yang dimaksud, jangankan panik, Danisha bahkan ingin menjambak dirinya sendiri. Kepalanya pening melihat Nina yang lagi-lagi membuat masalah. Ada beberapa orang yang menonton, Danisha meminta mereka untuk bubar secara halus.

"Lo yang senggol duluan mobil gue!" Si perempuan dengan rambut selurus bintang iklan sampo, berteriak menuding Nina.

Vian diam dengan raut cemas.

"Awalnya gimana?" Danisha menengahi.

Si Rambut Lurus beralih padanya. "Temen lo yang nggak becus nyetir mobil ini mending dikandangin. Ngebahayain orang lain."

"Gue tanya baik-baik ya," tukas Danisha.

"Dikandangin?!" Nina berseru. "Lo pikir gue apaan? Nggak ngaca, Mbak? Lo yang ngerem mendadak di depan gue!"

Nina bergerak maju, Danisha menahannya cepat. Masalah akan runyam kalau sampai Nina main tangan dan urusan berakhir di kantor polisi.

Danisha mengeluarkan dompet. "Kartu nama gue. Bawa mobil lo ke bengkel, tagihannya bisa lo kirim ke gue."

"Dan! Gue nggak salah. Ngapain sih?!"

Bersamaan dengan uluran tangan Danisha yang ditepis. Si Rambut Lurus menatap jemawa. "Gue nggak semiskin itu ya. Gue cuma butuh dia minta maaf. Kelar."

"Gue nggak salah!"

Vian n.

Danisha menghela napas. Sudut matanya menangkap kamera CCTV di minimarket di dekat mereka berdiri sekarang.

***

Vian mengambil tiga kaleng soda dari lemari pendingin, membayar di kasir dan melangkah keluar. Dia duduk di kursi tengah, antara Danisha dan Nina. Ingin mengulurkan kaleng soda tapi ragu. Belajar dari pengalaman, ketika di situasi awkward seperti ini, dia harus diam. Seharusnya ada Juna di saat-saat seperti ini.

Si Rambut Lurus sudah pergi lima menit yang lalu dengan senyum kemenangan.

Danisha mengambil satu kaleng dari tangan Vian.

"Cerah ya hari ini?" Vian mencoba mencairkan suasana.

Tiba-tiba terdengar suara petir.

"Tapi panas gini masa' mau hujan," lanjutnya.

Gerimis pun turun tak selang berapa lama.

"Ya. Oke. Aku diem deh." Vian angkat tangan.

"Juna bilang ada job di premier film. Nonton yuk?" Danisha mengecek ponselnya. "Jam dua. Dua jam lagi."

"Gue laper."

Danisha mundur, menatap Nina yang sejak tadi terhalang Vian. "Gue kira lo bakal membisu sampai lusa. Biasanya gitu. Ngambekan. Tunggu Juna berhasil bujuk-bujuk dulu."

"Udah ketahuan gue yang salah 'kan? Gue ngambek ke diri gue sendiri ajalah."

Vian merangkul keduanya. "Nggak kebayang ya hidup kita tanpa Juna kayak apa."

Baik Danisha atau Nina tidak mau menanggapi lebih jauh. Sisi melankolis Vian selalu membawa dampak yang tidak baik. Apalagi sedang hujan. Waktu yang tepat untuk merenungi banyak hal. Sementara bagi keduanya, apa yang sudah berlalu, tidak perlu diingat-ingat lagi. Atau setidaknya, jangan sekarang.

Namun, semua kebaikan-kebaikan yang Juna lakukan untuk mereka, tetap menjadi bagian yang tidak pernah bisa dilupakan.

Bagi Vian sendiri, Juna lebih dari sekadar kakak lelaki. Meskipun sering bercanda, Juna bisa diajak mengobrol untuk hal-hal yang serius. Tentang prinsip-prinsip hidup. Jika tidak saling sibuk, Vian senang duduk lama mengobrol dengan Juna.

Meninggalkan teras minimarket, Danisha melajukan mobil milik Vian—dia tadi sengaja naik taksi. Hujan masih turun. Tapi premier film tetap ramai peminat. Film dari salah satu sutradara ternama, ditambah dengan film yang diadaptasi dari novel best seller.

Sampai di lantai empat salah satu mal besar ibu kota, Danisha harus menepuk punggung Nina yang lelet minta ampun. Dia sudah menebak pasti masalah Ryan lagi. Harus dengan apa Nina sadar kalau Ryan tidak lebih dari lelaki pengecut yang beraninya main tangan?

"Gue sebel lihat muka gamon lo." Danisha tidak perlu berpikir dua kali untuk mengatakannya.

Vian langsung memeluk Nina dari samping. "Nin, jangan gini."

Nina justru menangis, tersedu. Padahal mereka hampir sampai di pintu bioskop. Vian menariknya ke salah satu tempat duduk di dekat pembatas. Danisha masih berdiri, menghalangi Nina yang menangis agar tak menjadi tontonan orang-orang.

Vian mengeluarkan tisu dari dalam tas, juga membantu mengikat rambut panjang Nina yang mengganggu. Tidak ada kalimat yang keluar. Nina dibiarkan menangis sampai puas.

Nina merasa perlu menjelaskan. "Nggak apa-apa kok. Gue nangis karena capek aja."

Masih di tempatnya berdiri, Danisha mengangkat telepon. "Ya, Jun? Gue sama anak-anak udah di depan bioskop. Cuma emang nggak bisa masuk."

"Kenapa, Dan? Dimintai tiket?"

"Bukan. Nina nangis. Belum mau berhenti."

"Nangis kenapa? Masalah mobil udah kelar 'kan?"

"Tahu tuh."

"Ya udah, mending diajak pulang atau ke mana dulu. Kalau gue udah kelar, ntar nyusul."

"Ya, oke."

"Oh iya, bilang ke Nina, besok gue bisa nemenin ke Surabaya."

"Ogah. Nggak usah. Gue bisa sendiri!" Dengan sesenggukan, Nina menyahut. Dia rupanya mendengar percakapan itu.

"Ngambekan dasar." Juna mendecak sebelum menutup telepon.

Vian gantian yang menepuk lengan Nina sedikit keras. "Nin, pergi sama Juna, atau nggak usah sekalian."

"Lo kenapa ikutan galak juga sih?"

***

"Lagi suntuk?"

Juna tetap mengembuskan asap dari sela bibirnya. Vian tidak keberatan berada di dekatnya ketika dia sedang merokok. Tidak pernah protes. Tapi tetap saja, Juna buru-buru membuangnya dan menginjak puntung rokok dengan sandalnya.

"Nggak. Cuma nggak bisa tidur."

Vian duduk di sebelahnya. Di undakan tangga teras belakang rumah Vian. Menghadap ke bunga-bunga, yang sudah seperti separuh hidupnya Vian.

"Lo nggak bisa tidur?"

"Haus. Mau ambil minum tapi lihat kamu di sini."

"Besok ya?"

"Hm?" Juna menoleh. Lalu sedetik kemudian, dia mengerti. "Iya. Besok."

"Tapi kamu lebih pilih nemenin Nina ke Surabaya."

Juna menghela napas.

Vian menatap Juna. "Iya. Aku tahu. Lebih mudah untuk nggak lihat semuanya."

Meletakkan kedua tangan di belakang tubuh sebagai tumpuan, Juna menatap langit malam dengan nyaman. "Vi, gue sebenarnya bisa datang. Gue nggak masalah. Gue memaafkan mereka dengan cara gue sendiri. Tapi, kalau yang terjadi sebaliknya? Gue dianggap nggak ada sama mereka, buat apa datang?"

Vian masih menatap Juna. Tapi tatapannya berubah sendu. "Jun, kalau sedih bilang ya. Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan nangis di kamar mandi kayak waktu itu."

Alih-alih terharu, Juna justru tertawa. Dia memang pernah menangis di kamar mandi milik Vian. Sudah lama. Hanya Vian yang tahu.

"Masih aja diinget. Itu nangisnya juga karena capek sama kerjaan, Vi. Cengeng banget ya gue? Nggak beda sama Nina."

"Bukan kerjaan." Vian mengoreksi. "Tapi karena Mbak Sarah keguguran."

Belum sempat Juna mengelak. Vian bertanya, "Lily udah bisa apa?"

Lily, anak Mbak Sarah setelah keguguran.

Juna terdiam. Pias. Dia belum pernah menjenguk Lily sejak bayi cantik itu lahir ke dunia setahun yang lalu.

Seketika Vian merutuki diri sendiri. Dia sadar sudah salah bertanya.

Juna meraih tangan Vian yang menepuk dahinya sendiri. "Vi, it's okay. Nggak salah kok tanya gitu. Gue harusnya nyapa Lily langsung. Jadi nggak cuma lihat perkembangan dia di instagram terus."

"Kalau memang belum bisa, jangan dipaksain." Vian cemas.

"Vi, gue udah nggak apa-apa. Jangan natap gue khawatir gitu. Beneran. Gue udah lebih ikhlas."

Juna tahu, di antara yang lain, Vian selalu menatapnya dengan cemas. Juna menghargai sikap sahabatnya ini. Dia tidak risi. Meski dengan ditatap seperti itu, membuat Juna mau tak mau, sadar bahwa ada bayangan masa lalu yang tetap menempel di punggungnya.

"Vi, gimana caranya supaya lo berhenti mencemaskan gue?"

"Bahagia, Jun. Aku pengin lihat kamu bahagia."

Juna tersenyum tipis. Hatinya sekali lagi mempertanyakan bahagia yang dia ingin seperti apa. Tapi hatinya tak kunjung mendapat jawaban. Atau barangkali, bahagia itu hanya semu. Bahagia hanya untuk mereka-mereka yang memaknai hidup sebagaimana mestinya.

Dan mungkin, selama sepuluh terakhir, Juna hanya raga kosong yang memaksa tetap berjalan tanpa tahu tujuan.

***

Diketik: 03/04/2019
Direvisi: 05.11.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top